17 Januari 2019

Adab Politik Menurut A. Hassan

Gambar terkait

Oleh: Tiar Anwar Bachtiar
(Sekretaris Bidang Hub. Masyarakat dan Kelembagaan PP Persatuan Islam)

Selama ini banyak yang salah paham dengan sikap gerakan-gerakan Islam terhadap politik. Bila berbicara mengenai politik, selalu bahwa pemikiran yang mengemuka adalah mengenai bagaimana kekuasaan diambil alih kemudian diubah menjadi “negara Islam” hingga gagasan tentang “negara Islam” dan “penegakan syariat Islam” di Indonesia seolah menjadi hantu yang menakutkan. Selain itu, yang cukup mengerikan “monsterisasi” politik dan gerakan Islam sampai pada tarap menganggap segala gerakan politik Islam adalah gerakan bar-bar, kejam, dan penuh dengan genangan darah. Semua itu lahir dari pandangan yang picik terhadap ide-ide politik Islam yang sesungguhnya.
Sama seperti ajaran Islam yang lain, politik Islam pun dalam praktiknya merupakan suatu tindakan yang harus dikerangkai dengan “adab” (Islamic ethic) yang nilainya sangat luhur dengan ditimbang dari sudut manapun. Keadaban dalam politik Islam merupakan salah satu unsur pemikiran paling penting dalam politik Islam sehingga politik Islam bukan hanya sekedar suatu gerakan pemerolehan kekuasaan an sich yang seringkali hanya dikerangkai dengan hawa nafsu berkuasa seperti yang ditunjukkan oleh gerakan politik modern minus etika saat ini. Politik Islam sesungguhnya adalah suatu pemikiran politik yang amat manusiawi dan menjunjung tinggi nilai kemanusiaan yang hakiki. Jadi, yang dibicakan dalam politik Islam bukan hanya sekedar bagaimana caranya umat Islam mendapatkan kekuasaan, lalu bagaimana masyarakat dipaksa menerima “hukum Islam” yang katanya “kejam”.
Salah satunya dapat kita ambil contoh pemikiran politik yang menunjukkan keadaban yang sangat tinggi dari salah seorang pemikir Islam Indonesia awal abad ke-20 Ahmad Hassan. Walaupun A. Hassan ini lahir di Singapura dan berasal dari keturunan Tamil India, lebih dari separuh hidupnya dihabiskan di Indonesia. Karir tertingginya pun ia peroleh di negeri ini. Ia menjadi inspirator dan guru utama di salah satu ormas Islam yang berdiri tahun 1923 di Indonesia, yaitu Persatuan Islam (Persis). Lebih dari 300 pesantren yang dimiliki oleh Persis saat ini pada mulanya dirintis oleh A. Hassan tahun 1936 di Bandung dan 1939 di Bangil. Ia menulis lebih dari 150 buku yang semuanya diterbitkan di Indonesia. Produktivitas menulisnya inilah yang menyebabkan A. Hassan dikenal sebagai “corong” pemikiran gerakan-gerakan pembaharuan Islam awal abd ke-20 di Indonesia.
Di antara tema yang ditulis A. Hassan adalah tentang politik. Paling tidak ada enam buku berkenaan dnegan politik yang ditulisnya, yaitu: Islam dan Kebangsaan, Kedaulatan dalam Islam, ABC Politik, Verslag Debat Kebangsaan, Tata Pemerintahan dalam Islam, dan Mereboet Kekoeasaan. Salah satu buku yang membahas mengenai praktik etika politik dalam pemikiran Islam, khusus dalam kasus Indonesia terdapat dalam bukunya Mereboet Kekoeasaan yang terbit untuk pertama kalinya tahun 1946. Buku ini “praktik etika” karena membahas mengenai bagaimana seharusnya sikap umat Islam yang paling tepat dalam menghadapi perubahan politik yang baru saja terjadi, yaitu Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945.
Sebagai Muslim dan bersama-sama dengan pejuang Muslim yang lain, Sukarno saat itu berusaha untuk membentuk kabinet yang melibatkan semua unsur yang ikut berjuang, tidak terkecuali unsur-unsur organisasi dan gerakan Islam. Oleh sabab itu, tidak ada keraguan bahwa negara yang baru dibentuk ini dipimpin dan diperintah oleh suatu kekuatan riil umat Islam. Secara hukum, kedaruratan dipimpin oleh orang kafir yang diharamkan di dalam Islam sudah sirna. Artinya pemimpin yang ada sekarang ini adalah pemimpin yang sah secara Islam. Oleh sebab itu, kewajiban pertama umat Islam adalah menaatinya. Inilah adab pertama yang harus dilakukan oleh umat Islam terhadap para pemimpinnya. Dengan tegas A. Hassan menyatakan keharusan menerima para pemimpin baru ini. (Mereboet Kekoeasaan, 1946: 4).
Memang A. Hassan mendengar ada yang kecewa terhadap para pemimpin ini karena tidak secara tegas menyatakan bahwa Indonesia berdasarkan Islam dasar negaranya. Oleh sebab kenapa tidak diambil-alih saja kekuasaan yang sedang dipegang Sukarno dan lainnya ini secara revolusioner digantikan oleh pemimpin yang baru dan mau secara tegas menjadikan Islam sebagai dasar negara.
Menjawab masalah ini, A. Hassan mengembalikan masalah kepada kaidah dasar dalam politik setelah masalah yang qothi soal pemimpin Muslim di atas, yaitu kaidah kemaslahatan. Ia sangat setuju bahwa hukum Islam harus ditegakkan. Akan tetapi, untuk menegakkannya tidak bisa dengan perhitungan yang buruk, apalagi pengambilalihannya melalui kudeta. Dalam hal ini A. Hassan mengajukan beberapa pertimbangan untuk menilai apakah pada saat itu kudeta lebih maslahat atau tidak. Pertama, ia melihat bahwa belum tentu yang akan mengkudeta lebih baik kualitasnya dalam mengurus negara daripada yang dikudeta; ia melihat kenyataan itu secara riil di lapangan. Kedua, pekerjaan-pekerjaan yang sudah dilakukan oleh pemerintahan ini akan kembali ke titik nol bila terjadi kudeta; dalam hal ini yang akan dirugikan adalah masyarakat. Ketiga, hubungan-hubungan internasional yang sudah dibangun terutama perundingan dengan Belanda akan mentah kembali. Keempat, pihak yang dikudeta belum tentu berdiam diri; mereka pasti akan melakukan perlawanan sehingga akan timbul perang saudara. (lihat Mereboet Kekoeasaan, 1946: 8-10).
Memperhatikan ketidaksetujuan A. Hassan terhadap gerakan militer dan kudeta terhadap pemimpin Muslim yang sah, A. Hassan terlihat mengikuti adab yang sangat umum di kalangan Ahlus-Sunnah wal Jamaah mengenai ketaatan kepada pemimpin. Ketaatan kepada pemimpin Muslim sangat penting untuk membangun kamaslahatan umat. Situasi aman dan tidak chaos adalah dasar yang penting untuk mewujudkan kemashatan tersebut.
Lalu bagaimana cita-cita untuk menegakkan Islam di dalam negara Indonesia ini diwujudkan. Dalam hal ini A. Hassan menekankan dulu tentang harus kuatnya posisi Kemerdekaan Indonesia dari intervensi asing dan bangsa kafir. Semua umat Islam dan yang lainnya di Indonesia harus terlebih dahulu bahu-membahu agar bahtera Republik Indonesia yang baru berdiri ini tetap ada di tangan umat Islam. Setelah itu, barulah masing-masing pihak yang memiliki idealisme boleh bertarung untuk mewujudkan cita-cita mereka. Dengan demikian, umat Islam pun bila ingin mewujudkan cita-citanya menegakkan ajaran Islam harus dalam kerangkan musyawarah dan perebutan pemikiran serta pengaruh dalam kedamaian, bukan dengan peperangan dengan sesama.
Usulan A. Hassan ini juga mengisyaratkan kepada umat Islam bahwa di dalam mewujudkan cita-cita Islam di negeri ini, umat Islam harus bekerja lebih cerdas menggunakan kemampuan nalar dan ilmunya. Secara tidak langsung A. Hassan mendorong agar umat Islam lebih memokuskan perhartian pada perbangunan peradaban Islam. Di dalamnya banyak unsur-unsur penting non-politik seperti pendidikan, dakwah, penelitian, penyebaran ilmu, pembangunan sistem kemasyarakatan, dan lainnya yang nantinya akan berpengaruh kepada politik dan kekuasaan.
Sementara itu, adab politik yang harus dipelihara oleh umat Islam menghadapi penguasa dan situasi politik yang tengah terjadi adalah sebagai berikut. Pertama, umat Islam harus menghargai pekerjaan yang telah dilakukan oleh pemerintah yang berkuasa saat ini. Kedua, umat Islam tidak boleh membiasakan memelihara kedengkian, menyebar kebencian, dan memprovokasi umat agar marah kepada pemerintah. Ketiga, tidak perlu melakukan kudeta. Keempat, bila penguasa melakukan kesalahan ingatkan mereka dengan cara-cara beradab seperti mendatanginya secara langsung, membuat tulisan tertutup, atau yang semisalnya yang proporsional dalam sistem perpolitikan kita; lebih penting dari soal cara ini, setiap nasihat harus dilandasi dengan keikhlasan.
Kelima, bila teguran da nasihat kita tidak digubris tidak perlu berkecil hati; yang paling penting dari nasihat adalah “menyampaikannya dengan ikhlas”, karena kewajiban bagi umat Islam adalah menyampaikan nasihat bukan menentukan perubahan. Keenam, umat Islam harus meperlihatkan ketaatan secara tulus dengan ikut berpartisipasi dalam setiap kegiatan yang dianjurkan pemerintah yang tidak melanggar aturan syariat. Ketujuh, jangan mengharapkan selain keikhlasan karena Allah Swt. dalam menjalankan kewajiban sebagai warga negara. Kedelapan, apa yang menjadi hak dan tanggungjawab pemerintah kita serahkan pada mereka sebagai ahlinya. Kesembilan, terhadap hak dan tanggungjawab pemerintah, rakyat pada umumnya tidak perlu ikut-ikutan intervensi kecuali pemerintah meminta dibantu. (Mereboet Kekoeasaan, 1946: 17-19).
Bila memperhatikan apa yang dituliskan A. Hassan di atas tentang adab yang harus dipegang rakyat terhadap penguasanya ini, jelas menunjukkan bahwa A. Hassan sangat berpegang teguh terhadap etika politik Ahlus-Sunnah wal Jamaah. Dengan penjelasan ini juga sekaligus menepis anggapan bahwa A. Hassan berada di belakang gerakan pemberontakan DI/TII pimpinan Kartosuwiryo. Wallâhu Alamu bi Al-Shawwab.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar