Dr. Latief
Awaludin
Allah swt menurunkan perintah zakat pada periode Madinah. Pada periode ini
perhatian umat banyak mengarah pada soal-soal sosial kemasyarakatan termasuk
kewajiban zakat dikarenakan adanya kekuasaan ditangan umat Islam sehingga
kewajiban zakat bisa efektif.
Pembayaran zakat ini merupakan
kewajiban agama dan merupakan salah satu dari lima rukun Islam. Kewajiban itu
berlaku bagi setiap Muslim yang telah dewasa, merdeka, berakal sehat, dan telah
memiliki harta itu setahun penuh dan memenuhi nisab. Zakat dikenakan atas harta
kekayaan berupa emas, perak, barang dagangan, binatang ternak tertentu, barang
tambang, harta karun, dan hasil panen.
Dalam sejarah ketatanegaraan Islam, pengelolaan zakat diserahkan kepada “waliyul
amr” yang dalam konteks ini adalah pemerintah, karena para fukaha
berbendapat خُذْ
مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً pada surat
At-taubah;103 kewenangan untuk melakukan pengambilan itu berada pada kekuatan
pemerintah.
Pada awal pemerintahan Islam, zakat merupakan sumber pertama dan terpenting
dari penerimaan negara. Negara bertanggungjawab dalam penghimpunan dan
menggunakannya secara layak, dan penghasilan dari zakat tidak boleh dicampur
dengan penerimaan publik lainnya. Zakat merupakan kebijakan fiskal Islam yang
berbeda dengan kebijakan fiskal konvensional.
Dalam fiskal konvensional pemerintah
dapat mempengaruhi kegiatan perekonomian melalui insentif dalam tarif pajak
maupun besarnya ‘tax base’ dari suatu kegiatan perekonomian, sedangkan
dalam sistem zakat, segala ketentuan tentang besarnya tarif zakat sudah
ditentukan berdasarkan petunjuk dari Rasulullah. Oleh karena itu, kebijakan
zakat sangat berbeda dengan kebijakan perpajakan.
Konsep fiqh zakat menyebutkan bahwa sistem zakat berusaha untuk
mempertemukan pihak surplus Muslim dengan pihak defisit Muslim.Tujuan dari
sistem ini agar terjadi proyeksi pemerataan pendapatan antara surplus dan
defisit Muslim atau bahkan menjadikan kelompok yang defisit (mustahiq) menjadi
surplus (muzakki).
Pengelolaan zakat oleh pemerintah
berlangsung cukup lama hingga kekhilafahan Islam. Pada masa khulafa rasyidin
zakat sebagai pajak kaum muslimin bahkan pada masa Abu Bakr penegakan
zakat dikenal sangat ketat. Hal ini tersirat dalam ungkapan Abu Bakar di
kalangan umat saat itu, “Demi Allah aku akan memerangi orang-orang yang
membedakan kewajiban shalat dengan zakat.Sesungguhnya zakat adalah hak yang
harus diambil dari harta kalian. Demi Allah, jika menolak untuk
menunaikan zakat yang pernah dilakukan pada zaman Rasul, pasti akan aku perangi…
(Hr. Bukhari Muslim). Pada
masa Abu Bakar, sistem zakat dibuat sedemikian rupa agar tidak ada dana sisa
yang tersimpan, yakni dengan cara mengumpulkan dan mendistribusikannya secara
serentak; mendistribusikannya langsung setelah pengumpulan dana zakat
dilakukan.
Selanjutnya selama 10 tahun masa kekhalifahan Umar bin Khattab, kaum muslim
merasakan kemakmuran dan kesejahteraan. Pada masa ini tidak ditemukan satu pun
orang miskin yang harus menerima zakat. Penugasan Muadz bin Jabal ke negeri
Yaman sebagai amil zakat dapat menjadi ilustrasi kemakmuran dan kesejahteraan
umat Muslim pada masa itu. Karena tidak menemukan orang yang berhak untuk
menerima zakat, Muadz bin Jabal mengirimkan dana zakat yang dipungutnya dari
Yaman kepada Umar di Madinah. Akan tetapi, Umar mengembalikannya. Satu tahun
pertama, Muadz mengirimkan sepertiga hasil zakat itu, Umar kembali menolaknya
dan berkata: “Saya tidak mengutusmu sebagai kolektor upeti, tetapi saya
mengutusmu untuk memungut zakat dari orang-orang kaya di sana dan membagikannya
kepada kaum miskin dari kalangan mereka juga.” Muadz menjawab; “Kalau
saya menjumpai orang miskin di sana, tentu saya tidak akan mengirimkan apapun
kepadamu.”
Dalam kisah lainnya, saat dalam
perjalanan ke Damaskus, Umar bin Khattab berpapasan dengan seorang Nasrani yang
menderita penyakit kaki gajah. Melihat keadaan yang menyedihkan itu, Umar
kemudian memerintahkan pegawainya untuk membantu orang tersebut. Maka,
diberikanlah kepada sang Nasrani itu dana yang diambil dari hasil pengumpulansedekah,
dan juga makanan yang diambil dari perbekalan pegawainya.Kisah tersebut
merupakan sedikit gambaran tentang kesadaran umat muslim pada masa itu dalam
berzakat, infak dan sedekah. Lebih jauh kita dapat melihat bahwa pengelolaan
zakat yang dilakukan secara profesional dapat membangun dengan baik sistem
perekonomian yang dirasakan tidak hanya kaum muslimin, tetapi juga oleh kaum
non Muslim
Pada masa daulah umayyah khusunya pada
masa Umar bin Abdul Azis (99-102 H/818-820)pernah mengirim Yahya bin Said sebagai
amil zakat ke daerah Afrika. Setelah mengumpulkan zakat, Yahya bin Said
bermaksud untuk memberikannya kepada orang-orang miskin, tetapi di sana dia
tidak menjumpai seorang pun. Umar bin Abdul Azis telah menjadikan semua rakyat
pada waktu itu berkecukupan. Akhirnya masih Yahya bin Said, memutukan untuk
membeli budak dengan dana zakat yang terumpul itu lalu memerdekakannya.
Dalam waktu tiga puluh bulan tidak ditemukan lagi masyarakat miskin di
daerah Hamid bin Abdurrahman bertugas, karena semua muzakki mengeluarkan zakat
dan pendistribusiannya tidak sebatas pada kegiatan konsumtif, tetapi juga pada
kegiatan-kegiatan produktif. Umar bin Abdul Aziz mengutamakan
pendistribuan zakat untuk berbagai kegiatan pemberdayaan masyarakat yang
berdaya beli rendah. Sehingga, taraf perekonomian mereka dapat terangkat.Salah
satu penandanya adalah penandanya adalah meningkatnya daya beli mereka, dan
roda perekonomian masyarakat secar keseluruhan.
Seiring dengan perkembangan politik umat Islam apalagi pada masa modern dunia
Islam megalami perubahan sistem ketatanegaraan berdampak pada pengelolaan zakat sehingga terjadi modifikasi
sesuai dengan kondisi umat Islam yang
berbeda-beda dimasing-masing Negara.
Dalam pengamatan penulis, setidaknya ada
dua model pengelolaan zakat yang dipraktekkan di dunia Islam dewasa ini.
Model pertama,
adalah pengelolaan yang dipayungi oleh Undang Undang (qanun), model ini ada dua bentuk, yaitu
dikelola murni oleh pemerintah dan bentuk yang lain dikelola oleh lembaga yang
mendapat legalitas dari pemerintah. Model kedua, adalah pengelolaan yang
alami tanpa ada payung perundang undangan, model ini banyak dikelola oleh
lembaga-lembaga dawah maupun ormas-ormas Islam.
Contoh model pertama dimana zakat berdasarkan qanun dan dikelola sepenuhnya
oleh pemerintah adalah Arab Saudi, Sudan, Pakistan dan Yordania yang umumnya
dalah negara Islam. Misalkan Pelaksanaan zakat di Arab Saudi didasarkan pada
perundang-undangan yang dimulai pada tahun 1951 M. Sebelum pengundangan ini,
zakat tidak diatur oleh perundang-undangan. Setelah Raja mengeluarkan Keputusan
Raja (Royal Court) No. 17/2/28/8634 tertanggal 29 Juni 1370 H bertepatan dengan
tanggal 7 April 1951 yang isinya ‘Zakat Syar’i’ yang sesuai dengan ketentuan
syari’ah Islamiyah diwajibkan kepada individu perusahaan yang memiliki
kewarganegaraan Saudi disetorkan semuanya berada dalam satu kendali yaitu
Departemen Keuangan, mulai dari aspek kebijakan sampai teknis, sehingga
peraturan-peraturan zakat yang ada banyak terfokus pada penghimpunan, sedangkan
untuk penyaluran, kewenangannya ada pada Departemen Sosial dan Pekerjaan di
bawah Dirjen Jaminan Sosial (dhaman ijtima’i). Di Sudan, zakat dikelola
langsung oleh pemerintah dengan otoritas Menteri Urusan Zakat; Sementara di
Yordania pengeloaan zakat dikelola oleh kementerian wakaf; dan di Pakistan oleh
Hakim Agung. Sementara contoh pengelolaan berdasarkan Undang-undang namun
dikelola oleh swasta adalah malaysia penghimpunan zakat yang dilakukan murni
oleh swasta sangat didukung oleh pemerintah setempat.Pemerintah hanya bertindak
sebagai fasilitator dan penanggungjawab.
Adapun contoh model kedua pengelolaan yang alami tanpa ada payung perundang-undangan,
pelaksanaannya diserahkan kepada masyarakat adalah Singapura. Pengelolaan
zakat, infak, dan sedekah di Singapura tak satupun dikeloala perorangan. Semua
dikelola secara korporat. Jumlah Muslim di Singapura sekitar 500 ribu jiwa,
atau sekitar 15% dari total penduduk. Pembayar zakat rutin berjumlah 170 ribu
orang. Di luar zakat, dihimpun juga sedekah untuk pendidikan madrasah dan
pembangunan masjid. Di samping melalui rekening bank, pembayaran dapat
dilakukan di 28 masjid di seluruh Singapura.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar