22 April 2017

KARTINI ALAT PROPAGANDA BELANDA


Oleh : Tiar Anwar Bachtiar


Kata “emansipasi wanita” sudah menjadi kata-kata klise di negeri ini. Paling tidak kata-kata ini dikenal sejak Armin Pane menerjemahkan surat-menyurat Kartini dengan teman-teman Belandanya yang ia beri judul Habis Gelap Terbitlah Terang (Door Dusternis tot Licht) pada tahun 1920-an. Buku ini menginspirasi kalangan pejuang kemerdekaan Indonesia untuk menyemangati agar kaum wanita pun turut serta berjuang menegakkan kemerdekaan negeri ini.
Dalam surat-suratnya, Kartini memang menceritakan apa adanya yang dialami para wanita priyayi di Jawa. Misalnya, ia mengisahkan tentang adat istiadat yang mengurung dirinya.
Kami, anak-anak perempuan yang terantai dengan adat istiadat lama, hanya boleh memanfaatkan sedikit saja dari kemajuan di bidang pengajaran itu. Bahwa sebagai anak perempuan, setiap hari pergi meninggalkan rumah untuk belajar di sekolah, sudah merupakan pelanggaran besar terhadap adat kebiasaan negeri kami. Ketahuilah, adat negeri kami melarang keras gadis-gadis keluar rumah. Pergi ke tempat lain kami tidak boleh…. Pada usia 12 tahun saya harus tinggal di rumah. Saya harus masuk “kotak”, saya dikurung di dalam rumah, sama sekali terasing dari dunia luar…”

Cerita-cerita Kartini hampir sepanjang bukunya itulah yang kemudian menjadi asumsi bahwa nasib para wanita di Indonesia pada umumnya seperti itu hingga kesimpulannya adalah bahwa wanita Indonesia harus dikasihani. Emansipasi wanita adalah suatu keharusan.
Dalam kasus Kartini bisa saja ia memang diperlakukan seperti itu. Namun, apakah dapat dianggap bahwa semua wanita di masanya diperlakukan seperti yang dialami Kartini? Apakah Kartini berani menjamin klaimnya bahwa adat di negeri ini (adat Timur) memperlakukan para wanita seperti itu adalah benar? Jangan-jangan kasus itu hanya menimpa Kartini; atau hanya dialami kaum priyayi seperti Kartini. Pertanyaan ini wajar diajukan mengingat banyak indikasi yang akhirnya harus menggugurkan klaim berlebihan Kartini mengenai perlakukan terhadap kaum wanita.

Realitas Sejarah Kartini  
Dalam surat-suratnya di atas, Kartini bercerita tentang kegetiran dan nestapa yang dialaminya sebagai anak-wanita seorang priyayi Jawa (Bupati). Ia selalu ditempatkan sebagai makhluk kelas dua setelah saudara laki-lakinya. Perannya dianggap lebih rendah dibandingkan laki-laki. Ayahnya menikah secara poligami yang membuatnya sangat tidak senang, sekalipun akhirnya ia harus menerima kenyataan menjadi istri keempat Bupati Rembang.
Atas pengalaman yang dialaminya itu, Kartini sampai pada kesimpulan bahwa wanita Indonesia harus bergerak dan bangkit melawan penindasan ini. Untuk bangkit itu, “Kartini bercita-cita memberi bekal pendidikan kepada anak-anak perempuan, terutama budi pekerti, agar mereka menjadi ibu yang berbudi luhur, yang dapat berdiri sendiri mencari nafkah sehingga mereka tidak perlu kawin kalau mereka tidak mau.” (Sulastin Sutrisno, Surat-Surat Kartini, Djambatan, 1985: xvii).
Sampai pada titik ini, pemikiran-pemikiran feminis Kartini terlihat terang-benderang, walaupun akhirnya ia memilih untuk meninggalkan pemikiran-pemikirannya ini. Kartini rupanya lebih senang menjadi wanita Jawa apa adanya. Ia memilih untuk menikah, punya anak, dan tidak bekerja mencari nafkah sendiri seperti yang ia angankan sebelumnya. Bahkan pernikahan poligami yang sebelumnya sangat dimusuhi dan dianggapnya sangat “diskriminatif” terhadap wanita, akhirnya ia jalani. Keputusannya ini sangat disayangkan oleh teman-teman Balandanya, terutama Stella. Stella kecewa atas perubahan pikiran dalam diri Kartini. Sebagai seorang penganut feminisme yang sudah mendarah-daging, Stella betul-betul tidak dapat mengerti keputusan Kartini.
Kartini sendiri tidak terlihat sama sekali merasa tertindas atas pernikahan poligaminya itu. Bahkan beberapa saat setelah pernikahannya Kartini menulis surat kepada J.H. Abendanon dan istrinya yang menunjukkan bahwa pernikahannya, sekalipun pernikahan keempat bagi suaminya, sama sekali baik-baik saja.
“Kawan-kawan yang baik dan budiman. Saya tahu betul-betul, bagaimana surat ini diharap-harapkan, surat saya yang pertama dari rumah saya yang baru. Alhamdulillah, di rumah itu dalam segala hal keadaan saya baik dan menyenangkan; di situ yang seorang dengan dan karena yang lain bahagia…” (Surat-Surat Kartini, hal. 348).

Mencermati perjalanan hidup Kartini seperti itu, patut dipertanyakan dari mana Kartini punya pikiran feminis pada awal-awal suratnya? Padahal, sejatinya Kartini adalah wanita Jawa yang ternyata lebih menghayati kehidupan budayanya. Kesenangannya justru lahir dalam harmoni mengikuti ritme budaya tempat sekian lama ia hidup dan sudah mendarah daging sejak lahir. Ia tidak pernah senang menjadi wanita pemberontak seperti yang diajarkan para feminis.
Pertanyaan ini tidak akan pernah terjawab kalau kita tidak mencermati di mana Kartini bersekolah dan dengan siapa ia berkirim surat. Kartini bersekolah di sekolah Belanda karena ia seorang anak bupati yang bisa menikmati sekolah bersama dengan anak-anak Belanda. Menjelang abad ke-20 saat Kartini bersekolah adalah saat ide-ide politik etis yang dipengaruhi kelompok liberal di Belanda tengah menjadi arus wacana utama di Hindia Belanda (baca: Indonesia).
Selain karena arus wacana Politik Etis, karena bersekolah di sekolah Belanda sudah tentu Kartini akan menyerap berbagai paham yang tengah berkembang di Barat. Salah satu yang tidak bisa dihindari adalah liberalisme. Pandangannya tentang kedudukan laki-laki dan perempuan pun hampir bisa dipastikan banyak terpengaruh pandangan-pandangan liberal yang diajarkan guru-guru belandanya di sekolah. Dari sekolah Belanda ini pula Kartini bertemu dengan buku-buku dan surat kabar yang berhaluan liberal.
Pengaruh feminis yang paling meyakinkan dalam surat-suratnya adalah teman-teman korespondensinya sendiri. Stella Zeehandelar adalah salah seorang yang paling feminis dibanding teman-temannya yang lain. Usianya lebih tua 5 tahun dari Kartini, anak dari orang tua Yahudi-Belanda. Ia penganut sosialis yang sangat kuat dan aktivis feminis sejak masih di Belanda sampai bekerja di Indonesia. Kartini berkenalan dengan Stella pada tahun 1899 melalui redaksi De Hollandse Leile, majalah wanita yang saat itu sangat populer. Teman-temannya yang lain pun rata-rata berpaham liberal seperti pada umumnya orang-orang yangd atang dari Belanda pada abad ke-19 dan 20.
Paham feminis yang muncul dalam surat-surat Kartini hampir bisa dipastikan berasal dari dua sumber di atas: sekolah Belanda dan teman-teman Belandanya. Beruntung bahwa Kartini sesungguhnya tidak benar-benar menjadi feminis yang ekstrim: memusuhi laki-laki. Feminisme bagi Kartini hanya sebatas wacana yang bergolak dalam pikirannya. Selebihnya ia sampaikan itu dalam surat-suratnya. Kartini sendiri tidak pernah berniat sama sekali mempublikasikan pikiran-pikirannya itu, bahkan sampai ia meninggal tahun 1904 dalam usia 25 tahun beberapa hari setelah melahirkan anak pertamanya.
Justru yang mempromosikan pemikiran-pemikiran feminis ini adalah Mr. J.H. Abendanon, Menteri Agama, Pengajaran, dan Kerajinan Hindia Belanda. Ia mengumpulkan semua surat-surat Kartini, menyusunnya, kemudian menerbitkannya tujuh tahun setelah Kartini wafat. Abendanon sendiri, secara politis, adalah penganut aliran etis (baca: liberal) di Belanda. Sangat wajar kalau ia kemudian mempromosikan ide-ide liberal seperti yang tercermin dalam surat-surat Kartini. Secara tidak langsung Abendanon ingin mengajarkan feminisme-liberal kepada masyarakat Indonesia, namun meminjam tangan anak bangsa Indonesia sendiri, Kartini. Inilah sesungguhnya awal mula benih feminisme-liberal ditaburkan di bumi Indonesia yang sesungguhnya tidak menyimpan masalah besar dalam hubungan laki-laki perempuan sejak Islam datang ke negeri ini. Wallâhu A’lam.

PERGESERAN MAKNA SYARIAT



Oleh : Dr. Jeje Zainudin

Sehari-hari kita sering mendengar istilah “syari’at Islam”. Istilah ini bahkan tidak sedikit digunakan sebagai alat kampanye politik, baik kampanye untuk menaikkan elektabilitas maupun kampanye untuk menyudutkan seseorang. Beberapa hari yang lalu menjelang Pilkada DKI, terbit Bulleti Al-Islam palsu yang dengan tegas judulnya diberi judul “Menyongsong Gubernur Muslim Menghentikan Gubernur Kafir Wujudkan Jakarta Bersyari’ah” dan dibawahnya ada foto Anis Baswedan. Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang selama ini memilih tidak banyak angkat suara soal dukungan politik dalam Pilkada DKI melalui juru bicaranya Ismail Yusanto segera membantah bahwa bulletin tersebut adalah terbitan resmi HTI.
Entah apa tujuan orang memalsukan Bulletin HTI dengan foto Anis Baswedan. Apahak untuk menurunkan elektabilitas Anis yang dianggap didukung HTI, karena sealama ini HTI sering berkampanye tentang wajibnya menegakkan khilafah Islam dan menentang praktik demokrasi; atau malah untuk menarik pemilih baru di kalangan HTI yang selama ini sering memilih untuk “tidak memilih”. Keduanya perlu pembuktian, Akan tetapi dalam bulletin itu tercantun kata “syari’at” yang pemaknaannya sudah mulai bergeser.
Dalam pemikiran masyarakat awam, syariat sering hanya dikaitkan dengan masalah-masalah hukum yang sifatnya “amaliah” dan legal-formal. Hal yang sering dicontohkan adalah hukum potong tangan bagi pencuri, hukum rajam bagi pezina, larang khomer dan judi, dan semisalnya. Kesan ini kemudian dikuatkan dengan adanya “Fakultas Syari’ah” di berbagai perguruan tinggi di dunia yang kajiannya hanya seputar masalah hukum amaliah. Walaupun hal di atas adalah bagian dari “syari’at”, nanum kalau syariat hanya diartikan seperti di atas berarti telah terjadi reduksi atas makna syari’at itu sendiri. Tidak mengherankan bila kemudian ada yang mempertentangkan antara “syari’at” dengan “akhlak”, misalnya. Pentolan Syiah Jalaludin Rahmat, misalnya, menulis buku berjudul Dahulukan Akhlak dari Fikih. Fikih dalam buku itu diartikan sebagai syari’at amaliah yang seolah-olah dapat berdiri sendiri tanpa akhlak; dan seolah-olah akhlak lebih luhur dari syari’at amaliah.
Mengingat sudah semakin jauhnya pemahaman masyarakat atas makna “syari’at” ini, tulisan ini hendak mengupas apa sesungguhnya makna dari syari’at ini pada mulanya, terutama dikaitkan dengan istilah dalam Al-Quran, hadis-hadis, dan istilah yang dibuat para ulama. Diharapkan dengan penjelasan ini, masyarakat paling tidak dapat memahami asal-usul istilah ini.
“Syari’ah” secara bahasa diambil dari kata dasar syir'ah yang arti asalnya adalah masyra'atul mâ-a ya'ni mauridul mâ-a = sumber air atau mata air. (Muhammad bin Mukrim bin Mandhur Al Afriqy, Lisânul Arab, [Beirut: Dar al Shadir, tt.], vol. VII, hal 175 ). Karena adanya sumber atau mata air itulah orang berdatangan ke tempat tersebut secara rutin dan bergantian sehingga membentuk jalan. Kemudian istilah syariat bergeser dari arti "sumber air" menjadi "jalan menuju sumber air" tersebut.
Penggunaan kata "jalan" dalam bahasa Arab dapat berarti jalan dalam makna asli (hakiki) yang bersifat fisik materil yang dapat dicapai indra manusia seperti jalan yang biasa ditempuh musafir di tanah atau dipadang pasir, dan jalan dalam pengertian secara metaforis (majazi) yang bersifat abstrak, seperti suatu ajaran atau tuntunan petunjuk kehidupan. Maka agama disebut "syir'ah" dan "syari'ah" karena ia ajaran atau tuntunan laksana jalan yang harus ditempuh manusia menuju kebenaran, menuju Tuhan dan menuju kebahagiaan hidupnya. Sebagaimana jalan yang ditempuh untuk menuju mata air. Jalan agama itu tiada lain adalah ajaran dan hukum yang terkandung didalamnya.
Jalan agama Islam terbentuk dari dua sumber yaitu Kitabullah (Al-Qur'an) dan Sunnah Rasulullah (Al Hadits yang sahih). Maka apa yang digariskan keduanya melahirkan syariat. Proses pembentukan jalan disebut tasyri'. Maka istilah tasyri' dalam konteks ini bermakna "proses dan cara pembentukan syari'at".
Syari'at Islam mencakup hukum-hukum I'tiqâdiyat, Akhâq, dan A'mal. I'tiqadiyat adalah syariat Islam yang terkait dengan amalan hati tentang apa yang harus diimani dan diingkari seorang mukmin. Akhlaq adalah syariat tentang kemuliaan budi pekerti dan kesucian jiwa. A'mal adalah syariat Islam yang mengatur tentang perbuatan jasadiyah manusia. A'mal manusia itu terbagi pada dua katagori; ibadah dan mu'amalah. Ibadah dalam pengertian khusus yaitu upacara ritual menyembah Allah semisal shalat, shaum, haji, dzikir, dan do'a. muamalah adalah ibadah dalam pengertian luas mencakup interaksi manusia dengan sesamanya. Hukum syariat dalam muamalah mencakup beberapa aspek:

  1. Hukum al-Ahwâlusyakhshiyah. Yaitu hukum syariat yang mengatur muamalah manusia dalam lingkup rumahtangga dan keluarganya seperti perkawinan, perceraian, hak dan kewajiban suami-istri, dan pengasuhan anak.
  2. Hukum al-Madaniyah. Yaitu hukum syariat yang mengatur muamalah manusia dengan sesamanya yang berkaitan dengan perikatan dan transaksi-transaksi jual beli, pinjam-meminjam, sewa-menyewa, dan perjanjian-perjanjian kerjasama.
  3. Hukum al-Jinâiyah. Yaitu hukum syariat yang mengatur sanksi fisik atas pelanggaran dan kejahatan terhadap jiwa, harta, dan kehormatan manusia. Seperti hukuman pembunuhan, pencurian, peminum khamar, pezina dan penuduh zina
  4. Hukum al-Murâfaat. Yaitu hukum syariat yang mengatur tatacara peradilan, pengajuan gugatan, penyelidikan, penetapan dan pelaksanaan vonis hukuman.
  5. Hukum al-Dusturiyah. Yaitu hukum syariat yang mengatur tentang kekuasaan, pemimpin, rakyat, dan hak-hak warga negara.
  6. Hukum al-Duwaliyah. Yaitu hukum syariat yang mengatur tentang interaksi antar bangsa, hukum perang dan damai.
  7. Hukum al-Iqtishadiyah. Yaitu hukum syariat yang mengatur pengelolaan dan pengembangan harta kekayaan individu, negara dan masyarakat. (Abdul Wahhab Khalaf, Ilmu Ushul Al Fiqh, [Kairo: Maktabah Da'wah Al Islamiyah, 1959], hal.32-33)

Semua hukum syariat tersebut di atas bersumber dari al-Qur'an dan al-Hadits sebagai sumber pokok dari ajaran Islam. Bila merujuk pada pengertian di atas, maka sesungguhnya istilah “syari’ah” ini merupakan perwujudan kongkrit dan sistematis dalam bentuk perintah, larangan, dan arahan-arahan dalam kehidupan. Karena dalam Al-Quran dan hadis arahan-arahan tersebut meliputi unsur-unsur ruhiyyah dan jasadiyah manusia, syu’ûriyyah dan hissiyyah, sekaligus maka untuk memudahkan diklasifikasilah syari’ah ini menjadi seperti di atas. Klasifikasi di atas semata-mata hanya untuk memudahkan pemahaman dan pengembangan keilmuan pada masing-masing bidangnya sehingga dapat tumbuh menjadi disiplin-disiplin ilmu yang bisa dipelajari oleh manusia, terutama umat Islam. 
Walaupun dapat diklasifikasi seperti di atas, pada hakikatnya ajaran-ajaran tersebut tidak dapat berdiri sendiri masing-masing. Akidah tanpa akhlak adalah mustahil. Begitu juga amaliah-jasadiyah tanpa akidah dan akhlak pun bukan apa-apa. Baik akidah, akhlak, maupun amaliah harus merupakan satu kesatuan. Suatu amal perbuatan manusia yang terlihat secara fisik harus merupakan perwujudan dari akidah yang kokok dan akhlah yang luhur. Bila tidak demikian, maka amaliah tersebut hanya merupakan amal hampa yang bukan merupakan ajaran Islam yang sesungguhnya. Wallâhu A’lam.

Menyikapi Perbedaan Cara Walisongo

Oleh : Tiar Anwar Bachtiar

Adalah sebuah kenyataan yang tidak bisa dielakkan bahwa sejak lama masyarakat Indonesia hidup dengan kultur dan agama yang majemuk, tidak terkecuali saat Islam datang ke negeri ini. Islam dibawa oleh para pendatang Arab, baik sebagai da’i maupun pedangang, yang secara kultural pasti berbeda dengan masyarakat Indonesia saat itu. Apalagi secara agama. Saat Islam datang agama Hindu-Budha sudah ada lebih dahulu. Dalam proses Islamisasi, sebagian ada yang langsung tertarik untuk memeluk Islam tanpa paksaan, namun sebagian lain masih memegang kepercayaan lama sehingga persentuhan kaum Muslim dengan orang-orang yang berbeda agama tidak bisa dihindarkan.
Akan tetapi, sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah Saw. yang juga hidup berdampingan dengan berbagai penganut beda agama dan budaya, umat Islam tidak pernah sulit untuk menempatkan diri. Ada prinsip-prinsip pokok yang harus dipegang secara eksklusif dan tidak bisa ditawar-tawar, yaitu dalam hal akidah dan ibadah. Sementara dalam hal-hal yang muamalah sehari-hari dan dalam hal-hal yang tidak berpotensi merusak akidah, ibadah, serta ajaran pokok Islam lainnya umat Islam diperbolehkan untuk menjalin kerja sama dengan siapa saja, baik yang berbeda agama, apalagi yang hanya berbeda budaya.
Contoh amat menarik bagaimana prinsip-prinsip di atas dijalankan secara sangat baik dapat kita lihat dalam sejarah Walisongo, para pendakwah Islam paling masyhur dan paling berhasil di Tanah Jawa. Para wali ini hidup di akhir zaman Majapahit. Sekalipun sudah banyak yang menganut Islam, namun masih banyak keluarga keraton dan rakyat biasa yang masih belum Muslim. Oleh sebab itu, muamalah dengan non-Muslim tidak bisa dihindarkan.
Salah satu kasus yang penting dicatatat adalah saat Walisongo membangun masjid pertama di Demak yang kemudian dikenal sampai hari ini sebagai Masjid Demak. Para arkeolog menyimpulkan bahwa corak Masjid Demak ini masih sangat kental diwarnai gaya arsitektur zaman Hindu. Salah satu cirinya adalah atapnya yang berundak 2,3,5, denahnya persegi empat dengan serambi di samping. Model seperti ini mirip dengan seni bangun candi pada masa itu, sekalipun detailnya tetap memperhatikan falsafah Islam dan fungsi mesjid itu sendiri bagi umat Islam. Hanya corak dan gayanya yang dipengaruhi Hindu.
Lebih menarik lagi apabila kita telusuri arsitek dan tukang yang membangun masjid ini. Sebagai inisiator dan konseptor masjidnya adalah para Wali. Akan tetapi, implementasi arsitektur dan pengerjaannya dilakukan oleh tukang-tukang dari Majapahit. Bahkan dalam Babad Cirebon dikisahkan bahwa serambinya sendiri berasal dari Kota Majapahit. Kepala tukang (arsitek) yang membangun Masjid Demak ini pula yang dipercaya oleh Sunan Gunung Djati untuk merancang dan membangun kota di Cirebon saat ia mendirikan Kerajaan Cirebon beberapa tahun setelah berdiri Kerajaan Demak. Dalam Babad Cirebon arsitek itu adalah Raden Sepat, seorang arsitek asal Majapahit yang masih belum Muslim. (Marwati Djoened Poeponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia Jil. III, Balai Pustaka Jakarta 1991, hal. 284-286).
Membangun masjid adalah perkara sakral. Namun, dalam prosesnya ada yang mutlak harus tunduk pada aturan Islam seperti arah kiblat dan fungsi mesjid sebagai tempat ibadah (terutama shalat berjamaah). Sisanya ada perkara yang tidak ada kaitan dengan masalah akidah dan ibadah seperti gaya, bahan-bahan bangunan, proses pengerjaan, dan sebagainya. Diduga, Raden Sepat adalah arsitek terbaik pada zamannya. Para Wali ingin mempersembahkan yang terbaik saat membangun mesjid yang akan digunakan sebagai pusat kegiatan umat Islam. Oleh sebab itu, untuk perkara-perkara teknis yang tidak terkait mengganggu akidah umat Islam, mereka tidak segan-segan bekerja sama dengan Raden Sepat, sekalipun bukan Muslim. Ini adalah contoh amat baik mengenai toleransi dan penghargaan terhadap profesionalisme.
Perhargaan terhadap kebudayaan lokal yang luhur nilainya pun ditunjukkan dengan memilih gaya lokal dalam membangun mesjid, tidak meniru gaya dari tempat lain seperti Timur Tengah. Diduga inipun sebagai upaya dakwah kepada masyarakat di Jawa saat itu agar mereka bisa memahami bahwa Islam bukan hendak menghilangkan budaya Jawa, melainkan ingin menyempurnakannya dengan ajaran Islam yang luhur. Padahal, bila dilihat dari sisi kultural yang lain, para Wali ini sebagian besar masih berketurunan Arab. Hanya Sunan Kalijaga yang dikenal asli berdarah Jawa. Akan tetapi, ketika memilih unsur kebudayaan untuk berdakwah, yang dipilih adalah yang paling dikenal oleh masyarakatnya, yaitu kebudayaan Jawa, bukan Arab.
Bila dalam masalah yang tdak merusak akidah para Wali ini bisa amat toleran, lain halnya bila sudah menyangkut masalah akidah. Kasusnya dapat kita lihat pada kasus Syekh Siti Jenar (Syekh Lemah Abang) yang dihukum mati oleh Kerajaan Demak atas rekomendasi dari para wali. Belakangan ini ada yang mencoba membalikkan fakta bahwa Syekh Siti Jenar dihukum karena alasan politik bahwa Syekh Siti Jenar tidak mendukung penguasa Demak. Padahal, dalam berbagai cerita yang dimuat dalam berbagai babad, proses pelaksanaan hukuman setelah benar-benar secara faktual Syekh Siti Jenar melakukan penyimpangan agama.
Paling tidak dalam dua sumber babad, yaitu Babad Tanah Jawi dan Babad Walisana eksekusi mati yang dilakukan terhadap Syekh Siti Jenar setelah terbukti secara meyakinkan bahwa Syekh Siti Jenar melakukan hal-hal berikut. Pertama, Syekh siti Jenar telah meninggalkan Al-Quran, hadis, ijma’, dan qiyâ. Kedua, Syekh Siti Jenar telah terkategori zindiq dan mulhid (panteis dan ateis) karena mengaku bahwa ora ana Pangeran anging Angsun (tidak ada Tuhan kecuali Aku). Ketiga, Syekh Siti Jenar sering menakwilkan Al-Quran tanpa kaidah yang benar sehingga banyak yang takwilnya yang ngawur. Keempat, ajaran-ajaran Syekh Siti Jenar sangat membahayakan karena sangat pesimistis melihat dunia juga mendukung tindakan anarki dan chaos, dan kelima, perilaku-perilaku muridnya pun sangat meresahkan masyarakat.
Para Wali tidak menjatuhkan keputusan sepihak. Sebelumnya telah dilakukan berkali-kali diskusi. Sunan Kalijaga dan Sunan Kudus yang ditugaskan untuk mengajak kembali Syekh Siti jenar ke jalan yang benar. Namun, hasilnya tetap nihil. Akhirnya suatu musyawarah Walisongo diadakan di bawah pimpinan Sunan Giri sebagai tetua Walisongo. Dalam musyawarah yang mirip dengan persidangan itu, Syekh Siti Jenar tetap pada pendiriannya hingga ia akhirnya diputuskan telah menyimpang dan layak untuk dijatuhi hukuman karena bila dibiarkan malah akan merusak akidah umat Islam. Dalam hal ini berlaku prinsip kaidah fiqih sad adz-dzrî’ah (mencegah bahaya yang lebih besar).
Eksekusi tidak dilaksanakan saat itu, karena belum ada institusi kekuasaan yang berhak menjalankan eksekusi. Tidak berapa lama setelah Walisongo mendirikan Kerajaan (Islam) Demak, Syekh Siti Jenar dipanggih kembali untuk diperiksa ulang mengenai pendapat dan praktik keagamaannya. Rupanya tidak ada perubahan hingga akhirnya diputuskan oleh kerajaan bahwa Syekh Siti Jenar harus dijatuhi hukuman mati bersama dengan tujuh orang murid setianya. Di antara ketujuh muridnya terdapat Pangeran Penggung yang merupakan anak dari Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga sendiri ikut dalam proses pengadilan atas Syekh Siti Jenar. (Widji Saksono, Mengislamkan Tanah Jawa, Mizan Bandung 1995 hal. 46-66). Demikianlah contoh bagaimana Walisongo begitu tegas terhadap berbagai unsur yang berpotensi merusak akidah Islam. Walâhu A’lam.