Oleh: Tiar Anwar Bachtiar
Dahulu saat dilakukan Sidang Tahunan MPR( ST-MPR) tahun 2002,
partai-partai Islam berharap bahwa Piagam Jakarta yang berisi jaminan atas
ditegakkannya hak-hak syariat umat Islam oleh nagara diberlakukan kembali.
Namun akhirnya Sidang menyepakati untuk tidak mengamandemen pasal 29 ayat 1.
Itu artinya keinginan sebagian partai Islam agar pelaksanaan syari`at Islam
mendapat legitimasi hukum yang kuat belum berhasil. Hingga kini juga ada kesan
bahwa sama sekali syriat Islam belum tegak di bumi Indonesia ini. Namun apakah hanya
gara-gara syariat tidak masuk dalam perundang-undnagan negara, syari`at Islam sungguh-sungguh tidak
terlaksana di bumi Indonesia? Apakah pula segalanya telah berakhir dengan tidak
diakomodasinya syari`at Islam dalam konstitusi?
Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu bergantung dari sudut mana kita
memahami syari`at dan penerapannya. Bila kita memahami pemberlakuan syari`at
adalah kodifikasi seperangkat aturan fiqh
menjadi aturan perundang-undangan, tentu kita akan menganggap penerapan syari`at
di Indonesia menuai kegagalan setelah ST MPR kemarin. Kegagalan ini seolah-olah
semakin memperkuat dugaan bahwa di Indonesia tidak ada syari`at Islam.
Untuk memperjelas perspektif ini, sepertinya kita perlu melihat ke
belakang mengapa sampai muncul keharusan taqnin
asy-syari`ah. Pengundang-undangan syari`at (taqnin asy-syari`ah) sesungguhnya tidak pernah ada pada masa awal pemerintahan
Islam, baik pada masa Khulafaur-Rasyidin, Muawiyah, ataupun Abbasiyah. Selain
karena sistem pemerintahan berdasarkan hukum (law state) belum populer, saat itu syari`at telah bulit in ke dalam sistem kekhalifahan.
Salah satu indikasinya dilihat dari putusan-putusan hukum, baik yang menyangkut
masalah kenegaraan (public) ataupun
masalah pribadi (privat), selalu
didasarkan pada fatwa-fatwa fiqh.
Tidak pernah terdengar ada perdebatan apakah putusan hakim (qadhi) didasarkan pada undang-undang
negara atau tidak.
Ketika sistem pemerintahan modern pada abad ke-19 menguat, pengaruhnya
sampai ke Kekhalifahan Turki Utsmani. Tahun 1850-an khalifah membentuk satu lajnah untuk menyusun hukum-hukum
kenegaraan yang diambil dari kitab “mu`amalat” dalam fiqh Madzhab Hanafi.
Lajnah ini berhasil menyusun undang-undang sebanyak 1851 pasal pada tahun 1286
H (1860 M). Penyusunannya mirip dengan undang-undang negara modern. Berdasarkan
undang-undang ini pemerintahan dijalankan. Inilah kali pertama syari`ah dibuat
menjadi undang-undang (taqnin
asy-syari`ah). Belakangan di Universitas al-Azhar Mesir dibentuk lembaga Majma` al-Buhuts al-Islamiyah. Dalam
lembaga ini berkumpul para ahli fiqh dari
berbagai madzhab untuk merumuskan undang-undang yang diadopsi dari
ijtihad-ijtihad ahli-ahli fiqh untuk dijadikan acuan dalam penyelenggaraan
negara (lihat: Yusuf Qardlawi, al-Madkhal
li ad-Dirasah asy-Syari`ah Islamiyah)
Indonesia sejak awal menganut sistem kenegaraan modern. Negara harus diselenggarakan
berdasarkan hukum positif (konstitusi dan undang-undang). Oleh sebab itu, sejak
awal ada keinginan dari aktivis-aktivis Islam yang turut membidani lahirnya
Indonesia untuk menjamin secara hukum (positif) terlaksananya syari`at Islam.
Usaha ini berhasil dengan disepakatinya Piagam Jakarta 22 Juni 1945, sekalipun
kemudian “Tujuh Kata” dalam piagam itu dihapus oleh sidang PPKI tanggal 18
Agustus 1945. Adalah wajar, bila kemudian pada sidang konstituante tahun
1950-an dan ST-ST MPR 2000, 2001, dan 2002 lalu umat Islam kembali berusaha
memasukan kembali “Tujuh Kata” dalam Piagam Jakarta yang dihapuskan. Gagal
memasukkan kembali syari`at ke dalam konstitusi berarti gagal menjamin
pemberlakuan syari`at secara hukum (positif).
Akan tetapi seolah ada yang dilupakan. Syari`at sesungguhnya bukan
hukum-hukum positif. Dibuat undang-undang atau tidak syari`at tetap ada.
Keberadaannya selalu terjamin selama al-Quran dan al-Hadits tetap terjaga. Oleh
karena itu, penegakan syari`at tidak selamanya bergantung pada hukum positif,
sekalipun mungkin untuk beberapa hal hukum positif diperlukan.
Contohnya pelaksanaan zakat. Apakah sebelum ada undang-undang zakat,
syari`at zakat tidak ada dan tidak memiliki kekuatan untuk dilaksanakan oleh
umat Islam? Dan apakah setelah disahkannya undang-undang zakat, ada jaminan umat
mau membayar zakat? Saya kira jawaban untuk kedua-duanya adalah tidak. Sudah
sejak lama, barangkali sejak Islam datang ke negeri ini zakat telah dikenal
oleh umat Islam di Indonesia. Sejak saat itu pula, pasti sudah banyak umat
Islam yang membayar zakat dan mendistribusikannya sesuai dengan syari`at. Ini bukti
bahwa syari`at zakat sudah begitu mengakar sekalipun belum ada undang-undang
zakat. Setelah ada undang-undang pun, kerelaan umat membayar zakat bukan semata
karena zakat telah diundangkan. Kesadaran individu lebih berperan, sekalipun
secara fiqh negara boleh memaksa mengambil
zakat sekalipun tanpa ada kesadaran individu. Dalam konteks ini, undang-undang
hanya memberikan afirmasi atas praktek yang telah berjalan begitu lama.
Dalam perspektif ini, kita melihat bahwa syari`at ternyata bukan
sekedar dimensi hukum (positif). Syari`at sangat dekat dengan kehidupan
keseharian umat yang aspeknya begitu kompleks. Hukum (positif) hanya sebagian
kecil dari kompleksitas kehidupan umat. Oleh sebab itu, menegakkan syari`at
dalam konteks ini berarti bagaimana mengupayakan agar masyarakat dapat dengan
sadar mau melaksanakan syari`at yang telah digariskan Allah.
Dalam hal ini lebih banyak dibutuhkan perjuangan langsung ke tengah-tengah
masyarakat, bukan hanya perjuangan politik. Bila perjuangan politik hanya akan
menghasilkan seperangkat aturan dan kebijakan, maka perjuangan sosio-kultural
ke tengah-tengah masyarakat secara langsung diharapkan dapat membangkitkan
kesadaran umat terhadap syari`at Islam.
Dalam bahasa yang lebih populer, perjuangan ke arah ini dinamai dakwah. Dakwah akan sangat efektif bila
tidak hanya sekedar ajakan lisan (da`wah
bil-lisan), tapi juga diperlihatkan bukti nyata dalam perbuatan (da`wah bil hal). Masing-masing pada
akhirnya saling melengkapi menuju muara yang sama: penyadaran masyarakat.
Contoh yang paling mengesankan dapat kita lihat pada perkembangan
syari`at Islam di bidang keuangan. Perpaduan antara ajakan lisan (da`wah bil-lisan) yang dilakukan para
da`i di berbagai kesempatan, dengan usaha para ilmuwan dan praktisi keuangan
Islam memantapkan dasar-dasar keilmuan dan mendirikan lembaga keuangan Islam
sebagai bentuk da`wah bil-hal telah
memperlihatkan hasil yang luar biasa. Sistem keuangan Islam kini telah menjadi
bagian yang exelent dalam kehidupan
umat Islam di Indonesia, bahkan di dunia. Tingkat penerimaan dan kesadaran
masyarakat terhadap sistem moneter Islam sudah semakin tinggi, sekalipun
belenggu kapitalisme global masih menjadi faktor penghambat yang signifikan. Mengundang-undangkannya
dalam lembaran negara menjadi hukum positif tinggal menunggu waktu saja.
Dilihat dari sisi ini sesungguhnya syari`at Islam di Indonesia masih
penuh harapan. Asalkan konsistensi dalam dakwah tetap dipegang. Kyai-kyai,
ustadz-ustadz, aktivis-aktivis gerakan dakwah, yang beberapa waktu lalu sempat
banyak yang loncat ke dunia politik sampai umat ditinggalkan harus sudah mulai
menyadari bahwa wilayah mereka ada pada dakwah. Umat lebih penting daripada
politik yang elitis dan seringkali meninggalkan umat. Kita harus mulai kembali
mengambil langkah yang benar, yaitu dakwah untuk penyadaran masyarakat, agar
syari`at betul-betul tegak di bumi Indonesia. Wallahu a`lamu bish-shawwab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar