17 Januari 2019

NESTAPA MUSLIM UIGHUR


Oleh: Yusuf Burhanudin


Dalam beberapa bulan terakhir, sejumlah laporan menyebutkan, semakin banyak orang Uighur dan minoritas Muslim lain ditahan di Xinjiang. Penindasan terhadap warga Muslim Uighur, yang berjumlah sekitar 11 juta dari 24 juta penduduk Xinjiang, meningkat sejak Xi Jinping menjadi pemimpin partai Komunis tahun 2012 dan presiden pada tahun 2013. Xi mengklaim tindakan itu diperlukan untuk mengalahkan terorisme Islam dan “virus ideologis” separatisme, meskipun ada bukti anekdotal bahwa tindakan ini memberi efek sebaliknya. Sebuah gerakan nasionalisme palsu yang mengabaikan hak-hak kemanusiaan dan kebangsaan sekaligus.
Pihak berwenang di Cina melakukan sebuah kampanye berskala besar dan sistematis terhadap komunitas Muslim minoritas di negara itu. Pemerintah Beijing mengirim satu juta warga Uighur ke kamp-kamp konsentrasi. Warga Muslim yang taat beribadah dan melakukan perintah agama di wilayah barat laut Xinjiang, seperti: sholat, puasa, tidak makan babi dan minum alkohol, memelihara jenggot, atau berpakaian secara Islami, ditahan oleh pihak aparat dan diperlakukan seolah mereka adalah para penderita kelainan jiwa.
Muslim Uighur dipaksa kerja tanpa upah (Hashar), anak-anak dipaksa bekerja, posting konten Islam di media sosial langsung ditangkap, petani Muslim diwajibkan menjual hasil di bawah harga pasar, lahan pertanian mereka diklaim sepihak oleh pemerintah, dilarang memakai nama-nama islami, dibatasi untuk mengajarkan Islam, tidak ada perayaan Ramadhan setiap tahunnya, dilarang menumbuhkan jenggot, tak ada aturan jelas tentang hak-hak Muslim Uighur, dilarang menggelar acara pernikahan, muslim dipaksa menjual alkohol, kebijakan satu anak, wanita hamil dipaksa untuk aborsi, dan Muslim Uighur pun dilarang pergi dari China (Kiblat, 28/12/18).
Warga Uighur diperlakukan sebagai “musuh negara” karena identitas agama mereka. Tahanan Muslim Uighur ditangkap dan ditahan tanpa proses pengadilan. Mereka dipaksa mengatakan bahwa Allah tidak ada dan Islam agama takhayul. Setiap hari pemerintah menerapkan kebijakan baru yang bertujuan menghapus identitas keislaman, budaya Uighur diganti dengan Chinaisasi.

Siapakah Muslim Uighur?
Uyghur, Uighur, atau Uygur adalah etnik Turki yang tinggal di Asia Timur dan Asia Tengah. Hari ini, etnik mereka terkonsentrasi dan tinggal di daerah otonomi Xinjiang, Republik Rakyat China (RRC). Mereka termasuk salah satu dari 55 etnis minoritas yang kini hidup di China. Agama mereka Islam, dan sebagaimana kebanyakan orang Eurasia tengah (Kaukasus), ras mereka lebih dekat kepada dua ras, baik Eropa maupun Asia Timur.
Di China sendiri tercata ada 56 etnis, di mana etnis Han adalah mayoritas dengan komposisi 90 persen lebih dari seluruh rakyat China, sementara 55 etnis lain adalah minoritas. Dari 55 etnis minoritas, sedikitnya 10 etnis mayoritas beragama Islam Sunni. Mulai yang paling besar; Uighur (14 juta jiwa), Hui (10 juta jiwa), disusul Bonan (Mongol), Tatar (Rusia), Salar (Turki), Uzbek, Kyrghiz, Dongxiang/Gengis Khan, Tajik (Persia), dan Kazakh.
Muslim Uighur tercatat etnis minoritas Muslim terbesar di China dan minoritas paling terkenal saat ini dikarenakan pemerintah China sering menuding etnis Uighur sebagai dalang berbagai aksi teror di Xinjiang. Sementara etnis Hui Muslim, satu suku dari lima suku terbesar di China, tercatat etnis Muslim terbesar kedua setelah Uighur. Agama suku ini Islam Sunni dan tersebar di seluruh provinsi di Tiongkok, namun terkonsentrasi di Ningxia, Hainan, Gansu, Yunnan, dan Qinghai. Ningxia sendiri adalah daerah otonomi bagi suku Muslim Hui.

Suku Hui banyak menghasilkan tokoh-tokoh terkenal seperti Laksamana Cheng Ho alias Zheng He atau Haji Mahmud Syams (1371-1433 M.). Cheng Ho adalah seorang pelaut, penjelajah, dan diplomat ulung Tiongkok. Cheng Ho pertama kali datang di Indonesia jauh sebelum Wali Songo. Saat penyebaran Islam di Indonesia masih sangat kecil dan tertutup, sejak Cheng Ho datang berubah 180 derajat. Ada juga Bao Chongxi, Jenderal China Muslim yang terkenal pada perang dunia kedua melawan Jepang, pengaruh dan kecerdasannya setara Jenderal Yamamoto Jepang.
Uighur adalah minoritas Muslim yang sebagian besar berada di Xinjiang, China barat. Sekitar 45 persen penduduk tempat itu adalah Uighur. Sebuah potret sejarah dan identitas Muslim Uighur menyoroti mengapa China—negara komunis yang mengabadikan atheisme dan hak istimewa mayoritas penduduk etnis Han—berkomitmen melenyapkan orang-orang ini. Kaum minoritas Uighur dicap dengan stigma etnis dan agama; Islam dinilai sebagai bentuk penghinaan terhadap atheisme yang didukung negara, dan identitas Uighur sebagai penghalang supremasi etnis Han.
Diskriminasi terjadi karena selain etnis Uighur berbeda ras dari di China juga memiliki bahasa sendiri, altishahr (bahasa Persia; alti artinya enam, shahr artinya kota/dalam bahasa Arab, tsalitsah syahr) sebagai bahasa resmi Tarim Basin (sebelah selatan gunung Tianshan Xinjiang) pada abad 18-19 yang merupakan bahasa Turki. Filosofi bahasa mereka itu kemudian diangkat menjadi nama kota, Kashgaria. Semua bukti ini menunjukkan bahwa mereka adalah entitas bangsa namun penuh dengan rangkaian diskriminasi negara otoritas.

Xianjiang Atau Turkistan Timur?
Xinjiang secara resmi tercatat sebagai daerah otonomi di China, sama seperti Tibet di selatan. Muslim Uighur berasal dari Xinjiang—wilayah otonomi di barat laut China yang berbatasan dengan Mongolia di timur laut—dan segudang negara mayoritas Muslim di sebelah kirinya. Sejarah mencatat, Xinjiang berdiri pada abad ke-2 sebelum masehi. Banyak sekali kerajaan yang dulu menguasai daerah ini, termasuk dinasti Xiongnu, Han, Gokturks, Tang, Turki Uighur, dan kerajaan Mongol.
Muslim Uighur yang tinggal di Xinjiang, awalnya dibawah kekuasaan berbagai dinasti. Mulai dari dinasti Han China, Turki, dan Mongolia. Xinjiang sendiri dalam sejarahnya terbentuk oleh dua wilayah, sejarah, dan ras dengan sebutan wilayah berbeda. Sebelah utara gunung Tianshan disebut Dzungaria (Dzungar Basin), dan selatan maupun timur gunung Tianshan dinamakan Tarim Basin. Sebelum Dinasti Qing China (1759 M.) mencaplok kedua wilayah tersebut menjadi satu entitas politik dan dinamai propinsi Xinjiang tahun 1884. Qing adalah dinasti tradisional terakhir (dinasti ke-17, 1644-1912 M.) berkuasa kurang lebih 268 tahun di negeri tirai bambu.
Xinjiang artinya perbatasan baru dalam bahasa China, dengan ibu kota Urumqi (bahasa Uighur). Urumqi adalah kota terbesar di bagian barat Tiongkok, dan terdaftar dalam Guinness Book of Records sebagai kota terjauh dari laut, sekitar 2.648 km dari garis pantai. Jumlah penduduk Urumqi sekitar 1,6 juta jiwa. Para petani etnis Turki kebanyakan tinggal di wilayah selatan dan timur, yang kemudian dikenal bangsa Uighur, Uighuristan, atau mereka lebih suka dipanggil bangsa Turkistan Timur.
Turkistan Timur adalah negara Islam yang besar wilayah dan populasinya, dibebaskan Bani Umayah oleh komandan Qutaibah bin Muslim Al-Bahiliy. Sejak saat itu menjadi negeri Islam yang dipenuhi ilmu pengetahuan dan keimanan hingga dijajah oleh komunis Cina tahun 1949. Secara geografis, Turkistan terletak di jantung Asia dan dikenal dalam literatur Islam sebagai negara di balik sungai (mâ warâ`an nahri) dinisbatkan pada sungai Sihun dan Jihun. Setelah Islam masuk wilayah ini, beberapa tempat dibangun oleh beberapa negara Islam, diantaranya Al-Qarakhoniyah, As-Sa’idiyah, Al-Ghaznawiyah, dan Al-Khawarizmiyah. Muncul juga para tokoh besar Ahmad Yuknakiy, ilmuwan matematika dan fisika Al-Biruni, penemu ilmu geografi dan peta yaitu penulis buku “Diwan Al-lughah At-Turk” Mahmud Al-Kashghariy, Al-Farabi dan Yusuf Al-Hajib. Dalam Fiqih, Al-Murginani serta dalam ilmu balaghah, Yusuf As-Sakaki dan lainnya.
Dalam sejarah China kuno, daerah itu dikenal sebagai “Xiyu” atau “Kawasan Barat”, nama lazim dalam catatan China selepas Dinasti Han (dinasti kelima, 206-220 SM.) mengambil alih wilayah tersebut. Dinasti/etnis Han ini juga merupakan etnis terbesar dan mayoritas di China saat ini. Untuk Uighur, wilayah ini disebut Sharqi Turkistan (Tanah Timur Turki). Pada abad ke-13, penjelajah Marcopolo menyebut daerah ini disebut bagian Turkistan. Setelah Dinasti Qing merebut daerah ini, daerah itu dinamai Xinjiang, untuk merujuk kepada seluruh daerah bekas kerajaan China yang sebelumnya hilang. Xinjiang, dengan demikian, adalah sebutan daerah pada zaman dahulu; Kawasan Barat, China Turkistan, Turkistan Timur, Uyghuristan, Kashgaria, Uyghuria, Alti Shahr, dan Shahr Yetti.
Alasan perbedaan etnis dan diskriminasi, bangsa Uighur selalu berusaha memisahkan diri dari kekuasaan China komunis sejak tahun 1884 M. Dalam catatan sejarah, perlakuan paling baik bagi penyelesaian multi-etnis di Xinjiang terjadi pada era Dinasti Qing yang membagi wilayah Xinjiang menjadi dua; pemeluk Budha Mongol tinggal di sebelah utara gunung Tianshan dan Turki Muslim di sebelah selatan dengan otonomi daerah masing-masing sesuai agama dan keyakinan mereka di bawah kekuasaan penuh Xinjiang. 
Kini tatanan dunia baru tengah dimulai. Hanya, jika isunya separatisme maka represifitas militer akan semakin memperluas gerak jihad dan spirit separatisme kian meluas dan masif terutama dalam melawan diskriminasi dan ketidakadilan. Bungkamnya para pemimpin dunia dikarenakan kerjasama ekonomi dan perdagangan yang dijalankan China komunis dengan berbagai negara perbatasan di wilayah Asia, Eropa, dan Amerika. Kepedulian barat pun ternyata disinyalir tidak murni kemanusiaan, dikarenakan wilayah Xinjiang memang dikenal banyak tersimpan sumber daya alam yang berlimpah di tanah Muslim tersebut.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar