Oleh: Tiar Anwar Bachtiar
(Sekretaris
Bidang Hub. Masyarakat dan Kelembagaan PP Persatuan Islam)
Selama ini banyak yang salah paham dengan sikap
gerakan-gerakan Islam terhadap politik. Bila berbicara mengenai politik, selalu
bahwa pemikiran yang mengemuka adalah mengenai bagaimana kekuasaan diambil alih
kemudian diubah menjadi “negara Islam” hingga gagasan tentang “negara Islam”
dan “penegakan syariat Islam” di Indonesia seolah menjadi hantu yang
menakutkan. Selain itu, yang cukup mengerikan “monsterisasi” politik dan
gerakan Islam sampai pada tarap menganggap segala gerakan politik Islam adalah
gerakan bar-bar, kejam, dan penuh dengan genangan darah. Semua itu lahir dari
pandangan yang picik terhadap ide-ide politik Islam yang sesungguhnya.
Sama seperti ajaran Islam yang lain, politik Islam pun dalam
praktiknya merupakan suatu tindakan yang harus dikerangkai dengan “adab” (Islamic ethic) yang nilainya sangat luhur dengan ditimbang dari
sudut manapun. Keadaban dalam politik Islam merupakan salah satu unsur
pemikiran paling penting dalam politik Islam sehingga politik Islam bukan hanya
sekedar suatu gerakan pemerolehan kekuasaan an
sich yang seringkali hanya dikerangkai dengan hawa nafsu berkuasa seperti
yang ditunjukkan oleh gerakan politik modern minus etika saat ini. Politik
Islam sesungguhnya adalah suatu pemikiran politik yang amat manusiawi dan
menjunjung tinggi nilai kemanusiaan yang hakiki. Jadi, yang dibicakan dalam
politik Islam bukan hanya sekedar bagaimana caranya umat Islam mendapatkan
kekuasaan, lalu bagaimana masyarakat dipaksa menerima “hukum Islam” yang
katanya “kejam”.
Salah satunya dapat kita ambil contoh pemikiran politik yang
menunjukkan keadaban yang sangat tinggi dari salah seorang pemikir Islam
Indonesia awal abad ke-20 Ahmad Hassan. Walaupun A. Hassan ini lahir di
Singapura dan berasal dari keturunan Tamil India, lebih dari separuh hidupnya
dihabiskan di Indonesia. Karir tertingginya pun ia peroleh di negeri ini. Ia
menjadi inspirator dan guru utama di salah satu ormas Islam yang berdiri tahun
1923 di Indonesia, yaitu Persatuan Islam (Persis). Lebih dari 300 pesantren
yang dimiliki oleh Persis saat ini pada mulanya dirintis oleh A. Hassan tahun
1936 di Bandung dan 1939 di Bangil. Ia menulis lebih dari 150 buku yang
semuanya diterbitkan di Indonesia. Produktivitas menulisnya inilah yang
menyebabkan A. Hassan dikenal sebagai “corong” pemikiran gerakan-gerakan
pembaharuan Islam awal abd ke-20 di Indonesia.
Di antara tema yang ditulis A. Hassan adalah tentang politik.
Paling tidak ada enam buku berkenaan dnegan politik yang ditulisnya, yaitu: Islam dan Kebangsaan, Kedaulatan dalam
Islam, ABC Politik, Verslag Debat Kebangsaan, Tata Pemerintahan dalam Islam, dan
Mereboet Kekoeasaan. Salah satu buku
yang membahas mengenai praktik etika politik dalam pemikiran Islam, khusus
dalam kasus Indonesia terdapat dalam bukunya Mereboet Kekoeasaan yang terbit untuk pertama kalinya tahun 1946.
Buku ini “praktik etika” karena membahas mengenai bagaimana seharusnya sikap
umat Islam yang paling tepat dalam menghadapi perubahan politik yang baru saja
terjadi, yaitu Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945.
Sebagai Muslim dan bersama-sama dengan pejuang Muslim yang
lain, Sukarno saat itu berusaha untuk membentuk kabinet yang melibatkan semua
unsur yang ikut berjuang, tidak terkecuali unsur-unsur organisasi dan gerakan
Islam. Oleh sabab itu, tidak ada keraguan bahwa negara yang baru dibentuk ini
dipimpin dan diperintah oleh suatu kekuatan riil umat Islam. Secara hukum,
kedaruratan dipimpin oleh orang kafir yang diharamkan di dalam Islam sudah
sirna. Artinya pemimpin yang ada sekarang ini adalah pemimpin yang sah secara
Islam. Oleh sebab itu, kewajiban pertama umat Islam adalah menaatinya. Inilah
adab pertama yang harus dilakukan oleh umat Islam terhadap para pemimpinnya. Dengan
tegas A. Hassan menyatakan keharusan menerima para pemimpin baru ini. (Mereboet Kekoeasaan, 1946: 4).
Memang A. Hassan mendengar ada yang kecewa terhadap para
pemimpin ini karena tidak secara tegas menyatakan bahwa Indonesia berdasarkan
Islam dasar negaranya. Oleh sebab kenapa tidak diambil-alih saja kekuasaan yang
sedang dipegang Sukarno dan lainnya ini secara revolusioner digantikan oleh
pemimpin yang baru dan mau secara tegas menjadikan Islam sebagai dasar negara.
Menjawab masalah ini, A. Hassan mengembalikan masalah kepada
kaidah dasar dalam politik setelah masalah yang qothi soal pemimpin Muslim di atas, yaitu kaidah kemaslahatan. Ia
sangat setuju bahwa hukum Islam harus ditegakkan. Akan tetapi, untuk menegakkannya
tidak bisa dengan perhitungan yang buruk, apalagi pengambilalihannya melalui kudeta.
Dalam hal ini A. Hassan mengajukan beberapa pertimbangan untuk menilai apakah
pada saat itu kudeta lebih maslahat atau tidak. Pertama, ia melihat bahwa belum tentu yang akan mengkudeta lebih
baik kualitasnya dalam mengurus negara daripada yang dikudeta; ia melihat
kenyataan itu secara riil di lapangan. Kedua,
pekerjaan-pekerjaan yang sudah dilakukan oleh pemerintahan ini akan kembali
ke titik nol bila terjadi kudeta; dalam hal ini yang akan dirugikan adalah
masyarakat. Ketiga, hubungan-hubungan
internasional yang sudah dibangun terutama perundingan dengan Belanda akan
mentah kembali. Keempat, pihak yang
dikudeta belum tentu berdiam diri; mereka pasti akan melakukan perlawanan
sehingga akan timbul perang saudara. (lihat Mereboet
Kekoeasaan, 1946: 8-10).
Memperhatikan ketidaksetujuan A. Hassan terhadap gerakan
militer dan kudeta terhadap pemimpin Muslim yang sah, A. Hassan terlihat
mengikuti adab yang sangat umum di kalangan Ahlus-Sunnah wal Jamaah mengenai
ketaatan kepada pemimpin. Ketaatan kepada pemimpin Muslim sangat penting untuk
membangun kamaslahatan umat. Situasi aman dan tidak chaos adalah dasar yang penting untuk mewujudkan kemashatan
tersebut.
Lalu bagaimana cita-cita untuk menegakkan Islam di dalam
negara Indonesia ini diwujudkan. Dalam hal ini A. Hassan menekankan dulu
tentang harus kuatnya posisi Kemerdekaan Indonesia dari intervensi asing dan
bangsa kafir. Semua umat Islam dan yang lainnya di Indonesia harus terlebih
dahulu bahu-membahu agar bahtera Republik Indonesia yang baru berdiri ini tetap
ada di tangan umat Islam. Setelah itu, barulah masing-masing pihak yang
memiliki idealisme boleh bertarung untuk mewujudkan cita-cita mereka. Dengan
demikian, umat Islam pun bila ingin mewujudkan cita-citanya menegakkan ajaran
Islam harus dalam kerangkan musyawarah dan perebutan pemikiran serta pengaruh
dalam kedamaian, bukan dengan peperangan dengan sesama.
Usulan A. Hassan ini juga mengisyaratkan kepada umat Islam
bahwa di dalam mewujudkan cita-cita Islam di negeri ini, umat Islam harus
bekerja lebih cerdas menggunakan kemampuan nalar dan ilmunya. Secara tidak
langsung A. Hassan mendorong agar umat Islam lebih memokuskan perhartian pada
perbangunan peradaban Islam. Di dalamnya banyak unsur-unsur penting non-politik
seperti pendidikan, dakwah, penelitian, penyebaran ilmu, pembangunan sistem
kemasyarakatan, dan lainnya yang nantinya akan berpengaruh kepada politik dan
kekuasaan.
Sementara itu, adab politik yang harus dipelihara oleh umat
Islam menghadapi penguasa dan situasi politik yang tengah terjadi adalah
sebagai berikut. Pertama, umat Islam
harus menghargai pekerjaan yang telah dilakukan oleh pemerintah yang berkuasa
saat ini. Kedua, umat Islam tidak
boleh membiasakan memelihara kedengkian, menyebar kebencian, dan memprovokasi
umat agar marah kepada pemerintah. Ketiga,
tidak perlu melakukan kudeta. Keempat,
bila penguasa melakukan kesalahan ingatkan mereka dengan cara-cara beradab
seperti mendatanginya secara langsung, membuat tulisan tertutup, atau yang
semisalnya yang proporsional dalam sistem perpolitikan kita; lebih penting dari
soal cara ini, setiap nasihat harus dilandasi dengan keikhlasan.
Kelima, bila teguran da nasihat kita tidak
digubris tidak perlu berkecil hati; yang paling penting dari nasihat adalah “menyampaikannya
dengan ikhlas”, karena kewajiban bagi umat Islam adalah menyampaikan nasihat
bukan menentukan perubahan. Keenam, umat
Islam harus meperlihatkan ketaatan secara tulus dengan ikut berpartisipasi
dalam setiap kegiatan yang dianjurkan pemerintah yang tidak melanggar aturan
syariat. Ketujuh, jangan mengharapkan
selain keikhlasan karena Allah Swt. dalam menjalankan kewajiban sebagai warga
negara. Kedelapan, apa yang menjadi
hak dan tanggungjawab pemerintah kita serahkan pada mereka sebagai ahlinya. Kesembilan, terhadap hak dan
tanggungjawab pemerintah, rakyat pada umumnya tidak perlu ikut-ikutan
intervensi kecuali pemerintah meminta dibantu. (Mereboet Kekoeasaan, 1946: 17-19).
Bila memperhatikan apa yang dituliskan A. Hassan di atas
tentang adab yang harus dipegang rakyat
terhadap penguasanya ini, jelas menunjukkan bahwa A. Hassan sangat berpegang
teguh terhadap etika politik Ahlus-Sunnah wal Jamaah. Dengan penjelasan ini
juga sekaligus menepis anggapan bahwa A. Hassan berada di belakang gerakan
pemberontakan DI/TII pimpinan Kartosuwiryo. Wallâhu
Alamu bi Al-Shawwab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar