17 Januari 2019

Mengembalikan Pendidikan kepada Fitrah



Oleh: Insan Muhamadi
Pendidikan di Indonesia menghadapi tantangan sangat berat. Pemerintah berkali-kali merilis kabar akan lahirnya Generasi Emas Indonesia tahun 2045. Di tahun tersebut Indonesia diperkirakan akan memiliki bonus demografi yang sangat besar, berupa 52% persen penduduk Indonesia adalah para pemuda pada usia produktif. Tantangan ini tentu harus dijawab dengan program pendidikan yang baik dan sistematis. Sebab jika tidak, bonus besar tersebut akan sia-sia. Bahkan jika proses pendidikan gagal, tidak mustahil bonus tersebut malah menjadi bonus masalah.
Salah satu masalah terbesar pendidikan saat ini adalah degradasi atau runtuhnya moral. Kasus-kasus kekerasan, tawuran, pornografi dan pornoaksi, serta kasus asusila hingga aborsi yang dilakukan oknum pelajar di negeri ini semakin mengkhawatirkan. Bila para pendidik tidak mampu menjadi solusi bagi masalah-masalah ini, dapat dipastikan potret masa depan Indonesia semakin suram.
Problem tersebut lahir karena selama ini lembaga pendidikan sebagai produsen manusia-manusia yang baik telah gagal, karena seluruh pengetahuan agama dan moral yang didapatkan anak ternyata tidak berdampak terhadap perubahan perilaku. Adian Husaini, aktivis Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (DDII), menegaskan alih-alih menghasilkan lulusan yang diharapkan, dunia pendidikan malah menjadi institusi paling bertanggungjawab terhadap problem tersebut. Maka sudah saatnya pendidikan dikembalikan kepada fitrahnya, yaitu untuk menumbuhkan manusia-manusia yang berakhlakul karimah.
Fenomena Parentless
Beberapa pakar pendidikan mensinyalir problematika yang terjadi di atas berawal dari rumah. Sejak tahun 2006 Indonesia dianggap sebagai fatherless country atau negeri tanpa ayah. Fenomena fatherless ini tentu bukan ketiadaan sosok ayah secara biologis, namun lebih ke aspek psikologis di mana kehadiran ayah tidak dirasakan oleh anaknya.
Dan kini fenomena fatherless itu bukan hanya dalam makna psikologis semata. Saat ini, fatherless itu benar-benar dalam makna “banyaknya anak yang tidak memiliki ayah.” Benar, mereka lahir dari proses pembuahan sperma laki-laki terhadap indung telur perempuan, tapi tidak legal.
Bayi lahir bukan dari hasil pernikahan sah, hamil karena hubungan gelap, perselingkuhan dan pemerkosaan, dan anak yang lahir pasca proses perceraian, mereka benar-benar tidak memiliki ayah. Tidak dibesarkan oleh ayah biologisnya. Tidak mendapat kasih sayang dari sosok ayah. Jika sang ibu menikah lagipun, ayah tiri tak akan memperlakukannya bak anak kandung.
Lantas, bagaimana dengan fenomena motherless? Tentu bukan dalam makna hakiki, karena setiap anak pasti lahir dari seorang ibu. Tapi dalam makna hilangnya sosok dan peran keibuan. Apakah ini terjadi juga? Bukankah saat ini semakin banyak kaum ibu yang tidak menjalankan perannya disebabkan sibuk berkarier?
Tak dapat dipungkiri, kondisi motherless juga terjadi dalam banyak keluarga. Jangankan di kalangan ibu pekerja, di keluarga dengan ibu tidak bekerja sekalipun, motherless itu nyata. Ibu rumah tangga tapi hanya sibuk dengan dirinya. Seperti nonton tivi, main gadget, shopping, dll. Ada di dekat anak, tapi asyik dengan dunianya sendiri. Hanya melayani anak jika rewel.
Fenomena motherless juga terjadi di keluarga TKW misalnya, dimana para istri merantau ke luar negeri bertahun-tahun. Anak kadang dibesarkan ayahnya saja, atau diasuh kakek-neneknya. Juga, fenomena single parent, dimana anak-anak hanya diasuh oleh ayahnya setelah proses perceraian terjadi. Tentu, fenomena motherless ini tak kalah bahayanya.
Walhasil, bangsa ini sejatinya telah mengalami krisis keluarga parah: fatherless sekaligus motherless alias parentless. Bukan anak yatim piatu. Ibu dan ayah ada, tapi seolah-olah tiada. Inilah fenomena miris yang harus segera diubah. Kembalikan fungsi dan peran keluarga sebagai elemen paling dasar bagi pembentukan masyarakat yang baik. Jika elemen kecil ini diremehkan, efeknya menghancurkan bangunan yang lebih besar. Bukankah kewajiban mendidik anak adalah tanggung jawab kedua orangtuanya?
Mendidik itu Memelihara Fitrah
Setiap anak lahir membawa fitrah yang telah ditetapkan oleh Allah SWT. Makna fitrah menurut para mufassir adalah bahwa setiap anak telah membawa tauhid di dalam dirinya, atau setidaknya telah memiliki kecenderungan untuk mengesakan Allah SWT. Secara khusus Imam Al-Ghazali mengartikan bahwa fitrah merupakan asas yang diperoleh manusia sejak lahir dengan memiliki keistimewaan-keistimewaan sebagai berikut. Pertama, beriman kepada Allah SWT. Kedua, memiliki kemampuan dan kesediaan untuk menerima pengajaran. Ketiga, memiliki dorongan untuk mencarai hakikat kebenaran yang berwujud daya pikir. Keempat, dorongan biologis berupa syahwat, nafsu, dan tabiat. Dan kelima, memiliki potensi-potensi lain yang dapat dikembangkan dan disempurnakan.
Fitrah anak, sebagaimana dijelaskan di atas, merupakan amanah yang diberikan oleh Allah SWT untuk dipelihara oleh, yang pertama dan terutama, adalah orang tua. Hal ini sejalan dengan perintah Allah SWT dalam Al-Quran surat Al-Tahrim ayat 6 agar setiap mukmin menjaga diri dan keluarganya dari ancaman api neraka. Para mufassir menyatakan bahwa sahabat Ali bin Abi Thalib RA. menafsirkan perintah di ayat ini dengan perintah kepada setiap muslim untuk mendidik keluarganya.
Merupakan perbuatan yang menyalahi fitrah dan amanah dari Allah SWT apabila kewajiban mendidik anak ini diserahkan kepada semata-mata lembaga persekolahan. Bahkan meski lembaga tersebut adalah sebuah sekolah Islam sekali pun. Apalagi kita menyaksikan sistem pendidikan yang sedang berjalan sekarang masih dikotomis dan orientasi pendidikan masih berkiblat kepada kepentingan duniawi, seperti sekadar nilai kognitif, gelar, dan sasaran kerja.
Bukankah telah disebutkan di dalam Al-Quran bahwa pendidik pertama dan utama adalah orang tua? Bahkan teramat banyak kisah pendidikan yang digambarkan dalam Al-Quran berupa interaksi antara orang tua dengan anaknya. Sebut saja misalnya interaksi Ibrahim AS. dengan Ismail AS., Ya’qub AS. dengan Yusuf AS., Luqman dengan anaknya, dan lain-lain. Lebih menariknya lagi mayoritas tokoh pendidik yang digambarkan adalah sosok ayah. Hal ini tentu tidak menafikan peran kaum ibu, sebab sebagaimana ditegaskan Rasulullah SAW Ibu adalah Madrasah, yang maknanya peran ibu sebagai pendidik sudah pasti dan tak perlu disebut lagi. Jika pun proses pendidikan anak ini melibatkan lembaga sekolah, maka peran dan tanggung jawab yang pertama dan utama tetap ada di pundak orang tua, ayah dan ibunya.
Sebagai penutup, mari kita melakukan refleksi. Tidak ada anak yang lahir membawa cita-cita untuk menjadi orang jahat, koruptor, pencuri, dan pelaku maksiat. Semua itu hanya dapat terjadi ketika peran ayah dan ibu hilang dari diri anak. Maka sangat wajar jika Rasulullah SAW menegaskan bahwa ayah dan ibu-lah yang bertanggung jawab bila anak menjadi pelaku kejahatan, pendosa, bahkan menjadi Yahudi, Nasrani dan Majusi.
Wallahu A’lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar