12 November 2016

Sikap Resmi Al-Azhar Terhadap Syiah


 
Oleh: Yusuf Burhanudin, Lc., M.Pd.I


Kunjungan Grand Syaikh Al-Azhar (GSA), Prof. Dr. Ahmad Al-Thayyib ke Tanah Air beberapa waktu lalu, menyisakan kontroversi dan kegaduhan. Pasalnya, dalam kunjungan dengan tokoh-tokoh ulama di MUI pusat (23/02/2016), GSA menyatakan Sunni dan Syiah bersaudara. Keduanya mesti bersatu karena sama-sama orang Islam. Kehadiran tokoh-tokoh seperti Quraish Shihab (Penganjur Taqrîb Sunni-Syiah) dan Sayyed Ali Amin (Marja’ Syiah asal Libanon), seolah ingin menguatkan pesan “persaudaraan” tersebut.
Kontan saja, pernyataan tersebut menuai reaksi keras dan cibiran berbagai pihak. Beberapa tokoh dan alim ulama di Tanah Air sangat menyesalkan penyataan tersebut muncul justru di tengah-tengah gencarnya upaya umat Islam menghalau propaganda syiahisasi beberapa tahun terakhir. Di lain pihak, kaum Syiah dan para penganjur kebebasan beragama seolah mendapat angin segar dan amunisi untuk mempertahankan ajaran Syiah dan aliran menyimpang lainnya di tengah-tengah masyarakat Muslim Indonesia, di balik slogan indah menjaga kerukunan dan keharmonisan beragama.
Menyadari pernyataan tersebut cukup menghebohkan jejaring media massa dan sosial, GSA buru-buru mengklarifikasi. Menurutnya, kunjungan ke Indonesia ternyata disalahpahami seakan punya agenda mendukung kelompok tertentu. Kunjungan ini justru untuk mengkampanyekan persatuan umat Islam. Meskipun, di sana ada kelompok yang suka menista sahabat, Ummul Mukminin Aisyah ra., ini jelas ditolak, berbahaya, sesat, dan merupakan fitnah bagi umat Islam. GSA menyeru umat Islam menghalau gerakan tersebut, dan menolak tegas upaya penyebaran Syiah di bumi Ahlus Sunnah, karena Syiah hanya diterima di negara Syiah. Beliau menentang usaha-usaha mempengaruhi generasi muda dengan iming-iming uang untuk bergabung dengan ajaran ini, karena akan mengakibatkan pergolakan. Beliau juga menolak campur tangan Syiah ke dalam negara untuk penyebaran ajaran mereka. Sebagaimana sikap Al-Azhar yang moderat (wasathiyyah), klarifikasi GSA cukup begitu gamblang; mengkampanyekan persatuan umat Islam dan saling menghargai antarmadzhab fikih yang berbeda, namun pada saat yang sama menolak sikap berlebih-lebihan dalam beragama (ghuluw), ekstrimisme, dan caci maki terhadap sahabat (http://www.azhar.eg/en/details/from-jakarta-the-grand-imam-warns-indonesian-from-the-danger-of-spreading-of-shiism-in-their-country).
Jika dicermati, pernyataan GSA di atas cenderung memakai perspektif standar ganda. Satu sisi menilai Sunni-Syiah bersaudara, namun di sisi lain menimbang akidah Syiah seperti mencaci sahabat, mencela Ummul Mukminin Aisyah ra., sebagai dosa dan kemaksiatan. Yang satu fatwa politis, lainnya fatwa yuridis. Sunni-Syiah bersaudara, ditengarai fatwa politis dalam rangka menggaungkan “pesan perdamaian” GSA dalam kunjungan bersejarah (ziyârah târîkhiyyah) ini. Tujuannya, agar Sunni dan Syiah mau hidup berdampingan tanpa konflik berkepanjangan. Namun secara yuridis, GSA juga menilai penistaan kepada para sahabat (tanpa menyebut Syiah) sebagai kesesatan nyata (tanpa menyebut bentuk kekufuran). 
Tak heran, sejumlah kalangan menilai pandangan GSA soal Syiah dinilai inkonsisten. Lihat misalnya komentar Imad Al-Daib, salah seorang pemikir Syiah, seperti dilansir Kalamalyom (24/02/2016). Menurut Al-Daib, dukungan dan penentangan GSA terhadap Syiah bergantung situasi politik negeri bersangkutan. Jika jauh dari Mesir, ia mendukung Syiah. Namun saat di negeri sendiri, GSA justru menentang dan menggempur Syiah habis-habisan. Dr. Ahmad Rasim Al-Nafis, pemuka Syiah Mesir menambahkan, dirinya pernah mengajukan permohonan kepada Al-Azhar untuk mau mengakui madzhab Syiah di Mesir. Permintaan itu ditolak mentah-mentah dengan dalih adanya perbedaan prinsip antara Sunni dan Syiah dalam Ahwâl Syakhshiyyah dan Waris.
Bagaimana sebenarnya sikap GSA dan institusi Al-Azhar terhadap Syiah dan penyebarannya di negeri Muslim? Seberapa penting Al-Azhar memandang upaya-upaya persaudaraan Sunni dan Syiah (Taqrîb) dilakukan di dunia Islam? Dalam berbagai kesempatan, GSA sebenarnya sangat lantang menyuarakan penolakannya terhadap penyebaran ajaran Syiah di negeri-negeri Ahlus Sunnah. Hal ini, akan merongrong persatuan dunia Islam, mengancam stabilitas negara, memecah belah umat, dan membuka peluang kepada zionisme untuk menimbulkan isu-isu perselisihan antarmadzhab di negara-negara Islam. Sehingga upaya Taqrîb pun akhirnya kehilangan kepercayaan dan kredibilitasnya (Al-Ahram, 09/11/2012).
Sebetulnya ada atau tidak ada kunjungan GSA ke Tanah Air, sejak dulu sikap Al-Azhar secara institusi terhadap Syiah dan penyebarannya di negara-negara Ahlus Sunnah, sudah begitu gamblang: sesat dan menyesatkan. Dalam Fatâwâ Kibar ‘Ulamâ` Al-Azhar Al-Syarif fî Al-Syî’ah, Syaikh Al-Khusyu’i Muhammad Al-Khusyu’i menegaskan, Syiah dengan segala bentuk keyakinannya yang meliputi wasiat imamah, tahrîf Al-Quran, murtadnya para sahabat, makshumnya para imam, mengkafirkan kelompok lain, jelas bertentangan dengan keyakinan umat Islam yang berpegang teguh kepada Al-Quran, Sunnah, dan teladan para sahabat. Bahkan, para ulama kibar Al-Azhar menyeru umat Islam agar bersatu menghalau berbagai upaya syiahisasi di negara-negara Sunni maupun proyek Taqrîb Sunni-Syiah yang acapkali dijadikan pintu masuk penyebaran Syiah di negeri-negeri Muslim (2011: h. 101-111).
Fatwa yang dikeluarkan pada masa Grand Syaikh Al-Azhar Jadul Al-Haq Ali Jad Al-Haq (1982-1996) tersebut, diamini sejumlah ulama terkemuka Al-Azhar dengan membeberkan kesesatan ajaran Syiah. Mereka adalah Syaikh Athiyyah Shaqar (Ketua Komisi Fatwa Al-Azhar), Syaikh Abdul Mun’im Al-Nimr (Menteri Agama Mesir), Syaikh Hasanin Muhammad Makhluf (Mufti Mesir), Syaikh Abdul Majid Salim (Mantan Syaikh Al-Azhar), Syaikh Muhammad 'Arafah (Guru Besar Syariah dan Kibar Ulama Mesir, yang sempat menjadi anggota Taqrîb Sunni-Syiah namun kemudian meninggalkannya setelah menilai adanya agenda terselubung Syiah di balik misi tersebut), Syaikh Al-Khusyu'i Muhammad Al-Khusyu'i (Wakil Dekan Fakultas Ushuluddin), Syaikh Umar Ibn Abdul Aziz Quraisyi (Guru Besar Akidah), Syaikh Muhammad Yusri Ibrahim (Wakil Rektor American Open University), dan Syaikh Muhammad Sayyed Tanthawi (Grand Syaikh Al-Azhar dan Mufti Mesir, yang tegas menentang syiahisasi dan menolak pengakuan ajaran Syiah sebagai madzhab resmi di Mesir).
Demikian pula sikap para ulama Al-Azhar saat ini tetap tidak berubah dalam menimbang ajaran Syiah. Misalnya, dalam fatwa seputar Syiah Imamiyyah, Lembaga Riset dan Penelitian Al-Azhar (Majma’ Buhûts Islâmiyyah) dalam fatwa bernomor 7590 menegaskan, “Syiah Imamiyyah adalah mereka yang meyakini adanya nash wasiat imamah, kemakshuman para imam, menista sebagian besar para sahabat khususnya Abu bakar dan Umar, dan taqiyyah, itu semua dusta dan bohong. Mereka menyucikan kota Karbala dan Najaf dengan berbagai ritual dan mengambil sepotong tanah dari kota suci itu untuk dijadikan tempat sujud dalam shalat. Ahlus sunnah jelas menentang akidah mereka. Karena itu, tidak boleh bagi seorang Muslim merubah keyakinannya dengan keyakinan aliran-aliran bid’ah dan menyimpang seperti Syiah imamiyyah dan lainnya.” (http://magmaa.azhar.eg/en-us/لجنة-الفتوى).
Satu-satunya fatwa ulama Al-Azhar yang sering dicatut penganjur Taqrîb Sunni-Syiah adalah fatwa Syaikh Mahmud Syaltut. Fatwa “misterius” ini, ditolak mentah-mentah Syaikh Yusuf Al-Qaradhawi. Fatwa tersebut, tidak pernah ditemukan dalam rekomendasi maupun dokumentasi fatwa-fatwa Al-Azhar hingga hari ini. Orang-orang Syiah pernah menyodorkan dokumen fatwa tersebut, namun sayangnya tidak ada tertulis nomor fatwa dan stempel resmi dari Al-Azhar alias fatwa bodong (www.alwafd.org). Kebohongan demi kebohongan Syiah terkuak satu persatu. Fatwa bodong hingga pemelintiran pemberitaan kunjungan GSA ke Tanah Air kemarin. Mereka membuat makar, namun Allah sebaik-sebaik Pembalas makar.
Jika ditarik benang merah, pernyataan GSA memiliki empat pesan penting. Pertama, menyerukan persatuan umat Islam antarmadzhab yang berbeda dan dimulai dengan ukhuwwah para ulama. Karena ukhuwwah Islamiyyah mustahil terwujud tanpa adanya persatuan terlebih dahulu di kalangan ulamanya. Kedua, mengkampanyekan wajah Islam moderat yang selama ini diusung Al-Azhar, saling menghargai dan menghormati sesama Muslim (al-ta’âyusy al-silmî al-musytarak) tanpa harus saling mengkafirkan satu sama lain, berlebih-lebihan dalam beragama (ghuluw), ekstrimis, dan sektarian. Ketiga, ajaran Syiah dengan sejumlah keyakinannya seperti wasiat imamah, menista para sahabat, dan tahrîf Al-Quran, adalah sesat dan menyesatkan. Keempat, menolak segala bentuk propaganda dan kampanye syiahisasi di negeri-negeri Muslim karena akan mengakibatkan konflik internal berkepanjangan di dalam tubuh umat Islam. Kelima, menolak upaya taqrîb atau persaudaraan Sunni-Syiah karena rentan dimanfaatkan penyebaran Syiah di negeri-negeri mayoritas Sunni.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar