27 Desember 2016

APAKAH SULTAN AL-FATIH PERNAH SHALAT JUMAT DI JALAN SEPANJANG 4 KM TAHUN 1453?

Oleh: Dr. Tiar Anwar Bachtiar, M.Hum
 https://s-media-cache-ak0.pinimg.com/originals/89/5d/a3/895da302d92d04de94991f85bf073f5a.jpg
Energi Al-Maidah 51 rupanya mesih terus menyemai kekuatannya hingga saat ini. Penetapan Ahok sebagai tersangka tanpa penahanan, pemeriksaan, dan proses peradilan yang cepat menyebabkan umat Islam meragukan kesungguhan pemerintah dan penegak hukum dalam menangani kasus ini. Tidak heran bila kemudian, para ulama yang menggerakkan Aksi 411, serta merancang aksi “Super Damai” pada tanggal 2 Desember 2016. Aksi ini dirancang dalam bentuk Shalat Jumat di sepanjang Jalan Sudirman hingga Thamrin Jakarta.
Untuk menyemangati aksi ini sebagai aksi yang juga pernah terjadi pada masa lalu, beredar BC (broadcast) entah dari mana di medsos yang menyebut beberapa peristiwa. Salah satunya disebutkan bahwa shalat Jumat di jalan yang paling besar dilakukan pada masa Sultan Al-Fatih menjelang penaklukkan Konstantinopel. Isinya kurang lebih seperti di bawah ini:
“Tahukah anda, sholat Jumat termegah dan terpanjang pernah terjadi pada tahun 1453 dilakukan oleh Sultan Muhammad Al Fath. Termegah karena sholat itu dilakukan di jalan menuju konstatinopel dengan jamaah yang membentang sepanjang 4 km dari Pantai Marmara hingga Selat Golden Horn di utara. Sholat jumat tersebut terjadi 1,5 KM di depan benteng Konstantinopel, dalam proses Penaklukan Konstantinopel oleh Sultan yang kemudian mengakhiri sejarah Kekaisaran Byzantium dan menjadi cikal bakal kekhalifahan Utsmaniyah.”

Pertanyaannya: apakah cerita ini benar? dari manakah sumber ceritanya? Tulisan ini akan menelusuri kebenaran klaim cerita ini dengan membandingkan beberapa tulisan mengenai Penaklukkan Konstantinopel oleh Al-Fatih. Bila cerita ini benar tentu saja ini menjadi preseden yang menakjubkan. Akan tetapi, bila sumbernya tidak ada atau sangat lemah, maka sebaiknya cerita semacam ini dihindari untuk meminimalisir umat Islam terkesan selalu bersemangat tinggi, tapi mengabaikan nalar dan ilmu. Masih banyak cara lain untuk menyemangati umat untuk turun membela Islam 212 hari ini. Tulisan ini semata-mata sebagai amanah ilmiah saja, sama sekali tidak ada niat untuk melemahkan semangat atau menciptakan front untuk diadu-domba.
***
Setelah ditelusuri, sumber dari cerita di atas yang paling dekat ternyata ditemukan dalam buku Felix Siauw Muhammad Al-Fatih 1453 (Khilafah Press Jakarta, cet. ke-3 2012) hal. 129. Ada juga buku lain yang lebih lama yang juga memuat kisah yang hampir mirip cerita dalam buku Felix yaitu dalam buku Alwi Alasat Muhammad Al-Fatih Sang Penakluk Konstantinopel (Zikrul Hakim Jakarta, cet. ke-1 th. 2005) hal. 73-74. Mengingat buku Alwi Alatas ini ditulis lebih dahulu, sangat mungkin Felix Siauw juga mengacu pada buku. Apalagi, pada bagian daftar pustaka, Felix menyebut buku Alwi ini sebagai salah satu referensi yang ia gunakan untuk menulis bukunya yang cukup laris ini.
Baik buku Felix maupun Alwi sama-sama menyebut bahwa tanggal 6 April (1453) pasukan Muhammad Al-Fatih yang sudah dipersiapkan sebanyak 250.000 (Alwi menyebutnya 150.000) tentara sampai ke Konstantinopel. Sekitar 1,5 km sebelah Barat menjelas Benteng Konstantinopel, mereka berhenti. Al-Fatih kemudian mengimami shalat dan berkhutbah menyemangati tentaranya yang akan segera bertempur dengan musuh.  Felix menyebut barisan shalatnya sepanjang 4 km membentang dari Pantai Marmara hingga Selat Golden Horn. Dalam buku Alwi tidak disebutkan jarak bentangannya. Hanya disebutkan saja melaksanakan shalat Jumat. Oleh sebab itu, soal panjang barisan shalat Jumat “4 km” hanya ditemukan dalam bukunya Felix sehingga bisa dipastikan sumber utama BC di atas adalah berasal dari buku Felix.
Masalah dalam cerita ini terletak pada tiga hal, yaitu: soal tanggal 6 April, soal shalat Jum’at, dan soal barisan shalat di jalan sepanjang 4 km. Pertama, mengenai sampainya pasukan Al-Fatih ke Konstantinopel pada tanggal 6 April memang ditemukan hampir dalam buku-buku sumber lain. Misalnya terdapat dalam buku Muhammad Ali Shallaby Fâtih Al-Qashtanthiniyyah (Dar Al-Tauzi’ wa Al-Nasyr Al-Islamiyah Kairo, 2006) hal. 92 dan Abdul Azis Ibrahim Al-Umari Al-Futûh Al-Islâmiyyah ‘Abra Al-‘Ushûr (Dar Isybilya Riyadh, 1421 H) hal. 364. Akan tetapi dalam buku Abdussalam Abdul Aziz Fahmi Al-Sulthân Muhammad Al-Fâtih (Dar El-Qolam Damaskus, 1993) hal. 83 disebutkan tanggal 5 April (bukan tanggal 6 April). Hanya saja, baik yang menyebut tanggal 6 atau tanggal 5 semuanya mengacu pada tanggal Hijriyah yang sama, yaitu tanggal 26 Rabiul Awal 857 H. Bila memperhatikan perbedaan penentuan tanggal Masehinya, berarti tanggal yang ada dalam sumber-sumber aslinya adalah tanggal Hijriyah. Sementara tanggal masehinya hanya perkiraan.
Kedua, saat datang ke Konstantinopel, BC di atas menyebutkan ada shalat Jumat. Kalau ada shalat Jumat, berarti tanggal 5/6 April itu jatuh pada hari “Jum’at”. Sementara dalam sumber-sumber yang penulis baca di atas, tidak ada satupun yang menyebut bahwa tanggal tersebut hari Jumat. Mereka semua sependapat bahwa tanggal 5/6 April tersebut jatuh pada “hari Kamis”. Oleh sebab itu, Shallaby, Al-Umari, dan Fahmi pada saat tiba di Konstantinopel Al-Fatih bersama pasukannya shalat; kemudian Al-Fatih berkhutbah di hadapan tentaranya untuk memberikan semangat kepada mereka sedemikian rupa. Pasukan pun kemudian menyambutnya sengan takbîr, tahmîd, tahlîl, dan berdoa pada Allah Swt. Ini jelas bukan shalat Jumat, karena terjadi pada hari kamis. Apakah shalat fardhu atau shalat sunat? Tidak ada sumber yang menyebutkan secara jelas. Baru keesokan harinya (Jumat), pasukan masuk ke Konstantinopel memulai penyerangan. Dalam berbagai sumber memang diceritakan bahwa awal penyerangan ke Konstantinopel adalah hari Jumat.
Lalu dari mana hari Jumat didapat? Alwi Alatas menyebutkan bahwa sumber yang digunakannya adalah tulisan sejarawan Turki Mehmet Maksudoglu Ottoman History (Manuskrip Tanpa Tahun, hal. 114). Sumber lain seperti The History of Byzantium tulisan Timothy E. Gregory juga menyebutkan tanggal 6 April adalah hari Jumat. Kesimpulan ini bisa jadi diambil setelah menghitung akhir penaklukan Konstantinopel tanggal 29 Mei 1453 bertepatan dengan “hari Selasa”. Kalau dihitung mundur dari tanggal ini, maka 6 April memang jatuh pada hari Jumat. Akan tetapi, kalau mengambil tanggal yang dipilih Fahmy, yaitu tanggal 5, maka kedatangan awal ke Konstantinopel tetap terjadi hari Kamis, bukan Jumat.
Ketiga, apakah saat shalat dilaksanakan di jalan hingga mengular sepanjang 4 km dari Laut Marmara sampai Golden Horn? Penulis berusaha mencari sumber-sumber pembanding atas cerita ini. Namun, sependek yang penulis baca, belum ada satupun sumber-sumber berbahasa Arab yang mengatakan seperti klaim di atas. Alhasil cerita di atas hanya ditemukan dalam buku Felix Siauw. Sayang sekali, Felix tidak menyebutkan dari mana sumber cerita tersebut sehingga tidak bisa dilakukan kajian lanjutan atas cerita ini. Kalau Felix ternyata juga tidak punya rujukan, berarti ia hanya berimajinasi mengenai masalah ini. Ia bayangkan ada pasukan sebanyak 250.000. Mereka pasti menggunakan berbagai alat-alat tempur. Barisan mereka mungkin mengular sampai sejauh itu. Imajinasi liar semacam ini tentu memiliki banyak sekali kelemahan. Kalau itu adalah shalat Jumat, apa alasannya yang digunakan adalah jalan? Memang belum ada mesjid, tapi kenapa alternatifnya bukan tanah yang lapang? Mengumpulkan orang akan lebih mudah di tanah lapang. Felix memang tidak menyebut jalan, tapi “membariskan” shaf sampai 4 km dari utara ke selatan. Ini akan lebih rumit lagi. Bila dihitung 1 shaf jaraknya 1 meter, berarti diperlukan 4000 shaf yang terdiri 62 sd 63 orang per shaf. Memang akan kelihatan seperti berdiri di jalan. Tapi tentu akan lebih mudah kalau setiap lebih lebar dari hanya 62 orang. Lagi pula apakah itu memungkinkan? Banyak lagi pertanyaan-pertanyaan teknis atas imajinasi liar ini. Walau demikian, semua ini bisa saja diterima apabila ada sumber yang mengatakan hal itu. Namun sayang, sama sekali belum ditemukan berita mengenai hal tersebut.
Berdasarkan analisis di atas, untuk sementara penulis berkesimpulan bahwa Muhammad Al-Fatih tidak melakukan shalat Jumat pada saat awal kedatangan ke Konstantinopel, melainkan shalat biasa dan khutbah untuk menyemangati pasukannya. Ini dilakukannya pada hari kamis. Sementara shalat Jum’atnya kemungkinan tidak dilaksanakan mengingat dalam keadaan safar dan perang. Dalam situasi ini, shalat boleh dilakukan secara jamak-qashar khusus perang (shalat khauf). Jadi, dalam hal ini berlaku rukhshah untuk Al-Fatih dan pasukannya. Wallâhu A’lam.

08 Desember 2016

Pemimpin yang Kafir tetapi Adil, Lebih Baik daripada Pemimpin Muslim yang Zalim?


Oleh: Dr. Amin Fauzi, M.A.
https://encrypted-tbn2.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcQZnMkBxanzeK60UV-GH100yUpyUswCCLsF0f41uv9VMsQw0SbJ
Baru-baru ini masyarakat kita dikejutkan dengan pernyataan seorang pemimpin Ormas Islam yang mengatakan bahwa “Pemimpin yang kafir tetapi adil, itu lebih baik daripada pemimpin Muslim yang zalim”. Apakah maksud dan hakikat dibalik pernyataan yang menimbulkan pertentangan dan kebingungan ini? Tidakkah pernyataan seperti ini adalah simbol dari sikap rendah diri di hadapan bangsa-bangsa dan agama lain? Tidakkah pernyataan tersebut akan meruntuhkan citra kader-kader pemimpin Muslim?

Perbandingan yang tidak Adil
Sesungguhnya pernyataan  tersebut tidaklah  tepat.  Apa lagi hal itu diungkapkan oleh seorang yang dianggap “ulama” dan pimpinan tertinggi ormas Islam.  Aturan logika mengatakan bahwa membuat perbandingan antara satu hal dengan hal lain itu harus seimbang; keadilan dengan keadilan, dan kezaliman dengan kezaliman. Perbandingan antara pemimpin kafir tetapi adil, tidak sepadan dengan pemimpin Muslim yang zalim. Sudah tentulah orang, secara naluriahnya, akan memilih keadilan daripada kezaliman. Apa pun keadaannya dan di mana pun adanya. Sebab keadilan itu akan menciptakan keamanan, kesejahteraan dan keharmonisan. Kalau mau membandingkan, seharusnya adalah antara pemimpin kafir yang adil dengan pemimpin Muslim yang adil; atau pemimpin kafir yang zalim dengan pemimpin Muslim yang zalim. Ini sejalan dengan pengertian keadilan itu sendiri yang berarti “seimbang”, “sejajar”, “setara.”  
Dalam soal ini, ada yang berhujah dengan pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taymiyyah. Menurutnya, Ibnu Taymiyyah saja yang dianggap sebagai tokoh utama kalangan “salafiyyah” yang dianggap cukup keras, membolehkan memilih dan mengangkat pemimpin yang kafir asalkan adil, daripada pemimpin Muslim yang zalim. Sebenarnya tidak demikian maksudnya. Ibnu Taymiyyah tidak pernah membolehkan hal itu. Bahkan ia melarangnya dengan keras. Yang ada ialah, dia mengatakan bahwa “Allah mendukung pemerintahan yang adil, walaupun dipimpin oleh orang kafir. Tetapi sebaliknya, Allah akan menghancurkan pemerintahan yang zalim, walaupun dipimpin oleh seorang Muslim”. Konteks atau siyaqul kalam dari perkataan Ibnu Taymiyyah itu bukan soal memilih dan mengangkat pemimpin, tetapi soal keadilan. Keadilan itu adalah sunnatullah sebagaimana juga kezaliman. Kedua hal tersebut berlaku baik itu kepada pemimpin atau masyarakat Muslim maupun kafir. Keadilan, dimana pun adanya, akan senantiasa dirindukan dan didukung oleh manusia. Sebaliknya, kezaliman itu, di mana dan siapa pun pelakunya, akan senantiasa dibenci dan ditentang manusia. Keadilan itu diperintahkan oleh Allah dan disukai manusia sebab hal itu mendatangkan kebahagiaan dan kesejahteraan. Sedangkan kezaliman itu dilarang oleh Allah dan dibenci manusia sebab hal itu mendatangkan banyak kemudaratan dan kesengsaraan.

Kepentingan Tertentu
Perbandingan yang jelas-jelas tidak seimbang itu bisa menimbulkan kecurigaan dan bisa dimaknai banyak hal. Salah satu di antaranya adalah, adanya kepentingan tertentu dibalik pernyataan tersebut; bisa jadi kepentingan ekonomi, politik dan kekuasaan, atau pun yang lainnya. Tafsiran semacam itu muncul sebab ia berada pada konteks menjelang PILKADA (pemilihan kepala daerah) pada awal 2017, terutama di wilayah DKI Jakarta yang saat ini dipimpin oleh gubernur non-Muslim. Akan ada saja orang yang memanfaatkan keadaan tersebut untuk diri atau kelompoknya sendiri dengan mengatas namakan atau mencari-cari dalil dan justifikasi dari sumber-sumber keagamaan.  
Bukan hanya itu, pernyataan seperti itu juga secara implisit terselip adanya sikap rendah diri dan merendahkan kader-kader pemimpin dari kalangan umat Islam. Sikap rendah diri adalah salah satu penghalang utama kebangkitan umat Islam. Sikap semacam ini bukan hanya meruntuhkan kepercayaan diri umat, tetapi juga memperhambakan mereka di depan orang lain yang tidak akan pernah perduli dengan nasib mereka. Selama sikap semacam ini terus ditanamkan, dipupuk dan dipelihara, maka sulit untuk membayangkan umat Islam akan memiliki kader-kader pemimpin yang memiliki integritas moral dan intelektual yang tinggi.  Akan sangat sulit lahir pemimpin-pemimpin pemersatu umat yang bisa membawa mereka kepada kejayaan. Walaupun secara kuantitas umat Islam adalah mayoritas, tetapi dari segi mentalitas tetap saja menjadi kaum inlander atau kaum marjinal yang tertindas.   
Oleh karena itu, sudah saatnya umat Islam bersatu. Sudah saatnya umat Islam memilih dan mengangkat pemimpin dari kalangan mereka sendiri. Pemimpin-pemimpin yang betul-betul beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, yang adil dan amanah. Pemimpin-pemimpin yang tidak angkuh, bersikap rendah hati, sabar dan penuh kasih sayang. Pemimpin-pemimpin seperti itulah yang pantas menjadi penolong orang-orang yang beriman sebagaimana firman Allah:
Dan barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang (QS, Al-Ma’idah, 5:56).
            Mengangkat pemimpin yang beriman dan adil itu banyak kemaslahatannya. Mereka dengan sendirinya akan melindungi agama Islam dari berbagai gangguan dan rongrongan. Dengan kekuasaan di tangannya, dia bisa menghukum siapa pun yang berusaha menodai dan mencemari kesucian agama Islam. Dia juga akan sangat mengerti berbagai keinginan dan harapan umat, sebab dia lahir dari lingkungan mereka dan merasakan apa yang dirasakan oleh mereka. Dia juga akan berbaur dengan mudah dengan umatnya; sholat berjama’ah bersama mereka, bersama-sama menjalankan puasa dan menunaikan zakat. Rasa bersamaan dan ketaatan yang diikat oleh keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya yang semacam itulah yang akan diberkati dan dirahmati oleh Allah SWT sebagaimana firman-NYa:
Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana (QS, At-Taubah, 9:71)

WASPADA KOMUNIS BANGKIT LAGI!


Oleh: Ihsan Setiadi Latief 
https://encrypted-tbn0.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcTqgvyRtL34Eqnu6BF6b6zRPeEIe9IkA0VnzLknZgSVRFKDg_6CeA
Sebagai sebuah ideologi, walaupun komunisme sudah dilarang di Indonesia sejak lama, pendukungnya tetap ada. Mungkin kaum komunis belum berani muncul secara terang-terangan saat ini. Namun bukan berarti mereka diam. Bila saatnya mereka rasakan sudah tepat, pasti mereka akan muncul kembali. Tulisan ini akan mengulas beberapa indikasi yang menunjukkan bahwa sekarang kaum komunis tengah mulai mencari-cari kesempatan untuk menghidupkan ideologi mereka. Seperti yang diungkapkan ketua CCPKI Sudisma dalam sidang mahkamah militer luar biasa (Mahmilub) 1967, “Jika saya mati, bukannya PKI ikut mati. Tidak sama sekali tidak. Walaupun PKI sekarang sudah rusak berkeping-keping, saya yakin ini hanya sementara. dalam  proses sejarah, nanti PKI tumbuh kembali. Sebab PKI adalah anak zaman yang dilahirkan oleh zaman.“
Indikasi mulai bangkitnya komunisma dimulai sejak kejatuhan rezim Suharto. Mudahnya menggelar demonstrasi di era Reformasi ini membuat komunisme mudah pula untuk meyusup. Lambang-lambang komunis, palu dan arit, mudah ditemukan di atribut-atribut anak muda yang suka berdemonstrasi. Kalau pun bukan lambang itu, foto-foto Marx dan Engels sebagai penggagas komunisme banyak terpampang pada kaos-kaos mereka.
Slogan-slogan demonstrasi pun sudah mulai berbau komunisme:buruh bersatu tak bisa dilawan, rakyat bersatu tak bisa dikalahkan, dan yang semacamnya. Komunisme pun ditengarai sudah menyusup dengan bentuk baru. Beberapa pihak mulai menyebut fenomena ini sebagai KGB (Komunis Gaya Baru).
Di tengah-tengah euforia reformasi ini juga, atas nama demokrasi, HAM dan keterbukaan, Tap MPRS No. 25/1996 yang berisi larangan komunisme dan UU no. 27 tahun1999 tentang larangan penyebaran paham Marxisme-Leninisme (komunisme) dipersoalkan dan dituntut untuk dicabut. Menurut mereka, TAP MPRS dan undang-undang itu menindas hak asasi manusia, sedangkan Indonesia termasuk negara yang menandatangani piagam HAM PBB, lalu mengapa TAP MPRS dan UU itu dipertahankan. Begitulah kilah mereka.
Lalu para tokoh dan simpatisan PKI itu ramai-ramai menerbitkan buku sesuai kisah masing-masing. Misalnya Hersri Setiawan, mantan aktivis Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat PKI) menulis Memoar Pulau Buru; Hasan Raid menulis Pergulatan Muslim-Komunis; Kresno Saroso menulis Dari Salemba ke Pulau Buru; Haji Ahmadi Moestahal menulis Dari Gontor ke Pulau Buru, dan Abdul Latief menulis Pledoi Latief; Soeharto Terlibat G30S dll.
Beberapa buku sejarah untuk sekolah formal mulai menghapuskan peristiwa pemberontakan PKI 1948 dan mencoba mengaburkan peristiwa G30S dengan menghilangkan singkatan PKI di belakangnya. Tercatat lebih dari 13 buku teks kurikulum pelajaran untuk tingkat SMP dan SMA tahun 2004 yang tidak mencantumkan aksi pemberontakan PKI pada tahun 1948 dan 1965 menjadi buku acuan pelajaran dan beredar di masyarakat. Belakangan, buku-buku aneh tersebut telah ditarik dari sekolah-sekolah.
Yang dianggap menjadi ikon mulai berhembusnya lagi angin komunisme ini ialah saat seorang anggoata DPR RI  dari Fraksi PDIP Ribka Tjiptaning meluncurkan bukunya pada awal Oktober 2002 dengan judul Aku Bangga Jadi Anak PKI. pada pertengahan 2006, dia meluncurkan buku kedua dengan judul Anak PKI Menjadi Anggota Parlemen.
Kongres PKI di masa orde lama merupakan kongres yang ke VII di Blitar pada tahun 1965. Sedangkan di masa orde reformasi, sudah berlangsung beberapa Kongres PKI. Pada tahun 2000 berlangsung kongres ke VIII di Sukabumi Selatan Jawa Barat, dan kongres kesembilan di adakan di Cianjur Selatan, Jawa Barat, 2006. Sementara kongres yang ke X berlangsung di Desa Ngabrak Magelang, Jawa Tengah, 2010 dengan kamuflase Pelatihan Pembuatan Pupuk Organik.
Kongres PKI ke X ini menghasilkan pengurus yang dipimpin oleh Wahyu Setiaji (DN Aidit yunior) dan Teguh Karyadi (Nyoto muda). Sementara PRD hasil kongres VIII dipimpin oleh Agus Jabo, sebagai Ketua Umum dan Dominggus Oktavianus sebagai Sekretaris Jenderal Partai Rakyat Demokratik (PRD/PKI).
Menjelang Reformasi muncul buku harian seorang kader Gerwani Muda, yang bernama Dita Indah Sari tertanggal 16 April 1996 yang berisi: ”Partai sudah berdiri, Well, 31 tahun terkubur, dibantai, dihina, dibunuh, dilarang, diawasi, dikhianati, sekarang dibangun lagi”.
Pernah dideklarasikan Partai Persatuan Pembebasan Nasional (Papernas). Ada dugaan partai ini mengusung ide-ide komunis. Anggapan ini datang setelah melihat cara-cara gerakan partai ini selalu mengusung kemiskinan dan masalah sosial sebagai agenda utamanya. Ketua majelis pertimbangan Papernas, Dita Indah Sari mengatakan bahwa kelompoknya memang mengakui berhaluan kiri. Namun dirinya mengelak jika disebut berpaham komunis
Regenerasi PKI, semakin menguat ketika para diaspora PKI, yang kembali ke Indonesia setelah masa pelarian bertahun-tahun di luar negeri, berani muncul terang-terangan menuntut rehabilitasi pada pemerintah
Munculnya aliran-aliran sesat seperti Alqur`an Suci, Al-Qiyadah Islamiyah, Syiah, Ahmadiyah ditengarai juga dihembuskan oleh pihak-pihak yang menginginkan komunisme muncul kembali. Menurut penuturan orang tua yang dulu mengalami peristiwa 1965, keadaan ini serupa pada waktu itu. Saat itu, muncul aliran-aliran menyimpang yang menjanjikan datangnya ratu adil atau Al-Masih.
Pada tahun 2015, pemerintahan Jokowi mengarahkan pembangunan infrastruktur skala besar di bidang maritim, transportasi darat dan pertanian. Pembangunan di tiga bidang ini sepintas menunjukkan keberpihakan pada rakyat. Tapi ada sebagian kalangan yang mencurigai adanya target tersembunyi program pencarian dana raksasa dari proyek tersebut, yang akan dikelola oleh para taipan, dan kelak dialirkan ke perjuangan kebangkitan komunis di Indonesia.
Pengucuran dana ini adalah awal penguasaan Cina di tanah air. Nantinya Indonesia akan mirip Hong Kong. Dilihat dari mudahnya para pekerja kasar Cina masuk ke Indonesia dan nantinya akan ada ekspansi besar-besaran Rakyat Cina ke Indonesia yang membuat warga Pribumi tersingkirkan.
Masuknya Cina juga diduga akan menyebarkan ideologi komunis ke Indonesia sebagai konsekuensi kerja sama kedua negara. Ideologi komunis Cina akan mudah menyebar di Indonesia. Memang ada yang membantah, sistem ekonomi Cina sudah kapitalis sehingga komunis tidak laku. Tapi perlu diingat, ekspansi ideologi itu tidak akan pernah mati.
Indikasi ke arah sana misalnya dikuatkan dengan beberapa peristiwa antara lain: Kunjungan pertama kali ke Luar Negeri  sejak awal dilantik sebagai Presiden adalah kunjungan ke RRC, yang penguasanya adalah Partai Komunis; memfasilitasi Konsolidasi Korban 1965, melalui Menkopolkam Luhut B Panjaitan; menerima Delegasi Partai Komunis Cina di Kantor Presiden dengan merumuskan berbagai komitmen; menugaskan Menkopolkam utk mengusut kuburan korban 1965, PKI  untuk bukti rencana Pemerintah mengeluarkan Pernyataan Minta Maaf Pemerintah thdp para korban 1965; dan membiarkan adanya rencana Apel Besar HUT PKI di GBK.
Apakah semua itu menandakan Komunis benar-benar akan bangkit lagi di Indonesia dengan dukungan penguasa? Pastinya tentu Allah Swt. lebih tahu. Yang paling penting buat kita saat ini adalah terus meningkatkan kewaspadaan kebangkitan kembali komunisme yang merupakan salah satu musuh besar Islam dan umat Islam. Wallahu A’lam.