Oleh: H.T. Romly Qomaruddien, MA.
Walaupun terjadi debatable, mengenai penggunaan istilah kebatinan, yang
jelas hampir semua keyakinan memiliki
"nilai-nilai bathiny"_yang berbeda satu sama lain. Yahudi
memiliki pandangan yang berbeda dengan Nashrani, keduanya memiliki pandangan
yang berbeda dengan Hindu, Budha, Konghucu dan lain-lainnya. Demikian pula
dengan Islam, di mana di dalamnya ada ajaran-ajaran yang mewajibkan beriman
pada perkara-perkara _ghaib. Mempercayainya merupakan sebuah keniscayaan,
sekalipun bertentangan dengan akal. Kalaulah bukan karena dorongan _bathiny,
tentu sulit bagi seorang Muslim mempercayainya. Namun demikian, makna bathin di
sini, berbeda dengan pandangan pada umumnya. Islam memiliki makna bathin yang
_absolute, yang tidak semua bisa menafsirkannya, kecuali Alloh _Jalla Jalaaluh_
dan rasul-Nya yang menjelaskan. Artinya, pemaknaan bathiny itu ada dan
dibenarkan, selama dibenarkan oleh Alloh dan rasul-Nya.
Yahudi misalnya, memiliki pandangan kebatinan soal
ketuhanan. Mereka meyakini bahwa "semua kita Tuhan" atau "Tuhan
adalah kita" _(pantheisme, wihdatul wujud)_. Hal ini bisa ditelaah dalam
buku-buku yang menjelaskan hakikat freemasonry yang mengajarkan paham
kebatinan Yahudi _(theosofi). A.D. Elmarzdedeq dalam _Parasit Aqidah_
menjelaskan: _"Theosophia (artinya: hikmah ketuhanan) masuk ke dalam
bahasa Arab (menjadi tashawwuf) bersama istilah filsafat, filosuf dan
sebagainya pada masa penyalinan buku-buku Yunani pada abad ke-7 dan ke-8
M"._ (ElMarzdedeq, tp. tahun: 219).
Paham ini mendapatkan tempatnya di era modern, setelah
_freemasonry_ Inggris dengan tokohnya Dr. Annie Besant mendirikan markas di
India dan isterinya Blavatsky (Yahudi Rusia) mendirikan cabang _theofis_
di Newyork tahun 1875. Bahkan di
Indonesia sudah berdiri "Vrij Metselarij" di Batavia (1767), di Pekalongan (1883), dilanjutkan ke
Semarang dengan tokohnya Baron Bon Tengnagel. Tanggal 31 Mei 1909 berdiri _Loge
Theosofische Vereeniging (TV)_ dengan tokohnya Ir. A.J.H. Van Leeven dan J.A.M.
Blommestein (keduanya Yahudi Belanda) dan tanggal 12 November 1912 disahkan
oleh Pemerintah Hindia Belanda. Di susul pula oleh lembaga _Theosofi London_
(1917). (Elmarzdedeq, _Jaringan Gelap Freemasonsy_, 2005: hlm. 53-54).
Sementara itu, Von Kromyer, Ignaz Goldziher, Noldicker dan
R.A. Nicholson memandang bahwa tashawwuf_ itu merupakan buah kenashranian. Ini didasarkan pada sikap: menjauhi dunia,
mengasingkan diri, sikap faqir, simbol wool kasar, asketis dan kesenyapan.
(Asmaran, _Pengantar Ilmu Tashawwuf_, 1994: hlm. 178 - 179).
Sedangkan Abul Wafa' at-Taftazany mengakui adanya tashawwuf
yang sudah dicampur filsafat, yaitu tashawwuf falsafati_ (seperti halnya
filsafat mistik Pythagoras yang mengatakan bahwa roh manusia bersifat kekal dan
berada di dunia sebagai orang asing [terpenjara]. Karena kesenangan roh di alam
samawy, maka untuk memperolehnya
manusia harus meninggalkan perkara duniawi yang materialistis dan selanjutnya
berkontemplasi. (Muhammad 'Aqiel al-Mahdali, _Diraasat fiet Tashawwuf
al-Falsafi al-Islamy_, tp. tahun: hlm. 8-9).
Masih menurut Taftazany, bahwa M. Morten dan R. Hartmann
lebih meyakini bahwa tashawwuf berasal dari Hindu sehubungan latihan-latihan
rohani dan prakteknya menyerupai _mistisisme_ orang-orang India. (Asmaran,
1994: hlm. 184)
Adapun 'Abdurrahman Abdul Khaliq dan Ihsan Ilahy Zhahir
menyebut berasal dari Budha dikarenakan adanya kemiripan ajaran _nirwana_
dengan _fana'nya tashawwuf. ('Abdul Khaliq dan Ilahy Zhahir, Pemikiran
Sufisme, 2000: hlm. 49).
Hamka menambahkan, _"Dalam perkembangannya, Persia
memiliki jasa yang utama, karenanya air tirta tashawwuf belum bisa memuaskan
dahaga jiwa sebelum menyelami lubuk tashawwuf dari Persia"._ (Hamka, _Tashawwuf;
Perkembangan dan Pemurniannya_, 1984:70).
Yang terakhir ini, dibenarkan oleh Animarie Schimmel, Thoulk
dan Dozy mengingat faham _wujudiyah_ sangat ketara aroma Persia. (Asmaran, 1994: 190).
Dengan bersandar pada pandangan-pandangan tersebut, nampaknya
teori yang menyebutkan kata _shufi_ diambil dari _shaafa_ (artinya bersih),
_shuffah_ (serambi masjid Madinah, orang-orangnya disebut _ahlus shuffah_) atau
_shuuf_ (artinya kain wool) sebagaimana dijelaskan Al-Kalabadzi, Ibrahim Basuni
dan Aly Sami an-Nasyar mendapatkan pandangan pembanding yang menegaskan bahwa
justeru tashawwuf awalnya bukan
dari Islam. Terlebih sebelumnya, ulama sekaliber Ibnu Taimiyah sudah menolak
argumen-argumen itu. Menurutnya: _"Sesungguhnya kata shufi disandarkan
pada shuffah (serambi masjid), maka istilahnya menjadi shuffi. Apabila
disandarkan pada kata shafwah (bersih), istilahnya menjadi shafawy. Demikian
pula disandarkan pada nama Shuffah bin Bisyir bin 'Add bin Thanjah (seorang
ahli ibadah), itu pun lemah. Di samping tidak populer di kalangan shahabat,
taabi'ien dan taabi'ut taabi'ien, mereka pun tidak akan ridha disandarkan pada
qabilah jahiliyah yang tidak ada dalam Islam"_ (Ibnu Taimiyah, _Majmu'
Fatawa_, 1997: 11, hlm. 5-6).
Pro-kontra ini, disikapi Abul Hassan an-Nadawy (ulama
Alighar India) dalam bukunya Rabbaaniyyah
Laa Rahbaaniyyah yang menegaskan:
_"Alangkah baiknya jika kaum Muslimin tidak menggunakan kata shufiyah
(dalam penilaian amalan baik), melainkan tazkiyah (pembersihan jiwa dalam
bahasa wahyu, pen.)"_ sebagaimana dinukilkan Muhammad Jamiel Zeeno. (Jamil
Zeeno, _As-Shuufiyah Fie Mizaanil Kitaab was Sunnah_1415: hlm. 5).
Benang merahnya, menurut sebahagian ulama yang tetap ingin
mengakomidir bahwa tashawwuf bagian dari Islam seperti halnya Muhammad 'Aqiel
al-Mahdali (Pakar Kajian Tashawwuf di
Malaysia) dan Muhammad Zaki Ibrahim (Pendiri dan Syaikh _Thariqat Al-'Asyierah
al-Muhammadiyah as-Syadziliyyah, juga Komisi Pembaruan Shufi dan Ikatan
Thariqat di Mesir) , membaginya menjadi empat kategori;
1. _*Tashawwuf Sunni*;_ Mereka disebut _tharieqah ahlus
sunnah wal jamaa'ah_ yang mengimbangi tashawwuf dengan syari'ah, disempurnakan
oleh Abu Hamid al-Ghazali dengan ajarannya
syari'at, thariqat, ma'rifat_ dan haqiqat. Bermula dari hidup zuhud, lalu menjadi shufi
dan berhenti pada akhlaq.
2. _*Tashawwuf Salafy*;_ Pola tashawwuf yang dikembangkan
oleh tokoh puritan penghidup ajaran salaf Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim, namun
menolak faham _ittihad, hulul, wihdatul wujud, maqamat dan ahwal_ yang
mengajarkan penyatuan dan peleburan Tuhan dalam jiwa, atau mengkotak-kotakkan
tingkatan manusia dan perilaku-perilaku _nyeleneh_ kaum shufi. Hakikatnya
mereka juga tashawwuf, menurut para ahli tashawwuf.
3. _*Tashawwuf 'Amaly*;_ Pola yang dirumuskan oleh para
penganut thariqat-thariqat _(ashhaabut thuruq)_ yang mengajarkan _'uzlah_
(mengasingkan diri), _khalwat_ (cengkrama dengan Tuhan), _al-ju'_
(berlapar-lapar diri), _as-sahr_ (begadang), _as-shumt_ (berdiam diri,
_meneng_) dan mengamalkan _padzikiran_.
4. _*Tashawwuf Falsafi*;_ Pola tashawwuf yang menggabungkan
perasaan terdalam pelaku tashawwuf _(dzauq shufiyyah)_ dan nalar akal falsafat
_(nazhar 'aqliyyah)_ dengan sumber yang berbeda-beda. Namun diakui para ahli
pengkaji tashawwuf semisal 'Aly Sami an-Nasyar, bahwa kelompok ini mencampurkan
antara makna Islam dan falsafat kuno; di mana zhahirnya _Islamy_, sementara
dalamnya tidak Islami. (Al-Mahdali, tp. tahun: hlm. 12).
Para penganut kelompok falsafi ini disebutkan, semisal
Suhrawardi al-Maqtul (550 H - 580 H.), Ibnu 'Araby ( 560 - 638 H.), Ibnu Sab'in
(614 - 669 H.), Al-Hallaj dan yang lain-lainnya.
Apabila ditelisik, nampaknya kategori pertama dan kedua
sekalipun masih banyak menyisakan perbedaan, terdapat irisan yang sama dalam
hal tidak keluar dari sumber pokok wahyu, yakni Al-Qur'an dan sunnah Nabi.
Adapun kategori ketiga dan keempat, disitulah banyaknya terjadi ketegangan
pemikiran yang diakibatkan dari penafsiran dan penakwilan sampai batas paling
ekstrim _(ghuluw murakkab)_, bahkan menjadikan pelakunya dihukumkan _mulhid_
dan _zindiq_ oleh para ulama ushuluddin (baik kalangan _mufassiruun,
muhadditsun_, atau pun _fuqaha_.
Kaitannya tashawwuf dengan ajaran kebatinan, aliran
kepercayaan dan mistisisme; sebagian kalangan ada yang membedakan keempatnya
itu, ada pula yang menganggap bahwa semuanya itu adalah sama _(nafsul ma'na)_.
Literatur Arab klasik menyebutnya _tashawwuf_, literatur Barat menyebutnya
_theosophia, science occulte, yoga_ dan _mistisisme. Sedang literatur lokal lebih familiar
menyebutnya _aliran kebatinan_ atau _aliran kepercayaan_ dalam maknanya yang
luas sesuai interpretasi masing-masing agama, sekte, aliran atau sekedar
komunitas penghayatan.
Kaitannya tashawwuf dengan ajaran kebatinan, aliran kepercayaan dan
mistisisme; sebagian kalangan ada yang membedakan keempatnya itu, ada pula yang
menganggap bahwa semuanya itu adalah sama _(nafsul ma'na)_. Literatur
Arab klasik menyebutnya _tashawwuf_, literatur Barat menyebutnya _theosophia,
science occulte, yoga_ dan _mistisisme.
Sedang literatur lokal lebih familiar menyebutnya _aliran kebatinan_
atau _aliran kepercayaan_ dalam maknanya yang luas sesuai interpretasi
masing-masing agama, sekte, aliran atau sekedar komunitas penghayatan.
Dalam hal ini, Prof. Dr. H.M.
Rasjidi dalam bukunya _Islam & Kebatinan_ menegaskan: _"Kebatinan itu
pada pokoknya adalah Yoga Tantrisme - Hindu Budha untuk melepaskan diri dari
penderitaan. Menurut kebatinan, lepas dari penderitaan atau extase itu terdapat
di dunia ini. Akhirat tidak ada dan tak ada yang mengetahuinya"_. (H.M.
Rasjidi, Bulan Bintang, 1992).
Dalam perkembangannya di tanah
air, Joesoef Sou'yb memberikan data menurut Pengawas Aliran Kepercayaan
Masyarakat (PAKEM) yang diumumkan bulan April 1972 tercatat 217 Aliran
Kebatinan dan 427 Cabang Kebatinan. 188 Aliran Kebatinan berasal dari Jawa
Tengah, dan cuma 29 aliran saja berasal dari luar Jawa Tengah. Badan Kongres
Kebatinan Indonesia (BKKI) bulan Agustus 1955 yang diketuai Mr. Wongsonegoro
merumuskan definisi kebatinan berbunyi: _"Sepi ing pamrih, rame ing gawe,
mamayu hayuning buwono"_. Lalu disempurnakan oleh BKKI bulan November 1970
dalam _"Symposium Nasional Kepercayaan, Kebatinan, Kejiwaan,
Karohanian"_ di Jogjakarta, Prof. A.K. Pringgodigdo, SH. menyatakan bahwa
kata "kepercayaan" dalam fasal 29 Konstitusi 1945 itu dimaksudkan: _"Kebatinan,
Kejiwaan dan Kerohanian"_. Symposium segera menangkap penafsiran baru itu,
yang sangat jauh berbeda dengan pernyataan Wakil Presiden Mohammad Hatta
sekitar tahun 60an. Semenjak itu, _aliran kebatinan_ merobah namanya menjadi
_aliran kepercayaan_. Perobahan nama itu bertujuan untuk memberikan landasan
hukum bagi tuntutan pengesahan secara resmi oleh pihak Pemerintah terhadap
Aliran Kebatinan yang berdasarkan Fasal 29 Konstitusi 1945, dikatakan sama
tarafnya dengan Agama. Pengesahan secara resmi itu diperoleh pihak Aliran
Kebatinan dalam Sidang MPR-RI bulan Maret 1973 atas nama _Aliran Kepercayaan_.
(Joesoef Sou'yb, _Aliran Kebatinan (Mistik) dan Perkembangannya_, Rimbow, 1988:
hlm. viii).
Ada banyak _aliran kepercayaan_
yang secara praktek telah memiliki bentuknya, bahkan menjadikan kitab tertentu
sebagai sumber ajaran. Yang mewakili keseluruhan aliran ini, menurut Joesoef
Sou'yb ada lima; Paguyuban Sumarah (sejak 1935 dengan tokohnya R. Ng.
Sukirnohartono dan diresmikan oleh tahun 1950 oleh Dr. Soerono Prodjohoesodo di
Jogjakarta), Sapta Dharma (ajaran amalan suci yang diwahyukan kepada
Hardjosapuro tanggal 27 Desember 1952 di Pare Kediri, berikutnya dipegang Sri
Pawenang, SH.), Bratakesawa (dipimpin Bratakesawa yang berpegang pada ajaran
_Kuntji Swarga_ dan _Wirid ITMI_ (Iman, Tauhid, Makrifat dan Islam). Pangestu
(singkatan dari _Paguyuban Ngestu Tunggal_dengan makna "Persatuan Untuk
Manunggal", didirikan tanggal 20 Mei 1949 di Surakarta yang dipimpin Dr.
Sumantri Hardjoprakoso) dan Paryana Suryadipura (didirikan oleh Dr. Paryana
Suryadipura yang menuangkan ajaran-ajarannya dalam karyanya _Alam Pikiran_ yang
menyandarkannya pada hipotesa _mechano-energetis_ (tenaga listrik yang masuk ke
otak melalui panca indra). (Joesoef Sou'yb, 1988: hlm. 97-110).
Sedangkan
kitab-kitab yang populer, di antaranya Darmogandul, Gatoloco dan Hidayat Jati.
Kembali pada identitas _aliran
kepercayaan_ ini, apakah mereka itu agama atau pun budaya?. Jawabannya _bias_.
Di satu sisi mereka tidak bisa dikatakan agama karena tidak terpenuhinya
syarat-syarat agama, di sisi lain mereka
mengklaim kalau mereka itu _agama buhun, agama karuhun_ atau _agama asli_.
Menurut penelusuran Herry Mohammad (Direktur Majalah Gatra), akibat tidak jelasnya
posisi agama-agama lokal, maka Negara menempatkannya sebagai
"kebudayaan" di bawah Direktorat Kebudayaan Kementrian Pendidikan dan
Kebudayaan. Lalu, statusnya di KTP ditulis sesuai dengan kedekatannya pada enam
agama besar yang ada; ada yang masuk Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Budha
dan Konghucu. Di era Orde Baru, agama lokal _Jamak_ digabungkan ke dalam agama
Hindu. Keputusan Dirjen Bimas Hindu Bali/ Budha No. 2/ 1966 yang menyebutkan
bahwa _Towani Tolotang_ merupakan salah satu sekte agama Hindu. Hal yang sama
dialami oleh penganut _Kaharingan, Maumalim-Parmalim, Tengger, Sunda Wiwitan_
dan lain-lain. Hinduisasi agama lokal ini memicu ketidak puasan dari
penganut-penganutnya. Sejak era Reformasi, mereka telah berjuang menuntut
dikukuhkan sebagai agama tersendiri dan bukan bagian atau sekte dalam agama
Hindu. (Herry Mohammad dalam Makalah _"Gerakan Kebatinan, Mau Kemana?
Sebuah Pengantar"_, 2016: hlm. 02).
Sebagai pamungkas, dengan telah diputuskannya oleh Mahkamah Konstitusi akan
masuk kolom agama di KTP, sangatlah wajar mengundang reaksi _kekagetan
berjama'ah_, karena putusan tersebut "dianggap" menciderai tatanan
kesepakatan/ kesepatan politik _(ittifaaq as-siyaasy)_ dan tidak menjadi solusi
kebangsaan _(makhaarij wathany)_. Alih-alih menjadi solusi yang mampu
memecahkan masalah _(makhrajan)_, justeru bisa menambah masalah. Dalam bahasa
KH. Ma'ruf Amien (sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia), bisa menimbulkan
"kegaduhan politik baru" sebagaimana disampaikan secara kesinambungan
(tertanggal 15 - 17 November 2017 di Auditorium MUI Pusat). Disampaikan di
hadapan perwakilan ormas-ormas Islam tingkat Pusat yang menghadirkan pihak
Kemendikbud (Dirjen Dikbud, Dirjen
Kepercayaan dan Tradisi dan Staf Ahli Kebudayaan untuk Regulasi
Pelayanan), berikutnya Mentri Agama dan
esoknya dilanjutkan bersama Kemendagri yang diwakili Dirjen Kependudukkan.
Sebagai Negara Hukum, bukankah Indonesia ini dibangun di atas
nilai-nilai "kesepakatan" _(daarus shulh, daarul 'ahd)_? Tentu saja,
bila suatu Negara tidak mengindahkan lagi nilai-nilai kesepakatan, maka Negara
itu bisa terancam bubar. Semoga _Rabbul 'Aalamien_ memberikan solusi terbaik
untuk bangsa ini. _Aamiin_ ...
____________________
_*Penulis adalah:*_
Anggota Dewan Hisbah PP. Persatuan Islam (Komisi 'Aqidah), Anggota Fatwa MIUMI
Pusat (Perwakilan Jawa Barat), Wakil Sekretaris KDK MUI Pusat, Ketua Bidang
Ghazwul Fikri & Harakah Haddaamah Pusat Kajian Dewan Da'wah dan Ketua Prodi
KPI STAIPI-UBA Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar