17 Januari 2019

Agenda Ekonomi Syari’ah yang (hampir) Terlupakan



Oleh: Tiar Anwar Bachtiar


Sejak diizinkan pendirian bank syari`ah tahun 90-an, apa yang kini disebut “ekonomi Islam” memperlihatkan optimisme yang cukup membanggakan. Memang cukup beralasan. Optimisme itu diikuti dengan kenyataan semakin diterimanya ekonomi syari`ah oleh masyarakat. Bank-bank syari`ah berdiri di mana-mana. BMT-BMT terus bertambah. Bank-bank konvesional pun mulai ikut membuka cabang syariah. Dual banking sistem (bank dua sistem) mulai menjadi trend bank-bank berkapitalisasi besar. Bahkan saat ini bank-bank besar berusaha menyapih unit-unit syariahnya menjadi BUS (Bank Umum Syariah) yang mandiri dan terlepas dari bank induknya seperti Bank Syariah Mandiri, BNI Syariah, BRI Syariah, dan lainnya. Apapun motivasi di balik kenyataan itu, satu hal yang pasti bahwa ekonomi syari`ah bukan lagi hal yang tabu dan terlihat berkembang ke arah yang lebih positif.
Secara ideal, ekonomi Islam menginginkan adanya keadilan ekonomi, baik yang berkenaan dengan mikro ekonomi, sistem moneter, fiskal, maupun pembangunan ekonomi yang bersangkutan langsung dengan kesejahteraan ekonomi umat (Abidin dalam Chepra, 2000: xi). Untuk itu, Islam mengajarkan prinsip-prinsip mu`malah maliyah sebagai dasar dalam mewujudkan sistem ekonomi Islam yang utuh, tidak hanya sistem moneter, tapi juga sistem kebijakan mikro, makro, fiskal dan ekonomi pembangunan. Satu sama lain harus diwujudkan  bersama-sama agar dapat bersinergi mewujudkan kemaslahatan umat sebagai tujuan utama syari’ah (maqashid  asy-syari’ah). Kemaslahatan dalam praktek ekonomi diwujudkan dalam bentuk nyata berupa efesiensi dan pemerataan distribusi sumber-sumber ekonomi (Chepra, 2000: 9-11).
Namun kelihatannya, apa yang diyakini sebagai ekonomi syari`ah saat ini baru sebatas pada aspek moneter. Sisi yang lain belum terlihat disentuh secara serius (atau mungkin malah dianggap sebagai bukan urusan ekonomi syari’ah). Oleh karena itu, tidak perlu heran bila kemudian ada yang beranggapan seolah-olah ekonomi Islam sama dengan bank Islam dan asuransi Islam. Indikasinya, hampir semua kegiatan ekonomi syari`ah lebih terfokus pada perbaikan sistem keuangan, terutama dengan mendirikan bank-bank syari`ah dan mempersiapkan calon-calon ahli keuangan Islam melalui berbagai institusi perguruan tinggi.
Di satu sisi ini adalah suatu langkah maju yang menggembirakan. Namun di sisi yang lain ada kehawatiran tidak akan terlaksanya maqashid asy-syar`i (tujuan syari`at), bila yang diperhatikan hanya sebatas aspek keuangan. Padahal, ekonomi syari`at  menginginkan terciptanya pemerataan distribusi sumber-sumber ekonomi untuk semua orang. Dengan ini diharapkan harta tidak hanya berputar di kalangan orang-orang kaya (al-Hasyr [59]:7) agar jurang yang menganga antara si kaya dan si miskin dapat diperkecil.
Tujuan ini tidak akan pernah tercapai jika hanya mengandalkan bank-bank atau asuransi-asuransi Islam, mengingat aspek ekonomi yang tidak satu dimensi. Bank-bank Islam boleh menyangkal dengan menyebutkan BMT-BMT yang alokasi kreditnya sengaja diperuntukan bagi pengusaha-pengusaha kecil. Akan tetapi BMT bukan indikasi yang tepat untuk menunjukan kemampuan lembaga keuangan dalam menyelesaikan problem  ekonomi rakyat miskin. Lembaga keuangan seperti BMT, BPR syari’ah, atau BMI perhatianya lebih tertuju pada permodalan. Sementara problem pengusaha-pengusaha kecil dan miskin tidak hanya itu. Manajemen yang amburadul, kreativitas usaha yang kecil, akses pasar yang rendah, dan segudang problem lain masih melekat kuat. Apakah problem semacam itu cukup diselesaikan dengan pemberian modal? Apalagi kalau berhitung untung-rugi. Lembaga keuangan mana yang mau ambil resiko memberi kredit kepada pengusaha yang tidak prospektif?
Belum lagi berbicara mayoritas rakyat Indonesia yang bermata pencaharian petani. Persentase rakyat miskin lebih banyak berasal dari gologan petani. Sangat jarang petani yang kaya. Problem mereka lebih pelik. Petani kita tidak hanya dihadapkan dengan masalah kurangnya modal untuk mengelola lahan, tetapi juga masalah sempitnya lahan garapan, kebijakan pertanian yang timpang, merosotnya harga saat panen, serta melambungnya harga pupuk dan obat-obatan. Pendeknya, petani selalu tidak dalam posisi yang diuntungkan. Apakah persoalan-persoalan seperti itu cukup hanya mengandalkan  BMT? Jangankan untuk menyelesaikan problem yang  begitu pelik, memberikan kredit modal untuk petani pun mungkin akan dipikirkan bolak-balik mengingat potensi pengembalian yang kecil.
Bagaimanapun, sebagai lembaga bisnis, bank-bank syari’ah harus bertahan hidup. Profitabilitas tentu akan tetap dikejar. Masalahnya, bank, terutama BMT, tidak akan profitable kalau harus memodali  usaha-usaha kecil yang manajemennya tidak jelas. Dengan sistem bagi hasil, pihak bank harus sungguh-sungguh  memperhatikan kelayakan  usaha calon kreditur. Jika tidak, bank tidak akan pernah mendapatkan profit sharing untuk tetap bertahan. Akhirnya, bank akan lebih selektif memilih calon kreditur. Ini sama artinya  dengan menutup kesempatan  bagi pengusaha-pengusaha mikro mendapatkan akses modal. Lagi-lagi, pihak perbankan tetap akan lebih berpihak pada pengusaha-pengusaha dengan kapitalisasi besar.
Apakah semua ini berarti harus memangkas lembaga-lembaga keuangan syari`ah yang telah ada? Sama sekali tidak. Upaya-upaya perbaikan sistem moneter agar terhindar dari unsur ribawi harus terus dipertahankan dan dikembangkan. Namun di samping itu, perlu diimbangi dengan ikhtiar ekonomi lain yang lebih berorientasi pada peningkatan kesejahteraan umat seperti bagaimana merumuskan kebijakan-kebijakan makro ekonomi berdasarkan syari`ah yang lebih berpihak pada umat, atau, dalam konteks mikro, bagaimana menumbuhkan keberdayaan ekonomi rakyat yang selama ini ditindas oleh struktur ekonomi yang timpang, namun tetap dalam koridor syari`ah. Usaha ke arah sana belum terlihat tumbuh baik dan massif dalam gerakan ekonomi Islam.
Untuk itu, tentu perlu dirintis gerakan-gerakan ekonomi yang lebih komprehensif, tidak hanya pada aspek keuangan. Para cendekiawan ekonomi Islam harus mulai mengembangkan bidang kajian  ekonomi Islam lain selain bidang kajian keuangan. Mungkin perlu dirintis studi ekonomi pembangunan Islam, kajian kebijakan publik berdasarkan syari`ah, atau studi pemberdayaan masyarakat miskin. Ketiga bidang kajian ini sangat berkait dengan upaya pemerataan sumber-sumber ekonomi.
Tidak cukup hanya mengembangkan kajian, perlu juga ada gerakan yang simultan untuk menunjang terciptanya tatanan ekonomi syari`ah yang berkeadilan itu. Pertama,  harus ada desakan politik yang signifikan untuk mengubah kebijakan ekonomi menjadi lebih berpihak pada umat yang dilandaskan pada semangat syari`ah. Partai-partai Islam sampai saat ini belum ada yang secara serius memperjuangkan masalah ini. Mereka lebih sibuk mengurus urusannya masing-masing. Kepentingan umat dan rakyat akhirnya tidak terperhatikan. Padahal, secara ideologis, merekalah yang paling berkepentingan dalam masalah ini. Kedua, harus ada gerakan swadaya masyarakat yang berorientasi pada pemberdayaan dan pengembangan ekonomi rakyat. Peran ini dapat diambil oleh LSM-LSM atau ormas-ormas Islam. Sampai saat ini pun belum terlihat ada gerakan serius dari LSM-LSM muslim atau ormas-ormas Islam untuk bergerak ke arah sana. Beberapa ormas masih sibuk ngurusi soal-soal khilafiyah fiqh ibadah, padahal tantangan masyarakat sudah semakin kompleks. Berdirinya BMT-BMT di mana-mana seharusnya menjadi contoh gerakan swadaya masyarakat oleh LSM-LSM dan ormas-ormas Islam. Semangat ideologis mampu memberikan inspirasi mendobrak tatanan keuangan kapitalisme. Semangat ideologis serupa semestinya digunakan pula untuk melakukan gerakan-gerakan pemberdayaan masyarakat. Dengan cara ini mudah-mudahan keadilan ekonomi yang diharapkan muncul dari ekonomi Islam dapat segera terwujud. Wallahu A`lamu bish-Shawwab

*) Tiar Anwar Bachtiar
Alumni Pesantren Persatuan Islam no. 19 Garut
Menyelesaikan kuliah di Jurusan Sejarah Universitas Padjadjaran Bandung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar