Oleh: H.T. Romly Qomaruddien, MA.
Menyertai Ayahanda H.M. Amin Djamaluddin (Peneliti LPPI dan
Kader senior Dr. Mohammad Natsir tentang Alira-aliran, sekarang anggota Dewan
Tafkir PP. Persatuan Islam), di antaranya menyoal "pokok-pokok ajaran
Ahmadiyah" yang tertulis dalam beberapa buku-bukunya. Di antara petikan-petikan
yang ditemukannya, Madrasah Ghazwul Fikri memberikan ulasan tanggapan sebagai
berikut:
1) Dalam Edaran No. 29, Fathun 1355/ Desember 1976
disebutkan: "Kita mengetahui bahwa jemaat Ahmadiyah adalah jemaat yang
didirikan oleh Allah sendiri dengan perantara Hazrat Mirza Ghulam Ahmad
a.s."
Tanggapannya:
Allah subhaanahu wa ta'aala tidak menurunkan para Nabi dan
Rasul, melainkan membawakan misi dan seruan "ani'buduullaaha wajtanibuut
thaaguuta", "Hendaklah kamu beribadah kepada Allah dan kamu menjauhi
thagut (segala yang melampaui batas dari batas-batas ketentuan Allah". Dan
Nabiyullah Muhammad shalallaahu 'alaihi wa sallam bukanlah pendiri sebuah
agama, melainkan menjalankan agama wahyu yang diturunkan Allah kepadanya.
(Lihat QS. Al-A'raaf/7: 59, 65, 73, 85 dan QS. An-Nahl/16: 36).
2) Dalam buku: Ajaranku (Mirza Ghulam Ahmad), Yayasan Wisma
Damai, tahun 1993, hlm. 27 disebutkan: "Janganlah mengira Ruhul Kudus
tidak dapat turun di waktu sekarang dan bahwa hal itu hanya berlaku di masa
dulu saja ...".
Tanggapannya:
Pintu wahyu sudah tertutup, seiring tertutupnya wahyu
terakhir. Adapun pintu ijtihad (pandangan ulama mu'tabar dengan dalil yang
shahih dan sharih) masih terbuka. (Lihat QS. Al-Maaidah/5:3 dan Hadits
Rasuulullaah shalallaahu 'alaihi wa sallam yang disampaikan kepada shahabat
Mu'adz bin Jabbal radhiyallaahu 'anh ketika diutus ke negeri Yaman terkait
dengan penetapan hukum yang tidak didapatkan dalam kitabullah dan sunnah
nabiNya. Shahabat Mu'adz menjawab: "ajtahidu bir ra'yie wa laa aluu; aku
berijtihad dengan pendapatku dan aku tidak lalai" (HR. At-Tirmidzi, hadits
ini dinyatakan lemah oleh sebahagian ahli hadits, namun masyhur di kalangan
ahli hukum dikarenakan mengandung
semangat nalar dengan dukungan dalil-dalil penguat lain). (Lihat Syaikh
Muhammad Ali As-Sayis, Fiqih Ijtihad, 1997: hlm. 24).
3) Dalam buku: Apakah Ahmadiyah itu? (Hz. Mirza Bashiruddin
Mahmud Ahmad), hlm. 16 disebutkan: "Dalam mimpi pun saya melihat bahwa
saya beradu gulat dengan setan, dan dengan pertolongan Allah Ta'aala serta
berkat kalimat Ta'udz saya pun dapat mengalahkannya ...".
Tanggapannya:
Tidak ada mimpi yang dapat dijadikan hujjah agama, kecuali
mimpi yang dibenarkan Rasulullaah shalallaahu 'alaihi wa sallam (seperti halnya
mimpi shahabat Umar bin Khathab radhiyallaahu 'anh terkait lafazh adzan dengan
kesaksian mimpi yang sama dari shahabat lainnya). Imam Bukhari meriwayatkan
dari shahabat Abu Hurairah radhiyallaahu 'anh tentang di zaman Bani Israil ada
orang-orang yang diberikan ilham (mulhamuuna
wa muhaddatsuuna). Nabi menegaskan: "fa
in yakun minhum min ummatie fa 'umaru; Jika ada di antara mereka pada ummatku,
dialah 'Umar". (Lihat Syaikh Nashir 'Abdul Kariem al-'Aql, Mujmal Ushuul
Ahlus Sunnah wal Jamaa'ah Fiel 'Aqiedah, 1412: hlm. 8 dan Terj. Rumusan Praktis
Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah, 1992: hlm. 19)
4) Dalam buku: Bahtera Nuh (Mirza Ghulam Ahmad), Jemaat
Ahmadiyah Indonesia, tahun 1997, hlm. I disebutkan: "Sebagai Nabi, Nuh
a.s. diperintahkan untuk membangun bahtera, demikian pula Hazrat Mirza Imam
Mahdi a.s. diperintahkan Allah Ta'aala untuk membangun bahtera ...".
Tanggapannya:
Istilah "Safienatu Nuh;
Bahtera Nuh" selain perahu nabi Nuh yang sebenarnya, dalam
pandangan para salaful ummah memiliki makna
muttaba'atu Rasuulillaah, yaitu beribadah dengan mengikuti Rasuulullaah shalallaahu
'alaihi wa sallam sebagaimana penuturan Imam Az-Zuhri dan Imam Malik rahimahullaah
'anhumaa: "Al-i'tishaamu bis sunnati najaatun kasafienati nuuh, faman
rakiba faqad najaa wa man ba'uda aghraqa; Berpegang pada sunnah itu kunci
keselamatan seperti halnya bahtera nabi Nuh, siapa yang menaikinya ia akan
selamat, dan siapa yang menjauh ia akan tenggelam" (Ibnu Taimiyyah, Kitab Al-'Ubudiyyah,
hlm. 39).
5) Dalam Sinar Islam (Hz. Masih Mau'uud a.s.), Nubuwwah
1364/ Nopember 1985 disebutkan: Dalam wahyu ini Tuhan menyebutkanKu RasulNya,
karena sebagaimana sudah dikemukakan dalam Brahin Ahmadiyah. "Tuhan Maha
Kuasa telah membuatku manifestasi dari semua nabi dan memberiku nama; Aku Adam,
Aku Seth, Aku Nuh, Aku Ibrahim, Aku Ishaq, Aku Ismail, Aku Ya'kub, Aku Yusuf,
Aku Musa, Aku Daud, Aku Isa dan Aku penjelmaaan sempurna dari Nabi Muhammad
SAW.,
yakni aku adalah Muhammad dan Ahmad sebagai refleksi"
(Haqiqatul Wahyi, hlm. 72).
Tanggapannya:
Memang benar, Rasulullaah shalallaahu 'alaihi wa sallam
memiliki nama "Ahmad" sebagaimana diisyaratkan kitab Taurat dan Injil
yang diberitakan kembali dalam QS. As-Shaf/61:6. Mufassir Ibnu Katsier
memberikan penjelasan dengan hadits
riwayat Imam Malik, Bukhari, Muslim, Ad-Daarimi, At-Tirmidzi dan
An-Nasaa'i dari shahabat Jubeir bin Muth'im radhiyallaahu 'anh sebagai berikut:
"Sesungguhnya aku memiliki beberapa nama; aku adalah Muhammad, aku juga
Ahmad, aku adalah Al-Mahi (yang Alloh menghapus dengannya kekufuran), aku pun
Al-Haasyir (yang Alloh kumpulkan manusia di sekitarku) dan aku juga Al-'Aqib
(yang Alloh berikan anugerah kepada manusia karena perantaraku) yang tidak ada
Nabi setelahnya ..." (Lihat Imam Abul Fida' Ibnu Katsier ad-Dimasqy, Tafsierul
Qur'aanil 'Azhiem, 2001: 4, hlm. 2839).
Kalaupun Al-Qur'an menyebutnya dengan sebutan "Ahmad"
(artinya lebih terpuji), Imam Al-Ashbahani memberikan komentar:
"dikarenakan Nabi 'Isa 'alaihis salaam melihat nabiyullah Muhammad shalallaahu
'alaihi wa sallam lebih terpuji dari dirinya. (Al-Ashbahani, hlm. 130 dalam
petikan Makalah Rifyal Ka'bah, Muhammad SAW dalam Al-Qur'an, tp. tahun: hlm.
7).
6) Dalam buku putih "Kami Orang Islam", Pengurus
Besar Jemaat Ahmadiyah Indonesia, tahun 1983 disebutkan: "Menolak atau
mengingkari seorang Nabi berarti menolak atau mengingkari semua Nabi (dengan memetik
QS. An-Nisaa/4: 150-151)".
Tanggapannya:
Mengimani para Nabi dan Rasul, bagian dari rukun Iman (arkaanul
imaan) atau pokok-pokok keimanan (ushuulul imaan). Alloh subhaanahu wa ta'aala menuturkan firmanNya: "Dan sesungguhnya
telah Kami utus beberapa orang Rasul sebelum kamu, di antara mereka ada yang
Kami ceritakan kepadamu dan di antara mereka ada (pula) yang tidak Kami
ceritakan kepadamu ..." (QS. Ghaafir/40:78).
Allah yang menjadikan para Rasul; Di satu sisi melebihkan
antara Rasul yang satu dengan lainnya (fadhdhalnaa ba'dhahum 'alaa ba'dhin)
(Lihat QS. 2: 253), namun di sisi lain orang-orang yang beriman (yang Allah
turunkan para Rasul kepada mereka) tidak membedakan antara Rasul yang satu
dengan yang lainnya (laa nufarriqu baina ahadin min rusulih) karena
keimanannya. (Lihat QS. 2: 285).
Sementara orang-orang yang kufur, justeru mereka membedakan
antara Allah dan rasulNya. (Lihat QS. An-Nisaa/4:150).
Bahkan dijelaskan Syaikh Muhammad Shalih al-'Utsaimin dalam
kitabnya Syarh Ushuulil Imaan (2003), di antara para Nabi itu ada yang
dilebihkan peran dakwahnya dan
diketahui, yaitu ulul 'azmi ( nabi Nuh,
nabi Ibrahim, nabi Musa, nabi Isa 'alaihimus salaam dan nabi Muhammad shalallaahu
'alaihi wa sallam) sebagaimana dijelaskan QS. Al-Ahzaab/33: 7 dan As-Syura/42:
13.
Ayat-ayat tersebut menginformasikan, bahwa semua para Nabi
itu wajib diyakini adanya. Yang diceritakan Alloh, itulah yang diketahui (mu'ayyan).
Adapun yang tidak diceritakan Alloh, para ulama ahlus sunnah wal jama'ah
berkeyakinan wajib mengimaninya secara global (mujmal). Lebih dari itu, tidak
ada lagi Nabi setelah Nabi akhir zaman Muhammad shalallaahu 'alaihi wa sallam
(QS. Al-Ahzaab/33: 40).
Karena itu, masih menurut Syaikh Muhammad Shalih
al-'Utsaimin dalam karyanya yang lain
menegaskan: "Siapa yang mengaku sebagai seorang Nabi atau
mempercayai orang yang mengaku Nabi, maka dia telah kufur dikarenakan
mendustakan Alloh, rasulNya, serta ijma' kaum muslimin. Sedangkan adanya
khalifah pasca wafatnya Nabi sebagai penerus keilmuan dan dakwah, kita mengimaninya, demikian pula mengimani
akan munculnya penegak al-haq di tengah-tengah ummat sampai datangnya
kiamat". ( Lihat 'Aqiedah Ahlus Sunnah wal Jamaa'ah, 1995: hlm. 61- 62)
Semoga Rabbul 'Aalamien senantiasa menjaga kesucian Nabi
akhir zaman dan keselamatan ajaran nabiNya. Wallaahul musta'aan
Penulis adalah: Anggota Dewan Hisbah PP. Persatuan Islam
(Komisi 'Aqidah), Anggota Fatwa MIUMI Pusat (Perwakilan Jawa Barat), Wakil Sekretaris
KDK MUI Pusat, Ketua Bidang Ghazwul Fikri & Harakah Haddaamah Pusat Kajian
Dewan Da'wah dan Ketua Prodi KPI STAIPI-UBA Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar