08 Maret 2017

Melawan Kriminalisasi Ulama



Oleh: Yusuf Burhanudin

Tulisan ini tidak begitu serius. Ini hanya refleksi ringan seputar ulama dalam perspektif kebudayaan. Bagaimana saat ini para ulama, sebagai pemangku agama, benar-benar dilecehkan, dimarjinalisasi, bahkan dikriminalisasi. Dengan dalih yang dicari-cari dan terkesan dipaksakan, mereka ramai-ramai digiring menjadi tersangka dalam beberapa kasus yang berbeda-beda. Sebelumnya, ada upaya delegitimasiinstitusi ulama (MUI)--yang diakui keberadaannya oleh pemerintah, dan diakui peran kulturalnya dalam membimbing umat Islam--justru dilakukan oleh institusi penegak hukum sendiri. Terakhir, pelecehan terhadap sosok ulama ini oleh si penista agama yang kemudian sempat memantik kemarahan sebagian besar umat Islam.
Terlepas dari perbedaan perspektif seputar pengertian ulama seperti yang akan dijelaskan kemudian, gejala ini sangat kental dirasakan sebagai lanjutan dari fase sejarah liberalisasi pemikiran yang begitu masif dikampanyekan tahun-tahun sebelumnya. Yakni, perang melawan agama dan peran ulama. Kaum sekularis dan liberalis agaknya belum rela dan tidak akan pernah ridha jika pemangku agama dan para ulama memimpin kembali pendulum dan gerak kebangsaan menuju negara yang bertauhid, religius, dan demokratis.
Secara sederhana, pengertian ulama adalah mereka yang memiliki ilmu. Ilmu yang dimaksud utamanya adalah ilmu agama (dîn), bukan sekadar ilmu pengetahuan biasa. Yang terakhir ini, biasa disebut sebagai ilmuwan. Bahwa sebagai ilmuwan dan spesialis, seorang ulama harus memiliki kompetensi mumpuni dalam bidang keagamaan sebagaimana ilmuwan lain dalam bidang yang berbeda. Namun ini bukan berarti memisahkan bidang keilmuan agama dengan dunia, tetapi bagaimana membingkai setiap ilmu itu kemudian bermuara kepada tanggung jawab dirinya di hadapan Allah Swt. Disinilah letak keistimewaan sang ulama, disinggung Al-Quran sebagai satu-satunya hamba yang hanya takut kepada Allah Swt. “Ulama” yang masih terbuai oleh kekuasaan, kekayaan, dan wanita, jelas merupakan pengecualian.
Memakai pendekatan Ibn Al-Mubarak, seorang ulama sesungguhnya bukan saja mereka yang mumpuni dalam bidang keilmuan agama, melainkan siapa saja yang berilmu--sesedikit apapun ilmunya--tetapi langsung diamalkan dalam kesehariannya. Ini menunjukkan, bahwa karakter seorang ulama bukan saja berilmu tetapi juga punya integritas individual maupun sosial yang kuat (keumatan) sebagai bentuk tanggung jawab keilmuannya. Sebaliknya, siapa saja yang mengakui banyak ilmu dan kompeten di bidangnya namun lain dalam perilaku kesehariannya, maka mereka tidaklah disebut sebagai ulama.
Dalam rentang sejarah, ulama selalu diuji realitas hidup. Yang tidak tahan dengan berbagai gunjingan, fitnah, dan penistaan, maka sudah bisa dipastikan sebagai ulama palsu. Sebagai pewaris para nabi, mereka akan senantiasa diuji dengan berbagai cobaan dan terpaan isu murahan. Kita melihat dalam Al-Quran, bagaimana Nabi Saw dilecehkan dengan pertanyaan tentang di mana ruh [Al-Isra: 85], cemoohan “kasian Nabi kok suka makan dan berdagang di pasar” [Al-Furqan:7], cacian, ludahan, penganiayaan, dan lainnya.
Kini sebutan ulama mengalami marjinalisasi luar biasa, khususnya dalam ruang media dan politik. Ulama menjadi stereotiptukang ganggu kedamaian hidup berbangsa,” mengalami stigmatisasi, bahkan menjadi momok yang sangat menakutkan bagi siapapun. Radikal, keras, intoleran, dan tanpa ampun. Dalam ruang media, sebutan ulama dikerdilkan hanya sebagai tukang doa, membaca mantra-mantra ruqyah, mengusir jin dan setan. Bahkan, “ustadz” seleb yang baru nampil pun, yang hanya hapal satu dua ayat, langsung saja dilabeli ulama. Hal terakhir ini kemudian menggiring sebutan ulama yang begitu mulia, menjadi santapan lahap infotainmen (tepatnyadalil-tainment) disejajarkan dengan selebritis esek-esek.
Dalam spektrum politik, ulama juga saat ini sering dianggap mengganggu stabilitas keamanan dan pemecah belah umat. Inilah salah satu bentuk “cacian” nyata orang-orang munafik yang suka menyebut kesalehan ulama sebagai kerusakan, dan kerusakan mereka disebut kesalehan. Bisingnya nasihat mereka sesungguhnya menunjukkan betapa tingginya kepedulian mereka terhadap nasib umat dan bangsa ini. Di sisi lain, beberapa aktivis Muslim, beberapa di antaranya adalah ustadz, selalu disandingkan dengan skandal korupsi dan perempuan.
Secara budaya, ada beberapa sebutan yang memang mencerminkan adanya tingkatan kompetensi keilmuan agama seseorang. Ada ulama, kyai, ustadz, muballigh, dan ajengan. Ulama itu guru dan gudangnya ilmu. Kyai itu yang ngajar dan punya pesantren. Ustadz itu yang ngajar taklim maupun madrasah. Muballigh itu yang ceramah kemana-mana mencerahkan umat. Namundari semua itu, charisma keilmuan semuanya ada pada seorang ulama.
Di tengah bangsa bebal saat ini, kita darurat membutuhkan, meminjam istilah Gramsci, ulama organik. Ulama yang tidak hanya sekadar radikal dalam kajian dan wacana pikiran, namun juga memiliki akses keumatan untuk turun gunung guna membimbing mereka menuju pencerahan, pembaruan, dan perubahan, juga mengadvokasi langsung kebingungan umat atas kondisi social saat ini. Ulama yang tidak gampang “pundungan” untuk terus menggulingkan kejahilan, kepongahan, dan kemunafikan. Inilah kategori ulama yang bukan saja mengabdi dengan ilmu, juga menjadikan ikhlas lillah sebagai pondasi dalam gerakan dakwahnya.
Pada saat orang fasik sibuk membuzzer isu-isu hoax yang berkoalisi dengan orang munafik yang menabuh genderang perpecahan dan adu domba di antara umat Islam, karakter ulama yang hampir punah lainnya adalah sosok ulama yang konsen menganjurkan pentingnya merapatkan barisan dan ukhuwwah. Disinilah kecerdaan para ulama dituntut, untuk mampu memilah dan membedakan mana prioritas yang memang prinsip dengan prioritas lanjutan. Tema persatuan dalam bingkai Ahlus Sunnah wal Jamaah, sesungguhnya merupakan tema yang sangat tepat untuk mempersatukan akidah umat dalam suatu gerakan tanpa harus saling mencurigai perbedaan pilihan fikih masing-masing antara satu dengan lainnya. Biarkanlah urusan perbedaan ijtihad dalam persoalan fikih menjadi anutan masing-masing internal jam’iyyah tanpa memaksakannya kepada jam’iyyah lainnya. Inilah kekuatan ukhuwwah, dari pondasi Tauhid menuju gerakan sosial bersama.
Berkaitan dengan negara dan kekuasaan, ulama seyogianya terus memberikan nasehat kepada rezim yang selalu melakukan penyimpangan konstitusi apalagi cenderung melecehkan nilai-nilai ajaran Islam dalam soal akidah dan ketauhidan. Melawan dan mengingatkan kemunkaran mereka dengan tetap menjaga persatuan dan kesatuan keumatan. Khawatir, seperti terjadi pada Negeri Saba yang mendapat julukan baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur karena bertauhid, berubah hancur lebur karena kesyirikan dan kekufuran mereka bahkan sisa-sisa adzab itu masih sangat terasa hingga hari ini. Inilah kenapa kemudian Syam dan Yaman selalu ada dalam untaian doa-doa Rasulullah Saw.
Sebelum terlambat, para ulama dan umat harus segera bangkit merapatkan barisan guna melawan berbagai kemunkaran yang terjadi hari ini dengan perlawanan akhlak yang mulia. Bukan akhlak yang pasif sambil menunggu kemenangan tiba, tetapi akhlak progresif yang terukur, terencana, dengan strategi yang terarah demi kejayaan umat bagi generasi kita di kemudian hari. Karena jihad, bukan dituntut mati namun nista bagi keturunan mendatang. Sejatinya umat Islam harus menang, agar semai nilai-nilai ajaran ini terus terawatt hingga akhir zaman, dan kita dicatat sejarah sebagai salah seorang yang terlibat merawatnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar