Perkembangan
gerakan para pengidap kelainan seksual LGBT di seluruh dunia semakin
mengkhawtirkan. Mereka memaksakan agar pandangan masyarakat berubah terhadap
mereka. Perilaku mereka ingin dianggap normal. Bukan hanya itu, mereka juga
bergerak untuk mengubah hukum dan perundang-undangan agar melindungi perilaku
bejat mereka. Hasilnya: Belgia, Belanda, Lima Puluh Negara bagian Amerika
Serikat, dan belasan negara lainnya akhirnya menerima dan mengakui eksistensi
keabsahan komunitas LGBT dengan mengubah hukum di negara masing-masing. Gerakan
hukum ini juga tengah diperjuangkan aktivis LGBT di Indonesia. Tulisan ini akan
mencoba melihat melihat celah yang mereka gunakan untuk berusaha melegalkan
perbuatan nista mereka.
Pandangan
Hukum Positif Indonesia terhadap LGBT
Selama
ini peraturan perundang-undangan di Indonesia sebagian besarnya masih berpihak
kepada keyakinan agama dan budaya masyarakat yang menolak perilaku LGBT. Hal
itu dapat dilihat di antaranya dalam beberapa UU berikut.
Pertama,
dalam Undang-Undang No.1 Thaun 1974 Pasal
1 Tentang Perkawinan. Di sana disebutkan “Perkawinan adalah ikatan lahir
batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa.” Pasal ini dengan jelas dan terang menyatakan
bahwa Indonesia hanya mengakui perkawinan secara heteroseksual, yaitu
perkawinan yang dilakukan antara dua orang yang berbeda jenis kelamin, tegasnya
adalah seorang pria dan seorang wanita. Selain itu ditambahkan bahwa perkawinan
bukan semata memenuhi hasrat biologis tetapi bertujuan suci sebagai bagian dari
ibadah kepada Allah untuk membangun rumah tangga bahagia dan kekal.
Kedua,
pada Pasal ke-2nya disebutkan lebih rinci, antara lain: (1) Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut
hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. (2) Tiap-tiap
perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sedang
peraturan yang lebih khusus bagi umat Islam dalam masalah perkawinan ini diatur
juga dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI). Pada Pasal 2 KHI dinyatakan bahwa perkawinan
menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mîtsâqan
ghalîzhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan
ibadah.
Ketiga,
pasal ke-3 dan ke-4 juga semakin menguatkan lagi model perkawinan
di atas: “Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang
sakinah, mawaddah, dan rahmah.”; Perkawinan adalah sah, apabila
dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1)Undang-undang No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Ketentuan
undang-undang Perkawinan di atas menutup pintu rapat-rapat kemungkinan
terjadinya perkawinan yang diajukan atau dilakukan oleh pasangan sesama jenis. Undang-undang
tersebut juga menolak perkawinan yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi
sehingga pelaku perkawinan yang tidak mencatatkan perkawinannya dinyatakan
sebagai pelanggaran hukum. Maka pelaku LGBT yang berkeinginan mendapatkan
pengakuan hukum yang mengabsahkan ikatan antara dua manusia yang berjenis
kelamin sama adalah mustahil dan melakukannya secara sembunyi-sembunyi juga
sebagai suatu pelanggaran hukum.
Oleh
sebab itulah kelompok pembela HAM Liberal dan pendukung perilaku menyimpang
LGBT selalu mencari cara dan peluang untuk melakukan judicial review
atau revisi terhadap undang-undang perkawinan ini. Mereka menilai undang-undang
ini penuh diskriminasi.
Menutup
Celah Hukum Legalisasi LGBT
Dalam
usaha merombak penolakan hukum Indonesia terhadap LGBT, mereka kemudian
membenturkannya dengan perundang-undangan lain yang memang berpotensi
ditafsirkan sebagai dukungan terhadap perilaku LGBT. Di antara yang mereka
gunakan adalah mengenai HAM dan KUH Pidana. Oleh sebab itu, penting juga kita
memahami bagaimana mereka menggunakan celah hukum ini dan bagaimana kita menutupnya.
Pertama,
penunggangan HAM
Di antara
upaya para pendukung LGBT dalam mencari legitimasi dari perundang-undangan,
mereka gencar mensosialisasikan pentingnya menghormati hak-hak asasi manusia
tanpa membedakan ras, suku, agama, maupun kecenderungan orentasi seksual. Di
sini kita mesti memahami secara cerdas bagaimana mereka membangun opini sesat. Misalnya
mengubah istilah LGBT dari yang biasa disebut “penyimpangan orentasi
seksual” menjadi “perbedaan orentasi seksual”. Jika suatu perilaku
adalah “menyimpang” maka maknanya jelas ia adalah sesuatu penyakit yang tidak normal
dari apa yang seharusnya karenanya harus dicarikan obat penyembuhannya. Tetapi
dengan ungkapan “perbedaan” maka LGBT dikesankan sebagai sesuatu perilaku yang
normal meskipun berbeda dari keumuman masyarakat, dan oleh karena itu ia harus
diakui dan ditolerir. Pada akhirnya mereka mengkampanyekan perilaku LGBT
sebagai bagian dari hak asasi seseorang warga negara yang harus dihormati oleh
masyarakat dan dilindungi secara hukum.
Bagaimanakah
sebetulnya HAM Indonesia mengatur masalah LGBT ini? Sebenarnya tidak ada pasal peraturan
perundang-undangan yang secara eksplisit menyebutkan maupun mengaturnya. Hanya
saja, dalam Undang-undang Dasar RI 1945 yang telah diamandemen, Pasal 28J tentang Hak Asasi Manusia dikatakan: (1) Setiap
orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. (2) Dalam menjalankan hak dan
kebebasaannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan
dengan undang-undang dengan maksud semata mata untuk menjamin pengakuan serta
penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain sesuai dengan pertimbangan
moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat
demokratis.
Jadi
kebebasan atas nama HAM di Indonesia haruslah berdasarkan pembatasan yang
diatur oleh Undang-Undang yang pertimbangan pembatasan tersebut di antaranya
berdasar nila-nilai moral dan agama. Tidak ada satu pun adat istiadat, moral. apalagi
agama yang ada di Indonesia yang mengakui perilaku LGBT sebagai sesuatu yang
normal.
Pengertian
HAM Sendiri berdasar Undang-undang No. 39. Tahun 1999 tentang Hak-Hak Asasi
Manusia. Pasal 1, poin 1 adalah “Hak
Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manus ia sebagai
mahkluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati,
dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta
perlindungan harkat dan martabat
manusia;”
Sementara pada poin 3 diskriminasi didefinisikan
sebagai “setiap
pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung
didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok,
golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan
politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan,
pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam
kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum,
sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya.”
Jadi apabila di Indonesia saat ini kaum LGBT
belum mendapat perlindungan HAM seperti yang mereka inginkan, karena memang HAM
di Indonesia berbeda dnegan pengertian HAM yang dipahami masyaraat barat yang
liberal. Melainkan HAM yang bersendikan nilai-nilai moral dan agama yang
dipeluk oleh masyarakat Indonesia.
Kedua,
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Sebagaimana tercermin dalam UU Perkawinan dan UU
HAM di atas, sepatutnya dalam UU Hukum Pidana ada pasal yang tegas memberi
sanksi hukuman bagi para pelaku LGBT. Sayangnya, KUHP yang berlaku di Indonesia
sampai saat ini masih warisan Belanda yang secara filosofis, yuridis, dan
sosiologis banyak sekali bertentangan dengan falsafah dasar negara dan
nilai-nilai agama. Oleh sebab itu, pasal pidana bagi pelaku LGBT hanya diatur
jika pelaku LBGT ini seorang dewasa yang melakukan pencabulan kepada anak di
bawah umur atau belum dewasa.
KUHP Pasal 292 hanya menyatakan: “Orang
dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama kelamin, yang
diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa, diancam dengan
pidana penjara paling lama lima tahun”.
Pasal ini sungguh sangat menjijikan dari
beberapa aspek. Pertama, dari aspek spirit pasal ini pada prinsipnya
membolehkan pencabulan pada sesama jenis asal kedua-duanya sama-sama dewasa dan
suka sama suka. Kedua, perbuatan
cabul itu sendiri tidak masuk katagori pelanggaran hukum pidana. Ketiga,
perlindungan hukum bagi korban pencabulan sesama jenis hanya diberikan ketika korbannya
belum dewasa, bukan karena perbuatan cabulnya itu sendiri. Keempat, pasal
ini sangat menyinggung nilai moralitas dan perasaan kita sebagai bangsa
Indonesia yang beragama yang secara konstitusional telah dijamin oleh UUD 1945.
Oleh sebab itu sepatutnya Pasal 292 KUHP ini
dipersoalkan dan dimohonkan uji materi hukum kepada Mahkamah Konstitusi (MK)
dengan alasan bertentangan dengan Falsafah Negara dan UUD 1945. Dalam Mukadimah dan Pasal 29 UUD 1945 dengan
terang benderang dinyatakan bahwa negara berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa. Konsekwensinya,
segala hukum yang diundangkan dan berlaku di Indonesia adalah hukum yang
bersumber dari Agama dan segala hukum yang bertentangan denga hukum Agama di
Indonesia harus dihapus dan digantikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar