Oleh: Tiar Anwar Bachtiar
Sejak diizinkan pendirian bank syari`ah tahun 90-an,
apa yang kini disebut “ekonomi Islam” memperlihatkan optimisme yang cukup
membanggakan. Memang cukup beralasan. Optimisme itu diikuti dengan kenyataan
semakin diterimanya ekonomi syari`ah oleh masyarakat. Bank-bank syari`ah
berdiri di mana-mana. BMT-BMT terus bertambah. Bank-bank konvesional pun mulai
ikut membuka cabang syariah. Dual banking sistem (bank dua
sistem) mulai menjadi trend bank-bank berkapitalisasi besar. Bahkan saat ini
bank-bank besar berusaha menyapih unit-unit syariahnya menjadi BUS (Bank Umum
Syariah) yang mandiri dan terlepas dari bank induknya seperti Bank Syariah
Mandiri, BNI Syariah, BRI Syariah, dan lainnya. Apapun motivasi di balik
kenyataan itu, satu hal yang pasti bahwa ekonomi syari`ah bukan lagi hal yang
tabu dan terlihat berkembang ke arah yang lebih positif.
Secara ideal, ekonomi Islam menginginkan adanya
keadilan ekonomi, baik yang berkenaan dengan mikro ekonomi, sistem moneter,
fiskal, maupun pembangunan ekonomi yang bersangkutan langsung dengan
kesejahteraan ekonomi umat (Abidin dalam Chepra, 2000: xi). Untuk itu, Islam
mengajarkan prinsip-prinsip mu`malah maliyah sebagai dasar dalam
mewujudkan sistem ekonomi Islam yang utuh, tidak hanya sistem moneter, tapi
juga sistem kebijakan mikro, makro, fiskal dan ekonomi pembangunan. Satu sama
lain harus diwujudkan bersama-sama agar
dapat bersinergi mewujudkan kemaslahatan umat sebagai tujuan utama syari’ah (maqashid asy-syari’ah). Kemaslahatan dalam praktek
ekonomi diwujudkan dalam bentuk nyata berupa efesiensi dan pemerataan
distribusi sumber-sumber ekonomi (Chepra, 2000: 9-11).
Namun kelihatannya, apa yang diyakini sebagai ekonomi
syari`ah saat ini baru sebatas pada aspek moneter. Sisi yang lain belum
terlihat disentuh secara serius (atau mungkin malah dianggap sebagai bukan
urusan ekonomi syari’ah). Oleh karena itu, tidak perlu heran bila kemudian ada
yang beranggapan seolah-olah ekonomi Islam sama dengan bank Islam dan asuransi
Islam. Indikasinya, hampir semua kegiatan ekonomi syari`ah lebih terfokus pada
perbaikan sistem keuangan, terutama dengan mendirikan bank-bank syari`ah dan
mempersiapkan calon-calon ahli keuangan Islam melalui berbagai institusi
perguruan tinggi.
Di satu sisi ini adalah suatu langkah maju yang
menggembirakan. Namun di sisi yang lain ada kehawatiran tidak akan terlaksanya maqashid
asy-syar`i (tujuan syari`at), bila yang diperhatikan hanya sebatas aspek keuangan.
Padahal, ekonomi syari`at menginginkan
terciptanya pemerataan distribusi sumber-sumber ekonomi untuk semua orang.
Dengan ini diharapkan harta tidak hanya berputar di kalangan orang-orang kaya
(al-Hasyr [59]:7) agar jurang yang menganga antara si kaya dan si miskin dapat
diperkecil.
Tujuan
ini tidak akan pernah tercapai jika hanya mengandalkan bank-bank atau
asuransi-asuransi Islam, mengingat aspek ekonomi yang tidak satu dimensi.
Bank-bank Islam boleh menyangkal dengan menyebutkan BMT-BMT yang alokasi
kreditnya sengaja diperuntukan bagi pengusaha-pengusaha kecil. Akan tetapi BMT
bukan indikasi yang tepat untuk menunjukan kemampuan lembaga keuangan dalam
menyelesaikan problem ekonomi rakyat
miskin. Lembaga keuangan seperti BMT, BPR syari’ah, atau BMI perhatianya lebih
tertuju pada permodalan. Sementara problem pengusaha-pengusaha kecil dan miskin
tidak hanya itu. Manajemen yang amburadul, kreativitas usaha yang kecil, akses
pasar yang rendah, dan segudang problem lain masih melekat kuat. Apakah problem
semacam itu cukup diselesaikan dengan pemberian modal? Apalagi kalau berhitung
untung-rugi. Lembaga keuangan mana yang mau ambil resiko memberi kredit kepada
pengusaha yang tidak prospektif?
Belum lagi berbicara mayoritas rakyat
Indonesia yang bermata pencaharian petani. Persentase rakyat miskin lebih
banyak berasal dari gologan petani. Sangat jarang petani yang kaya. Problem
mereka lebih pelik. Petani kita tidak hanya dihadapkan dengan masalah kurangnya
modal untuk mengelola lahan, tetapi juga masalah sempitnya lahan garapan,
kebijakan pertanian yang timpang, merosotnya harga saat panen, serta
melambungnya harga pupuk dan obat-obatan. Pendeknya, petani selalu tidak dalam
posisi yang diuntungkan. Apakah persoalan-persoalan seperti itu cukup hanya
mengandalkan BMT? Jangankan untuk
menyelesaikan problem yang begitu pelik,
memberikan kredit modal untuk petani pun mungkin akan dipikirkan bolak-balik
mengingat potensi pengembalian yang kecil.
Bagaimanapun, sebagai lembaga bisnis, bank-bank syari’ah
harus bertahan hidup. Profitabilitas tentu akan tetap dikejar. Masalahnya,
bank, terutama BMT, tidak akan profitable kalau harus memodali usaha-usaha kecil yang manajemennya tidak
jelas. Dengan sistem bagi hasil, pihak bank harus sungguh-sungguh memperhatikan kelayakan usaha calon kreditur. Jika tidak, bank tidak
akan pernah mendapatkan profit sharing untuk tetap bertahan. Akhirnya,
bank akan lebih selektif memilih calon kreditur. Ini sama artinya dengan menutup kesempatan bagi pengusaha-pengusaha mikro mendapatkan
akses modal. Lagi-lagi, pihak perbankan tetap akan lebih berpihak pada
pengusaha-pengusaha dengan kapitalisasi besar.
Apakah
semua ini berarti harus memangkas lembaga-lembaga keuangan syari`ah yang telah
ada? Sama sekali tidak. Upaya-upaya perbaikan sistem moneter agar terhindar
dari unsur ribawi harus terus dipertahankan dan dikembangkan. Namun di samping
itu, perlu diimbangi dengan ikhtiar ekonomi lain yang lebih berorientasi pada
peningkatan kesejahteraan umat seperti bagaimana merumuskan kebijakan-kebijakan
makro ekonomi berdasarkan syari`ah yang lebih berpihak pada umat, atau, dalam
konteks mikro, bagaimana menumbuhkan keberdayaan ekonomi rakyat yang selama ini
ditindas oleh struktur ekonomi yang timpang, namun tetap dalam koridor syari`ah.
Usaha ke arah sana belum terlihat tumbuh baik dan massif dalam gerakan ekonomi
Islam.
Untuk
itu, tentu perlu dirintis gerakan-gerakan ekonomi yang lebih komprehensif,
tidak hanya pada aspek keuangan. Para cendekiawan ekonomi Islam harus mulai
mengembangkan bidang kajian ekonomi
Islam lain selain bidang kajian keuangan. Mungkin perlu dirintis studi ekonomi
pembangunan Islam, kajian kebijakan publik berdasarkan syari`ah, atau studi
pemberdayaan masyarakat miskin. Ketiga bidang kajian ini sangat berkait dengan
upaya pemerataan sumber-sumber ekonomi.
Tidak
cukup hanya mengembangkan kajian, perlu juga ada gerakan yang simultan untuk
menunjang terciptanya tatanan ekonomi syari`ah yang berkeadilan itu. Pertama,
harus ada desakan politik yang
signifikan untuk mengubah kebijakan ekonomi menjadi lebih berpihak pada umat
yang dilandaskan pada semangat syari`ah. Partai-partai Islam sampai saat ini
belum ada yang secara serius memperjuangkan masalah ini. Mereka lebih sibuk
mengurus urusannya masing-masing. Kepentingan umat dan rakyat akhirnya tidak
terperhatikan. Padahal, secara ideologis, merekalah yang paling berkepentingan
dalam masalah ini. Kedua, harus ada gerakan swadaya masyarakat yang
berorientasi pada pemberdayaan dan pengembangan ekonomi rakyat. Peran ini dapat
diambil oleh LSM-LSM atau ormas-ormas Islam. Sampai saat ini pun belum terlihat
ada gerakan serius dari LSM-LSM muslim atau ormas-ormas Islam untuk bergerak ke
arah sana. Beberapa ormas masih sibuk ngurusi soal-soal khilafiyah fiqh
ibadah, padahal tantangan masyarakat sudah semakin kompleks. Berdirinya
BMT-BMT di mana-mana seharusnya menjadi contoh gerakan swadaya masyarakat oleh
LSM-LSM dan ormas-ormas Islam. Semangat ideologis mampu memberikan inspirasi
mendobrak tatanan keuangan kapitalisme. Semangat ideologis serupa semestinya
digunakan pula untuk melakukan gerakan-gerakan pemberdayaan masyarakat. Dengan
cara ini mudah-mudahan keadilan ekonomi yang diharapkan muncul dari ekonomi
Islam dapat segera terwujud. Wallahu A`lamu bish-Shawwab
*) Tiar Anwar Bachtiar
Alumni Pesantren Persatuan Islam no. 19 Garut
Menyelesaikan kuliah di Jurusan Sejarah
Universitas Padjadjaran Bandung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar