Nama tokoh PERSIS Natsir, dalam belantara politik Indonesia, boleh
dikata sangatlah populer. Ia adalah icon pergerakan Islam Indonesia pada awal
abad ke-20 hingga era Orde Baru 1990-an. Tidak hanya sebagai representasi kubu
modernis PERSIS vis-à-vis tradisonalis, namun lebih dari itu Natsir adalah
konseptor “politik Islam” yang paling artikulatif vis-à-vis kaum
kebangsaan/nasionalis-sekuler. Perdebatan politik Natsir versus Soekarno yang
fenomenal pada dekade 1930-1940-an menunjukkan kapasitas Natsir sebagai seorang
konseptor politik yang mumpuni. Bersama gurunya dari PERSIS, Tuan A. Hassan,
Natsir mengarahkan pemikiran dan aktivitas politik organisasi puritan dari
Bandung tersebut, sehingga “ In time, their organization—Persatuan Islam
(PERSIS)—became an important part of the larger Islamist movement in
post-colonial Indonesia, this despite its insignificant size compared to other
groups.” (Ali Muhannif, Different Routes To Islamism, 2010: 239).
Tak heran jika kemudian Natsir ditahbiskan sebagai pemimpin partai
Islam terbesar di Indonesia waktu itu, Partai Masyumi. Kemampuan dan kapasitas
politik Natsir semakin terasah saat menjabat Menteri Penerangan RI selama tiga
periode, Kabinet Syahrir II (Maret–Oktober 1946), Kabinet Syahrir III (Oktober
1946-Juni 1947) dan Kabinet Hatta 1948. Salah satu peranan penting di era
Perang Kemerdekaan ini, dicatat Mc Turnan Kahin (1995: 497), “Natsir memberi
instruksi-instruksi kepada rakyat, menunjukkan jalan untuk diikuti dalam
perjuangan itu oleh mereka yang tidak dapat menentukan atau bingung mengambil
cara berjuang yang paling efektif.”
Dilanjutkan pada masa Republik Indonesia Serikat (RIS) tahun 1950
dengan “Mosi Integral Natsir”, yang menjadikan Natsir sebagai icon Negara
Kesatuan RI, sekaligus menghantarkannya sebagai Perdana Menteri RI yang
pertama. Natsir sebagai “penyelamat NKRI” inilah yang menjadi alasan Presiden
Sukarno. Pada saat Sukarno akan membentuk formatir kabinet, datang kepadanya
wartawan harian “Merdeka”, Asa Bafagih, mencari berita. Asa Bafagih bertanya kepada
Presiden Sukarno:“Bagaimana sekarang ini? Siapa yang ditunjuk untuk membuat
kabinet? Menjawab Sukarno: “Siapa lagi kalau tidak dari Masyumi”. Bertanya lagi
Asa Bafagih: “Natsir?”. Menjawab Presiden Sukarno: “Ya! Mereka mempunyai
konsepsi untuk menyelamatkan Republik melalui konstitusi” (Puar, 1978:105).
Bagi Herbert Feith, dalam buku klasiknya, The Decline of
Constitutional Democracy in Indonesia, saat memimpin Kabinet inilah, terlihat
bahwa Natsir adalah seorang pemimpin administrator yang handal: “ …they were
all administrators. The list as a whole reflect the fact that Natsir was
successfull in his effort to find men of ability, experience, and prestige, who
would be in a position to stand up to many of pressures which parties,
factions, and cliques would apply on them.” (Feith, 1968: 113).
Cirinya, dijelaskan Herbert Feith, adalah kebijakan yang berorientasi
pada pemecahan masalah dan taat aturan main. Dalam kabinetnya, Natsir
memberikan kedudukan penting pada politisi-politisi tekhnokrat. Kabinet Natsir
juga menekankan proses reorganisasi dan rasionalisasi, baik pada kemampuan
keuangan angkatan perang dan birokrasi, maupun pengembangan perekonomian.
“Jasa” Natsir Terhadap Pancasila.
Segudang prestasinya itu, sejarah menunjukkan, tidak dinyana “luluh”
ketika Natsir dalam Sidang Konstituante dianggap anti-Pancasila. Ini jelas
kesalahpahaman yang fatal. Pertama, Natsir mengkritisi Pancasila yang
ditafsirkan secara “secular”—istilah Natsir, “ La Diniyah”. Jadi, yang
dikritisi adalah tafsirnya, bukan Pancasilanya itu sendiri. Ahmad Syafii Maarif
(1997: 155) menjelaskan: “Natsir mengambil sikap keras dalam majlis disebabkan
terutama karena interpretasi-interpretasi kabur dan dibuat-buat orang kepada
Pancasila itu. Sebagai contoh, orang seenaknya saja menempatkan sila Ketuhanan
dalam urutan yang lima itu, sementara wakil-wakil komunis ingin sekali
mengubahnya menjadi sila kemerdekaan beragama dan berkepercayaan.”
Kedua, dalam konteks jiwa zaman waktu itu, adalah wajar menyodorkan
berbagai alternatif yang terbaik bagi bangsa ini. Apalagi Majlis Konstituante
memang dibentuk untuk mendiskusikan masalah kenegaraan yang “belum selesai” di
BPUPKI dan PPKI—dianggap “darurat” karena masa Perang Kemerdekaan (Endang
Saefudin Anshary, Piagam Jakarta; Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan).
Lebih dari itu, ada tiga (3) peran penting Natsir terhadap eksistensi
Pancasila bagi Negara Indonesia. Pertama, penegasan Natsir bahwa Pancasila
tidak bertentangan dengan Islam. Dalam tulisannya di Capita Selecta Jilid II,
Natsir membela Pancasila: “Dalam pada itu dimasa achir ini, mulailah terdengar
pendapat jang menempatkan Al-Quran disatu pihak dan Pantjasila dipihak jang
lain dalam suasana antagonisme. Seolah antara tudjuan Islam dan
Pantjasila itu terdapat pertentangan dan
pertikaian jang sudah njata tak „kenal damai" dan tidak dapat disesuaikan. Dengan sepenuh
kejakinan sebagai seorang Muslim
jang berdiri atas Kalimah Sjahadat, dan
lantaran itu sebagai seorang patriot jang tjinta kepada Tanah Air dan bangsa,
saya berseru supaja djangan terburu memberikan suatu kwalifikasi dan keputusan,
apabila ponis dan keputusan itu semata didasarkan atas istilah jang oleh masing
pemakainja diberi tafsiran sendiri,
sebab bukanlah dengan tjara demikian kita seharusnja memandang pokok persoalannja.
Dalam pangkuan Qur'an, Pantjasila akan hidup subur. Satu dengan lain tidak a
priori bertentangan tapi tidak pula identik.”
Kedua, Natsir berkampanye Pancasila di luar negeri. Hal ini salah
satunya terlihat ketika Natsir berkunjung ke Pakistan dan berpidato di depan
The Pakistan Institute of World Affairs pada tahun 1952. Pidato Natsir inilah
yang sering dijadikan rujukan bahwa ia menerima Pancasila sebagai dasar
filosofis negara. Dalam pidatonya, ia mengatakan: “Pakistan adalah Negara
Islam. Hal itu pasti, baik oleh kenjataan penduduknja maupun oleh gerak-gerik
haluan Negaranja. Dan saya njatakan Indonesia djuga adalah Negara Islam, oleh
kenjataan bahwa Islam diakui sebagai Agama dan anutan djiwa bangsa Indonesia,
meskipun tidak disebutkan dalam Konstitusi bahwa Islam itu adalah agama Negara.
Indonesia tidak memisahkan Agama dari Kenegaraan. Dengan tegas Indonesia
menjatakan pertjaja kepada Tuhan Maha Esa djadi tiang pertama dari
Pantjasila,-- kaedah jang lima --, jang dianut sebagai dasar ruhani, dasar
achlak dan susila oleh negara dan bangsa Indonesia.” ( Capita Selecta II, hlm.
61).
Ini menunjukkan pandangan positif Natsir tentang negara Pancasila.
Pernyataan ini diberikan setahun setelah Natsir meletakkan jabatannya sebagai
Perdana Menteri RI, sehingga tak heran jika pernyataan tersebut bersifat
positif. Sebab, logikanya, bagaimana mungkin seorang ideolog Islam mau menjabat
kepala pemerintahan suatu negara yang dasarnya dianggap bertentangan dengan
ideologi Islam. Jelas, itu tidak mungkin.
Ketiga, Natsir sebagai salah satu perumus lambang Negara “Garuda
Pancasila”. Tidak banyak yang tahu, bahwa Lambang Negara Garuda Pancasila
dirumuskan—salah satunya—oleh Natsir. Data ini dijelaskan Turiman, Sejarah Hukum Lambang Negara
Republik Indonesia, Tesis Program Pasca Sarjana Ilmu Hukum, UI, Jakarta, 1999.
Pada Sidang Kabinet RIS Tanggal 10 Januari 1950 dibentuk panitia teknis dengan
nama Panitia Lencana Negara di bawah koordinator Sultan Hamid II. Bertindak
sebagai ketua: Muhamad Yamin, dan yang tergabung kedalam anggota antara lain:
Ki Hajar Dewantoro , M.A Pellaupessy, Moh. Natsir, R.M Ng Purbatjaraka. Panitia
bertugas untuk menyeleksi semua usulan-usulan mengenai lambang negara, kemudian
disulkan kepada Presiden Soekarno dan kemudian ditetapkan sebagai lambang
Negara.
Pada tahap pertama rancangan lambang negara yang terbaik diusulkan
oleh Sultan Hamid II dan Muhamad Yamin. Namun usulan Muhamad Yamin ditolak,
karena ada sinar-sinar matahari dan menampakkan kuat pengaruh Jepang. Pada
tanggal 8 Februari 1950 rancangan final gambar garuda diserahkan ke Presiden
Soekarno dan mendapatkan masukan dari Partai Islam (Masyumi) dari M. Natsir.
Natsir keberatan terhadap burung Garuda dengan tangan dan bahu Manusia yang
memegang perisai, karena dianggap bersifat mitologis khayalan dan terkesan
mitologi feodal. Usul Natsir ini diterima, hingga lambang Negara hanya berupa
burung Garuda.
Natsir pun mempunyai jasa terhadap perumusan symbol “bintang” untuk
Sila Pertama Pancasila. Sebagaimana dijelaskan Turiman dalam Jurnal Hukum dan
Pembangunan, Th. 44 No. 3, Juli-September 2014 (hlm. 366): “Simbol-simbol dalam
Perisai Pancasila secara semiotika hukum merupakan perpaduan ide dari usulan
anggota Panitia Lambang Negara. Simbol Sila Kesatu sumbangan ide dari Moh
Natsir, simbol Sila Kedua ide dari Sultan Hamid II dan sketsa gambar perisai
dan garis khatulistiwa adalah usulan Sultan Hamid II, simbol Sila Ketiga
sumbangan ide dari Purbatjaraka, simbol Sila Keempat sumbangan ide dari
Mohammad Yamin, simbol Sila Kelima sumbangan ide dari Ki Hajar Dewantoro.”
Tanggal 11 Februari 1950 rancangan Garuda Pancasila Sultan Hamid II
yang telah dimodifikasi dengan berbagai usulan—termasuk dari Natsir—ini
ditetapkan oleh Pemerintah/Kabinet RIS dan diresmikan pemakaiannya dalam Sidang
Kabinet. Lebih jauh, lambang Negara ini diatur dalam PP No. 66 Tahun 1951 yang
ditetapkan pada tanggal 17 Oktober 1951 termuat dalam lembaran negara 111 Tahun
1951, PP No. 43 Tahun 1958 tentang Penggunaan Lambang Negara dan pada masa
reformasi diatur dalam Undang-undang No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa,
Lambang Negara serta lagu Kebangsaan.
Demikianlah, “jasa” Natsir yang dibesarkan Jamiyah PERSIS ini terhadap
Pancasila dan lambang Negara kita yang tercinta.
Wa-l’Lahu a’lam.
*) Anggota Dewan Tafkir PP PERSIS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar