Oleh: Insan Muhamadi
Pendidikan di
Indonesia menghadapi tantangan sangat berat. Pemerintah berkali-kali
merilis kabar akan lahirnya
Generasi Emas Indonesia tahun 2045. Di tahun tersebut Indonesia diperkirakan
akan memiliki bonus demografi yang sangat besar, berupa 52% persen penduduk
Indonesia adalah para pemuda pada usia produktif. Tantangan ini tentu harus
dijawab dengan program pendidikan yang baik dan sistematis. Sebab jika tidak, bonus besar tersebut akan
sia-sia. Bahkan jika proses pendidikan gagal, tidak mustahil bonus tersebut malah
menjadi bonus masalah.
Salah satu masalah terbesar
pendidikan saat ini adalah degradasi atau runtuhnya moral. Kasus-kasus
kekerasan, tawuran, pornografi dan pornoaksi, serta kasus asusila hingga aborsi
yang dilakukan oknum pelajar di negeri ini semakin mengkhawatirkan. Bila para
pendidik tidak mampu menjadi solusi bagi masalah-masalah ini, dapat dipastikan
potret masa depan Indonesia semakin suram.
Problem tersebut lahir karena selama
ini lembaga pendidikan sebagai produsen manusia-manusia yang baik telah gagal,
karena seluruh pengetahuan agama dan moral yang didapatkan anak ternyata tidak
berdampak terhadap perubahan perilaku. Adian Husaini, aktivis Dewan Da’wah Islamiyah
Indonesia (DDII), menegaskan alih-alih menghasilkan lulusan yang diharapkan,
dunia pendidikan malah menjadi institusi paling bertanggungjawab terhadap
problem tersebut. Maka sudah saatnya pendidikan dikembalikan kepada fitrahnya,
yaitu untuk menumbuhkan manusia-manusia yang berakhlakul karimah.
Fenomena Parentless
Beberapa pakar
pendidikan mensinyalir problematika yang terjadi di atas berawal dari rumah. Sejak
tahun 2006 Indonesia dianggap sebagai fatherless country atau negeri
tanpa ayah. Fenomena fatherless ini tentu bukan ketiadaan sosok ayah secara
biologis, namun lebih ke aspek psikologis di mana kehadiran ayah tidak
dirasakan oleh anaknya.
Dan kini fenomena
fatherless itu bukan hanya dalam makna psikologis semata. Saat ini, fatherless
itu benar-benar dalam makna “banyaknya anak yang tidak memiliki ayah.” Benar,
mereka lahir dari proses pembuahan sperma laki-laki terhadap indung telur
perempuan, tapi tidak legal.
Bayi lahir
bukan dari hasil pernikahan sah, hamil karena hubungan gelap, perselingkuhan
dan pemerkosaan, dan anak yang lahir pasca proses perceraian, mereka
benar-benar tidak memiliki ayah. Tidak dibesarkan oleh ayah biologisnya. Tidak
mendapat kasih sayang dari sosok ayah. Jika sang ibu menikah lagipun, ayah tiri
tak akan memperlakukannya bak anak kandung.
Lantas, bagaimana dengan
fenomena motherless? Tentu bukan dalam makna hakiki, karena setiap anak
pasti lahir dari seorang ibu. Tapi dalam makna hilangnya sosok dan peran
keibuan. Apakah ini terjadi juga? Bukankah saat ini semakin banyak kaum ibu
yang tidak menjalankan perannya disebabkan sibuk berkarier?
Tak dapat dipungkiri,
kondisi motherless juga terjadi dalam banyak keluarga. Jangankan di kalangan
ibu pekerja, di keluarga dengan ibu tidak bekerja sekalipun, motherless
itu nyata. Ibu rumah tangga tapi hanya sibuk dengan dirinya. Seperti nonton
tivi, main gadget, shopping, dll. Ada di dekat anak, tapi asyik dengan dunianya
sendiri. Hanya melayani anak jika rewel.
Fenomena motherless
juga terjadi di keluarga TKW misalnya, dimana para istri merantau ke luar
negeri bertahun-tahun. Anak kadang dibesarkan ayahnya saja, atau diasuh
kakek-neneknya. Juga, fenomena single parent, dimana anak-anak hanya diasuh
oleh ayahnya setelah proses perceraian terjadi. Tentu, fenomena motherless
ini tak kalah bahayanya.
Walhasil, bangsa ini sejatinya
telah mengalami krisis keluarga parah: fatherless sekaligus motherless
alias parentless. Bukan anak yatim piatu. Ibu dan ayah ada, tapi
seolah-olah tiada. Inilah fenomena miris yang harus segera diubah. Kembalikan
fungsi dan peran keluarga sebagai elemen paling dasar bagi pembentukan
masyarakat yang baik. Jika elemen kecil ini diremehkan, efeknya menghancurkan
bangunan yang lebih besar. Bukankah kewajiban mendidik anak adalah tanggung
jawab kedua orangtuanya?
Mendidik itu Memelihara Fitrah
Setiap anak
lahir membawa fitrah yang telah ditetapkan oleh Allah SWT. Makna fitrah menurut
para mufassir adalah bahwa setiap anak telah membawa tauhid di dalam dirinya,
atau setidaknya telah memiliki kecenderungan untuk mengesakan Allah SWT. Secara
khusus Imam Al-Ghazali mengartikan bahwa fitrah merupakan asas yang diperoleh
manusia sejak lahir dengan memiliki keistimewaan-keistimewaan sebagai berikut.
Pertama, beriman kepada Allah SWT. Kedua, memiliki kemampuan dan kesediaan
untuk menerima pengajaran. Ketiga, memiliki dorongan untuk mencarai hakikat
kebenaran yang berwujud daya pikir. Keempat, dorongan biologis berupa syahwat,
nafsu, dan tabiat. Dan kelima, memiliki potensi-potensi lain yang dapat
dikembangkan dan disempurnakan.
Fitrah
anak, sebagaimana dijelaskan di atas, merupakan amanah yang diberikan oleh
Allah SWT untuk dipelihara oleh, yang pertama dan terutama, adalah orang tua.
Hal ini sejalan dengan perintah Allah SWT dalam Al-Quran surat Al-Tahrim ayat 6
agar setiap mukmin menjaga diri dan keluarganya dari ancaman api neraka. Para
mufassir menyatakan bahwa sahabat Ali bin Abi Thalib RA. menafsirkan perintah
di ayat ini dengan perintah kepada setiap muslim untuk mendidik keluarganya.
Merupakan
perbuatan yang menyalahi fitrah dan amanah dari Allah SWT apabila kewajiban
mendidik anak ini diserahkan kepada semata-mata lembaga persekolahan. Bahkan
meski lembaga tersebut adalah sebuah sekolah Islam sekali pun. Apalagi kita
menyaksikan sistem pendidikan yang sedang berjalan sekarang masih dikotomis dan
orientasi pendidikan masih berkiblat kepada kepentingan duniawi, seperti sekadar
nilai kognitif, gelar, dan sasaran kerja.
Bukankah telah
disebutkan di dalam Al-Quran bahwa pendidik pertama dan utama adalah orang tua?
Bahkan teramat banyak kisah pendidikan yang digambarkan dalam Al-Quran berupa
interaksi antara orang tua dengan anaknya. Sebut saja misalnya interaksi
Ibrahim AS. dengan Ismail AS., Ya’qub AS. dengan Yusuf AS., Luqman dengan
anaknya, dan lain-lain. Lebih menariknya lagi mayoritas tokoh pendidik yang
digambarkan adalah sosok ayah. Hal ini tentu tidak menafikan peran kaum ibu,
sebab sebagaimana ditegaskan Rasulullah SAW Ibu adalah Madrasah, yang
maknanya peran ibu sebagai pendidik sudah pasti dan tak perlu disebut lagi.
Jika pun proses pendidikan anak ini melibatkan lembaga sekolah, maka peran dan
tanggung jawab yang pertama dan utama tetap ada di pundak orang tua, ayah dan ibunya.
Sebagai
penutup, mari kita melakukan refleksi. Tidak ada anak yang lahir membawa
cita-cita untuk menjadi orang jahat, koruptor, pencuri, dan pelaku maksiat.
Semua itu hanya dapat terjadi ketika peran ayah dan ibu hilang dari diri anak.
Maka sangat wajar jika Rasulullah SAW menegaskan bahwa ayah dan ibu-lah yang
bertanggung jawab bila anak menjadi pelaku kejahatan, pendosa, bahkan menjadi
Yahudi, Nasrani dan Majusi.
Wallahu
A’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar