Dr. Tiar Anwar Bachtiar*
Saat tengah menanti-nanti putusan atas
terdakwa penista agama Basuki Tjahaja Purnama, sehari sebelumnya (8/5/2017)
umat Islam tiba-tiba saja dikejutkan
dengan konfrensi pers yang digelar oleh Menkopolhukam Wiranto. Isinya Wiranto
menghimbau pemerintah agar membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia; ormas Islam
yang sering mengkapanyekan penegakan khilafah. Konpers Wiranto memang tidak
menyatakan pembubaran, melainkan hanya himbauan. Akan tetapi, karena yang
membacakannya wakil pemerintah, tentu ada indikasi bahwa pemerintah akan
melakukannya.
Banyak pengamat
menilai bahwa Konpers Wiranto bukan sungguh-sungguh ingin membubarkan HTI,
melainkan hanya mengalihkan isu putusan terhadap Ahok. Bila dilihat dari timing pengumumannya mungkin saja. Akan tetapi,
bila menelusuri isu HTI dan FPI yang memang pembubarannya sudah menjadi wacana
sejak lama, apa yang disampaikan Wiranto bisa jadi sungguh-sungguh. Hanya saja,
masyarakat sedang menunggu bagaimana cara penguasa ini membubarkan ormas-ormas
ini. Apakah akan menggunakan cara-cara otoriter primitif seperti masa lalu;
atau akan mengikuti prosedur pengadilan sesuai UU Ormas yang menjamin setiap
ormas untuk membela diri atas tuduhan-tuduhan yang akan dilontarkan pada
mereka? Bila pilihan pertama yang ditempuh pemerintah, maka ini hanya akan
mengulang kisah kelam pembubaran organisasi Islam pada masa Orde Lama dan Orde
Baru. Ini akan menjadi preseden buruk bagi Rezim Jokowi dan sangat mungkin akan
menjadi masa akhir masa Reformasi.
Pada masa Orde
Lama, pembubaran organisasi Islam secara represif dialami oleh Masyumi pada
tahun 1960. Alasan yang menyebabkan Sukarno memaksa Masyumi bubar karena para
pemimpin Masyumi dianggap hendak melakukan “makar” dengan ikut dalam gerakan
PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia). Soal PRRI sendiri apakah
sebuah gerakan makar atau bukan sudah banyak dibincangkan oleh para sejawaran.
R.Z. Leirizza dalam bukunya PRRI-Permesta Strategi Membangun
Indonesia tanpa Komunis (Jakarta: Grafiti, 1997) menyimpulkan
bahwa PRRI belum layak dikategorikan makar dalam sistem pemerintahan
parlementer seperti saat itu. Ini hanya semacam gerakan protes atas
keterlibatan PKI dalam pemerintahan yang dinilai akan menghancurkan NKRI. Kalaupun
seandainya benar bahwa PRRI adalah gerakan makar, maka tindakan membubarkan
Masyumi secara paksa adalah suatu kekeliruan yang parah. Pasalnya, secara
organisasi Masyumi tidak pernah resmi mendukung gerakan ini. Pemerintah juga
tidak menemukan bukti otentik atas keterlibatan Masyumi secara organisasi dalam
gerakan ini. Lagi pula para pemimpin Masyumi yang terlibat antara lain:
Syafrudin Prawiranegara, Burhanudin Harahap, dan M. Nastir pada saat itu sudah
bukan lagi pimpinan di Masyumi.
Apa yang dilakukan
Sukarno saat itu benar-benar sudah gelap mata. Alasan makar melalui PRRI
hanyalah akal-akan semata. Sebetulnya sudah sejak lama Sukarno tidak senang
dengan Masyumi yang selalu menjadi penghalang serius kekuasaannya. Mungkin ada
benarnya simpulan Syafi’i Ma’arif dalam disertasinya yang kemudian dibukukan
berjudul Islam dan Masalah Kenegaraan (Jakarta:
LP3ES, 1985; hal. 191) mengenai masalah ini:
“Tapi bagi
Soekarno, soal ini sebetulnya tidak begitu penting sebab yang penting bagi
Pemimpin Besar Revolusi ini ialah bahwa ‘si kepala batu’ Masyumi harus
dienyahkan guna melicinkan jalan bagi realisasi sistem politik demokrasi
terpimpinnya.”
Kasus pembubaran
Masyumi ini menjadi preseden buruk pertama sikap represif penguasa di sebuah
negara yang sudah menyepakai demokrasi sebagai sistem bernegaranya. Ini pula
yang akhirnya menjadi sebab jatuhnya Sukarno secara tidak terhormat. Masyumi
sudah lama mengingatkan bahwa PKI tidak akan pernah punya itikad baik untuk
bersama-sama membangun Indonesia secara demokratis. Ideologi totalitarianisme
hanya mengizinkan PKI untuk menjadi penguasa tunggal di negeri ini. Bila
berkuasa penuh maka hanya PKI satu-satunya partai dan organisasi yang boleh
hidup seperti yang suda terjadi di China, Rusia (USSR), Yugoslavia, Kamboja,
dan sebagainya. Namun, karena tidak menggubris peringatan dari para petinggi
Masyumi, akhirnya kejatuhan Sukarno tahun 1965 benar-benar terjadi di tangan
PKI yang selama ini dilindungi dan dijadikan salah satu alat politik Sukarno.
Saat kekuasan
berganti ke tangan Suharto, banyak orang berharap bahwa ia akan bertindak lebih
adil dan demokratis. Namun, saat proposal pendirian kembali Masyumi ditolak
Suharto, umat Islam saat itu sudah bisa menyimpulkan bahwa tindakan represif
dan tangan besi hanya berpindah saja dari Sukarno kepada Suharto. Oleh sebab
itu, tidak mengherankan apabila korban lebih banyak lagi yang jatuh pada masa
Orde Baru, karena lebih lama berkuasa. Dari kalangan umat Islam pun jumlahnya
tidak sedikit. Siapa saja yang merintangi jalan dan kepentingan Suharto, maka
ia akan segera melibasnya. Ada dua senjata ampuh yang dijadikan alat untuk
menggebuk laman-lawannya, yaitu UU Subversif dan UU Politik (UU Asas Tunggal).
Bila pada masa Orde
Lama yang menjadi aktor utama di belakang Sukarno adalah PKI, maka pada masa
Orde Baru adalah tentara. Dominasi tentara lewat Dwi Fungsi ABRI yang secara
politik diwadahi Golkar menjadi penopang utama sikap represif Sukarno terhadap
siapa saja yang dianggap lawan politiknya, termasuk umat Islam. Melalui tangan
ABRI Suharto membubarkan pengajian di Tanjung Priuk hingga terjadi peristiwa
pilu Pembantaian Tanjung Priuk yang sulit dilupakan umat Islam pada tahun 1984.
Saat itu ABRI dipimpin seorang Katholik radikal LB Moerdani. Peristiwa ini
terjadi setelah satu tahun sebelumnya (1983), Suharto memutuskan bahwa semua organisasi
harus menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya asas ideologi. Dengan peraturan
ini Suharto secara telanjang membenturkan Pancasila dengan berbagai ideologi
lain, bahkan dengan agama. Suharto bahkan sejak tahun 1974 membuat tafsir
sendiri atas Pancasila yang dikenal sebagai P4 (Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila).
Hampir-hampir saja
semua organisasi Islam yang dalam AD/ART-nya tidak mencantumkan Pancasila harus
bubar. Walaupun penuh korban dan gejolak internal, dengan terpaksa organisasi
seperti Muhammadiyah, NU, dan Persis mengubah AD/ART masing-masing. Hampir
semua berdalil dengan “kemadharatan” ketika harus menerima “Asas Tunggal” demi
keberlangsungan dakwah. Namun, organisasi yang menolak menerima Asas Tunggal
ini segera dilarang dan dibubarkan, padahal belum tentu secara asensial
anti-Pancasila. Inilah yang dialami Pelajar Islam Indonesia (PII) dan Gerakan
Pemuda Islam (GPI). Kedua organisasi ini dilarang tampil di hadapan publik. Baik
PII dan GPI secara formal tidak pernah membubarkan diri, namun semua aktivitas
mereka dilakukan di bawah tanah hingga menghambat perkembangan kedua organisasi
ini. Bila ketahuan mereka melakukan aktivitas organisasi di depan publik, maka
atas alasan makar mereka akan ditangkap dan dipenjarakan. Pada tahun-tahun
1980-an itulah puluhan aktivis PII dan GPI banyak yang harus keluar masuk
penjara atas tuduhan ini.
Nasib
Suharto akhirnya sama seperti Sukarno, ia justru dijatuhkan dan diancam oleh
pihak yang selama ini dianggap menjadi penopang utamanya, yaitu jendral-jendral
Katholik, Kristen, dan Kejawen seperti Sudomo, Ali Murtopo, dan murid-mentor
mereka LB Moerdani. Santer terdengar pada akhir tahun 1980-an Moerdani sudah
membuat skenario untuk menggulingkan Suharto. Usaha ini gagal, karena Suharto
segera mengantisipasinya dengan menyingkirkan semua orang yang sebelumnya ia
percayai itu. Ia beralih mencari dukungan dari umat Islam yang diwakili oleh
Habibie. Namun, musuh-musuh politik Suharto yang tadinya adalah orang-orang
kepercayaannya tidak pernah berhenti bermanuver hingga akhirnya tahun 1998, ia
harus menanggalkan kekuasaannya.
Bila bercermin pada
apa yang terjadi pada dua penguasa besar Indonesia di masa lalu itu, kita patut
memberikan ini cermin ini kepada Presiden Jokowi. Bila secara nekat ia melakukan
cara-cara represif untuk menekan umat Islam, bahkan sampai berani membubarkan
organisasi Islam tanpa peradilan, maka berarti ia sedang menggali kuburnya
sendiri. Penguasa-penguasa yang melakukan tindakan represif terhadap rakyatnya
sebetulnya hanya menunjukkan kelemahannya dalam mengelola negara dan menegakkan
keadilan. Berlaku sewenang-wenang tidak pernah memperkuat kekuasaan, tapi
justru malah melemahkan. Wallahu A’lam bi Al-Shawwâb.
* Dosen STAI Persatuan Islam Garut dan Peneliti INSISTS Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar