Oleh: H.T. Romly Qomaruddien, MA.
Muhammad bin
Abi Bakr bin Ayyub bin Sa'ad bin Hariz al-Zar'iy ad-Dimasqi Abi Abdillah
Syamduddin lebih dikenal dengan nama Ibnu Qayyim al-Jauziyyah putra seorang
'alim yang menjadi dewan kurator (al-Qayyim) Madrasah Damsyiq di Jauziyyah.
Karena itu ia lebih dikenal dengan sebutan Ibnu Qayyim al-Jauziyyah. Beliau
lahir di desa Zar'i (propinsi Huran) tanggal 7 Shafar 691 H./ 1292 M. dan wafat
pada malam Kamis, 23 Rajab 751 H./1350 M.
Kepiawaiannya
dalam hal ilmu tidak diragukan lagi. Menurut Syaikh Bakar bin Abdillah Abu Zaid
dalam karyanya Ibnu Qayyim al-Jauziyyah; Hayaatuhu, Atsaaruhu, Mawaariduhu,
lbnu Qayyim telah menulis buku sebanyak 96 buku. Di antaranya adalah Kitab
Hidaayatul Hayaraa fie Ajwibatul Yahuud wan Nashaara (Terjemahannya:
"Petunjuk bagi Orang bingung dalam Menjawab Kekeliruan Orang-orang Yahudi
dan Nashrani") yang mengkritik kaum Yahudi, Nashrani, bahkan Majusi dan
Atheis.
Kitab ini
merupakan salah satu kitab yang direkomendasikan oleh Fadhilatus Syaikh
Abdullah bin 'Abdurrahman al-Jibrin (anggota Majelis Fatwa Saudi Arabia) untuk
studi ahlul kitaab di samping kitab Ibnu Taimiyyah, Al-Jawaabus shahieh Liman
Baddala Dienal Masieh (Terjemahannya: "Jawaban yang Benar bagi Orang yang
Menggantikan agama Al-Masih"). Hal ini menunjukkan bahwa kitab karya Ibnu
Qayyim ini merupakan kitab primer dalam studi ahlul kitaab (yaitu
Yahudi-Nashrani).
Mengawali
tulisan kitabnya ini, Ibnu Qayyim mengutip ayat-ayat al-Qur'an yang
mengisyaratkan keunggulan Al-Islam dibanding agama-agama lain, yaitu:
"Maka apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, padahal ke
pada-Nyalah menyerahkan diri segala apa yang di langit dan di bumi dengan suka
maupun terpaksa dan hanya kepada Allahlah mereka dikembalikan." (QS. Ali
Imraan/3: 83). "Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka
sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) dari padanya, dan dia di akhirat
termasuk orang-orang yang rugi." (Q.S. Ali Imran/ 3: 85).
Berdasarkan
dua ayat tersebut, Ibnu Qayyim kemudian menyatakan dengan tegas: "Tidak
ada agama mana pun, baik dahulu atau sekarang yang diterima di sisi Allah 'azza
wa jalla melainkan Islam." Dalam pandangan Ibnu Qayyim, Yahudi, Nashrani,
Majusi dan Atheis adalah orang-orang yang terjebak dalam kekeliruan berpikir
(adnaa 'aqlin).
Ibnu Qayyim
mengkritik mereka dengan menyatakan:
"Bagaimana
orang yang memiliki akal yang kerdil dapat membedakan antara agama yang asas
bangunannya berdasarkan pengabdian kepada yang Maha Penyayang, perbuatan yang
ikhlas dengan mengharap cinta dan ridhaNya (baik secara sembunyi atau
terang-terangan) dan mengajarkan interaksi sosial yang adil dan baik,
dibandingkan dengan agama yang dibangun di tepi jurang neraka; agama yang
dibangun untuk penyembahan kepada api; agama yang mencampurkan keyakinan kepada
Al-Rahman dengan kepada syaithan; antara setan dengan berhala (autsaan); agama
yang dibangun untuk pengabdian tiang salib serta gambar yang dipoles oleh para
uskup dan biarawan/biarawati untuk agama yang mengajarkan untuk beribadah
kepada tuhan yang dipahat, mengajarkan tunduk dan sujud kepada pendeta, atau
agama kaum yang dibenci, di mana mereka keluar dan lepas dari keridhaan Allah seperti
halnya anak panah lepas dari busurnya. Mereka menjauh dari hukum Taurat, bahkan
mencampakkannya ke belakang. Mereka menjual ayat-ayat dengan nilai yang
sedikit. Demikian pula dengan kelompok
yang meyakini bahwa Rabb al-'Aalamin hanya wujud mutlak dalam fikiran; tidak
ada dalam kenyataan. Mereka meyakini bahwa kitab petunjuk tidak diturunkan
kepada manusia; tidak pula diutus para Rasul; tidak ada syari'at yang perlu
ditaati dan Rasul yang dipatuhi; tidak ada kehidupan setelah kehidupan dunia;
alam ini tidak ada permulaan dan tidak berkesudahan, tidak ada alam kebangkitan
dan alam pengumpulan, bahkan tidak ada surga dan tidak ada neraka."
Golongan
yang dikritik terakhir di atas, disebut oleh Ibnu Qayyim sebagai mulhiduun
(yakni, orang-orang yang mengingkari Tuhan). Sehubungan dengan kebiasaan mereka
yang selalu menyandarkan segala persoalan, bahkan menyalahkan kepada waktu atau
masa (ad-dahr), maka menurut Ibnu Qayyim mereka juga layak disebut sebagai kaum
Dahriyyuun, sesuai dengan firman Allah dalam QS. Al-Jaatsiyah/ 45: 24.
Secara umum,
dalam pandangan Ibnu Qayyim, agama itu ada tiga golongan, yaitu:
1) Islam
yang telah sempurna dengan diutusnya Nabi Muhammad shalallaahu 'alaihi wa
sallam
2) Ahlul
Kitaab, yakni Yahudi dan Nashrani, dan
3) Zindieq,
yaitu kaum yang tidak memiliki kitab, di antaranya Majusi, Shabi'ah, dan Mulhid
dari kalangan penganut filsafat.
Ibnu Qayyim
menjelaskan lebih lanjut, "Yahudi adalah ummat yang mendapat murka Allah,
tukang dusta, tukang fitnah, pengkhianat, pembuat makar dan tipu daya, suka
membunuh para Nabi, suka makan harta yang haram yakni riba dan suap ... Ucapan
salam mereka adalah laknat, apabila berjumpa dengan orang lain mereka
menganggap sial. Simbol mereka adalah kemarahan dan semboyan mereka adalah
kemurkaan."
Tentang
agama Nashrani, Ibnu Qayyim berpendapat, bahwa mereka kaum yang sesat, karena
mereka menganut faham trinitas (mutsallatsah). Apalagi, mereka juga membolehkan
khamar, memakan babi, tidak berkhitan, beribadah dengan benda-benda najis,
menghalalkan segala sesuatu mulai nyamuk sampai gajah. Yang halal adalah
apa-apa yang dihalalkan oleh pendeta, yang haram apa saja yang diharamkan oleh
pendeta dan ritual agama adalah apa-apa yang disyari'atkan oleh pendeta.
Pendetalah yang memberi ampunan atas dosa-dosa mereka dan pendeta pula yang
dapat menjauhkan mereka dari siksa neraka.
Sementara
kaum Zindieq, menurut Ibnu Qayyim, adalah kaum yang tidak memiliki kitab dan
mereka pelaku syirik. Mereka mendustakan para Rasul, menghapus syariat,
mengingkari adanya hari kebangkitan, tidak menganut satu agama pun, tidak
menyembah Allah dan tidak pula mengesakanNya. Bahkan sebagian kaum penganut
agama syirik membolehkan setubuh dengan ibu mereka sendiri, dengan anak gadis
dan saudara perempuan serta bibi-bibi mereka.
Namun
demikian, kritik-kritik tajam para ulama terhadap kepercayaan kaum Yahudi dan
Nashrani tidaklah menghalangi para ulama itu untuk membangun tradisi keilmuan
dan sikap toleran terhadap agama-agama lain. Sejarah telah membuktikan hal itu.
Rabbanaa tsabbit quluubanaa 'alaa dienika
_____
Penulis
adalah: Anggota Dewan Hisbah PP. Persatuan Islam (Komisi 'Aqiedah), Anggota
Fatwa MIUMI Pusat (Perwakilan Jawa Barat), Wakil Sekretaris KDK MUI Pusat,
Ketua Bidang Ghazwul Fikri & Harakah Haddaamah Pusat Kajian Dewan Da'wah
dan Ketua Prodi KPI STAIPI-UBA Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar