Oleh: Artawijaya
“Katakanlah
(Muhammad),’Marilah aku bacakan apa yang diharamkan Tuhan kepadamu; yaitu
jangan mempersekutukannya dengan apapun, berbuat baik kepada ibu bapak,
janganlah membunuh anak-anakmu karena miskin. Kamilah yang member rezeki
kepadamu dan kepada mereka; dan janganlah kamu mendekati perbuatan yang keji,
baik yang terlihat ataupun yang tersembunyi, janganlah kamu membunuh orang yang
diharamkan Allah kecuali dengan alasan yang benar. Demikianlah Dia memerintahkan
kepadamu agar kamu mengerti.” (Al-An’am:151).
Detasemen Khusus (Densus) 88 Anti Teror
kembali menjadi sorotan umat Islam. Kali ini terkait dengan kematian Siyono,
seorang warga dan juga imam masjid di desa Pugong, Klaten, Jawa Tengah. Siyono
ditangkap oleh aparat Densus 88 bersenjata lengkap usai melaksanakan shalat
maghrib berjamaah pada selasa (8/3). Ketika ditangkap, Siyono dalam keadaan
sehat. Namun pada Jumat (11/3) Siyono dikabarkan meninggal dunia saat menjalani
pemeriksaan dan diminta menunjukkan anggota kelompok lainnya yang “diduga”
bagian dari jaringan teroris. Siyono pun pulang ke rumah dalam keadaan sudah
menjadi jenazah dengan kondisi ada bekas luka penganiayaan di beberapa bagian
tubuhnya.
Sejak didirikan pada tahun 2004, cara
kerja Densus 88 selalu menuai kritikan, khususnya dari kaum muslimin. Bukan
kali ini saja Densus 88 melakukan aksi penegakan hukum yang berakibat pada
hilangnya nyawa manusia di luar proses pengadilan. Komisi Hak Asasi Manusia
(Komnas HAM) merilis data ada 118 “terduga” teroris yang tewas tanpa proses
hukum. (www.republika.co.id, 12 Maret
2016). Inilah yang disebut dengan extra judicial killing, yaitu pembunuhan
terhadap seseorang oleh otoritas pemerintahan tanpa adanya proses hukum atau
proses yang legal.
Padahal, aturan hukum di negeri menganut
asas praduga tak bersalah (presumption of
innocent), bahwa siapa saja yang “diduga/didakwa” melanggar hukum tidak
boleh dieksekusi oleh aparat penegak hukum, sampai pengadilan bisa membuktikan
bahwa ia bersalah atau ada keputusan hukum yang tetap (incracht). Prinsip ini harusnya dipegang teguh oleh aparat penegak
hukum, sehingga tidak ada keadilan yang dilanggar. Karena setiap warga negara
berhak mendapatkan perlakuan hukum yang sama (equality before the law).
Tindakan extra judicial killing, memberantas terorisme dengan cara melanggar
hukum, justru mengarah pada “state
terrorism (terorisme negara)” terhadap rakyat. Tak hanya itu, tindakan tersebut
bahkan bisa memicu aksi-aksi pembalasan, karena aparatur pemerintah dianggap
zalim. Keadaan seperti ini menjadi lingkaran kekerasan yang tidak berujung,
yang berakibat pada terancamnya stabilitas nasional.
Allahyarham Dr. Mohammad
Natsir dalam buku “Demokrasi di Bawah
Hukum” menyatakan bahwa stabilitas hidup bernegara di antaranya bergantung
pada tegaknya keadilan dan terjaminnya hak asasi manusia. “Kestabilan hidup
bermasyarakat memerlukan tegaknya keadilan. Tiap-tiap sesuatu yang melukai rasa
keadilan terhadap sebagian dari masyarakat bisa mengakibatkan rusaknya
kestabilan bagi masyarakat keseluruhan, sebab rasa keadilan adalah unsur
fitrah.” (M. Natsir, 2002:9)
Para founding
fathers (pendiri bangsa) ini sepakat bahwa
Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Negara Hukum (rechtstaat), bukan Negara Kekuasaan (machtstaat). Negara ini tegak berdiri
berlandaskan hukum, menjadikan hukum sebagai panglima; di mana tidak boleh ada upaya-upaya kekuasaan
di luar hukum yang berusaha merusak tatanan bangsa ini. Tidak boleh ada lembaga
negara yang merasa super body,
bertindak semaunya tanpa mengindahkan aturan-aturan yang ada, melanggar harkat
dan martabat kemanusiaan, merusak tatanan keadilan, dan mencampakkan UUD 1945, sebagaimana
sila kedua dari Pancasila; Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.
Islam tidak setuju dengan cara-cara
terorisme; baik terorisme yang dilakukan oleh negara “state terrorism” sebagaimana yang dilakukan oleh penjajah Israel
terhadap Palestina, ataupun terorisme yang dilakukan oleh individu atau kelompok
yang mengatasnamakan agama. Bahkan dalam medan perang sekalipun, Islam memiliki
etika dalam menghargai kemanusiaan, agama dan kemaslahatan umum. Tidak boleh
membunuh anak-anak, wanita, orangtua, dan pemuka agama. Tidak boleh merusak
lingkungan, rumah ibadah, dan fasilitas umum.
Indonesia adalah daarusalam (negeri yang damai), bukan daarul harb (wilayah perang), di mana pemerintah masih memberikan
keluleluasaan bagi kaum muslimin untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya
sebagai hamba Allah SWT. Tentu semua itu belum berjalan secara sempurna, tetapi
semuanya membutuhkan proses yang membutuhkan perjuangan dakwah yang konsisten,
yang tetap mengedepankan cara-cara yang damai. Islam tidak mengajarkan cara fasad (merusak) dalam upaya menegakkan
syariat-Nya.
Peringatan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya
Dalam Islam, membunuh jiwa manusia
haruslah dilakukan dengan cara-cara dan kondisi
yang dibenarkan. Tidak boleh dilakukan atas dasar semata-mata kebencian,
balas dendam, dan cara-cara lain yang bathil. Islam membenarkan ditumpahkannya
darah dalam hukum qishash, rajam,
murtad, dan jihad qital fii sabilillah. Penegakan hukum tersebut
dilakukan oleh otoritas pemerintah yang berdaulat, bukan oleh individu atau
kelompok masyarakat.
Allah SWT memperingatkan kita semua untuk
berhati-hati dalam menumpahkan darah manusia, sebagaimana firman-Nya:
“Barang siapa
yang membunuh jiwa manusia bukan karena
pembalasan pembunuhan (qishash), atau karena berbuat kerusakan di muka bumi,
maka seolah-olah ia membunuh semua orang (karena berarti mengobarkan semangat
bunuh membunuh); dan barang siapa menjaga kehidupan seorang maka ia bagaikan
menghidupkan semua manusia.” (Al-Maaidah:32)
“Barang siapa yang
membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya adalah neraka jahannam,
ia kekal di dalamnya. Dan Allah murka kepadanya dan melaknatnya, dan disediakan
baginya adzab yang sangat dahsyat.” (An-Nisaa’: 93)
Rasulullah SAW juga mengingatkan bagi
siapa saja, khususnya mereka yang berkuasa agar tidak gampang menghilangkan
nyawa orang, kecuali dengan cara-cara yang dibenarkan.
Dari
Anas bin Malik Radhiyallahu Anhu,
dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam
beliau bersabda,”Jika kalian memerintah,
maka berbuat adillah! Jika kalian membunuh, maka (lakukanlah) dengan cara yang
baik (dibenarkan), karena sesungguhnya Allah adalah Dzat Yang Mahabaik, dan Dia
menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (HR. Ath-Thabrani dalam Al-Ausath hadits nomor 5735, Shahih Al-Jami’, 1/ 194).
Apa yang ditulis dalam bulletin ini adalah
upaya untuk memberikan tadzkirah
kepada pemerintah, saling menasehati dalam kebenaran dan kesabaran, serta upaya
melakukan amar makruf nahyi mungkar terhadap segala kekeliruan dalam pemberantasan
terorisme. Selain itu, tulisan ini juga adalah upaya menunaikan hak sesama
muslim, untuk menjaga darahnya, hartanya, dan kehormatannya agar tidak
mendapatkan perlakuan zalim, terutama oleh mereka yang memegang kekuasaan.
Dari
Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu ia
berkata, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa
Sallam bersabda,“Muslim satu dengan
lainnya itu bersaudara, tidak boleh menzaliminya dan tidak boleh
merendahkannya, dan tidak boleh membiarkannya dihina orang lain. Takwa itu
letaknya di sini (sambil menunjuk dada beliau dan diucapkan tiga kali).
Cukuplah sebagai kejahatan seseorang, kalau ia menghina saudaranya sesama muslim.
Semua hak seorang muslim terhadap sesama muslim haram; darahnya, hartanya, dan
kehormatannya.” (HR. Muslim)
Bagaimana
Sebaiknya Densus 88?
Saya secara pribadi yakin bahwa di dalam
tubuh Densus 88 masih terdapat Muslim yang percaya pada peringatan-peringatan
Allah Swt. di atas sehingga diharapkan dengan mengingat teguran-teguran Allah
Swt. di atas mereka dapat sadar atas kekeliruan yang mereka lakukan selama ini.
Hanya saja, kalau melihat para pengambil kebijakan di Densus 88 selama ini,
banyak sekali yang non-Muslim yang pasti tidak akan mengindahkan
teguran-teguran Allah Swt. di atas dan ketentuan penanganan terorisme dalam
Islam di atas. Belum lagi kelau analisis lebih diperdalam lagi tentang
banyaknya kepentingan pragmatis di tubuh Densus 88. Banyak pesanan asing yang
mengendalikan lembaga negara ini.
Seperti sudah dikatakan di atas, menangani
terorisme adalah tugas negara yang sangat penting untuk menjamin keamanan
warganya. Akan tetapi, kalau tindakannya seperti yang dipraktikkan Densus 88
selama ini, justru malah kontra-produktif dengan tujuan didirikannya detasemen
khusus ini. Masyarakat bukan merasa aman dengan kehadirannya, melainkan malah
merasa selalu terancam. Kenyamanan masyarakat, terutama masyarakat Muslim,
dalam menjalankan hak-hak konstitusionalnya yang salah satunya adalah
menjalankan ajaran agama menjadi sangat terganggu dengan kehadiran Densus 88.
Densus 88 yang seharusnya anti-teror, malah menjelma menjadi terror baru.
Seandainya para pemangku kewenangan, dalam
hal ini Presiden melalui Menhan dan Kapolri, tidak dapat menertibkan Densus 88,
maka tidak ada cara lain selain harus membubarkan istitusi yang sangat mungkin
telah terkontaminasi banyak sekali kepentingan asing yang berusaha merusak
bangsa ini. Detasemen ini harus segara diganti dengan institusi yang
sungguh-sungguh dapat menjaga masyarakat dari keresahan dan teror sehingga
tercipta keamanan yang sesungguhnya bagi masyarakat. Bila ini tidak segera
ditindaklanjuti, gelombang kekecewaan masyarakat bisa berakumulasi menjadi gerakan
anti-pemerintah yang juga sangat berbahaya bagi ketahanan negara. Wallahu a’lam bish-shawab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar