Oleh: Tiar Anwar Bachtiar
Mengenali musuh adalah salah satu cara alamiah
dan bersifat fitrah untuk mempertegas identitas dan arah perbuatan yang akan
dilakukan manusia. Tanpa mengenal “siapa musuh” manusia akan bingung menentukan
siapa dirinya. Dia juga bingung tentang apa yang harus dilakukannya. Bahkan
kebenaran menjadi absurd tanpa musuh. Mengapa demikian? Salah satu
fitrah penciptaan manusia dan alam semesta ini diciptakan berpasang-pasangan:
siang-malam, panas-dingin, benar-salah, atas-bawah, dan sebagainya. Oleh sebab
ini, maka tidak mengherankan bila dalam kehidupan manusia pun diciptakan
hal-hal yang bertentangan (baca: bermusuhan).
Apakah kemudian “permusuhan” ini menjadi baik
seperti baiknya siang dan malam, bila permusuhan itu sengaja diciptakan Allah
Swt.? Dalam konteks penciptaan keseimbangan, maka pertentangan satu keadaan
dengan keadaan lain adalah hal yang normal. Kedua posisi menjadi sama-sama
penting dan berarti seperti posisi panas dan dingin yang kedua-duanya adalah
baik. Akan tetapi, dalam sekian banyak pertentangan yang diciptakan, Allah Swt.
menciptakan pertentangan sebagai alat uji buat manusia, yaitu “baik” dan
“buruk” atau “benar’ dan “salah”. Kedua-duanya walaupun selalu akan ada
sepanjang manusia hidup, namun Allah Swt. justru mengikutkan pada keduanya
akibat-akibat sejak di dunia hingga akhirat yang akibat-akibat itu satunya
diinginkan satunya dibenci. Kabaikan dan kebenaran diikuti dengan akibat
menyenangkan dan nikmat, terutama “surga”. Sebaliknya; sebaliknya keburukan
diikuti dengan akibat menyakitkan, terutama “neraka”.
Tidak ada pertentangan di dunia ini yang
dilekatkan dengan balasan hingga akhirat kecuali “benar” dan “salah”. Oleh
sebab itu, inilah pokok ujian manusia di dunia. Semua pertentangan yang lain
pada hakikatnya hanya akan menjadi media bagi bersemayamnya kebenaran atau
kesalahan. Laki-laki dan perempuan pada keduanya bisa beremayam kebaikan atau
keburukan. Siang dan malam pada keduanya bisa bersemayan kebaikan atau
keburukan. Sehingga yang akan menjadi cerita dalam sejarah manusia bukan
pertentangan laki-perempuan, siang-malam, tinggi-rendah, hitam-putih, dan
sebagainya; melainkan pertentangan antara benar dan salah.
Allah Swt. mengaitkan kebenaran dengan
diri-Nya. Keberan itu berasal dari Tuhanmu, maka janganlah kalian menjadi
manusia yang ragu (QS Ali Imran: 60). Sebetulnya dari diri Allah Swt. hanya
bersumber kebenaran saja. Tidak ada kesalahan. Sebab semua yang diciptakan
Allah Swt. pada hakikatnya adalah “benar” dan “baik”. Wahai Tuhan kami,
tidaklah Engkau menciptakan ini dalam keadaan bathil (sia-sia dan salah).” Kesalahan
terjadi ketika kebenaran ditolak dan diabaikan. Bila kebenaran adalah segala
yang datang dari Allah Swt., yang berbuat salah adalah yang tidak mau menerima
apa yang datang dari Allah Swt.
Misalnya, Allah menciptakan seseorang menjadi
laki-laki. Itu adalah kebaikan karena datang dari Allah Swt. seperti itu. Orang
yang benar adalah menerima “kelelakiannya”. Akan tetapi, orang yang salah
adalah yang menolak dirinya laki-laki lalu berusaha untuk mengubah kelaminnya,
perilakunya, penampilannya, dan segalanya agar menjadi “perempuan”. Begitu juga
sebaliknya. Allah Swt. juga mendatangkan “wahyu”-Nya. Ini adalah kebenaran.
Kesalahan adalah ketika wahyu yang merupakan petunjuk dari Allah Swt. ditolak. Tidak
ada ajaran-ajaran lain di luar ajaran Allah Swt. yang tercipta melainkan karena
menantang ajaran Allah Swt. Tidak ada agama lain, selain Islam yang diturunkan
Allah Swt., melainkan ajaran yang merupakan pengingkaran atas ajaran Allah Swt.
Keadaan ini berbeda dengan misalnya “malam”
dan “siang” yang keduanya diciptakan oleh Allah Swt. keduanya akan saling melengkapi
dan menyempurnakan kehidupan karena sama-sama bersumber dari Allah Swt. Siang
dan malam tidak pernah saling menegasikan dan saling merusak, karena dua-daunya
adalah kebaikan, karena datang dari Allah Swt. Sementara benar dan salah tidak
akan pernah dapat berjalan seiringan. Keduanya akan saling menegasikan dan
saling merusak karena hanya satu yang datang dari Allah Swt., yaitu kebenaran.
Sementara itu, saat kesalahan terjadi dia
sesungguhnya tidak langsung dibuat oleh Allah Swt., melainkan dibuat oleh
manusia karena manusia menolak kebenaran. Saat manusia menolak kebenaran yang
merupakan sumber kebaikan dan keteraturan kehidupan di dunia ini, maka secara
otomatis muncul kesalahan. Oleh sebab itu, kesalahan sesungguhnya datang dari
manusia. Allah Swt. hanya menciptakan potensi manusia untuk melakukan
kesalahan, yaitu potensi ketidaktaatan pada Allah Swt. Dengan begitu Allah Swt.
Maha Suci dari segala kesalahan dan keburukan.
Hal ini berbeda dengan makhluk-makhluk lain yang
hanya tunduk pada Allah Swt., tanpa punya potensi melakukan pembangkangan. Oleh
sebab itu, tidak terjadi kesalahan dilakukan oleh makhluk-makhluk Allah Swt.
yang tidak diuji seperti manusia. Oleh sebab itu, semua yang dilakukan
makhluk-makhluk Allah Swt. adalah kebenaran; sebab, mereka tidak punya
alternatif memilih dua perbuatan yang bertolak belakang secara nilai seperti
manusia.
Bahkan Iblis sekalipun oleh Allah Swt. saat di
dunia ini hanya punya satu potensi saja, yaitu melakukan pembangkangan atas kebenaran.
Sebagai wujud keadilan Allah Swt., nantinya Iblis pun hanya punya tempat di
neraka bersama-sama dengan mereka yang melakukan kesalahan. Sebagai perwujudan
“tanzih” (kemahasucian Allah Swt.) atas tidak mungkinnya Allah Swt. melakukan
perbuatan buruk, maka Iblis pun mendapatkan vonis atas pebuatannya disebabkan
perbuatannya sendiri, yaitu sombong dan durhaka pada perintah Allah Swt. Hanya
saja ketika sama-sama diturunkan ke dunia, Iblis tidak punya kemampuan lain
selain menjadi sumber dari keburukan dan kesalahan.
Iblis tidak bisa menentang Allah Swt., karena
Dialah yang menciptakannya. Hanya saja, karena perbuatan Iblis ini, Allah Swt.
mengutuk Iblis menjadi salah satu sumber ujian berat bagi manusia. Iblis oleh
Allah Swt. diturunkan ke dunia untuk memengaruhi manusia agar ada manusia yang
bernasib sama dengannya, yaitu melakukan kesalahan dengan bersombong dan
menolak kebenaran. Apabila ada manusia yang terpengaruh olehnya, maka tempat
manusia inipun nanti di Hari Akhirat sama dengannya, yaitu di neraka Jahannam.
Saat manusia dan Iblis sama-sama diturunkan ke
dunia, maka dengan tegas Allah Swt. yang sangat menyayangi manusia
memberitahukan tentang siapa musuh manusia. Allah Swt. menyatakan bahwa musuh
manusia yang nyata bukanlah siapa-siapa, melainkan setan. Sesungguhnya
setan, bagian kalian adalah musuh yang nyata. Setan adalah sifat Iblis yang
selalu mengajak manusia menolak kebenaran dari Allah Swt. sehingga manusia
melakukan kesalahan.
Kalau manusia sejak awal mau mendengar
petunjuk Allah Swt. dengan menetapkan “setan” sebagai musuh utamanya,
maka dia akan segera dapat menentukan siapa dirinya dan apa yang harus
dilakukannya. Apabila manusia tahu bahwa musuhnya adalah setan, maka berarti ia
harus melawan apa yang sedang dijalankannya. Setan sedang menjalankan misi
abadi sepanjang dunia ada, yaitu memengaruhi manusia agar menolak kebenaran. Musuh
pun adalah sesuatu yang harus berkebalikan dengan dirinya. Bila musuh itu setan
sebagai sumber keburukan, maka dia harus menjadi sumber kebaikan.
Setan dapat berwujud jin yang tidak terlihat
sebangsa dengan Iblis; bisa juga berasal dari manusia yang sudah terpengaruh
Iblis. Oleh sebab itu, mengidentifikasi musuh yang bernama “setan” bukan hanya
di ruang tak terjamah indra, melainkan juga di sekeliling kita yang kasat mata.
Setan itu bisa jadi anak, istri, orang tua, teman, rekan, atasan, seteru, dan
sebagainya. Ini juga berguna untuk menentukan dengan siapa di sekitar kita yang
harus dimusuhi dan ditemani. Musuh bukan orang yang jauh atau dekat. Musuh
bukan orang sekamping atau orang asing. Musuh bukan orang separtai atau beda
partai; dan begitu seterusnya. Musuh adalah mereka yang telah menjadi setan.
Menjadi setan artinya menjadi manusia-manusia yang membangkan pada petunjuk
Allah Swt., membangkang pada kebenaran hingga terjerumus pada kebathilan dan
kesalahan. Wallahu A’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar