18 November 2016

Pemikiran Liberal: Ancaman Nyata bagi Pancasila



Oleh: Sani Insan Muhammadi, S.Pd., M.Pd.

Pemikiran-pemikiran liberal, walaupun berlabel “Islam” tetap saja intinya adalah pemikiran yang mengagungkan kebebasan model “Barat” yang anti-agama, pro-kapitalisme dan pasar bebas. Oleh sebab itu, pemikiran ini bukan hanya mengancam agama, tapi juga mengancam kedaulatan negara. Ancaman pemikiran “liberal” ini terhadap agama telah ditangani oleh MUI dengan menerbitkan Fatwa MUI Tahun 2005 tentang Haramnya Sekularisme, Pluralisme, dan Liberalisme. Terbitnya fatwa ini cukup menentramkan umat akan bahaya pemikiran atheis anti-Tuhan dan anti-agama ini terhadap akidah dan keyakinan kaum Muslim.
Hanya saja, bahaya pemikiran ini terhadap kedaulatan negara dan cita-cita luhur berdirinya negara ini tidak banyak yang menyadari. Padahal, di depan mata gerakan ini telah berani menohok langsung untuk meruntuhkan dasar negara ini, yaitu Pancasila. Mereka tidak menginginkan Pancasila yang pro-agama dan ingin menggantinya dengan Pancasila yang atheis, anti-agama. Selama ini yang sering dicurigai yang anti-Pancasila adalah umat Islam. Bahkan mereka yang dituduh teroris selama ini sering dikatakan oleh Densus 88 sebagai orang-orang yang anti-Pancasila dan hendak mengganti dasar negara ini dengan yang lain. Oleh sebab itu, tuduhan “anti-Pancasila” selama ini selalu dialamatkan pada gerakan-gerakan Islam. Padahal, sebagaimana akan kita kupas, gerakan anti-Pancasila yang nyata justru datang dari para aktivis liberal, baik yang berbaju agama maupun yang bukan. Benarkah?

Liberal Anti-Pancasila
Untuk secara terbuka menyatakan ingin mengganti Pancasila, pasti aktivis-aktivis liberal ini tidak akan berani. Mereka pasti harus berhadapan dengan hukum. Beberapa waktu yang lalu mungkin kita masih ingat dengan kasus Saskia Gotik penyanyi dangdut. Dalam salah satu acar di televisi ia dituduh telah melakukan penghinaan terhadap lambang negara dan Pancasila. Terlepas dari motifnya, sang artis telah terjerat pasal penghinaan terhadap 4 pilar yaitu melanggar Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Kalau melihat latar belakang artis ini, bisa jadi motifnya hanya candaan, bukan sesuatu yang serius. Akan tetapi, hukum tetap berlaku dengan tujuan tidak ada yang melecehkan misi negara ini.
Apa yang dilakukan oleh para aktivis liberal sesungguhnya lebih serius dari itu. Hanya saja, karena ditusilkannya di media sosial yang cepat hilang, kasus pelecehan dan penghinaan; bahkan penolakan terhadap Pancasila ini seolah tidak serius. Padahal ini lebih serius dari kasus Saskia Gotik. Sebagai contoh, seorang aktivis liberal Saidiman Ahmad dengan sengaja membolak-balikkan sila-sila Pancasila. Dalam twit-nya tanggal 1 Oktober 2012, dia menyarankan agar sila kesatu dan kedua diubah saja menjadi Ketuhanan yang Adil dan Beradab, dan “Kemanusiaan yang Maha Esa. 
Lain lagi pentolan JIL Luthfi Assyaukani. Dia menyarankan untuk mengubah total lima sila Pancasila. Ia menyarankan agar lima-lima sila Pancasila yang baru berbunyi: Kebebasan beragama dan berkeyakinan”; “Kemanusiaan yang menghargai perbedaan”; “Persatuan yang berkebudayaan”; “Demokrasi yang menjunjung hak individu”; dan “Kebebasan ekonomi bagi seluruh rakyat Indonesia. Dia tulis semua sila baru itu dalam akun twitter-nya “asysyaukani” beberapa waktu yang lalu.
Apakah cuitan para aktivis liberal di twitter ini main-main? Ternyata tidak. Gagasan itu rupanya adalah hasil diskusi mereka yang dilakukan beberapa kali di Utan Kayu, markas Jaringan Islam Liberal, dan di beberapa tempat lainnya. Beberapa saksi yang pernah berdiskusi dengan Lutfi Asy-Syaukani juga mengaku bahwa dalam beberapa diskusi, aktivis ini memang sangat sering menyinggung keinginannya untuk mengubah sila-sila Pancasila itu.
Sikap seperti ini sebetulnya tidak mengherankan. Sebagaimana kita tahu, Pancasila membatasi negara ini dengan nilai-nilai agama dengan adanya sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” dan menolak kapitalisme dengan sila “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Sementara pemikiran liberal sangat anti untuk menempatkan agama sebagai nilai dasar bagi sebuah negara. Mereka juga sangat tidak senang bila negara ini tidak merestui kapitalisme. Hanya sayang, sampai saat ini tidak ada satu pun aparat yang menggelandang para aktivis liberal ini ke jeruji penjara seperti mereka menggelandang orang-orang yang belum jelas dosanya seperti Sriyono di Klaten.

Persoalan Tafsir Pancasila
Sejak kelahirannya, Pancasila tidak bisa dilepaskan dari Piagam Jakarta. Piagam Jakarta adalah naskah pembukaan undang-undang Dasar 1945 yang mencantumkan bahwa negara ini berdasarkan ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Meski akhirnya diubah menjadi Ketuhanan yang Maha Esa, Presiden Soekarno menegaskan melalui dekrit tahun 1959 bahwa Piagam Jakarta, tertanggal 22 Juni 1945, menjiwai dan merupakan rangkaian kesatuan dengan konstitusi negara ini.
Namun kenyataannya, Pancasila selalu diposisikan sebagai teks terbuka yang dapat ditafsirkan oleh siapa pun sesuai keinginannya. Celakanya, yang pertama menafsirkan Pancasila berbeda dengan dekrit Presiden 1959 adalah Soekarno sendiri. Korbannya adalah umat Islam. Umat Islam dipaksa menerima konsep komunisme berdampingan dengan agamanya melalui konsep Nasionalisme, Agama dan Komunisme (NASAKOM).
Sunnah Soekarno ini diikuti oleh presiden Soeharto. Di tangan Soeharto Pancasila ditafsirkan secara sekular untuk mendukung visi deideologisasi partai-partai politik dan ormas Islam. Pancasila ditempatkan sebagai pedoman perilaku dan moral bangsa menggantikan agama. Kita ingat, Pancasila dijadikan asas tunggal bagi semua organisasi, jumlah partai dibatasi dan Pendidikan Moral Pancasila menjadi mata pelajaran wajib di persekolahan.
Menanggapi hal ini M Natsir, aktivis Persatuan Islam yang pernah menjadi Perdana Menteri Indonesia, menyatakan bahwa gagasan menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi semua kekuatan sosial politik berarti merubah makna dan fungsi Pancasila yang sebenarnya. Kalau tadinya Pancasila berfungsi sebagai titik temu dan pemersatu sekarang justru sebaliknya; diberi fungsi untuk menyingkirkan ciri-ciri khas yang telah dihayati oleh golongan-golongan sebangsa, jauh sebelum Pancasila dirumuskan.
Polemik penafsiran Pancasila ini jauh-jauh hari sebenarnya sudah diwaspadai oleh tokoh-tokoh Islam. Di masa-masa sidang konstituante, PKI mendekati Soekarno dalam upayanya untuk mengubah sila Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi kebebasan beragama, yang di dalamnya termasuk kebebasan untuk tidak beragama, Kasman Singodimedjo saat itu segera mengingatkan Soekarno bahwa soko guru dari Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam kesempatan lain, Beliau mengutip pernyataan Bung Hatta yang menjelaskan bahwa Tuhan Yang Maha Esa itu adalah Allah, tidak lain kecuali Allah.
Dalam sebuah makalah berjudul“Apakah Pancasila Bertentangan dengan Ajaran Al-Qur’an?”, M Natsir menulis, “Perumusan Pancasila adalah hasil musyawarah antara para pemimpin-pemimpin pada saat taraf perjuangan kemerdekaan memuncak di tahun 1945. Saya percaya bahwa di dalam keadaan yang demikian, para pemimpin yang berkumpul itu, yang sebagian besarnya adalah beragama Islam, pastilah tidak akan membenarkan sesuatu perumusan yang menurut pandangan mereka, nyata bertentangan dengan asas dan ajaran Islam”.
Natsir juga menegaskan bahwa Pancasila adalah pernyataan dari niat dan cita-cita kebajikan yang harus diusahakan terlaksana di dalam negara dan bangsa Indonesia. Natsir menyesalkan adanya dikotomisasi antara Al-Quran dan Pancasila; seolah-olah antara tujuan Islam dan Pancasila itu terdapat pertentangan dan pertikaian yang sudah nyata tak “kenal damai” dan tidak dapat disesuaikan.
Kembali ke persoalan tafsir Pancasila, jika kita meneliti tiap butir sila Pancasila, maka kata-kata yang digunakan tidak dapat dilepaskan begitu saja dari pandangan hidup masyarakat Indonesia yang beragama Islam. Kata-kata seperti adil, beradab, musyawarah, hikmah tidak dapat ditafsirkan kecuali dengan cara dikembalikan kepada sumber dari mana kata-kata itu berasal. Singkatnya, Pancasila tidak dapat ditafsirkan kecuali dengan pandangan hidup Islam.
***
Kalau kita mengacu pada kasus-kasus lama terhadap Pancasila ini, sebenarnya apa yang diusahakan oleh tokoh-tokoh liberal sebagaimana diungkap di awal tulisan ini merupakan pengulangan dari peristiwa sebelumnya. Kalau di masa lalu suara itu dikemukakan oleh tokoh-tokoh Komunis dan Kristen, maka kini seruan itu muncul dari kalangan liberal. Keinginannya sama, yaitu hendak menghapuskan Pancasila dan agama dari Indonesia.
Tuduhan intoleransi yang selalu mereka arahkan kepada umat Islam ternyata mereka lakukan sendiri dengan tanpa rasa malu. Sebagai contoh, beberapa daerah yang menyalurkan aspirasi masyarakatnya untuk menjalankan perda syari’at menjadi bahan olok-olok dan cibiran mereka. Undang-undang zakat, Undang-Undang Perkawinan, Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional dan Undang-undang lain yang memberikan hak umat Islam untuk menjalankan agamanya dianggap intoleransi terhadap agama lain. Padahal semuanya adalah produk sah dan konstitusional dengan dasar Pancasila.
Umat Islam yang selama ini dituduh akan mengubah negara ini menjadi negara Islam, melakukan kudeta, terorisme, dan semisalnya secara umum selalu menghormati apa yang telah menjadi keputusan perundang-undangan. Kalaupun ingin mengubahnya, maka itupun dilakukan dengan cara-cara yang santun dan beradab melalui mekanisme konstitusi. Justru para aktivis liberal-lah yang seringkali mengeluarkan kata-kata kotor dan cacian terhadap produk sah di negeri ini. Bahkan, dalam kasus di atas, justru propaganda mereka-lah yang sangat berbahaya bagi keberlangsungan Pancasila. Kalau aparat memang sungguh-sungguh ingin menjaga kedaulatan bangsa ini, moncong senjata harusnya diarahkan pada mereka, bukan pada umat Islam dan aktivis Islam yang selama bangsa ini merdeka justru menjadi garda terdepan pembela Pancasila dan konstitusi negara. Wallahu A’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar