Oleh: Teten Romli Komaruddin, MA
Semangat perjuangan umat Islam terlihat masih cukup besar
setelah serangkaian peristiwa berbarengan dan menjelang Pilgub DKI Jakarta
seperti Aksi Bela Islam 411, Aksi Bela Islam 212, dan dukungan untuk
memenangkan calon gubernur Muslim. Hal ini terlihat dari semakin semaraknya
umat Islam untuk menghidupkan aktivitas keislaman di daerah masing-masing dalam
berbagai bentuk. Ada yang berbentuk menghidupkan shalat berjamaah, shalat
shubuh di mesjid, peningkatan kajian-kajian keislaman, mewujudkan kerjasama
ekonomi (ta’awun iqtishadiyah), dan bahkan tidak sedikit yang
menerjemahkannya dengan melakukan serangkaian latihan fisik melatih genarasi
Muslim yang kuat dan siap terjun ke medan jihad.
Efek yang sama bukan hanya dirasakan oleh masyarakat pada
umumnya. Para elit pemimpin Muslim pun berlomba-lomba menunjukkan semangat
pembelaan pada Islam dan umat Islam secara nyata. Beberapa waktu yang lalu GNPF
MUI, dengan semangat 212, menggagas koperasi syariah yang ditularkan ke
berbagai daerah. Salah satu wujud kongkritnya adalah berdiri usaha-usaha mikro
hasil kerjasama antar-elemen umat Islam seperti berdirinya berbagai minimarket
Muslim. Tidak ketinggalan Majelis Ulama Indonesia (MUI) sendiri pada 22 April
2017 lalu menyelenggarakan Kongres Ekonomi Umat Islam. Tujuannya adalah untuk
memetakan kemungkinan membangun ekonomi umat Islam dengan berbasis pada kekuatan-kekuatan
yang dimiliki oleh umat Islam sendiri. Bagaimana efektivitas gerakan-gerakan ini?
Masih perlu waktu untuk membuktikannya. Semuanya memberikan harapan positif
bagi perkembangan Islam di masa yang akan datang.
Hanya saja, agak sedikit disayangkan bahwa semangat yang
cukup besar di kalangan umat Islam ini masih belum begitu tampak dalam semangat
umat Islam dalam membangun basis kekuatan utama peradaban Islam, yaitu “ilmu
pengetahuan”. Semangat pengembangan keilmuan di kalangan umat Islam masih
kelihatan seperti sedia kala. Bahkan boleh dikatakan belum menggembirakan,
kalau tidak dikatakan menyedihkan. Apakah yang dimaksud pengembangan ilmu
pengetahuan?
Dalam hal ini yang dimaksud bukan sekedar mendirikan
lembaga-lembaga pendidikan, walaupun ia bisa menjadi salah satu wadahnya.
Pengembangan ilmu pengetahuan adalah semangat umat Islam dalam mengkaji dan
mendalami berbagai disiplin ilmu pengetahuan untuk menjawab tantangan yang
dihadapi masyarakat, terutama umat Islam. Implementasi kongkritnya berwujud
riset (penelitian) yang hasilnya adalah buku-buku berisi berbagai teori baru
ilmu pengetahuan berbasis ajaran-ajaran Islam. Riset ini akan sangat berguna
untuk mencari cara untuk membangun peradaban umat Islam.
Contoh kongrit dalam masalah ekonomi. Umat Islam hari ini
dihadapkan pada masalah dominasi para kapitalis yang sangat melemahkan ekonomi
umat. Ekonomi kapitalis ini sendiri yang melemahkan kekuatan politik umat
mayoritas, karena para kapitalis sanggup “membeli” politik. Gerakan Ekonomi 212
yang digagas GNPF-MUI muncul sebagai jawaban atas situasi tersebut. Akan tetapi,
kelihatannya jawaban yang diberikan masih seperti dahulu sewaktu ICMI pertama
kali berdiri. Artinya, secara teknis belum ada perubahan-perubahan strategis
yang berarti.
Apa sebab tidak banyak kreativitas strategis baru? Salah
satu yang paling mendasar adalah sangat minimnya sumber-sumber ilmu yang secara
khusus dan mendalam mengkaji mengenai masalah-masalah yang dihadapi di atas.
Mengapa sangat minim? Sebab riset-riset serius dan mendalam untuk mengkaji
ekonomi Islam dan umat Islam secara riil di lapangan masih sangat minim; sangat
jauh bila dibandingkan dengan riset-riset ekonomi yang mendukung kapitalisme.
Boleh dikatakan hampir semua perguruan tinggi di dunia dan lembaga riset
ekonomi, rata-rata riset yang dihasilkan adalah riset-riset yang basis ideologi
ekonominya adalah kapitalisme sehingga hasil risetnya malah memperkuat
kapitalisme. Walaupun sudah mulai bermunculan disiplin ekonomi Islam, namun
jumlah risetnya sangat minim. Sangat jauh dibandingkan dengan riset ekonomi
kapitalis.
Ini hanya sekedar contoh dalam satu lapangan ilmu, yaitu
ekonomi. Lapangan-lapangan lain yang juga menantang umat Islam seperti politik,
hukum, pendidikan, kemasyarakatan, teknoligi rekayasa, pertanian, dan
sebagainya juga masih luput dari perhatian umat Islam. Inilah sebetulnya
kelemahan yang mendasar yang dihadapi umat Islam. Umat Islam bukan hanya tidak
memiliki kekuasaan atas politik dan ekonomi, bahkan tidak “tahu” bagaimana cara
untuk berkuasa dalam lapangan-lapangan itu karena tidak memiliki ilmunya. Artinya
semangat untuk “bertempur” di lapangan tidak dibarengi dengan ilmu yang memadai
sehingga hasilnya umat Islam lebih banyak menjadi pecundang.
Di sinilah urgensi pentingnya “jihad ilmu” dalam bentuk
pendalaman dan pengembangan ilmu pengetahuan. Sebab, ini merupakan daging dari
peradaban dan pergerakan. Tanpa ini, gerakan-gerakan yang dilakukan umat Islam
di lapangan tidak akan terlalu efektif dan mudah dipatahkan musuh yang
menguasai ilmunya. Jihad ilmu ini pun sesungguhnya bernilai sangat tinggi setara
dengan jihad qitâl, bertempur di lapangan. Hal ini dapat dipahami dari
ayat Allah Swt. berikut.
“Tidak sepatutnya orang-orang mu’min pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberikan peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya”. (Q.S. Al-Taubah/9: 122)
Menurut Ibnu Katsir, ayat tersebut erat kaitannya dengan ayat
yang lain, yaitu Q.S. Al-Taubah/9: 41 tentang perintah jihad baik dalam keadaan
ringan atau pun berat, juga Q.S. Al-Taubah/9: 120 tentang tidak patutnya penduduk
Madinah dan masyarakat sekitarnya apabila tidak berperang bersama Rasulullah
saw. Turunnya Q.S. Al-Taubah/9: 122 menunjukkan bahwa kewajiban yang
diperintahkan Allah Swt. bukan hanya berjihad di medan pertempuran (perang),
melainkan terbagi dua: sebagian untuk berjihad dan sebagian lainnya untuk mendalami
ilmu agama (tafaqquh fî al-din), karena keduanya berstatus hukum
yang sama sebagai fardhu kifayah. Ibnu Katsîr menegaskan: “Sekelompok orang keluar dari wilayah itu, memiliki tugas dua bagian; ada golongan yang bertugas untuk tafaqquh dan ada golongan yang bertugas untuk berjihad. Karena keduanya itu merupakan fardhu kifayah bagi orang yang masih hidup.” (Tafsîr al-Qur`ân al-Azhîm/ 2: 1355).
Abu ‘Umar Yûsuf bin
‘Abdillah al-Namri al-Qurtubi dalam Jâmi’ Bayân al-Ilmi wa Fadhlihi wa Mâ Yanbaghî Fî Riwâyatihi wa Hamlihi menjelaskan bahwa yang dimaksud golongan (al-nafîr) dalam hal ini adalah sebahagian kaum muslimin saja bukan seluruhnya, di mana mereka menjalankan tugasnya (menyampaikan ilmu) kepada yang lainnya. (Al-Qurtubi, 2006: 15). Dalam bahasa lain, agar semangat mengkaji itu selaras dengan visi dan misi keilmuan, hendaknya kebangkitan kefahaman menjadi prioritas pencarian setiap penuntut ilmu. Karena hakikatnya, yang disebut kebangkitan Islam adalah bangkitnya semangat menuju Islam dan melakukan pembaharuan berdasarkan pemahaman syari’at yang benar. (Nâshir Abd al-Karîm al-‘Aql, Min Qadhâyâ al-Shahwah; Hâjatu al-Shahwah Ilâ al-Fiqh fî al-Dîn,1996: 9).
Berdasarkan semangat ayat ini, maka dapatlah kita
sebarangkan maknanya pada kondisi yang tengah kita hadapi sekarang ini. Benar
bahwa ada kewajiban untuk terjun langsung ke lapangan untuk berjihad menghadapi
musuh-musuh yang akan melemahkan Islam dalam berbagai bidang. Akan tetapi,
jangan lupa ada kewajiban lain, yaitu mendalami dan mengembangkan ilmu yang
sangat berguna untuk perjuangan dan kemenangan perang lapangan tersebut.
Keduanya bernilai kewajiban sama. Wallâhu A’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar