Oleh: Yusuf Burhanudin, Lc., M.Pd.I
Kunjungan
Grand Syaikh Al-Azhar (GSA), Prof. Dr. Ahmad Al-Thayyib ke Tanah Air beberapa
waktu lalu, menyisakan kontroversi dan kegaduhan. Pasalnya, dalam kunjungan
dengan tokoh-tokoh ulama di MUI pusat (23/02/2016), GSA menyatakan Sunni dan Syiah
bersaudara. Keduanya mesti bersatu karena sama-sama orang Islam. Kehadiran tokoh-tokoh
seperti Quraish Shihab (Penganjur Taqrîb Sunni-Syiah) dan Sayyed Ali
Amin (Marja’ Syiah asal Libanon), seolah ingin menguatkan pesan
“persaudaraan” tersebut.
Kontan
saja, pernyataan tersebut menuai reaksi keras dan cibiran berbagai pihak.
Beberapa tokoh dan alim ulama di Tanah Air sangat menyesalkan penyataan
tersebut muncul justru di tengah-tengah gencarnya upaya umat Islam menghalau propaganda
syiahisasi beberapa tahun terakhir. Di lain pihak, kaum Syiah dan para
penganjur kebebasan beragama seolah mendapat angin segar dan amunisi untuk
mempertahankan ajaran Syiah dan aliran menyimpang lainnya di tengah-tengah
masyarakat Muslim Indonesia, di balik slogan indah menjaga kerukunan dan
keharmonisan beragama.
Menyadari
pernyataan tersebut cukup menghebohkan jejaring media massa dan sosial, GSA buru-buru
mengklarifikasi. Menurutnya, kunjungan ke Indonesia ternyata disalahpahami seakan
punya agenda mendukung kelompok tertentu. Kunjungan ini justru untuk mengkampanyekan
persatuan umat Islam. Meskipun, di sana ada kelompok yang suka menista sahabat,
Ummul Mukminin Aisyah ra., ini jelas ditolak, berbahaya, sesat, dan
merupakan fitnah bagi umat Islam. GSA menyeru umat Islam menghalau gerakan tersebut,
dan menolak tegas upaya penyebaran Syiah di bumi Ahlus Sunnah, karena Syiah
hanya diterima di negara Syiah. Beliau menentang usaha-usaha mempengaruhi
generasi muda dengan iming-iming uang untuk bergabung dengan ajaran ini, karena
akan mengakibatkan pergolakan. Beliau juga menolak campur tangan Syiah ke dalam
negara untuk penyebaran ajaran mereka. Sebagaimana sikap Al-Azhar yang moderat
(wasathiyyah), klarifikasi GSA cukup begitu gamblang; mengkampanyekan
persatuan umat Islam dan saling menghargai antarmadzhab fikih yang berbeda, namun
pada saat yang sama menolak sikap berlebih-lebihan dalam beragama (ghuluw),
ekstrimisme, dan caci maki terhadap sahabat (http://www.azhar.eg/en/details/from-jakarta-the-grand-imam-warns-indonesian-from-the-danger-of-spreading-of-shiism-in-their-country).
Jika
dicermati, pernyataan GSA di atas cenderung memakai perspektif standar ganda.
Satu sisi menilai Sunni-Syiah bersaudara, namun di sisi lain menimbang akidah
Syiah seperti mencaci sahabat, mencela Ummul Mukminin Aisyah ra.,
sebagai dosa dan kemaksiatan. Yang satu fatwa politis, lainnya fatwa yuridis.
Sunni-Syiah bersaudara, ditengarai fatwa politis dalam rangka menggaungkan
“pesan perdamaian” GSA dalam kunjungan bersejarah (ziyârah târîkhiyyah)
ini. Tujuannya, agar Sunni dan Syiah mau hidup berdampingan tanpa konflik
berkepanjangan. Namun secara yuridis, GSA juga menilai penistaan kepada para
sahabat (tanpa menyebut Syiah) sebagai kesesatan nyata (tanpa menyebut bentuk
kekufuran).
Tak
heran, sejumlah kalangan menilai pandangan GSA soal Syiah dinilai inkonsisten. Lihat
misalnya komentar Imad Al-Daib, salah seorang pemikir Syiah, seperti dilansir Kalamalyom
(24/02/2016). Menurut Al-Daib, dukungan dan penentangan GSA terhadap Syiah
bergantung situasi politik negeri bersangkutan. Jika jauh dari Mesir, ia
mendukung Syiah. Namun saat di negeri sendiri, GSA justru menentang dan
menggempur Syiah habis-habisan. Dr. Ahmad Rasim Al-Nafis, pemuka Syiah Mesir
menambahkan, dirinya pernah mengajukan permohonan kepada Al-Azhar untuk mau mengakui
madzhab Syiah di Mesir. Permintaan itu ditolak mentah-mentah dengan dalih
adanya perbedaan prinsip antara Sunni dan Syiah dalam Ahwâl Syakhshiyyah
dan Waris.
Bagaimana
sebenarnya sikap GSA dan institusi Al-Azhar terhadap Syiah dan penyebarannya di
negeri Muslim? Seberapa penting Al-Azhar memandang upaya-upaya persaudaraan
Sunni dan Syiah (Taqrîb) dilakukan di dunia Islam? Dalam berbagai
kesempatan, GSA sebenarnya sangat lantang menyuarakan penolakannya terhadap penyebaran
ajaran Syiah di negeri-negeri Ahlus Sunnah. Hal ini, akan merongrong persatuan
dunia Islam, mengancam stabilitas negara, memecah belah umat, dan membuka
peluang kepada zionisme untuk menimbulkan isu-isu perselisihan antarmadzhab di negara-negara
Islam. Sehingga upaya Taqrîb pun akhirnya kehilangan kepercayaan dan
kredibilitasnya (Al-Ahram, 09/11/2012).
Sebetulnya
ada atau tidak ada kunjungan GSA ke Tanah Air, sejak dulu sikap Al-Azhar secara
institusi terhadap Syiah dan penyebarannya di negara-negara Ahlus Sunnah, sudah
begitu gamblang: sesat dan menyesatkan. Dalam Fatâwâ Kibar ‘Ulamâ` Al-Azhar Al-Syarif
fî Al-Syî’ah, Syaikh Al-Khusyu’i Muhammad Al-Khusyu’i menegaskan, Syiah
dengan segala bentuk keyakinannya yang meliputi wasiat imamah, tahrîf
Al-Quran, murtadnya para sahabat, makshumnya para imam, mengkafirkan kelompok lain,
jelas bertentangan dengan keyakinan umat Islam yang berpegang teguh kepada Al-Quran,
Sunnah, dan teladan para sahabat. Bahkan, para ulama kibar Al-Azhar menyeru
umat Islam agar bersatu menghalau berbagai upaya syiahisasi di negara-negara Sunni
maupun proyek Taqrîb Sunni-Syiah yang acapkali dijadikan pintu masuk
penyebaran Syiah di negeri-negeri Muslim (2011: h. 101-111).
Fatwa
yang dikeluarkan pada masa Grand Syaikh Al-Azhar Jadul Al-Haq Ali Jad Al-Haq
(1982-1996) tersebut, diamini sejumlah ulama terkemuka Al-Azhar dengan membeberkan
kesesatan ajaran Syiah. Mereka adalah Syaikh Athiyyah Shaqar (Ketua Komisi
Fatwa Al-Azhar), Syaikh Abdul Mun’im Al-Nimr (Menteri Agama Mesir), Syaikh
Hasanin Muhammad Makhluf (Mufti Mesir), Syaikh Abdul Majid Salim (Mantan Syaikh
Al-Azhar), Syaikh Muhammad 'Arafah (Guru Besar Syariah dan Kibar Ulama Mesir, yang
sempat menjadi anggota Taqrîb Sunni-Syiah namun kemudian meninggalkannya
setelah menilai adanya agenda terselubung Syiah di balik misi tersebut), Syaikh
Al-Khusyu'i Muhammad Al-Khusyu'i (Wakil Dekan Fakultas Ushuluddin), Syaikh Umar
Ibn Abdul Aziz Quraisyi (Guru Besar Akidah), Syaikh Muhammad Yusri Ibrahim
(Wakil Rektor American Open University), dan Syaikh Muhammad Sayyed
Tanthawi (Grand Syaikh Al-Azhar dan Mufti Mesir, yang tegas menentang syiahisasi
dan menolak pengakuan ajaran Syiah sebagai madzhab resmi di Mesir).
Demikian
pula sikap para ulama Al-Azhar saat ini tetap tidak berubah dalam menimbang
ajaran Syiah. Misalnya, dalam fatwa seputar Syiah Imamiyyah, Lembaga Riset dan Penelitian
Al-Azhar (Majma’ Buhûts Islâmiyyah) dalam fatwa bernomor 7590
menegaskan, “Syiah Imamiyyah adalah mereka yang meyakini adanya nash wasiat
imamah, kemakshuman para imam, menista sebagian besar para sahabat khususnya Abu
bakar dan Umar, dan taqiyyah, itu semua dusta dan bohong. Mereka
menyucikan kota Karbala dan Najaf dengan berbagai ritual dan mengambil sepotong
tanah dari kota suci itu untuk dijadikan tempat sujud dalam shalat. Ahlus
sunnah jelas menentang akidah mereka. Karena itu, tidak boleh bagi seorang Muslim
merubah keyakinannya dengan keyakinan aliran-aliran bid’ah dan menyimpang
seperti Syiah imamiyyah dan lainnya.” (http://magmaa.azhar.eg/en-us/لجنة-الفتوى).
Satu-satunya
fatwa ulama Al-Azhar yang sering dicatut penganjur Taqrîb Sunni-Syiah adalah
fatwa Syaikh Mahmud Syaltut. Fatwa “misterius” ini, ditolak mentah-mentah Syaikh
Yusuf Al-Qaradhawi. Fatwa tersebut, tidak pernah ditemukan dalam rekomendasi
maupun dokumentasi fatwa-fatwa Al-Azhar hingga hari ini. Orang-orang Syiah pernah
menyodorkan dokumen fatwa tersebut, namun sayangnya tidak ada tertulis nomor
fatwa dan stempel resmi dari Al-Azhar alias fatwa bodong (www.alwafd.org).
Kebohongan demi kebohongan Syiah terkuak satu persatu. Fatwa bodong hingga
pemelintiran pemberitaan kunjungan GSA ke Tanah Air kemarin. Mereka membuat
makar, namun Allah sebaik-sebaik Pembalas makar.
Jika
ditarik benang merah, pernyataan GSA memiliki empat pesan penting. Pertama,
menyerukan persatuan umat Islam antarmadzhab yang berbeda dan dimulai dengan ukhuwwah
para ulama. Karena ukhuwwah Islamiyyah mustahil terwujud tanpa adanya
persatuan terlebih dahulu di kalangan ulamanya. Kedua, mengkampanyekan
wajah Islam moderat yang selama ini diusung Al-Azhar, saling menghargai dan
menghormati sesama Muslim (al-ta’âyusy al-silmî al-musytarak) tanpa
harus saling mengkafirkan satu sama lain, berlebih-lebihan dalam beragama (ghuluw),
ekstrimis, dan sektarian. Ketiga, ajaran Syiah dengan sejumlah keyakinannya
seperti wasiat imamah, menista para sahabat, dan tahrîf Al-Quran,
adalah sesat dan menyesatkan. Keempat, menolak segala bentuk propaganda
dan kampanye syiahisasi di negeri-negeri Muslim karena akan mengakibatkan
konflik internal berkepanjangan di dalam tubuh umat Islam. Kelima,
menolak upaya taqrîb atau persaudaraan Sunni-Syiah karena rentan
dimanfaatkan penyebaran Syiah di negeri-negeri mayoritas Sunni.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar