11 Agustus 2017

Hukum Pengobatan Jarak Jauh



Penulis: H. Deni Solehudin, M.S.I

Aqidah merupakan pokok dalam Islam, temasuk didalamnya adalah masalah-masalah yang dikhawatirkan masuk pada kategori syirik dan khurafat. Dalam dunia pengobatan, kekhawatiran itu muncul dengan adanya fenomena pengobatan jarak jauh. Seorang terapis atau tabib ia tidak perlu datang ke rumah pasiennya, ia cukup tinggal di tempatnya sementara si pasien berada di rumahnya. Hal itu tentunya lebih praktis dan mudah, apalagi bagi pasien, ia tidak perlu keluar dari rumahnya dan tentu itu merupakan kemudahan baginya. Adapula pengobatan dengan cara memndahkan penyakit dengan memindahkannya kepada hewan seperti ayam atau lewat media telur. Fenomena tersebut mendorong umat untuk bertanya, bagaimana hokum pengobatan jaraj jauh tersebut
Pengobatan jarak jauh dapat dilakukan dengan cara :
a.    Menggunakan media prana, meditasi dan sejenisnya.
b.    Menggunakan media batu, jimat dan sejenisnya.
c.    Transfer penyakit pada hewan.
Apakah pengobatan dengan cara-cara di atas dibenarkan oleh syariat atau tidak?
Dewan Hisbah Persatuan Islam berkewajiban menjawab persoalan umat tersebut dengan mengangkatnya menjadi tema Sidang Dewan Hisbah. K.H. Taufiq Rahman Azhar, S.Ag ditugaskan untuk membuat makalah dan menjadi pembahas dalam Sidang.
            Dalam makalahnya K.H. Taufiq Rahman Azhar, S.Ag memaparkan bahwa seorang yang sakit diharuskan untuk berobat dan Alloh Swt telah menjamin bahwa setiap penyakit ada obatnya, sebagaimana hadits :
عَنْ جَابِرٍ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ لِكُلِّ دَاءٍ دَوَاءٌ فَإِذَا أُصِيبَ دَوَاءُ الدَّاءِ بَرَأَ بِإِذْنِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ -رواه مسلم
 Dari Jabir RA, dari Rasulullah SAW bahwasanya beliau bersabda, “Setiap penyakit ada obatnya, jika suatu obat itu tepat (manjur) untuk suatu penyakit, maka penyakit itu akan sembuh dengan izin Allah ‘Azza waJalla.” (HR. Muslim, shahih Muslim, 7/21 )
Dalam masalah pengobatan wajib hukumnya bagi seorang muslim untuk memahaminya dalam frame tauhid serta keyakinan terhadap takdir.
وَإِن يَمْسَسْكَ اللهُ بِضُرٍّ فَلاَ كَاشِفَ لَهُ إِلاَّ هُوَ وَإِن يُرِدْكَ بِخَيْرٍ فَلاَ رَآدَّ لِفَضْلِهِ يُصِيبُ بِهِ مَن يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ وَهُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ. –سورة يونس : 107-
“Jika Allah menimpakan suatu bencana kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika Allah menghendaki kebaikan bagimu, maka tidak ada yang dapat menolak karunia-Nya. Dia memberikan kebaikan itu kepada siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya dan Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. Yunus: 107)
قُل لاَّ أَمْلِكُ لِنَفْسِي نَفْعاً وَلاَ ضَرّاً إِلاَّ مَاشَاءَ اللهُ وَلَوْكُنتُ أَعْلَمُ الْغَيْبَ لاَسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِ وَمَامَسَّنِيَ السُّوءُ إِنْ أَنَاْ إِلاَّ نَذِيرٌ وَبَشِيرٌ لِّقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ. –سورة الاعراف : 188-
“Katakanlah, ‘Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman”. (Qs.Al-A’raaf: 188)
وَأَيُّوبَ إِذْ نَادَى رَبَّهُ أَنِّي مَسَّنِيَ الضُّرُّ وَأَنْتَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ * فَاسْتَجَبْنَا لَهُ فَكَشَفْنَا مَا بِهِ مِنْ ضُرٍّ وَآتَيْنَاهُ أَهْلَهُ وَمِثْلَهُمْ مَعَهُمْ رَحْمَةً مِنْ عِنْدِنَا وَذِكْرَى لِلْعَابِدِينَ. –سورة الانبياء : 83-84-
 Dan (ingatlah kisah) Ayub, ketika ia menyeru Rabbnya,"(Ya Rabbku), sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang." Maka Kamipun memperkenankan seruannya itu, lalu Kami lenyapkan penyakit yang ada padanya dan Kami kembalikan keluarganya kepadanya, dan Kami lipat gandakan bilangan mereka, sebagai suatu rahmat dari sisi Kami dan untuk menjadi peringatan bagi semua yang menyembah Allah. (Al Anbiya: 83,84)
Dalam usaha untuk mencari sarana kesembuhan, seorang muslim seharusnya memperhatikan hal-hal berikut:

1. Bahwa obat dan dokter hanya sebagai sarana penyembuhan, sedangkan yang benar-benar menyembuhkan adalah Allah Ta’ala. (Qs. Asy Syu’araa’: 80, Qs. Yunus: 107, Qs. Al An’aam: 17)
2. Ikhtiar (usaha) dalam mencari obat tersebut tidak boleh dilakukan dengan cara-cara yang haram dan syirik.
Pengobatan haram ini seperti berobat dengan menggunakan obat yang terlarang atau barang-barang yang haram karena Allah tidak menjadikan pengobatan  dari barang yang haram.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِنَّ اللهَ خَلَقَ الدَّاءَ وَالدَّوَاءَ فَتَدَاوَوْا وَلاَ تَتَدَاوَوْا بِحَرَامٍ . -الكنى والأسماء للدولاب-
 “Sesungguhnya Allah menciptakan penyakit dan obatnya, maka berobatlah dan janganlah berobat dengan (obat) yang haram.” (HR. Ad-Daulabi, Al Kuna wa Al asma, 4/375)
Dan tidak boleh juga berobat dengan hal-hal yang syirik dan haram, seperti; pengobatan alternatif dengan cara mendatangi dukun, tukang sihir, paranormal, “orang pintar”, menggunakan jin, pengobatan dengan jarak jauh yang tidak sesuai dengan syariat, sehingga dapat mengakibatkan jatuh dalam syirik dan dosa besar yang paling besar.
Rasullulah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنْ أَتَى كَاهِنًا أَوْ عَرَّافًا فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُولُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. –رواه احمد-
 “Barangsiapa yang mendatangi orang pintar/tukang ramal atau dukun lalu ia membenarkan apa yang diucapkannya, maka sungguh ia telah kafir terhadap apa yang diturunkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.” (HR. Ahmad, Musnad Ahmad, II/408, 429, 476)

Dalam pembahasan para anggota Dewan Hisbah, ditemukan bahwa pengobatan jarak jauh itu ada yang ma’qul (sesuai dengan prinsip-prinsip medis dan ilmu pengetahuan) dan ghaer ma’qul (sesuatu yang tidak masuk akal). Di antara cara yang ma’qul adalah sebagaimana yang disampaikan oleh yaitu pengobatan jarak jauh berbasis komputer. Sedangkan yang ghoir ma’qul adalah pengobatan Jarak jauh melalui meditasi dengan menggunakan mantera-mantera, pengobatan jarak jauh dengan ajian-ajian” yang dapat ditransfer jarak jauh atau dengan menggunakan  “benda-benda ghaib” tertentu seperti “batu ghaib”, “gentong keramat dan menerawang yang gaib ini jatuh kepada kemusyrikan, dan pengobatan jarak jauh dengan cara memindahkan penyakit ke binatang tertentu, misalnya kambing.
Dengan demikian Dewan Hisbah Persatuan Islam mengistinbat :
Pengobatan baik dengan Jarak jauh maupun dengan jarak dekat selama ma’qul (sesuai dengan prinsip-prinsip medis) dan tidak bertentangan dengan hukum syara hukumnya mubah.

MEWASPADAI BANGKITNYA NEO UMMAHÂTUL FIRAQ



Oleh: H. T. Romli Qomaruddin, MA

Dalam sejarah dakwah sepeninggal Nabi Muhammad Saw., umat Islam diberi ujian oleh Allah Swt. dengan perpecahan di antara umat Islam sendiri. Mula-mula perpecahan ini diawali dengan masalah politik yang menyeret para sahabat ke gelanggang pertempuran. Aisyah-Talhah-Zubair harus berperang melawan Ali ibn Abi Thalib dalam Perang Jamal; Muawiyah ibn Abi Sufyan harus mengerahkan pasukan bersenjata bertempur dengan Ali ibn Abi Thalib dalam Perang Shiffin. Sebelum kedua perang itu terjadi, Usman ibn Affan harus menjadi korban persengketaan politik di kalangan umat Islam. Usman ibn Affan harus terbunuh oleh orang-orang yang diprovokasi oleh Abdullah ibn Saba’.
Sengketa-sengketa politik ini sebetulnya sudah berhasil diatasi dengan baik oleh para sahabat Rasulullah Saw. yang mulia, yaitu ketika terjadi ‘Âm Al-Jamâ’ah (Tahun Persatuan) pada tahun 41 H. Para sahabat amat menyadari kekeliruan mereka harus menumpahkan darah sesama saudara sendiri. Oleh sebab itulah setelah puncak krisis masa Fitnah Kubro, yaitu saat terbunuhnya Ali ibn Abi Thalib oleh Abdurrahman ibn Muljam, para sahabat ingin segera mengakhiri krisis ini. Setelah meninggalnya Ali ibn Abi Thalib, di Damaskus Muawiyah dibaiat sebagai khalifah. Sementara di Madinah Hasan ibn Ali ibn Abi Thalib didaulat oleh para sahabat di sana untuk menjadi khalifah juga.
Bila bukan para sahabat mulia didikan Rasulullah Saw. yang diuji dengan situasi ini, hampir bisa dipastikan kesatuan umat Islam akan segera terbelah. Satu di Damaskus dan kawasan lain di Madinah. Akan tetapi, periode Fitnah Kubro sudah mengajari mereka bagaimana negrinya perseteruan antar sesama Muslim. Oleh sebab itu, Hasan ibn Ali kemudian berinisiatif untuk menyerahkan kekuasaan kepada Muawiyah yang lebih senior dan lebih berpengalaman dalam mengelola negara. Akhirnya tercapailah kesepakatan yang menciptakan persatuan baru di antara umat Islam. Karena solid dan bersatunya umat Islam saat itu, selama 20 tahun Muawiyah memimpin prestasinya sangat luar biasa. Mendapat pujian dari berbagai penjuru mata angin.
Akan tetapi, rupanya orang-orang Yahudi, Nashrani, dan kaki tangan mereka di kalangan orang-orang munafik terus berusaha untuk mencari celah menamkan perpecahan yang lebih abadi di dalam tubuh umat Islam. Pilihannya adalah menciptakan perpecahan dengan membuat ajaran-ajaran baru (bid’ah) yang kemudian disebarluaskan ke tengah-tengah umat Islam. Dari ajaran-ajaran baru ini kemudian timbul kelompok-kelompok baru yang mudah sekali disulut untuk menciptakan keresahan dan pepecahan di kalangan umat Islam.
Di antara sekte-sekte baru yang muncul dengan merusak akidah ini, terdapat sekte yang dianggap sebagai induk utama dari semua sekte yang ada di dalam sejarah umat Islam. Sekte yang dimaksud adalah khawarij, rafidhah/syi'ah, murji'ah, qadariyah-jabariyah, dan mu'tazilah. Sekte-sekte ini di dalam kajian akidah sering disebut sebagai Ummahâtul-Firaq (induk dari firqah-firqah). Kenapa aliran-aliran di atas disebut induk sekte-sekte pecahan? Karena sekte-sekte inilah yang membuat bid’ah ajaran baru yang isinya jauh dari Al-Quran dan Sunnah Nabi Saw. dan mendorong orang untuk menolak persatuan umat Islam saat itu. Sekte-sekte ini pula yang secara doktinal mengajarkan agar umat Islam berpecah dan menolak bersatu.
 Membincang faham dan ajaran sekte induk saat ini, bagi sebahagian kalangan dirasakan terlampau mengada-ada, bahkan kajian yang tidak perlu lagi dibesar besarkan. Pasalnya, ini persoalan 'pandangan fikir' yang tidak bisa saling memaksakan untuk menerima satu sama lain. Di samping itu, fenomena munculnya sekte-sekte tersebut sudah menjadi bagian masa lalu yang sudah usang.
Para ulama ushuuluddin, justru menganggap penting akan hal ini, di mana praktek pemikiran hari ini tidak bisa dipisahkan dari mata rantai ideologis-teologis masa lalu. Misalnya Prof. Dr. Musthafa Hilmi dari Darul 'Ulum Cairo yang mengulas dalam kitabnya "Manhaj Ahlis Sunnah wal Hadits Fie Ushuulid dien" atau Prof. Dr. Nashir Abdul Karim dan Prof. Dr. Nashir al-Qiffari [keduanya dari Riyadh]. Salah satunya "Mabaahits Ahlis Sunnah wal Jamaa'ah wa Mauqifuhaa bil Harakaatil Mu'aashirah". Juga Syaikh Mani' bin Hammad al-Juhni dkk. [Peneliti WAMY] dalam ensiklopedianya "Al-Mausuu'aat al-Muyassarah Fiel Adyaan wal Madzaahib wal Ahzaabil Mu'aashirah".
Sejauh mana penetrasi pemikiran [tadaakhul al-fikriy] itu terjadi, secara ringkas dapat diperhatikan sebagai berikut:
Neo Khawârij; Kelompok ekstrim yang mengadopsi jargon "paling berpegang dengan hukum Alloh" dan sikap "yaqtuluuna ahlal Islaam wa yada'uuna ahlal autsaan; senang memerangi kaum Muslimin dan membiarkan para penyembah berhala". Akhirnya mereka menganggap kafir terhadap Muslimin di luar kelompoknya dan menganggap pemimpinnya sebagai Imam Mahdi seperti yang terjadi pada kelompok Jamaa'atul Muslimien [At-Takfier wal Hijrah] Syaikh Syukri Musthafa dkk. di Mesir.
Neo Râfidhah; Kelompok yang mengadopsi ekstrimitas para "pemuja 'Ali dan Husein" atas nama cinta ahlul bait, bermula dari menganggap paling utama, berakhir dengan "penuhanan", termasuk pema'shuman imam-imam lainnya. Pasca revolusi Iran tahun 1979, Khomeinei membawa kelompok ini secara modern dan dengan konsep "wilayatul faqieh"-nya berhasil mengembangkan "revolusi syi'ah" dalam berbagai bidang di hampir seluruh negara teluk dibawah komando Iran dengan Imperium Persia modern-nya.
Neo Murji'ah; Kelompok yang ekstrim dalam menyimpulkan perkara bahwa "iman tidak ada hubungan dengan amalan". Walaupun mulanya hanya berpandangan "tidak dapat menilai siapa salah dan berdosa di antara 'Ali dan Mu'awiyah" sebagaimana dianut sebahagian kecil shahabat, maka hukumannya ditangguhkan dan berharap [irja'] nanti Alloh yang memutuskan. Namun justeru, pada babak berikutnya pandangan ini menjadi mengkristal di mana amal seseorang berlepas dari imannya.
Neo Jabariyyah; Kelompok yang ekstrim dalam memandang taqdir, di mana "amal manusia sangat bergantung [jabariy] pada Tuhannya". Alloh jalla wa 'alaa diibaratkan dalang, sedangkan manusia ibarat wayangnya. Sekarang, faham ini kian merebak. Seseorang bisa berbuat apa saja, dengan alasan "semuanya kehendak Tuhan".
Neo Qodariyyah; Kelompok yang ekstrim dalam memandang taqdir, di mana "amal manusia sangat ditentukan [qadariy] oleh manusia sendiri". Alloh jalla wa 'alaa pun, menjadi sangat pasif atas aktifitas hambaNya. Sekarang, faham ini kian mendapat tempat. Seseorang dapat berbuat sekehendak hatinya, dengan alasan "semua perbuatan manusia terbebas dari campur tangan Tuhan".
Neo Mu'tazilah; Kelompok ekstrim dalam memposisikan peran akal sebagai penentu kebenaran, karena itu akal bukanlah media melainkan penentu [hakim]. Sekarang, faham ini semakin menemukan momentumnya. Seiring dengan ajakan "berfikir kritis" terhadap masalah-masalah baku [termasuk wahyu], faham ini pun menjadi pintu utama bagi terbukanya "teologi rasional" yang melahirkan "islam-islam baru" seperti halnya: Islam Liberal, Islam Progressif, Islam Madani, Islam Madzhab Cinta, Islam Tuhan- Islam Manusia dan lain-lain.
Semoga Rabbul 'Aalamien mengokohkan jiwa dan raga kita dalam berpegang teguh terhadap agamaNya yang haq.