Oleh: H.T. Romly Qomaruddien, MA.
Selalu ada hikmah yang bisa dipetik, pelajaran yang bisa
kita dapatkan. Kini ke-Islaman di tanah air tengah diramaikan dengan fenomena
"Islam Nusantara". Artinya, kita menjadi paham bahwasanya perang
pemikiran terus bergulir dan perang istilah (ma'rakah musthalahah) tengah
dimainkan.
Pro dan Kontra
pun tidak bisa dielakkan ketika istilah ini seolah mendapatkan justifikasi dari para pemangku
kebijakan; salah satunya pemimpin negeri ini yang menyampaikan pidatonya dalam
Munas 'Alim Ulama NU di Masjid Istiqlal Jakarta tertanggal 14/06/2015. "Islam
kita adalah Islam nusantara, Islam yang penuh sopan santun, Islam yang penuh
tata krama, itulah Islam nusantara, Islam yang penuh toleransi". Demikian
petikan pidato Bapak presiden Joko Widodo. Hal ini sejalan dengan pidato
pembukaan Ketua Umum PBNU Said Aqil Sirodj (dalam waktu yang sama) yang
mengatakan "NU akan terus memperjuangkan dan mengawal model Islam Nusantara".
Dalam kesempatan yang berbeda, munculnya statemen Prof. Mahfud MD yang
mengatakan: "Tugas kita dalam berdakwah dan mensyiarkan Islam sebagai
Rahmatan lil Alamin adalah mengindonesiakan Islam dan bukan mengislamkan
Indonesia".
Hujan tanggapan
pun bercucur deras, bukan sekedar dari kalangan tokoh luar Nahdhiyin seperti
Dr. Habib Rizieq Shihab, MA., Prof. Baharum dan tokoh-tokoh lainnya melainkan dari kalangan kritis internal
sendiri; KH. Najih Maimun Zubair, KH. Lutfhi Bashori, KH. Muhammad Idrus
Romli, Kyai Ahmad Kholili Hasib dan tokoh kritis lainnya.
Sebenarnya, hembusan wacana dan gagasan Islam Nusantara serta istilah lain
yang semisal sudah menggema jauh sebelum Munas tersebut. Sebagai contoh,
munculnya buku Islam Pribumi; Mendialogkan Agama Membaca Realitas (Jakarta,
Erlangga: 2003) yang diberikan pengantar Dr. Moeslim Abdurrahman. Menurutnya,
buku tersebut "Mewakili arus baru pemikiran Islam, yang kini sering diberi
label tentang munculnya kembali Islam Liberal atau kelompok Islam Progresif".
Masih menurutnya, "Dialog Islam terbuka ini meliputi perbincangan yang peka dan menarik;
karena mereka umumnya membahas substansi tentang penolakan teokrasi dan
pelaksanaan syari'ah yang ekslusif, hak-hak orang non-muslim, kesetaraan
perempuan dalam Islam, kebebasan berfikir, dan soal modernitas. Adapun
keseluruhan dari semangat pemikiran mereka tidak lain karena kegelisahan
intelektualnya bagaimana mendefinisi konsep-konsep Islam yang kini telah
diwarisi agar ditemukan kerangka baru kehidupan Islam yang lebih aktual".
Para penulis yang terlibat dalam buku
tersebut adalah: Ahmad Baso,
Badriyah Fayumi, Khamami Zada, M. Imdadun Rahmat, Rumadi, Ulil Abshar
Abdalla dan Zuhairi Misrawi.
Istilah lainnya "Meng-Indonesiakan Islam",
sebagaimana ditulis oleh Dr. Mujiburrahman Mengindonesiakan Islam; Representasi
dan Ideologi (Yogyakarta, Pustaka Pelajar: 2008), diberikan pengantar oleh Prof. Dr. Karel A.
Steenbrink (Guru Besar Universitas Utrecht Belanda) yang menggiring kepada
semangat kebhinekaan Indonesia meniscayakan Islam lebur dan berinteraksi dengan
konteks keindonesiaan. Tentunya Islam Indonesia ini dikecualikan dari hal-hal
yang sifatnya ibadah mahdhah, tapi garapannya lebih pada hal-hal yang sifatnya
mu'amalah yang merupakan lapangan ijtihad dan kontekstual. Namun demikian,
penulis pun begitu sangat "mewaspadai" akan bahayanya fundamentalisme
yang menurutnya merupakan problem yang dihadapi selama ini dalam menggulirkan
Islam progresif, kritis dan toleran.
Setelah mewacanakan "Islam Pribumi" dan
"Mengindonesiakan Islam", kini seolah-olah istilah "Islam
Nusantara" menjadi pilihan yang layak dipopulerkan, sekalipun sangat rawan
perdebatan (debatable). Padahal apabila ditelisik, istilah "Islamisasi Nusantara",
"Nusantara Islami" atau "Islam di Nusantara" jauh lebih
menyejukkan dan menyejarah ketimbang
menjadikan kata "Nusantara" menjadi sifat dari Islam. Mensifatkan
"Nusantara" secara langsung terhadap Islam, sudah tentu dapat
melahirkan problem dan dilema Istilah yang membahayakan dan mengaburkan makna
Islam yang sesungguhnya.
Di antara para pengusung Islam Nusantara ini, ada yang
melakukan dengan penggiringan kemanusiaan dan sejarah dengan menggambarkan
Indonesia sebagai panggung interaksi lintas agama dan lintas kultur. Pandangan
ini, dipegang oleh Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif dengan Maarif Institute-nya
yang menyebutkan: "Sebagai penduduk mayoritas nusantara, semestinya tidak
lagi mempersoalkan hubungan Islam, keindonesiaan dan kemanusiaan. Ketiga konsep
itu haruslah senafas agar Islam yang berkembang di Indonesia adalah sebuah
Islam yang ramah dan terbuka". (Lihat Islam dalam Bingkai Keindonesiaan
dan Kemanusiaan; Sebuah Refleksi Sejarah, Bandung, Mizan: 2009).
Sedangkan Prof.
Dr. K.H. Said Aqil Sirodj menggiringnya kepada ranah Ahlus Sunnah wal Jama'ah
(ASWAJA) versinya yang dalam perspektifnya bahwa Aswaja dapat dikatakan sebagai
gerakan sosial yang bersenyawa dengan kemasyarakatan dan mampu membangun
keseimbangan antara Agama dan Budaya. Menurutnya, "Selama ini
banyak orang yang membuat tafsiran ajaran Islam secara tidak pas dan tidak
kontekstual dengan kondisi dan semangat zaman. Sementara manusia hidup dan
berkesadaran sesuai dengan kondisi dan pola pikir zamannya. Karena itulah
penafsiran Islam sesuai dengan semangat zaman sangat diperlukan agar Islam
tidak menjadi asing bagi pemeluknya sendiri, sebaliknya akan semakin relevan
dan semakin menjadi pegangan bagi masyarakat di tengah gelombang kehidupan
modern dewasa ini". (Lihat Islam Sumber Inspirasi Budaya Nusantara; Menuju
Masyarakat Mutamaddin, Jakarta, LTN NU: 2014).
Nampaknya, arus angin "Islam Nusantara"
mendapatkan momentumnya, ketika pandangan-pandangan yang menguatkan (terlepas
prosentase dukungan yang tidak sama) semakin dibuka krannya setelah di launching-kannya
buku Islam Nusantara; Dari Ushul Fiqh Hingga Paham Kebangsaan (Bandung, Mizan:
2015). Beberapa orang yang terlibat
dalam penulisan buku tersebut adalah: KH. A. Mustofa Bisri (Sambutan), Akhmad
Sahal (Prolog), Lukman Hakim Saifuddin (Epilog/Mentri Agama RI), dan para
penulis; KH. Abdurrahman Wahid, Abdul Moqsith Ghazali, KH. Afifuddin Muhadjir,
Amin Abdullah, Azis Anwar Fachrudin, Azyumardi Azra, Din Syamsuddin, Haidar
Bagir, KH. Husein Muhammad, M. Sulton Fatoni, KH. Masdar Farid Mas'udi, Mahsun
Fuad, Munawir Aziz, Nurcholish Madjid, KH. Sahal Mahfudh, KH. Said Aqil Sirodj,
Yahya C. Staquf dan Zainul Milal Bizawie.
Tulisan yang
memuat sebahagian tokoh-tokoh populer dua ormas besar di tanah air
(Muhammadiyah dan NU) menunjukkan adanya perkembangan baru bahwa
"ketercocokkan" cara pandang dan pola
beragama seolah-olah sudah terwakili oleh keduanya sekalipun kesimpulan
ini nampak dipaksakan dan menciderai sejarah. Hal ini bisa dilihat dari
cara pandang Syafii Maarif yang mengatakan: "Islam Nusantara yang arus
besarnya diwakili oleh NU dan Muhammadiyah dengan segala kekurangan di sana
sini telah memainkan peranan besar bagi gerakan Islam moderat, modern, terbuka,
inklusif, dan konstruktif, dengan senantiasa secara cermat dan cerdas
mempertimbangkan realitas sosio-historis Indonesia".
Semua ini
mengingatkan pada apresiasi dua tokoh; Syafii Maarif dalam Sidang Tanwir
Muhammadiyah di Malang (01/07/2005) yang memberikan ruang terbuka kepada
Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM). Demikian pula dengan Gus
Dur, yang "menyambut hangat" kemunculan aktivis-aktivis muda liberal
yang terhimpun dalam Jaringan Islam Liberal (JIL). (Lihat "Pledoi dari
Buya dan Kyai", Ragam Ekspresi Islam Nusantara, Jakarta, The Wahid
Institute: 2008)
Pandangan-pandangan tersebut selaras dan saling mendukung
dengan tokoh-tokoh lain yang sejalan seperti Michael Laffan (Profesor Sejarah
Universitas Princeton) yang menyebutkan dalam bukunya The Makings of Indonesian
Islam (diterjemahkan Sejarah Islam di
Nusantara, Yogyakarta, Bentang: 2015) sebagai berikut: "Hasil perkawinan budaya dan
intelektualitas inilah yang kemudian melahirkan Islam Nusantara". Buku
ini, mendapatkan sambutan dari Prof. Dr. Azyumardi Azra yang merekomendasikan
agar buku ini menjadi bacaan wajib bagi yang ingin meneguhkan Islam Nusantara
yang berkemajuan.
Sungguh istilah "Islam Nusantara" dengan segala
problematikanya telah berubah menjadi prahara cara pandang beragama yang
mengkhawatirkan. Sebagaimana sama-sama bisa dirasakan, akhir-akhir ini
bermunculan "produk-produk" baru yang disandarkan pada istilah yang
problematis ini; Mulai dari ngaji
langgam nusantara sampai senam Islam nusantara.
Demikian goresan pena ini dihaturkan sebagai rasa turut
bertanggung jawab seorang Muslim terhadap agamanya, semoga Allah 'azza wa jalla
meneguhkan iman dan amal taqwa kita, serta mengokohkan agama ini. *Rabbanaa
tsabbit quluubanaa 'alaa diinika*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar