Oleh: Tiar Anwar Bachtiar
Masyumi
adalah kependekan dari Majelis Syuro Muslimin Indonesia. Kelahiran Masyumi
diawali dengan berdirinya Majelis Islam A’la Indoensia (MIAI) pada 21 September
1937. Organisasi ini merupakan federasi dari gerakan-gerakan Islam, baik yang
bersifat modernis maupun tradisionalis, antara lain: Muhammadiyah, Nahdhatul
Ulama (NU), Sarekat Islam, Persatuan Islam, Al-Irsyad, dan lainnya. Penggagas
organisasi ini adalah K.H. Mas Mansur (Muhammadiyah), K.H. Muhammad Dahlan dan
K.H. Wahab Hasbullah (NU), serta W. Wondoamiseno (Sarekat Islam). Saat
pembentukan selain hadir berbagai organisasi Islam, baik yang bersifat lokal
maupun nasional. Dalam musyarawah pertama disetujui penanggungjawab sekterariat
federasi ini adalah: W. Wondoamiseno (bekretaris), Mas Mansur (bendahara),
Dahlan dan Wahab (anggota). (Noer, 1996: 262).
Didirikannya
organisasi ini sebagai respon terhadap perselisihan furu’iyyah di kalangan umat
Islam saat itu yang berpotensi memecah belah umat Islam. Munculnya
Muhammadiyah, Al-Irsyad, dan Persatuan Islam (Persis) yang banyak mengritik
praktik-praktik peribadatan yang selama ini sering dijalankan oleh kalangan
pesantren (kaum tradisionalis). Di antara tema-tema yang paling banyak diperdebatkan
antara lain: perayaan Maulid Nabi Saw., perayaan Isra dan Mi’raj, upacara
kematian, talaffuzh bin-niyat, qunut subuh, talqin untuk mayit,
pembacaan Yasin untuk mayit, dan semisalnya. Kritik-kritik terhadap praktik
keagamaan kalangan tradisional ini telah sering menimbulkan ketegangan yang
tidak perlu. Oleh sebab itu, para pemimpin berbagai organisasi, terutama
Muhammadiyah, NU, dan SI berinisiatif mendirikan federasi ini untuk menghimpun
kekuatan umat Islam, terutama dalam rangka menghadapi kaum kolonial.
Dalam
platform organisasi ini disetujui bahwa federasi ini akan menjadi “tempat
permusyawaratan, suatu badan perwakilan yang terdiri dari wakil-wakil atau
utusan-utusan dari berbagai perhimpunan yang berdasarkan agama Islam di seluruh
Indonesia.” Tujuannya ialah “untuk membicarakan dan memutuskan soal-soal yang
dipandang penting bagi kemaslahatan ummat dan agama Islam, yang keputusannya
itu harus dipegang teguh dan dilakukan bersama-sama oleh segenap
perhimpunan-perhimpunan yang menjadi anggotanya...”. Penjelasan ini tercantum
dalam statuta organisasi ini yang disetujui dalam musyawarahnya pada tanggal
14-15 September 1940. Intinya organisasi ini didirikan mengingat perlunya
persatuan kaum Muslimin di tanah air dan dunia. Organisasi ini berperan untuk
mendamaikan manakala terjadi perselisihan di antara organisasi-organisasi Islam
yang ada di Indonesia ini. (Noer, 1996: 263).
Ada
sekitar 21 organisasi Islam yang bergabung dengan MIAI hingga tahun 1942,
antara lain: Sarekat Islam (SI), Muhammadiyah, Nahshatul Ulama (NU), Al-Islam
(Solo), Persyarikatan Ulama (Majalengka), Hidayatul Islamiyah (Banyuwangi),
Al-Khairiyah (Surabaya), Persatuan Islam (Persis), Al-Irsyad, Jong Islamitien
Bond, Al-Ittahadul-Islamiyah (Sukabumi), Partai Islam Indonesia (PII), Partai
Arab Indonesia (PAI), Persatuan Ulama Seluruh Aceh (Sigli), Musyawarat
At-Thalibin (Kandangan, Kalimantan), Al-Jami’atul Washliyah (Medan), Nurul
Islam (Tanjung Pandan Babel), Majelis Ulama Indonesia (Toli-Toli), Persatuan
Muslimin Minahassa, Al-Khairiyah (Surabaya), Persatuan Putera Bornes
(Surabaya), Persatuan India Putera Indonesia, dan Persatuan Pelajar
Indonesia-Malaya di Mesir.
Organisasi
ini memang belum banyak melakukan kegiatan yang besar dan signifikan, karena
saat kedatangan Jepang tahun 1942, MIAI termasuk yang dipaksa bubar oleh
Jepang. MIAI hanya berhasil melaksanakan Kongres Al-Islam atau Kongres Umat
Islam yang menghimpun perwakilan seluruh gerakan Islam di Indonesia dan
membicarakan mengenai masalah-masalah krusial yang dihadapi umat Islam, baik di
dalam maupun di luar negeri. Kongres pertama berhasil dihelat pada 26 Februari
sd 1 Maret 1938 di Surabaya. Kongres Al-Islam kedua diadakan di Solo tanggal
2-7 Mei 1939. Kongres ketiga dilaksanakan di Solo, 7-8 Juli 1941. Dalam kongres-kongres
tersebut dibicarakan berbagai hal yang menyangkut persatuan umat Islam di
Indonesia, solidaritas masalah internasional, dan respon terhadap
masalah-masalah aktual yang tengah terjadi saat itu.
Saat
Jepang menggantikan kekuasaan Belanda, nasib MIAI ikut tergusur dengan
kebijakan Jepang yang menghendaki semua organisasi yang dibentuk pada masa
Belanda dibubarkan. Walaupun tidak dibubarkan secara langsung, namun
pembentukan “Gerakan Tiga A” dengan maksud mengontrol semua gerakan, termasuk
gerakan Islam di Indonesia memaksa MIAI harus bubar. Sebagian pemimpinnya yang
tidak setuju mundur dan yang setuju bergabung dengan Gerakan Tiga A melalui
organisasi bonekanya, yaitu Persiapan Persatoean Oemat Islam yang
dipimpin oleh aktivis SI juga, yaitu Abikusno Tjokrosujoso. Akan tetapi, karena
prosesnya yang tidak melibatkan para pemimpin riil umat yang sebelumnya
berbagung di MIAI, organisasi ini tidak berjalan seperti yang diharapkan
Jepang. (Benda, 1980: 142-150).
Jepang
yang membutuhkan dukungan dari umat Islam Indonesia guna menghadapi Perang
Dunia II atau Perang Pasifik menyadari bahwa posisi Abikusno tidak bisa
diandalkan untuk mendapatkan dukungan riil dari umat Islam. Oleh sebab itu,
pada tahun 1943 Jepang beralih mencari dukungan dari para pemimpin Islam yang
sebelumnya bergabung mendirikan MIAI. Jepang mulai mendekati pimpinan-pimpinan
NU dan Muhammadiyah yang sebelumnya merupakan motor utama MIAI, selain SI yang
dianggap sudah tidak bisa diandalkan. Mula-mula pendekatan dilakukan dengan
mencabut pembekuan organisasi NU dan Muhammadiyah. Enam pekan setelah itu, para
pemimpin MIAI diperbolehkan lagi mengadakan pertemuan. Akan tetapi,
Wondoamiseno sebagai Ketua MIAI pada pertemuan tanggal 24 Oktober 1943 memilih
untuk membubarkan organisasi ini. (Benda, 1980: 183)
Satu
bulan berikutnya, Novermber 1943, para pemimpin Islam, terutama yang didominasi
oleh NU dan Muhammadiyah berkumpul kembali dan mendirikan satu federasi baru
bernama Madjelis Sjoero Moeslimin Indonesia atau disingkat Masjumi (selanjutnya
akan disebut “Masyumi” mengikuti ejaan baru). Tujuan didirikannya organisasi
ini masih sama seperti MIAI, yaitu untuk “memperkuat kesatuan semua organisasi
Islam”. Hanya saja, karena tekanan dari Jepang, maka dicantumkan pula tujuan
lain, yaitu “membantu Dai Nippon dalam kepentingan Asia Timur Raya.” Seperti
MIAI, Masyumi tetap dipimpin oleh kiai pendiri NU yang kharismatik K.H. Hasyim
Asy’ari. K.H. Mas Mansur dari Muhammadiyah menduduki jabatan sebagai wakil
ketua umum; sedangkan K.H. Wahid Hasyim menjabat sebagai ketua harian.
Pengurus-pengurus lain didominasi oleh NU dan Muhammadiyah ditambah pengurus
yang mewakili dua organisasi lain yang bergabung kemudian, yaitu K.H. Ahmad
Sanusi dari Persatuan Oemmat Islam Sukabumi dan K.H. Abdul Halim dari Perikatan
Oemmat Islam Majalengka. Pemimpin-pemimpin dari Sarekat Islam (SI), disebabkan
kekecewaan Jepang terhadap Abikusno tidak diperkenankan menjadi pengurus
organisasi ini. (Benda, 1980: 302; Madinier, 2013: 48).
Sayang
sekali Masyumi selama periode Jepang ini gerakannya hanya dimanfaatkan untuk
kepentingan Jepang. Melalui Masyumi, Jepang ingin meredam gejolak penolakan
terhadap Jepang dari masyarakat Muslim di pedesaan, sambil pada saat yang sama
mencari dukungan untuk Perang Pasifik yang tengah dihadapi Jepang melawan
Sekutu saat itu. Salah satunya antara lain terlihat dari diizinkannya Masyumi
untuk merekrut anak-anak muda, terutama dari pesantren-pesantren untuk
membentuk laskar sipil bersenjata yang diberinaka “Hizbullah”. Ini
dilakukan Jepang untuk memudahkannya melakukan rekruitmen wajib militer bila
diperlukan.
Karena
posisinya yang terjepit seperti itu, peran Masyumi menjadi kurang efektif
sebagai pembawa suara umat Islam pada masa Jepang. Akan tetapi, dalam konteks
kelahiran Mayumi pada masa Kemerdekaan nanti, berdirinya Masyumi zaman Jepang
ini penting untuk diceritakan. Kalau boleh disebut sebagai peran penting dari
Masyumi adalah saat Jepang mengumumkan akan memberikan kemerdekaan kepada
rakyat Indonesia dan membentuk Badan Penyelenggara Usaha Persiapan Kemerdekaan
(BPUPK), wakil-wakil Masyumi masuk menjadi anggotanya antara lain: Wahid
Hasyim, Ki Bagus Hadikusumo, Abdul Halim, dan Ahmad Sanusi. Walaupun demikian,
jumlah perwakilan umat Islam dalam badan ini hanya sekitar sepuluh persen.
Sisanya didominasi oleh para pemimpin nasionalis-sekuler. Selain itu, Masyumi
pada zaman Jepang ini juga telah berinisiatif mendirikan perguruan tinggi Islam
pertama di Indonesia, yaitu Sekolah Tinggi Islam (STI) di Jakarta yang pada
tahun 1946 pindah ke Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar