Oleh: H. Deni Solehudin
Agama Islam adalah agama rahmat. Sebagaimana
al-Qur'an menyatakan bahwa Nabi saw. diutus sebagai rahmatan lil ’alamin.
Untuk mengejawantahkan cita-cita besar yaitu rahmatan
lil ’alamin diperlukan kerjasama antara umat manusia tidak terbatas antar
intern umat Islam tetapi dengan non muslim pun perlu dijalin demi cita-cita di
atas.
Sejarah telah mencatat bagaimana interaksi sosial
dan muamalah dengan orang-orang non muslim yang dilakukan oleh Rasulullah dan
para sahabatnya. Rasulullah saw. sendiri pernah
menerima hadiah dari raja/kepala suku kafir. Bahkan Rasul pun pernah memberi
hadiah kepada mereka.
Dalam urusan muamalah, Rasulullah saw. selalu
berbuat ihsan. Sejarah membuktikan bagaimana sikap ihsan yang
dilakukan oleh Rasullah saw. terhadap musuh-musuh utamanya ketika beliau
berhasil menaklukkan Makkah.
Rasulullah saw. pun pernah bertransaksi dengan
seorang yahudi. Sebagaimana riwayat berikut ini :
”Dari Aisyah r.a. (ia
berkata): “Sesungguhnya Nabi saw. telah membeli makanan dari seorang Yahudi
buat dibayar disatu waktu, dengan menggadaikan (memberikan jaminan) baju besi
kepadanya.”[1]
Untuk keperluan makanan keluarganya, suatu hari
Rasulullah saw. meminjam tiga puluh sha’ gandum kepada seorang Yahudi
dari suku Aus yang bernama Abu Syahmi. Dalam satu riwayat si Yahudi tersebut
menagih utang gandum tersebut kepada Rasul dan Rasulullah saw. memberikan baju
besinya sebagai jaminan bagi utangnya.[2] Dalam riwayat lain baju
besi Nabi tersebut masih tergadai sampai beliau meninggal dan akhirnya Abu
Bakar menebusnya dan diberikan kepada Ali bin Abi Thalib.[3]
Berdasarkan riwayat ini, barangkali kita
bertanya-tanya mengapa Rasulullah saw. tidak meminjam bahkan meminta kepada
para sahabatnya? Atas pertanyaan ini Imam Nawawi memberikan beberapa alternatif
jawaban yaitu:
- Rasulullah saw. berbuat demikian sebagai bayan (penjelasan) atas bolehnya bermuamalah dengan Yahudi.
- Tidak ada makanan yang baik yang dibutuhkan oleh keluarganya kecuali ada pada si yahudi itu.
- Para sahabat tidak akan berani mengambil jaminan dan menghargakannya. Oleh sebab itu, Rasul bertransaksi dengan Yahudi supaya tidak menyulitkan para sahabatnya.
Dengan jawaban di atas, menurut penulis, apapun
yang dilakukan oleh Rasul pada dasarnya mengandung ta’lim dan tasyri.
Ada poin-poin pelajaran dan pensyariatan yang ingin disampaikan oleh
Rasulullah saw. yaitu tolong menolong tidak hanya dapat dilakukan dengan sesama
muslim tetapi dengan non muslim pun bisa dilakukan.
Imam Bukhori menempatkan hadis di atas di dalam
pokok bahasan jual beli, jaminan
(rungguh/borgh), salam (pesanan), dan utang piutang, begitu juga imam-imam ahli
hadis ternama mayoritas mereka menempatkan teks hadis di atas pada pokok
bahasan muamalah. Menurut Abdul Kadir Hasan, dalam urusan mu’amalah agama Islam
tidak memberi batasan-batasan tertentu, hanya agama melarang dalam
kejadian-kejadian yang tetap, yang dapat menimbulkan hal-hal yang tidak baik,
seperti menipu, memberatkan orang, memaksa dan menyusahkan orang. Dalam
muamalah berlaku hadis ”Antum a’lamu biumuri dunyakum”.[4]
Menurut Imam Nawawi[5] dalam hadis di atas
terdapat hukum diperbolehkannya muamalah dengan ahli dzimmah dan hukum tetapnya
kepemilikan mereka terhadap harta benda mereka.
Imam as Syaukany[6] berpendapat bahwa hadis di
atas merupakan dalil/ petunjuk atas: Pertama, disyariatkannya jaminan
dalam utang piutang baik di waktu perjalanan ataupun di tempat sendiri. Kedua,
dengan jelas hadis ini membolehkan kita kerjasama dengan non muslim sepanjang
barang yang dipakai muamalah itu tidak haram.
Dalam sekup yang lebih besar setelah hijrah ke
Madinah, Nabi Muhammad mengatur hubungan dengan berbagai lapisan masyarakat
Madinah, dan merekamnya dalam suatu dokumentasi yang dicatat dalam
sumber-sumber sejarah. Tujuan dokumentasi ini adalah untuk menjelaskan komitmen
masing-masing kelompok di Madinah dengan memberikan batasan hak-hak dan
kewajiban. Dalam sumber-sumber lama, dokumen ini disebut al-kitab dan ash
shahifah. Penelitian modern menyebutkan ad-Dustur ’konstitusi’ atau al
Watsiqah ’dokumen’.[7]
Dalam kitab Majmu’atul watsaiqis Siyasah hlm
41-47 dokumen itu memuat 47 klausul. Klausul 24 hingga 57 membicarakan
perjanjian damai dengan Yahudi. Klausul 25-35 membicarakan hubungan antara
orang-orang Yahudi dari Aus dan Khazraj. Klausul ini menjelaskan asal usul suku
Arab mereka, dan membenarkan aliansi mereka dengan kalangan muslim : ”Yahudi
Bani Aus adalah satu komunitas dengan orang-orang yang beriman.” Klausul 45,
perjanjian melebar untuk meliputi sekutu-sekutu muslim dan Yahudi yang lain.[8]
Apabila diteliti dokumen itu di bangun atas dasar
kerjasama untuk menegakkan keadilan, kesalehan, perdamaian, dan pertahanan
bersama.
Konteks Ke-Indonesiaan
Tujuan pokok semua negara pada dasarnya bermuara
pada terwujudnya negara aman, tentram, subur makmur, lohjinawi, toto
tentrem, adem ayem. Yang dalam bahasa al-Qur’an adalah baldatun
Thayyibatun wa rabbun ghabur.
Tujuan di atas seharusnya merupakan agenda bersama
bagi semua kalangan agama, suku, etnis, maupun kelompok. Yang menjadi landasan
terwujudnya cita-cita besar itu diperlukan suatu pedoman etika. Pedoman etika
perlu digunakan menurut dan sesuai dengan konteks macam kegiatan dan organisasi.
Secara garis besarnya, etika dapat dilihat sebagai
pedoman yang berisikan aturan-aturan baku yang mengatur tindakan-tindakan
pelaku dalam sebuah profesi, yang dalam pedoman tersebut terserap
prinsip-prinsip moral dan nilai-nilai yang mendukung dan menjamin dilakukannya
kegiatan profesi si pelaku sebagaimana seharusnya, sesuai dengan hak dan
kewajibannya. Sehingga, peranannya dalam sesuatu struktur kegiatan adalah
fungsional dalam memproses masukan menjadi keluaran yang bermutu.
Dalam konteks ke-Indonesiaan, bahwa bagi bangsa
Indonesia, adanya keragaman budaya merupakan kenyataan sosial yang sudah
niscaya. Meski demikian, hal itu tidak secara otomatis diiringi dengan
penerimaan yang positif pula. Bahkan, banyak fakta yang justru menunjukkan
fenomena yang sebaliknya: keragaman budaya telah memberi sumbangan terbesar
bagi munculnya ketegangan dan konflik. Sehingga, tak pelak modal sosial (social
capital) itu justru menjadi kontraproduktif bagi penciptaan tatanan
kehidupan berbangsa yang damai, harmoni dan toleran. Untuk itu, diperlukan
upaya untuk menumbuhkembangkan kesadaran multikulturalisme agar potensi positif
yang terkandung dalam keragaman tersebut dapat teraktualisasi secara benar dan
tepat.
Dalam hubungannya dengan dasar-dasar kerjasama
dalam Islam, sebagaimana telah disebut pada bahasan sebelumnya, dengan maksud
agar Islam menjadi rahmatan lil alamin, tidak hanya dirasakan mereka
yang menganut Islam –dalam wilayah Republik Indonesia – perlu objektivikasi
nilai Islam. Menurut Kuntowijoyo, yang dimaksud dengan objektivasi nilai Islam
adalah elaborasi nilai-nilai internal Islam ke dalam kategori objektif.[9] Kata objektivikasi
berpasangan dengan ’eksternalisasi’. Yang dimaksud dengan eksternalisasi
adalah kegiatan-kegiatan konkritisasi dari nilai-nilai yang dihayati oleh
seorang muslim secara internal.[10]
Eksternalisasi nilai-nilai
keadilan yang berdimensi multikultural, misalnya, merupakan suatu agenda besar
yang perlu senantiasa di dijalankan oleh semua komponen bangsa. Isu keadilan
tidak hanya untuk kaum minoritas tetapi bagi mayoritas pun perlu ditegakkan.
Bahkan bagi penganut faham multikultural seharusnya isu mayoritas-minoritas
sudah tidak dipermasalahkan lagi karena sudah merujuk ke Pedoman etika menurut
dan sesuai dengan konteks macam kegiatan dan organisasi.
Namun kita pun jangan
melupakan syarat utama menjadi negara adil makmur penuh dengan keberkahan
sebagaimana yang diisyaratkan dalam Al-Qur’an Surat Al-A’araf ayat 96 :
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُوا وَاتَّقَوْا
لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالأرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا
فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ (٩٦)
96. Jikalau
Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan
melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka
mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, Maka Kami siksa mereka disebabkan
perbuatannya.
Tugas
kita, terutama para pemimpin bangsa ini bagaimana bekerjasama untuk keberkahan
NKRI ini supaya penduduknya beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT.
[1] Hadis
ini diriwayatkan oleh Imam Bukhori dalam Shahihnya dalam tiga pokok
pembahasan yaitu Kitab Jual Beli bab pembelian Nabi dengan ditangguhkan, hadis
no. 2068, 2200, Bab jaminan dalam piutang, no. 2251, 2252; Kitab Piutang dan
Penyelesaiannya, bab orang yang membeli dengan jalan utang, no. 2386; Kitab
Jaminan (borgh) bab yang menjaminkan baju besinya, no. 2509, bab jaminan kepada
Yahudi dan selainnya, no. 2513. (Penomoran hadis-hadis di atas berdasarkan
Kitab Fathul Bary, adapun penomoran dalam CD al Mausu’ah adalah sebagai
berikut: no. 1926, 1954, 2049, 2092, 2093, 2211, 2326, 2330). Imam muslim dalam
shahihnya kitab masaaqot bab jaminan dan bolehnya dilakukan di tempat sendiri
sebagaimana layaknya di perjalanan, hadis no. 3007, 3008, 3009. Imam Nasa’i dalam
Sunannya Kitab Jual Belihadis no. 4530, 4571.
[2] Sayyid
Sabiq, Fiqhus Sunnah, Juz 3 hlm. 187.
[3]Ibnu Hajar Al Asqalany, Fathul
Bary, (Beirut : Darul Fikr, 1999), Juz 5, hlm. 177
[4] A.
Hassan, Soal Jawab (Bandung: CV. Dipenogoro, 1994), jilid 3 hlm.1202.
[5] Imam
Nawawy, Syarah Muslim, (Cd Mausu’ah, ver 2, 2007), Juz 11 hlm 39-40
[6] Imam As
Syaukany, Nailul Author (Beirut: Darul Fikr, 1990), jilid 3, hlm. 352
[7] Akram
Dhiyauddin Umari, Madinah Society at the time of the prophet : Its
Characteristics and organization; terj. Mun’im A. Sirry, cet. 2 (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), hlm. 108.
[8] Ibid., hlm.
126.
[9] dalam Taufiq Nugroho, Pasang Surut
Hubungan Islam dan Negara Pancasila (Yogyakarta: PADMA, 2003), hlm. 125
[10] Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar