Oleh: H.T. Romly Qomaruddien, MA.
Setiap tiba bulan Rabi’ul Awwal, di beberapa negara Islam (terutama
Asia Tenggara) penyambutan mayoritas masyarakat Muslim terhadap kelahiran Nabi
akhir zaman sangat meriah. Apabila mereka ditanya mengapa hal itu harus
dilakukan? Maka jawabannya: “Karena kami mencintai Rasulullaah shalallaahu
‘alaihi wa sallam.”
Sungguh jawaban yang luar biasa, di mana kecintaan terhadap seseorang
yang dicintai melahirkan sikap yang sangat penuh perhatian terhadap orang yang
dicintainya itu. Terlebih-lebih Rasulullaah pernah mengisyaratkan para sahabat:
“Al-mar’u ma’a man ahbabta.”, artinya
seseorang itu akan berkumpul (di hari qiamat) bersama orang yang
dicintainya. Namun apa jadinya, apabila yang dicintainya tidak mencintai orang
yang mencintainya. Itu artinya, agar cinta terjadi dua arah sehingga saling
mencintai, maka diperlukan kiat-kiat yang dapat menuju kesuksesannya. Dengan
mempelajari dan memahami kiat-kiat ini, maka diharapkan cintanya seseorang
terhadap yang dicintainya tidak bertepuk sebelah tangan. Demikian pula dalam
mencintai nabi kita, Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam.
Tiga Prinsip Ajaran Islam
Di antara prinsip ajaran Islam, di samping bagaimana seseorang dapat
mengenal dan memahami siapa Tuhannya (ma’rifatullaah) dan mengerti apa itu
Islam berdasarkan argumen-argumen agama (ma’rifatul Islam bil adillah), juga
sangat di wajibkan memahami sosok Muhammad shalallaahu ‘alaihi wa sallam
(ma’rifatu Muhammadin shalallaahu ‘alaihi wasallam) sebagai Nabi dan Rasul yang
dapat memberikan bimbingan kepada seluruh ummat manusia. (Hal ini dijelaskan
Syaikh Muhammad bin 'Abdil wahhab dalam Risalahnya Al-Ushul as-Tsalaatsah).
Kaitannya dengan pembahasan yang sedang kita bicarakan, adalah prinsip
yang ketiga ini. Yaitu, bagaimana
seseorang dapat bersemi rasa cintanya, timbul rasa pembelaannya dan adanya rasa
keinginan untuk dapat mengikuti sosok teladan yang jadi panutannya. Semua itu
dapat terjadi, apabila kita benar-benar mengenal sosok tersebut.
Tidak terkecuali sosok Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam, seseorang
dapat memberikan cinta sejati kepadanya, bilamana orang itu mengenalnya dengan
baik. Inilah yang ditempuh para ulama kita dalam berbagai karyanya mengenai
sejarah kehidupannya. Imam at-Tirmidzi mengarang kitab hadits yang berisikan
riwayat-riwayat tentang kelengkapan pribadi nabi (syamailul Muhammadiyyah),
lalu kitab ini pun diringkas menjadi Mukhtashar Lis Syamaailil Muhammadiyyah
oleh Syeikh Muhammad bin Jamil Zainu. Dan masih banyak lagi, puluhan bahkan
ratusan kitab sejarah tentang pribadi Nabi, baik yang bersifat pengetahuan
tentang penanggalan dan peristiwa ('ilmut-taarikh) atau pun pengetahuan tentang perjalanan dan
kepribadian ('ilmus sierah) serta peradaban dan budaya yang dihadapinya ('Ilmul
hadhaarah, 'ilmus tsaqaafah). Salah satu kitab sirah yang banyak
direkomendasikan para ulama abad ini untuk dibaca kaum muslimin adalah
Ar-Rahiequl Makhtuum karya Syaikh Shafiyurrahman al-Mubarakfuri (pemenang
pertama penulisan sierah nabawiyyah Raabithah al-'Alam al-Islaami).
Mengenal Muhammad Shalallaahu ‘Alaihi Wa sallam
Mengenal Rasulullaah shalallaahu ‘alaihi wa sallam, berarti mengenal
pribadi Muhammad sebagai manusia biasa, juga mengenal Muhammad shalallaahu
‘alaihi wa sallam sebagai Nabi dan Rasul. Mengenal pribadi sang panutan ini,
tentu sangat dianjurkan, bahkan wajib. Karena dengan mengenalnya, kita semua
akan tahu dan yakin bahwa dirinya adalah Rasulullaah shalallaahu ‘alaihi wa
sallam.
Di antara yang harus diketahui, minimalnya adalah bahwa dirinya
memiliki nasab atau silsilah keturunan, yaitu Muhammad bin Abdil Muthalib bin
Hasyim. Bani Hasyim merupakan suku Quraisy , dan suku Quraisy termasuk bangsa
Arab. Bangsa Arab turunan Nabiyullaah Ismail, dan Ismail turunan Nabiyullaah
Ibrahim 'alaihimus salaam.
Maka, sangat wajar ketika Rasulullaah ditanya oleh seorang shahabat, “Bagaimana kami harus bershalawat
kepadamu wahai Rasulullaah?”. Jawabannya adalah: "Ucapkan olehmu Allahumma shalli ‘alaa Muhammadin wa ‘alaa aali
Muhammadin, kamaa shallaita ‘alaa Ibraahiem wa ‘alaa aali Ibrahiem. Wa baarik ‘alaa Muhammadin wa ‘alaa aali Muhammadin,
kamaa baarakta ‘alaa Ibraahiem wa ‘alaa
aali Ibrahiem. Fiel ‘aalamiena innaka hamiedum majied.”
Usianya 63 tahun; 40 tahun sebelum diutus menjadi Nabi dan Rasul, dan
23 tahun setelah diutus menjadi Nabi dan Rasul (13 tahun di Makkah dan 10 tahun
di Madinah). Diangkat menjadi Nabi dengan ditandai turunnya wahyu pertama,
yaitu: QS. Al-‘Alaq/ 96: 1 - 5, dan diangkat menjadi Rasul dengan turunnya QS.
Al-Mudatsir / 74: 1 - 7.
Adapun yang menjadi tugas risalah dan nubuwwah adalah: menyampaikan
tugas kerasulan kepada seluruh ummat manusia. (Lihat: QS. Al-A’raf/ 7 : 158),
menegaskan bahwa misi kerasulan yang di maksud adalah “beribadah hanya kepada
Allah dan menjauhi thaaghut, yaitu menghindari segala bentuk yang menyimpangkan
dari tauhidullaah.” (Lihat: QS. An- Nahl / 16 : 36), meyakinkan manusia bahwa ajaran Islam telah sempurna. (Lihat:
QS. Al-Maidah / 5 : 3), menjalankan trifungsi kerasulan (tilaawah: membacakan
ayat-ayat Allah, tazkiyah: mengikis nilai-nilai jahiliyah dan ta’liem:
mengajarkan kitabullaah dan hikmah, yakni sunnah dan ilmu) sebagaimana tertuang
dalam QS. Alu 'Imraan/ 3 : 164).
Di samping itu, banyak pula cerminan hidup lainnya yang menunjukkan
bahwa dirinya “Benar-benar pribadi panutan” sepanjang zaman. Dalam QS.
Al-Ahzaab/ 33 : 44-46 dijelaskan bahwa Allah ‘Azza wa Jalla telah menjadikan
Muhammad sebagai Nabi yang menjadi saksi percontohan (syaahidan), pemberi kabar
gembira (mubassyiran), pemberi kabar ancaman (nadzieran), menjadi penyeru
(daa’iyan) dan menjadi penerang (siraajan munieran).
Uswah Hasanah Rasulullaah Shalallaahu ‘Alaihi wa Sallam
Dengan merenungkan paparan sebelumnya, semua kita yakin betapa Allah
‘Azza wa Jalla telah memilihkan untuk ummat manusia seorang Nabi akhir zaman
(khaatamun nabiyyien) dan penghulu para Rasul (sayyidul mursalen) sebagai
“Manusia teladan” dan “Cerminan pemimpin yang wajib dipatuhi.” Inilah yang
dalam bahasa Al-Qur’an disebut sebagai “uswatun hasanah”, yakni suri tauladan
yang baik dan wajib diikuti. Allah ‘Azza wa jalla berfirman :
“Sesungguhnya, telah ada pada (diri) Rasulullaah itu suri tauladan
yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
(kedatangan) hari kiamat dan yang banyak mengingat Allah.” (QS. Al-Ahzaab/ 33 :
21).
Ayat lain menuturkan, sebagai berikut: “… Apa yang diberikan Rasul
kepadamu, maka terimalah dan apa yang di larangnya bagimu, maka tinggalkanlah.
Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah sangat keras hukumannya.” (QS.
Al-Hasyr / 59 : 7).
Berpijak kepada ayat-ayat tersebut, para ulama ushul menyimpulkannya
dengan qaidah: “Al-Ashlu fie af’aalin nabiy al-iqtidaau illaa maa dalla
ad-dalelu ‘alal ikhtisaashi", artinya: "Asal perbuatan Nabi adalah
wajib diikuti, kecuali ada dalil yang menunjukkan bahwa suatu perbuatan itu
khusus dilakukan hanya untuk Nabi.” Maka dengan qaidah ini pula, para ulama
membagi tauladan Rasulullaah itu menjadi tiga kategori:
Pertama; Bersifat Qurbah, yaitu meneladani Rasulullaah dalam
perkara ibadah yang sifatnya benar-benar wajib mengikuti Nabi. Apabila
menyalahi sifat-sifat Nabi berarti menyalahi sunnah Nabi, seperti: sifat wudhu,
sifat shalat, sifat shaum, sifat haji dan ibadah mahdhah lainnya.
Kedua; Bersifat Thaa’ah, yaitu meneladani Rasulullaah dalam
perkara yang berhubungan dengan kepatuhan, yang apabila dilakukan mendapatkan
keutamaan dikarenakan mengikuti sifat Rasulullaah, seperti: sifat makan, sifat
minum, berpakaian, dan urusan keseharian lainnya.
Ketiga; Bersifat Jibiliyyah, yaitu meneladani Rasulullaah dalam
perkara yang bersifat manusiawi, yang apabila seseorang mengikutinya merupakan
sesuatu yang utama. Kalau pun tidak dapat mengikutinya, tidak dapat dikatakan
melanggar sunnah Nabi, seperti: Nabi apabila tertawa, dirinya tersenyum. Ketika
seseorang berupaya untuk tersenyum dengan mengikuti seperti tersenyumnya Nabi,
maka hal itu merupakan keutamaan. Jika tidak dapat melakukannya, tidak berarti melanggar sunnahnya.
Mencintai Nabi Berarti Mencintai Sunnah
Salah satu bukti cintanya seseorang kepada Nabi, berarti mencintai
sunnahnya. Antara ”Cinta Nabi” dan “Cinta sunnah”, bukanlah sesuatu yang
terpisah. Melainkan satu kesatuan laksana dua keping mata uang, yang keduanya
sangat menentukan keaslian cintanya. Apabila dalam Al-Qur’an diisyaratkan bahwa
mencintai Nabi itu sama dengan mencintai Allah dan mentaati Nabi itu sama
dengan mentaati Allah. (Lihat: QS. Alu Imraan/ 3 : 31 - 32), maka sangatlah
ironis apabila seruan akan cinta Nabi diiringi dengan sesuatu yang bertolak
belakang dengan sunnahnya. Atau, bersemangat dengan sesuatu yang dinilainya
dapat menbangkitkan gelora cinta kepada Nabi, namun Nabinya sendiri tidak
melakukannya. Demikian pula orang-orang hebat yang tidak di ragukan lagi cinta
mereka kepada Nabi, baik shahabat, taabi’ien, taabi’ut taabi’ien dan generasi
yang mengikuti jejak langkah mereka dari para imam pemberi petunjuk serta
orang-orang yang mengikutinya, juga
tidak melakukannya.
Kalaulah ada amalan yang dianggap sunnah di zaman ini, sudah tentu
mereka generasi terbaik ummat sudah terlebih dahulu mengamalkannya. Lau kaana
khairan lasabaquunaa ilaihi.
______
Penulis adalah: Anggota Dewan Hisbah PP. Persatuan Islam (Komisi
'Aqiedah), Anggota Fatwa MIUMI Pusat (Perwakilan Jawa Barat), Wakil Sekretaris
KDK MUI Pusat, Ketua Bidang Ghazwul Fikri & Harakah Haddaamah Pusat Kajian
Dewan Da'wah dan Ketua Prodi KPI STAIPI-UBA Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar