17 Januari 2019

NESTAPA MUSLIM UIGHUR


Oleh: Yusuf Burhanudin


Dalam beberapa bulan terakhir, sejumlah laporan menyebutkan, semakin banyak orang Uighur dan minoritas Muslim lain ditahan di Xinjiang. Penindasan terhadap warga Muslim Uighur, yang berjumlah sekitar 11 juta dari 24 juta penduduk Xinjiang, meningkat sejak Xi Jinping menjadi pemimpin partai Komunis tahun 2012 dan presiden pada tahun 2013. Xi mengklaim tindakan itu diperlukan untuk mengalahkan terorisme Islam dan “virus ideologis” separatisme, meskipun ada bukti anekdotal bahwa tindakan ini memberi efek sebaliknya. Sebuah gerakan nasionalisme palsu yang mengabaikan hak-hak kemanusiaan dan kebangsaan sekaligus.
Pihak berwenang di Cina melakukan sebuah kampanye berskala besar dan sistematis terhadap komunitas Muslim minoritas di negara itu. Pemerintah Beijing mengirim satu juta warga Uighur ke kamp-kamp konsentrasi. Warga Muslim yang taat beribadah dan melakukan perintah agama di wilayah barat laut Xinjiang, seperti: sholat, puasa, tidak makan babi dan minum alkohol, memelihara jenggot, atau berpakaian secara Islami, ditahan oleh pihak aparat dan diperlakukan seolah mereka adalah para penderita kelainan jiwa.
Muslim Uighur dipaksa kerja tanpa upah (Hashar), anak-anak dipaksa bekerja, posting konten Islam di media sosial langsung ditangkap, petani Muslim diwajibkan menjual hasil di bawah harga pasar, lahan pertanian mereka diklaim sepihak oleh pemerintah, dilarang memakai nama-nama islami, dibatasi untuk mengajarkan Islam, tidak ada perayaan Ramadhan setiap tahunnya, dilarang menumbuhkan jenggot, tak ada aturan jelas tentang hak-hak Muslim Uighur, dilarang menggelar acara pernikahan, muslim dipaksa menjual alkohol, kebijakan satu anak, wanita hamil dipaksa untuk aborsi, dan Muslim Uighur pun dilarang pergi dari China (Kiblat, 28/12/18).
Warga Uighur diperlakukan sebagai “musuh negara” karena identitas agama mereka. Tahanan Muslim Uighur ditangkap dan ditahan tanpa proses pengadilan. Mereka dipaksa mengatakan bahwa Allah tidak ada dan Islam agama takhayul. Setiap hari pemerintah menerapkan kebijakan baru yang bertujuan menghapus identitas keislaman, budaya Uighur diganti dengan Chinaisasi.

Siapakah Muslim Uighur?
Uyghur, Uighur, atau Uygur adalah etnik Turki yang tinggal di Asia Timur dan Asia Tengah. Hari ini, etnik mereka terkonsentrasi dan tinggal di daerah otonomi Xinjiang, Republik Rakyat China (RRC). Mereka termasuk salah satu dari 55 etnis minoritas yang kini hidup di China. Agama mereka Islam, dan sebagaimana kebanyakan orang Eurasia tengah (Kaukasus), ras mereka lebih dekat kepada dua ras, baik Eropa maupun Asia Timur.
Di China sendiri tercata ada 56 etnis, di mana etnis Han adalah mayoritas dengan komposisi 90 persen lebih dari seluruh rakyat China, sementara 55 etnis lain adalah minoritas. Dari 55 etnis minoritas, sedikitnya 10 etnis mayoritas beragama Islam Sunni. Mulai yang paling besar; Uighur (14 juta jiwa), Hui (10 juta jiwa), disusul Bonan (Mongol), Tatar (Rusia), Salar (Turki), Uzbek, Kyrghiz, Dongxiang/Gengis Khan, Tajik (Persia), dan Kazakh.
Muslim Uighur tercatat etnis minoritas Muslim terbesar di China dan minoritas paling terkenal saat ini dikarenakan pemerintah China sering menuding etnis Uighur sebagai dalang berbagai aksi teror di Xinjiang. Sementara etnis Hui Muslim, satu suku dari lima suku terbesar di China, tercatat etnis Muslim terbesar kedua setelah Uighur. Agama suku ini Islam Sunni dan tersebar di seluruh provinsi di Tiongkok, namun terkonsentrasi di Ningxia, Hainan, Gansu, Yunnan, dan Qinghai. Ningxia sendiri adalah daerah otonomi bagi suku Muslim Hui.

Suku Hui banyak menghasilkan tokoh-tokoh terkenal seperti Laksamana Cheng Ho alias Zheng He atau Haji Mahmud Syams (1371-1433 M.). Cheng Ho adalah seorang pelaut, penjelajah, dan diplomat ulung Tiongkok. Cheng Ho pertama kali datang di Indonesia jauh sebelum Wali Songo. Saat penyebaran Islam di Indonesia masih sangat kecil dan tertutup, sejak Cheng Ho datang berubah 180 derajat. Ada juga Bao Chongxi, Jenderal China Muslim yang terkenal pada perang dunia kedua melawan Jepang, pengaruh dan kecerdasannya setara Jenderal Yamamoto Jepang.
Uighur adalah minoritas Muslim yang sebagian besar berada di Xinjiang, China barat. Sekitar 45 persen penduduk tempat itu adalah Uighur. Sebuah potret sejarah dan identitas Muslim Uighur menyoroti mengapa China—negara komunis yang mengabadikan atheisme dan hak istimewa mayoritas penduduk etnis Han—berkomitmen melenyapkan orang-orang ini. Kaum minoritas Uighur dicap dengan stigma etnis dan agama; Islam dinilai sebagai bentuk penghinaan terhadap atheisme yang didukung negara, dan identitas Uighur sebagai penghalang supremasi etnis Han.
Diskriminasi terjadi karena selain etnis Uighur berbeda ras dari di China juga memiliki bahasa sendiri, altishahr (bahasa Persia; alti artinya enam, shahr artinya kota/dalam bahasa Arab, tsalitsah syahr) sebagai bahasa resmi Tarim Basin (sebelah selatan gunung Tianshan Xinjiang) pada abad 18-19 yang merupakan bahasa Turki. Filosofi bahasa mereka itu kemudian diangkat menjadi nama kota, Kashgaria. Semua bukti ini menunjukkan bahwa mereka adalah entitas bangsa namun penuh dengan rangkaian diskriminasi negara otoritas.

Xianjiang Atau Turkistan Timur?
Xinjiang secara resmi tercatat sebagai daerah otonomi di China, sama seperti Tibet di selatan. Muslim Uighur berasal dari Xinjiang—wilayah otonomi di barat laut China yang berbatasan dengan Mongolia di timur laut—dan segudang negara mayoritas Muslim di sebelah kirinya. Sejarah mencatat, Xinjiang berdiri pada abad ke-2 sebelum masehi. Banyak sekali kerajaan yang dulu menguasai daerah ini, termasuk dinasti Xiongnu, Han, Gokturks, Tang, Turki Uighur, dan kerajaan Mongol.
Muslim Uighur yang tinggal di Xinjiang, awalnya dibawah kekuasaan berbagai dinasti. Mulai dari dinasti Han China, Turki, dan Mongolia. Xinjiang sendiri dalam sejarahnya terbentuk oleh dua wilayah, sejarah, dan ras dengan sebutan wilayah berbeda. Sebelah utara gunung Tianshan disebut Dzungaria (Dzungar Basin), dan selatan maupun timur gunung Tianshan dinamakan Tarim Basin. Sebelum Dinasti Qing China (1759 M.) mencaplok kedua wilayah tersebut menjadi satu entitas politik dan dinamai propinsi Xinjiang tahun 1884. Qing adalah dinasti tradisional terakhir (dinasti ke-17, 1644-1912 M.) berkuasa kurang lebih 268 tahun di negeri tirai bambu.
Xinjiang artinya perbatasan baru dalam bahasa China, dengan ibu kota Urumqi (bahasa Uighur). Urumqi adalah kota terbesar di bagian barat Tiongkok, dan terdaftar dalam Guinness Book of Records sebagai kota terjauh dari laut, sekitar 2.648 km dari garis pantai. Jumlah penduduk Urumqi sekitar 1,6 juta jiwa. Para petani etnis Turki kebanyakan tinggal di wilayah selatan dan timur, yang kemudian dikenal bangsa Uighur, Uighuristan, atau mereka lebih suka dipanggil bangsa Turkistan Timur.
Turkistan Timur adalah negara Islam yang besar wilayah dan populasinya, dibebaskan Bani Umayah oleh komandan Qutaibah bin Muslim Al-Bahiliy. Sejak saat itu menjadi negeri Islam yang dipenuhi ilmu pengetahuan dan keimanan hingga dijajah oleh komunis Cina tahun 1949. Secara geografis, Turkistan terletak di jantung Asia dan dikenal dalam literatur Islam sebagai negara di balik sungai (mâ warâ`an nahri) dinisbatkan pada sungai Sihun dan Jihun. Setelah Islam masuk wilayah ini, beberapa tempat dibangun oleh beberapa negara Islam, diantaranya Al-Qarakhoniyah, As-Sa’idiyah, Al-Ghaznawiyah, dan Al-Khawarizmiyah. Muncul juga para tokoh besar Ahmad Yuknakiy, ilmuwan matematika dan fisika Al-Biruni, penemu ilmu geografi dan peta yaitu penulis buku “Diwan Al-lughah At-Turk” Mahmud Al-Kashghariy, Al-Farabi dan Yusuf Al-Hajib. Dalam Fiqih, Al-Murginani serta dalam ilmu balaghah, Yusuf As-Sakaki dan lainnya.
Dalam sejarah China kuno, daerah itu dikenal sebagai “Xiyu” atau “Kawasan Barat”, nama lazim dalam catatan China selepas Dinasti Han (dinasti kelima, 206-220 SM.) mengambil alih wilayah tersebut. Dinasti/etnis Han ini juga merupakan etnis terbesar dan mayoritas di China saat ini. Untuk Uighur, wilayah ini disebut Sharqi Turkistan (Tanah Timur Turki). Pada abad ke-13, penjelajah Marcopolo menyebut daerah ini disebut bagian Turkistan. Setelah Dinasti Qing merebut daerah ini, daerah itu dinamai Xinjiang, untuk merujuk kepada seluruh daerah bekas kerajaan China yang sebelumnya hilang. Xinjiang, dengan demikian, adalah sebutan daerah pada zaman dahulu; Kawasan Barat, China Turkistan, Turkistan Timur, Uyghuristan, Kashgaria, Uyghuria, Alti Shahr, dan Shahr Yetti.
Alasan perbedaan etnis dan diskriminasi, bangsa Uighur selalu berusaha memisahkan diri dari kekuasaan China komunis sejak tahun 1884 M. Dalam catatan sejarah, perlakuan paling baik bagi penyelesaian multi-etnis di Xinjiang terjadi pada era Dinasti Qing yang membagi wilayah Xinjiang menjadi dua; pemeluk Budha Mongol tinggal di sebelah utara gunung Tianshan dan Turki Muslim di sebelah selatan dengan otonomi daerah masing-masing sesuai agama dan keyakinan mereka di bawah kekuasaan penuh Xinjiang. 
Kini tatanan dunia baru tengah dimulai. Hanya, jika isunya separatisme maka represifitas militer akan semakin memperluas gerak jihad dan spirit separatisme kian meluas dan masif terutama dalam melawan diskriminasi dan ketidakadilan. Bungkamnya para pemimpin dunia dikarenakan kerjasama ekonomi dan perdagangan yang dijalankan China komunis dengan berbagai negara perbatasan di wilayah Asia, Eropa, dan Amerika. Kepedulian barat pun ternyata disinyalir tidak murni kemanusiaan, dikarenakan wilayah Xinjiang memang dikenal banyak tersimpan sumber daya alam yang berlimpah di tanah Muslim tersebut.




Bencana di balik Bencana; Jangan sampai tidak mengambil Pelajaran dari Fenomena Bencana Alam



Manusia, Alam dan Tuhan memiliki korelasi yang kuat. Setidaknya itu yang Al-Quran jelaskan kepada kita. Banyak ayat Al-Quran menjelaskan korelasi timbal balik antara perbuatan manusia dengan balasan alam yang telah Allah ciptakan. Itulah sunnatullahnya, itulah ketetapan Allah-nya.
Ketika manusia mengimani Allah, satu-satunya Rabb yang telah menciptakan alam raya dan dengannya manusia bisa memanfaatkan sumber daya alam tersebut untuk pemenuhan kebutuhan hidup. Maka keimanan dan ketaqwaan pasti merefleksikan akhlak-akhlak (attitude) yang baik, termasuk berakhlak terhadap lingkungan alam. Keimanan dan Ketaqwaan suatu masyarakat atau penduduk, mendatangkan akibat baik berupa berkah yang bukan datang hanya dari bumi, bahkan Allah turunkan juga berkah dari langit. Sehingga kehidupan mereka penuh berkah, kedamaian dan kenikmatan yang harus disyukuri.
Namun sebaliknya, masyarakat atau penduduk memilih untuk menolak ayat-ayat Allah, lebih mengagungkan akal logika mereka. Memandang ayat Al-Quran sudah tak relevan, sombong dan merendahkan kebenaran Al-Quran ini. Hingga akhirnya perbuatan mereka merefleksikan apa yang mereka yakini. Tak ada aturan Allah yang dipakai, tak ada batasan, melakukan apapun demi syahwat duniawinya termasuk jika mesti merusak tatanan lingkungan alam ini. Hancurnya tatanan sosial akibat degradasi moral dan perbuatan mirip binatang. Hancur pula tatanan ekonomi dan lingkungan hidup. Terjadi berbagai kedzaliman di tengah-tengah masyarakat, dan mereka melupakan kebesaran Allah.
Pola diatas akan terus bergulir, dari masa ke masa. Inilah pelajaran berharga yang mesti kita ambil dan implementasikan dalam kehidupan kita. Sebab kita juga akan terdampak bencana, jika tak melakukan amar maruf nahyi mungkar. Kita juga akan turut terbawa-bawa dalam malapetaka azab manakala kita abai menyampaikan ini kepada mereka yang berbuat dzalim.
Janji Allah adalah kepastian. Sebagaimana yang Allah sampaikan dalam QS. Al A’raf: 96
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالأرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ (٩٦)
96. Jikalau Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, Maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.

Ketika Azab Bencana Mengintai Kapan Saja
Jika ada anggapan bahwa mereka akan tetap aman karena jauh dari adanya potensi bencana di sekitar mereka, maka Al-Quran telah menjelaskan pola azab yang akan mereka tanggung akibat perbuatannya itu. Perhatikanlah apa yang Allah sampaikan dalam lanjutan ayat quran Surah Al-A’raf di ayat 97-99;    
أَفَأَمِنَ أَهْلُ الْقُرَى أَنْ يَأْتِيَهُمْ بَأْسُنَا بَيَاتًا وَهُمْ نَائِمُونَ (٩٧)
97. Maka Apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di malam hari di waktu mereka sedang tidur?
أَوَأَمِنَ أَهْلُ الْقُرَى أَنْ يَأْتِيَهُمْ بَأْسُنَا ضُحًى وَهُمْ يَلْعَبُونَ (٩٨)
98. atau Apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di waktu matahari sepenggalahan naik ketika mereka sedang bermain?
أَفَأَمِنُوا مَكْرَ اللَّهِ فَلا يَأْمَنُ مَكْرَ اللَّهِ إِلا الْقَوْمُ الْخَاسِرُونَ (٩٩)
99. Maka Apakah mereka merasa aman dari azab Allah (yang tidak terduga-duga)? tiada yang merasa aman dan azab Allah kecuali orang-orang yang merugi.
Bagi mereka yang mengimani ayat-ayat Al-Quran ini, tentu ini menjadi sebuah pecutan dan pelajaran sangat berharga. Tak akan pernah aman selamanya, ketika Allah sudah menetapkan sebuah kaum, masyarakat atau penduduk akan diberi azab oleh Allah disebabkan kedurhakaan mereka terhadap ayat-ayat Allah ini.
Bila tiba masanya, azab bencana itu ditimpakan, maka sungguh kerugian abadi yang akan terus mereka rasakan, yaitu mati dalam keadaan Allah murka terhadapnya. Mati dalam kondisi maksiat, mati dalam kondisi tak mengimani ayat-ayat Al-Quran.
Dan sungguh menjadi bencana juga bagi kita. Manakala, bencana terjadi di sebuah tempat, lalu kita menggap aman aman saja, tak mengambil pelajaran agar diri kita mentaubati dosa-dosa dan memperbaiki perbuatan. Kita merasa cuek-cuek saja akan hal tersebut, maka inilah bencana yang terjadi pada hati kita. Sangat membahayakan, sekali lagi mestinya kita mengambil pelajaran karena sejatinya kita adalah makhluk yang mampu berpikir.

Ketika Semuanya Dihabisi Azab
Muncul sebuah pertanyaan, bagaimana dengan orang-orang shaleh yang ada di tengah tengah masyarakat yang dzalim dan kufur terhadap ayat-ayat Allah? Orang-orang itu ikut juga merasakan azab yang ditimpakan. Bedanya, bagi mereka yang beriman dan bertaqwa kepada Allah, maka kematiannya itu menjadi penggugur dosa dan kebaikan untuknya di akhirat. Nabi Muhammad SAW menjelaskannya dalam sebuah hadits;
عَنْ عَائِشَة رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَغْزُو جَيْشٌ الْكَعْبَةَ فَإِذَا كَانُوا بِبَيْدَاءَ مِنْ الْأَرْضِ يُخْسَفُ بِأَوَّلِهِمْ وَآخِرِهِمْ قَالَتْ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَيْفَ يُخْسَفُ بِأَوَّلِهِمْ وَآخِرِهِمْ وَفِيهِمْ أَسْوَاقُهُمْ وَمَنْ لَيْسَ مِنْهُمْ قَالَ يُخْسَفُ بِأَوَّلِهِمْ وَآخِرِهِمْ ثُمَّ يُبْعَثُونَ عَلَى نِيَّاتِهِمْ
dari 'Aisyah radliallahu 'anha berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Akan ada sepasukan tentara yang akan menyerang Ka'bah. Ketika mereka sampai di Baida' di suatu bumi, mereka ditenggelamkan seluruhnya mulai orang yang pertama hingga yang terakhir". 'Aisyah radliallahu 'anha berkata; Aku bertanya: "Wahai Rasulullah, bagaimana mereka ditenggelamkan seluruhnya mulai orang yang pertama hingga yang terakhir sedangkan didalamnya ada pasukan perang mereka dan yang bukan dari golongan mereka (yang tidak punya maksud sama)?" Beliau menjawab: "Mereka akan ditenggelamkan seluruhnya mulai orang yang pertama hingga yang terakhir kemudian mereka akan dibangkitkan pada hari qiyamat sesuai dengan niat mereka masing-masing". HR. Bukhori no. 1975
عَنْ الزُّهْرِيِّ أَخْبَرَنِي حَمْزَةُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّهُ سَمِعَ ابْنَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَنْزَلَ اللَّهُ بِقَوْمٍ عَذَابًا أَصَابَ الْعَذَابُ مَنْ كَانَ فِيهِمْ ثُمَّ بُعِثُوا عَلَى أَعْمَالِهِمْ
dari Az Zuhri telah mengabarkan kepada kami Hamzah bin Abdullah bin Umar, ia mendengar Ibnu Umar radliallahu 'anhuma mengatakan, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Jika Allah menurunkan adzab, maka adzab itu akan mengenai siapa saja yang berada ditengah-tengah mereka, lantas mereka dihisab sesuai amalan mereka." HR. Bukhori no. 6575
عَنْ يَحْيَى بْنِ يَعْمَرَ أَنَّ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَخْبَرَتْهُ أَنَّهَا سَأَلَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الطَّاعُونِ فَقَالَ كَانَ عَذَابًا يَبْعَثُهُ اللَّهُ عَلَى مَنْ يَشَاءُ فَجَعَلَهُ اللَّهُ رَحْمَةً لِلْمُؤْمِنِينَ مَا مِنْ عَبْدٍ يَكُونُ فِي بَلَدٍ يَكُونُ فِيهِ وَيَمْكُثُ فِيهِ لَا يَخْرُجُ مِنْ الْبَلَدِ صَابِرًا مُحْتَسِبًا يَعْلَمُ أَنَّهُ لَا يُصِيبُهُ إِلَّا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَهُ إِلَّا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ شَهِيدٍ
dari Yahya bin Ya'mar bahwasanya Aisyah radliallahu 'anhuma mengabarkan kepadanya, ia pernah bertanya Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam tentang thaun (penyakit pes, lepra), Nabi bersabda: "Itu adalah siksa yang Allah kirimkan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya, dan Allah menjadikannya sebagai rahmat bagi orang-orang beriman. Dan tidaklah seorang hamba di suatu negeri yang terkena penyakit tha'un dan ia tinggal disana, ia tidak mengungsi dari negeri itu dengan sabar dan mengharap pahala disisi Allah, ia sadar bahwa tak akan menimpanya selain yang telah digariskan-Nya baginya, selain baginya pahala seperti pahala syahid." HR. Bukhori no: 6129
Demikianlah apa yang Allah dan Rasul-Nya jelaskan. Semoga kita terhindar dari hati yang lalai, dimana ada sebuah fenomena bencana kita tak sampai mengambil pelajaran berharga dari kemahabesaran Allah tersebut. Ambil pelajaran, taubati dosa-dosa, perbaiki perbuatan kita dan jaga baik-baik niat kita.

KRITIK ULAMA MU'TABAR TERHADAP TEOLOGI AHLUL KITAAB (Ibnu Qayyim al-Jauziyyah tentang Agama-agama)


Oleh: H.T. Romly Qomaruddien, MA.

Muhammad bin Abi Bakr bin Ayyub bin Sa'ad bin Hariz al-Zar'iy ad-Dimasqi Abi Abdillah Syamduddin lebih dikenal dengan nama Ibnu Qayyim al-Jauziyyah putra seorang 'alim yang menjadi dewan kurator (al-Qayyim) Madrasah Damsyiq di Jauziyyah. Karena itu ia lebih dikenal dengan sebutan Ibnu Qayyim al-Jauziyyah. Beliau lahir di desa Zar'i (propinsi Huran) tanggal 7 Shafar 691 H./ 1292 M. dan wafat pada malam Kamis, 23 Rajab 751 H./1350 M.

Kepiawaiannya dalam hal ilmu tidak diragukan lagi. Menurut Syaikh Bakar bin Abdillah Abu Zaid dalam karyanya Ibnu Qayyim al-Jauziyyah; Hayaatuhu, Atsaaruhu, Mawaariduhu, lbnu Qayyim telah menulis buku sebanyak 96 buku. Di antaranya adalah Kitab Hidaayatul Hayaraa fie Ajwibatul Yahuud wan Nashaara (Terjemahannya: "Petunjuk bagi Orang bingung dalam Menjawab Kekeliruan Orang-orang Yahudi dan Nashrani") yang mengkritik kaum Yahudi, Nashrani, bahkan Majusi dan Atheis.

Kitab ini merupakan salah satu kitab yang direkomendasikan oleh Fadhilatus Syaikh Abdullah bin 'Abdurrahman al-Jibrin (anggota Majelis Fatwa Saudi Arabia) untuk studi ahlul kitaab di samping kitab Ibnu Taimiyyah, Al-Jawaabus shahieh Liman Baddala Dienal Masieh (Terjemahannya: "Jawaban yang Benar bagi Orang yang Menggantikan agama Al-Masih"). Hal ini menunjukkan bahwa kitab karya Ibnu Qayyim ini merupakan kitab primer dalam studi ahlul kitaab (yaitu Yahudi-Nashrani).

Mengawali tulisan kitabnya ini, Ibnu Qayyim mengutip ayat-ayat al-Qur'an yang mengisyaratkan keunggulan Al-Islam dibanding agama-agama lain, yaitu: "Maka apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, padahal ke pada-Nyalah menyerahkan diri segala apa yang di langit dan di bumi dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada Allahlah mereka dikembalikan." (QS. Ali Imraan/3: 83). "Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) dari padanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi." (Q.S. Ali Imran/ 3: 85).

Berdasarkan dua ayat tersebut, Ibnu Qayyim kemudian menyatakan dengan tegas: "Tidak ada agama mana pun, baik dahulu atau sekarang yang diterima di sisi Allah 'azza wa jalla melainkan Islam." Dalam pandangan Ibnu Qayyim, Yahudi, Nashrani, Majusi dan Atheis adalah orang-orang yang terjebak dalam kekeliruan berpikir (adnaa 'aqlin).

Ibnu Qayyim mengkritik mereka dengan menyatakan:
"Bagaimana orang yang memiliki akal yang kerdil dapat membedakan antara agama yang asas bangunannya berdasarkan pengabdian kepada yang Maha Penyayang, perbuatan yang ikhlas dengan mengharap cinta dan ridhaNya (baik secara sembunyi atau terang-terangan) dan mengajarkan interaksi sosial yang adil dan baik, dibandingkan dengan agama yang dibangun di tepi jurang neraka; agama yang dibangun untuk penyembahan kepada api; agama yang mencampurkan keyakinan kepada Al-Rahman dengan kepada syaithan; antara setan dengan berhala (autsaan); agama yang dibangun untuk pengabdian tiang salib serta gambar yang dipoles oleh para uskup dan biarawan/biarawati untuk agama yang mengajarkan untuk beribadah kepada tuhan yang dipahat, mengajarkan tunduk dan sujud kepada pendeta, atau agama kaum yang dibenci, di mana mereka keluar dan lepas dari keridhaan Allah seperti halnya anak panah lepas dari busurnya. Mereka menjauh dari hukum Taurat, bahkan mencampakkannya ke belakang. Mereka menjual ayat-ayat dengan nilai yang sedikit. Demikian pula dengan  kelompok yang meyakini bahwa Rabb al-'Aalamin hanya wujud mutlak dalam fikiran; tidak ada dalam kenyataan. Mereka meyakini bahwa kitab petunjuk tidak diturunkan kepada manusia; tidak pula diutus para Rasul; tidak ada syari'at yang perlu ditaati dan Rasul yang dipatuhi; tidak ada kehidupan setelah kehidupan dunia; alam ini tidak ada permulaan dan tidak berkesudahan, tidak ada alam kebangkitan dan alam pengumpulan, bahkan tidak ada surga dan tidak ada neraka."

Golongan yang dikritik terakhir di atas, disebut oleh Ibnu Qayyim sebagai mulhiduun (yakni, orang-orang yang mengingkari Tuhan). Sehubungan dengan kebiasaan mereka yang selalu menyandarkan segala persoalan, bahkan menyalahkan kepada waktu atau masa (ad-dahr), maka menurut Ibnu Qayyim mereka juga layak disebut sebagai kaum Dahriyyuun, sesuai dengan firman Allah dalam QS. Al-Jaatsiyah/ 45: 24.

Secara umum, dalam pandangan Ibnu Qayyim, agama itu ada tiga golongan, yaitu:
1) Islam yang telah sempurna dengan diutusnya Nabi Muhammad shalallaahu 'alaihi wa sallam
2) Ahlul Kitaab, yakni Yahudi dan Nashrani, dan
3) Zindieq, yaitu kaum yang tidak memiliki kitab, di antaranya Majusi, Shabi'ah, dan Mulhid dari kalangan penganut filsafat.

Ibnu Qayyim menjelaskan lebih lanjut, "Yahudi adalah ummat yang mendapat murka Allah, tukang dusta, tukang fitnah, pengkhianat, pembuat makar dan tipu daya, suka membunuh para Nabi, suka makan harta yang haram yakni riba dan suap ... Ucapan salam mereka adalah laknat, apabila berjumpa dengan orang lain mereka menganggap sial. Simbol mereka adalah kemarahan dan semboyan mereka adalah kemurkaan."

Tentang agama Nashrani, Ibnu Qayyim berpendapat, bahwa mereka kaum yang sesat, karena mereka menganut faham trinitas (mutsallatsah). Apalagi, mereka juga membolehkan khamar, memakan babi, tidak berkhitan, beribadah dengan benda-benda najis, menghalalkan segala sesuatu mulai nyamuk sampai gajah. Yang halal adalah apa-apa yang dihalalkan oleh pendeta, yang haram apa saja yang diharamkan oleh pendeta dan ritual agama adalah apa-apa yang disyari'atkan oleh pendeta. Pendetalah yang memberi ampunan atas dosa-dosa mereka dan pendeta pula yang dapat menjauhkan mereka dari siksa neraka.

Sementara kaum Zindieq, menurut Ibnu Qayyim, adalah kaum yang tidak memiliki kitab dan mereka pelaku syirik. Mereka mendustakan para Rasul, menghapus syariat, mengingkari adanya hari kebangkitan, tidak menganut satu agama pun, tidak menyembah Allah dan tidak pula mengesakanNya. Bahkan sebagian kaum penganut agama syirik membolehkan setubuh dengan ibu mereka sendiri, dengan anak gadis dan saudara perempuan serta bibi-bibi mereka.

Namun demikian, kritik-kritik tajam para ulama terhadap kepercayaan kaum Yahudi dan Nashrani tidaklah menghalangi para ulama itu untuk membangun tradisi keilmuan dan sikap toleran terhadap agama-agama lain. Sejarah telah membuktikan hal itu. Rabbanaa tsabbit quluubanaa 'alaa dienika
_____

Penulis adalah: Anggota Dewan Hisbah PP. Persatuan Islam (Komisi 'Aqiedah), Anggota Fatwa MIUMI Pusat (Perwakilan Jawa Barat), Wakil Sekretaris KDK MUI Pusat, Ketua Bidang Ghazwul Fikri & Harakah Haddaamah Pusat Kajian Dewan Da'wah dan Ketua Prodi KPI STAIPI-UBA Jakarta