17 Januari 2019

ISLAM NUSANTARA; Dilema Istilah dan Prahara Cara Pandang Beragama



Hasil gambar untuk islam nusantara
Oleh: H.T. Romly Qomaruddien, MA.

Selalu ada hikmah yang bisa dipetik, pelajaran yang bisa kita dapatkan. Kini ke-Islaman di tanah air tengah diramaikan dengan fenomena "Islam Nusantara". Artinya, kita menjadi paham bahwasanya perang pemikiran terus bergulir dan perang istilah (ma'rakah musthalahah) tengah dimainkan.
Pro dan Kontra pun tidak bisa dielakkan ketika istilah ini seolah  mendapatkan justifikasi dari para pemangku kebijakan; salah satunya pemimpin negeri ini yang menyampaikan pidatonya dalam Munas 'Alim Ulama NU di Masjid Istiqlal Jakarta tertanggal 14/06/2015. "Islam kita adalah Islam nusantara, Islam yang penuh sopan santun, Islam yang penuh tata krama, itulah Islam nusantara, Islam yang penuh toleransi". Demikian petikan pidato Bapak presiden Joko Widodo. Hal ini sejalan dengan pidato pembukaan Ketua Umum PBNU Said Aqil Sirodj (dalam waktu yang sama) yang mengatakan "NU akan terus memperjuangkan dan mengawal model Islam Nusantara". Dalam kesempatan yang berbeda, munculnya statemen Prof. Mahfud MD yang mengatakan: "Tugas kita dalam berdakwah dan mensyiarkan Islam sebagai Rahmatan lil Alamin adalah mengindonesiakan Islam dan bukan mengislamkan Indonesia".
Hujan tanggapan pun bercucur deras, bukan sekedar dari kalangan tokoh luar Nahdhiyin seperti Dr. Habib Rizieq Shihab, MA., Prof. Baharum dan tokoh-tokoh lainnya  melainkan dari kalangan kritis internal sendiri; KH. Najih Maimun Zubair, KH. Lutfhi Bashori, KH. Muhammad Idrus Romli, Kyai Ahmad Kholili Hasib dan tokoh kritis lainnya.
Sebenarnya, hembusan wacana dan  gagasan Islam Nusantara serta istilah lain yang semisal sudah menggema jauh sebelum Munas tersebut. Sebagai contoh, munculnya buku Islam Pribumi; Mendialogkan Agama Membaca Realitas (Jakarta, Erlangga: 2003) yang diberikan pengantar Dr. Moeslim Abdurrahman. Menurutnya, buku tersebut "Mewakili arus baru pemikiran Islam, yang kini sering diberi label tentang munculnya kembali Islam Liberal atau kelompok Islam Progresif". Masih menurutnya, "Dialog Islam terbuka ini  meliputi perbincangan yang peka dan menarik; karena mereka umumnya membahas substansi tentang penolakan teokrasi dan pelaksanaan syari'ah yang ekslusif, hak-hak orang non-muslim, kesetaraan perempuan dalam Islam, kebebasan berfikir, dan soal modernitas. Adapun keseluruhan dari semangat pemikiran mereka tidak lain karena kegelisahan intelektualnya bagaimana mendefinisi konsep-konsep Islam yang kini telah diwarisi agar ditemukan kerangka baru kehidupan Islam yang lebih aktual". Para penulis yang terlibat dalam buku  tersebut adalah: Ahmad Baso,  Badriyah Fayumi, Khamami Zada, M. Imdadun Rahmat, Rumadi, Ulil Abshar Abdalla dan Zuhairi Misrawi.
Istilah lainnya "Meng-Indonesiakan Islam", sebagaimana ditulis oleh Dr. Mujiburrahman Mengindonesiakan Islam; Representasi dan Ideologi (Yogyakarta, Pustaka Pelajar: 2008),  diberikan pengantar oleh Prof. Dr. Karel A. Steenbrink (Guru Besar Universitas Utrecht Belanda) yang menggiring kepada semangat kebhinekaan Indonesia meniscayakan Islam lebur dan berinteraksi dengan konteks keindonesiaan. Tentunya Islam Indonesia ini dikecualikan dari hal-hal yang sifatnya ibadah mahdhah, tapi garapannya lebih pada hal-hal yang sifatnya mu'amalah yang merupakan lapangan ijtihad dan kontekstual. Namun demikian, penulis pun begitu sangat "mewaspadai" akan bahayanya fundamentalisme yang menurutnya merupakan problem yang dihadapi selama ini dalam menggulirkan Islam progresif, kritis dan toleran.
Setelah mewacanakan "Islam Pribumi" dan "Mengindonesiakan Islam", kini seolah-olah istilah "Islam Nusantara" menjadi pilihan yang layak dipopulerkan, sekalipun sangat rawan perdebatan (debatable). Padahal apabila ditelisik, istilah  "Islamisasi Nusantara", "Nusantara Islami" atau "Islam di Nusantara" jauh lebih menyejukkan dan menyejarah  ketimbang menjadikan kata "Nusantara" menjadi sifat dari Islam. Mensifatkan "Nusantara" secara langsung terhadap Islam, sudah tentu dapat melahirkan problem dan dilema Istilah yang membahayakan dan mengaburkan makna Islam yang sesungguhnya.
Di antara para pengusung Islam Nusantara ini, ada yang melakukan dengan penggiringan kemanusiaan dan sejarah dengan menggambarkan Indonesia sebagai panggung interaksi lintas agama dan lintas kultur. Pandangan ini, dipegang oleh Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif dengan Maarif Institute-nya yang menyebutkan: "Sebagai penduduk mayoritas nusantara, semestinya tidak lagi mempersoalkan hubungan Islam, keindonesiaan dan kemanusiaan. Ketiga konsep itu haruslah senafas agar Islam yang berkembang di Indonesia adalah sebuah Islam yang ramah dan terbuka". (Lihat Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan; Sebuah Refleksi Sejarah, Bandung, Mizan: 2009).
Sedangkan Prof. Dr. K.H. Said Aqil Sirodj menggiringnya kepada ranah Ahlus Sunnah wal Jama'ah (ASWAJA) versinya yang dalam perspektifnya bahwa Aswaja dapat dikatakan sebagai gerakan sosial yang bersenyawa dengan kemasyarakatan dan mampu membangun keseimbangan antara Agama dan Budaya. Menurutnya, "Selama ini banyak orang yang membuat tafsiran ajaran Islam secara tidak pas dan tidak kontekstual dengan kondisi dan semangat zaman. Sementara manusia hidup dan berkesadaran sesuai dengan kondisi dan pola pikir zamannya. Karena itulah penafsiran Islam sesuai dengan semangat zaman sangat diperlukan agar Islam tidak menjadi asing bagi pemeluknya sendiri, sebaliknya akan semakin relevan dan semakin menjadi pegangan bagi masyarakat di tengah gelombang kehidupan modern dewasa ini". (Lihat Islam Sumber Inspirasi Budaya Nusantara; Menuju Masyarakat Mutamaddin, Jakarta, LTN NU: 2014).
Nampaknya, arus angin "Islam Nusantara" mendapatkan momentumnya, ketika pandangan-pandangan yang menguatkan (terlepas prosentase dukungan yang tidak sama) semakin dibuka krannya setelah di launching-kannya buku Islam Nusantara; Dari Ushul Fiqh Hingga Paham Kebangsaan (Bandung, Mizan: 2015). Beberapa orang  yang terlibat dalam penulisan buku tersebut adalah: KH. A. Mustofa Bisri (Sambutan), Akhmad Sahal (Prolog), Lukman Hakim Saifuddin (Epilog/Mentri Agama RI), dan para penulis; KH. Abdurrahman Wahid, Abdul Moqsith Ghazali, KH. Afifuddin Muhadjir, Amin Abdullah, Azis Anwar Fachrudin, Azyumardi Azra, Din Syamsuddin, Haidar Bagir, KH. Husein Muhammad, M. Sulton Fatoni, KH. Masdar Farid Mas'udi, Mahsun Fuad, Munawir Aziz, Nurcholish Madjid, KH. Sahal Mahfudh, KH. Said Aqil Sirodj, Yahya C. Staquf dan Zainul Milal Bizawie.
Tulisan yang memuat sebahagian tokoh-tokoh populer dua ormas besar di tanah air (Muhammadiyah dan NU) menunjukkan adanya perkembangan baru bahwa "ketercocokkan" cara pandang dan pola  beragama seolah-olah sudah terwakili oleh keduanya sekalipun kesimpulan ini nampak dipaksakan dan menciderai sejarah. Hal ini bisa dilihat dari cara pandang Syafii Maarif yang mengatakan: "Islam Nusantara yang arus besarnya diwakili oleh NU dan Muhammadiyah dengan segala kekurangan di sana sini telah memainkan peranan besar bagi gerakan Islam moderat, modern, terbuka, inklusif, dan konstruktif, dengan senantiasa secara cermat dan cerdas mempertimbangkan realitas sosio-historis Indonesia".
Semua ini mengingatkan pada apresiasi dua tokoh; Syafii Maarif dalam Sidang Tanwir Muhammadiyah di Malang (01/07/2005) yang memberikan ruang terbuka kepada Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM). Demikian pula dengan Gus Dur, yang "menyambut hangat" kemunculan aktivis-aktivis muda liberal yang terhimpun dalam Jaringan Islam Liberal (JIL). (Lihat "Pledoi dari Buya dan Kyai", Ragam Ekspresi Islam Nusantara, Jakarta, The Wahid Institute: 2008)
Pandangan-pandangan tersebut selaras dan saling mendukung dengan tokoh-tokoh lain yang sejalan seperti Michael Laffan (Profesor Sejarah Universitas Princeton) yang menyebutkan dalam bukunya The Makings of Indonesian Islam (diterjemahkan  Sejarah Islam di Nusantara, Yogyakarta, Bentang: 2015) sebagai berikut:  "Hasil perkawinan budaya dan intelektualitas inilah yang kemudian melahirkan Islam Nusantara". Buku ini, mendapatkan sambutan dari Prof. Dr. Azyumardi Azra yang merekomendasikan agar buku ini menjadi bacaan wajib bagi yang ingin meneguhkan Islam Nusantara yang berkemajuan.
Sungguh istilah "Islam Nusantara" dengan segala problematikanya telah berubah menjadi prahara cara pandang beragama yang mengkhawatirkan. Sebagaimana sama-sama bisa dirasakan, akhir-akhir ini bermunculan "produk-produk" baru yang disandarkan pada istilah yang problematis ini;  Mulai dari ngaji langgam nusantara sampai senam Islam nusantara.
Demikian goresan pena ini dihaturkan sebagai rasa turut bertanggung jawab seorang Muslim terhadap agamanya, semoga Allah 'azza wa jalla meneguhkan iman dan amal taqwa kita, serta mengokohkan agama ini. *Rabbanaa tsabbit quluubanaa 'alaa diinika*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar