Oleh: H.T. Romly
Qomaruddien, MA.*
Di antara penggalan wasiat
Rasulullaah shalallaahu 'alaihi wa sallam kepada para shahabatnya
adalah: “Aku wasiatkan untuk kalian, agar bertaqwa kepada Allah, patuh dan
taat. Jika seorang budak sahaya memerintahkan kalian, hendaklah mengikutinya.
Siapa saja di antara kalian masih hidup (nanti), kalian akan menyaksikan perbedaan
yang banyak.”
Wasiat ini hakikatnya berlaku
untuk semua umatnya. Isyarat Rasulullah tentang akan munculnya beragam
perbedaan, menunjukkan bahwa perbedaan itu sudah merupakan sunnatullaah
yang tak dapat dipungkiri akan terjadinya. Demikian halnya lahirnya pemimpin
yang dipatuhi, merupakan sesuatu yang harus diusahakan dalam rangka menjalankan
dan memelihara ajaran agama serta mengatur kehidupan duniawi lainnya. Mengingat
semakin jauhnya masa kenabian, sudah tentu dalam pelaksanaannya mengalami penurunan
kualitas sehingga melahirkan perbedaan-perbedaan. Di sinilah pentingnya kepemimpinan
(imaamah) dan wujudnya jamaa’ah.
Ittibaa'ul
Hawaa Merusak Keutuhan Jamaa’ah
Dalam prakteknya, menegakkan
jamaa’ah tidak selamanya berjalan mulus, melainkan mengalami gangguan dan
hambatan serta penuh noda yang mengotorinya, sehingga merusak keutuhannya. Hal
ini disebabkan karena keterlibatan hawa nafsu (ittibaa’ul hawaa) dan belitan
godaan iblis (talbies iblis) yang merusak para pelakunya, sehingga kemunculannya
tidak menjadi "solusi" dan "penawar", malah melahirkan
sikap berlebihan (ghuluw) yang keluar dari nawaitu semula. Terjadinya
perpecahan (tafarruq) dan keretakan
ummat, merupakan bukti nyata lepasnya "tali Allah" yang kokoh (hablullaahil
matiin) dari setiap pribadi dan kelompoknya. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ
اللَّهِ جَمِيعًا وَلا تَفَرَّقُوا …
“Dan
berpegang teguhlah kalian dengan tali Allah, dan jangan bercerai berai …” (QS.
Alu Imraan/ 3: 103).
Rasulullaah shalallaahu
'alaihi wa sallam menjelaskan, yang dimaksud hablullaah adalah Al-Qur’aanul
mubiin yang dapat dijadikan pegangan dan keselamatan bagi yang mengikutinya.
(HR. Ibnu Mardawaih dalam Tafsîr Ibnu Katsir 1/533).
Dalam ayat lain, Allah ‘Azza wa
Jalla melarang untuk mengikuti jalan
perpecahan yang pernah ditempuh ummat masa lampau. (Lihat: QS. Alu Imraan/ 3:
105). Demikian pula, Allah tegaskan bahwa rasul-Nya berlepas diri (baraa’ah)
dari semuanya itu. (Lihat: QS. Al-An’aam/ 6: 159), dan Allah mencela perilaku
mereka. (QS. Ar-Ruum/ 30: 31-32).
Masih menurut Ibnu Katsir, “Menurut
zhahirnya, ayat ini bersifat umum untuk siapa pun yang memecah belah agama
Allah dan menyelisihinya, karena Allah mengutus Rasul dengan petunjuk dan agama
yang benar untuk memenangkan atas semua agama. Syari’atnya satu, tidak ada
perselisihan dan pertentangan di dalamnya. Siapa saja yang memecah belah agama-Nya,
sehingga menjadi beberapa golongan seperti yang dialami para pemeluk agama lain
(ahlul milal), pengumbar nafsu (ahlul ahwaa) dan pembuat kesesatan (ahlud
dhalaal). Maka sesungguhnya Allah telah melepaskan rasul-Nya dari mereka.”
(Lihat Ibnu Katsir 2/1090).
Ibnu Taimiyah berkata: “Jika
Allah telah melepaskan rasul-Nya dari semua urusan mereka, siapa pun yang
mengikutinya harus melepaskan diri pula dari mereka. Siapa saja yang berbuat
seperti mereka, berarti dia telah menyalahinya sebesar kadar kesamaan dengan
mereka.” (Dinuqil dari Al-Fataawaa oleh Abdurrahman bin Ma’laa al-Luwaihiq
dalam Al-Ghuluw fied Dîen, hlm. 198).
Semua itu, merupakan rambu-rambu
ilahi yang wajib diwaspadai, tanpa mengurangi sedikit pun arti pentingnya usaha
menegakkan jamaa’ah, mengingat adanya teks Al-Qur`an dan al-Hadits yang
mendorong ke arah itu, di antaranya:
“Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang berperang di jalanNya dalam barisan yang
teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh."
(QS. As-Shaff/ 61: 4).
Rasulallah
bersabda:
عَلَيْكُمْ بِالْجَمَاعَةِ وَإِيَّاكُمْ وَالْفُرْقَةَ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ
مَعَ الْوَاحِدِ وَهُوَ مِنَ الاِثْنَيْنِ أَبْعَدُ مَنْ أَرَادَ بُحْبُوحَةَ
الْجَنَّةِ فَلْيَلْزَمِ الْجَمَاعَةَ مَنْ سَرَّتْهُ حَسَنَتُهُ وَسَاءَتْهُ
سَيِّئَتُهُ فَذَلِكَ الْمُؤْمِنُ
“Hendaklah
kalian mengikuti jamaa’ah dan jauhilah firqah (berpecah belah), karena syetan
bersama satu orang, adapun dari dua orang ia menjadi jauh. Siapa yang
menginginkan kesenangan surga, hendaklah dia berjamaa’ah. Siapa yang merasa
senang karena kebaikannya, dan merasa tersiksa karena keburukannya. Maka dialah
orang mukmin.” (HR. Tirmidzi 4/ 404. no. 2165 dari Ibnu Umar radhiyallaahu 'anh).
Dalam riwayat Imam Ahmad, dari
shahabat Abi Dzar radhiyallaahu 'anh, Nabi bersabda: “Dua orang lebih baik dari
satu, tiga orang lebih baik dari dua, empat orang lebih baik dari tiga.
Hendaklah kalian berjamaa’ah, karena sesungguhnya Allah tidak menghimpun
umatku, melainkan di atas petunjuk.”
Larangan
‘Ashabiyyah
‘Ashabiyyah sering diartikan
"fanatik"; Kalaulah yang dimaksud fanatik itu, kerasnya perjuangan
dan pembelaan seseorang kepada Islam, tentu istilah fanatik menjadi boleh
digunakan. Bahkan, kaum muslimin wajib fanatik terhadap ke-Islamannya. Meminjam
istilah Ibnu Khaldun: “Sesungguhnya da’wah keagamaan tanpa ‘ashabiyyah (dalam
arti fanatik yang positif) tidak akan sempurna.”
Namun, bila yang dimaksud
fanatik itu, kerasnya perjuangan dan pembelaan seseorang untuk suatu yang tidak
jelas arah dan tujuannya (‘ummiyyah: buta), keluar dari pembelaan Allah dan
rasulNya, meninggalkan kalimatNya, inilah yang dimaksud ‘ashabiyyah yang
dilarang dan sangat berbahaya bagi kehidupan dan keutuhan ummat. Misalnya
fanatik terhadap golongan tertentu atau fanatik terhadap orang tertentu.
Maka pergeseran inilah yang
menyebabkan munculnya sikap tafrieth dan ghuluw
(ekstrem dan berlebihan) dalam menetapi jamaa’ah, sehingga merusak
keutuhan ummat dan retaknya jamaa’ah tersebut. Fenomena ini merupakan penyakit
umum yang melekat pada setiap jamaa’ah dan virus yang selalu siap menjangkiti
setiap pribadi pelakunya.
Oleh karenanya, agar kaum
muslimin selamat dari jaring-jaring ‘ashabiyyah,
semisal ghuluw dalam memahami jamaa’ah, ghuluw dalam fanatisme jamaa’ah, ghuluw
karena menjadikan jamaa’ah sebagai sumber kebenaran, ghuluw kepada pemimpinnya,
dan ghuluw pula dalam melepaskan diri dari jamaa’ah lain, hendaklah merenungkan
nasihat Rasulullaah shalallaahu 'alaihi wa sallam berupa taujieh nabawi yang terbentang dalam
sunnahnya. Di antaranya:
وَمَنْ قَاتَلَ تَحْتَ رَايَةٍ عُمِّيَّةٍ يَغْضَبُ لِعَصَبَةٍ أَوْ
يَدْعُو إِلَى عَصَبَةٍ أَوْ يَنْصُرُ عَصَبَةً فَقُتِلَ فَقِتْلَةٌ جَاهِلِيَّةٌ
“Siapa
saja berperang di bawah bendera ‘ummiyyah (tidak jelas tujuan, bukan karena
Allah dan rasulNya), dia marah karena ‘ashabiyah atau mengajak kepada
‘ashabiyah dan menolong karena ‘ashabiyah. Lalu dia terbunuh, maka kematiannya
itu laksana matinya kaum jaahiliyyah.” (HR. Muslim, Syarhun Nawaawi, no. 4769
dari shahabat Jundab bin ‘Abdillah radhiyallaahu 'anh).
Riwayat lain, menyebutkan : “…
Siapa saja terbunuh karena ‘immiyyah/ 'ummiyyah dan ‘ashabiyyah, maka dia bukan
termasuk golonganku.”
Adapun loyalitas (muwaalaat),
permusuhan (mu’aadaat), kecintaan (al-hubb) dan kebencian (al-bughdhu),
hanyalah dilakukan karena Allah semata, jauh dari keterlibatan hawa nafsu yang
dapat menjerumuskan pelakunya. Bukankah hawa nafsu dinamakan hawaa (هَوًى), karena dia yahwie (يَهْوِى), artinya dapat
menggiring pelakunya menuju api neraka. Demikian menurut Imam As-Syaathibi
mengutip perkataan As-Sya'bi dalam kitab
Al-Muwaafaqaat-nya. (Lihat: ‘Abdullah bin Muhammad al-Ghaniemaan dalam Al-Hawaa
wa Atsaruhu Fiel Khilaaf, hlm. 7).
Bagaimana
dengan Ungkapan Ikhtilaafu Ummatie Rahmatun?
Tidak ada satu pun orang atau kelompok orang
beriman yang menginginkan perseteruan atau perpecahan, yang diinginkan semuanya
tentu kerukunan dan persatuan. Ibnu Taimiyah bertutur dalam kitabnya Al-Istiqaamah:
"Tidaklah perkara-perkara bid'ah itu merebak, melainkan akan terjadi badai
firqah. Dan tidaklah perkara-perkara sunnah tumbuh yang subur, melainkan akan
terwujudnya jamaa'ah."
Dalam prakteknya, tidak semudah
membalikkan telapak tangan. Perlu banyak anasir untuk menegakkannya, salah
satunya adalah perlunya kesamaan dalam memahami "i'tishaam bi
hablillah", yaitu berpegang teguh pada Kitaabullah. Keragaman dalam
memahami itulah yang disebut "ikhtilaaf", yakni perbedaan pendapat.
Berbeda memahami itu bukanlah hal 'aib dalam agama, selama adad-adabnya
diperhatikan. Selain Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam mengisyaratkan "Akan
banyak perbedaan sepeninggalnya", juga lebih awal Kitabullah memberikan
bimbingan "Fain tanaaza'tum fie syai'in farudduhhu ilallaahi war
Rasuuli", artinya: jika kalian silang pendapat, kembalilah pada Allah dan
rasulNya." (Q.S.An- isaa/ 4: 59). (Bersambung)
*Penulis
adalah:* Anggota Dewan Hisbah PP. Persatuan Islam (Komisi 'Aqiedah)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar