Oleh: Yusuf
Burhanudin
Tulisan ini
tidak begitu serius. Ini hanya refleksi ringan seputar ulama dalam perspektif
kebudayaan. Bagaimana saat ini para ulama, sebagai pemangku agama, benar-benar
dilecehkan, dimarjinalisasi, bahkan dikriminalisasi. Dengan dalih yang
dicari-cari dan terkesan dipaksakan, mereka ramai-ramai digiring menjadi
tersangka dalam beberapa kasus yang berbeda-beda. Sebelumnya, ada upaya delegitimasiinstitusi
ulama (MUI)--yang diakui keberadaannya oleh pemerintah, dan diakui peran
kulturalnya dalam membimbing umat Islam--justru dilakukan oleh institusi
penegak hukum sendiri. Terakhir, pelecehan terhadap sosok ulama ini oleh si
penista agama yang kemudian sempat memantik kemarahan sebagian besar umat
Islam.
Terlepas dari
perbedaan perspektif seputar pengertian ulama seperti yang akan dijelaskan
kemudian, gejala ini sangat kental dirasakan sebagai lanjutan dari fase sejarah
liberalisasi pemikiran yang begitu masif dikampanyekan tahun-tahun sebelumnya.
Yakni, perang melawan agama dan peran ulama. Kaum sekularis dan liberalis
agaknya belum rela dan tidak akan pernah ridha jika pemangku agama dan para
ulama memimpin kembali pendulum dan gerak kebangsaan menuju negara yang
bertauhid, religius, dan demokratis.
Secara sederhana,
pengertian ulama adalah mereka yang memiliki ilmu. Ilmu yang dimaksud utamanya adalah
ilmu agama (dîn), bukan sekadar ilmu pengetahuan biasa. Yang terakhir
ini, biasa disebut sebagai ilmuwan. Bahwa sebagai ilmuwan dan spesialis,
seorang ulama harus memiliki kompetensi mumpuni dalam bidang keagamaan
sebagaimana ilmuwan lain dalam bidang yang berbeda. Namun ini bukan berarti
memisahkan bidang keilmuan agama dengan dunia, tetapi bagaimana membingkai
setiap ilmu itu kemudian bermuara kepada tanggung jawab dirinya di hadapan
Allah Swt. Disinilah letak keistimewaan sang ulama, disinggung Al-Quran sebagai
satu-satunya hamba yang hanya takut kepada Allah Swt. “Ulama” yang masih
terbuai oleh kekuasaan, kekayaan, dan wanita, jelas merupakan pengecualian.
Memakai
pendekatan Ibn Al-Mubarak, seorang ulama sesungguhnya bukan saja mereka yang
mumpuni dalam bidang keilmuan agama, melainkan siapa saja yang berilmu--sesedikit
apapun ilmunya--tetapi langsung diamalkan dalam kesehariannya. Ini menunjukkan,
bahwa karakter seorang ulama bukan saja berilmu tetapi juga punya integritas
individual maupun sosial yang kuat (keumatan) sebagai bentuk tanggung jawab
keilmuannya. Sebaliknya, siapa saja yang mengakui banyak ilmu dan kompeten di
bidangnya namun lain dalam perilaku kesehariannya, maka mereka tidaklah disebut
sebagai ulama.
Dalam rentang
sejarah, ulama selalu diuji realitas hidup. Yang tidak tahan dengan berbagai
gunjingan, fitnah, dan penistaan, maka sudah bisa dipastikan sebagai ulama
palsu. Sebagai pewaris para nabi, mereka akan senantiasa diuji dengan berbagai
cobaan dan terpaan isu murahan. Kita melihat dalam Al-Quran, bagaimana Nabi Saw
dilecehkan dengan pertanyaan tentang di mana ruh [Al-Isra: 85], cemoohan “kasian
Nabi kok suka makan dan berdagang di pasar” [Al-Furqan:7], cacian, ludahan, penganiayaan, dan lainnya.
Kini sebutan ulama mengalami marjinalisasi luar biasa, khususnya dalam ruang media dan politik. Ulama menjadi stereotip “tukang ganggu kedamaian hidup berbangsa,” mengalami stigmatisasi,
bahkan menjadi momok yang sangat menakutkan bagi siapapun. Radikal, keras, intoleran, dan
tanpa ampun. Dalam ruang media, sebutan ulama dikerdilkan hanya sebagai tukang doa, membaca mantra-mantra ruqyah, mengusir jin dan setan. Bahkan,
“ustadz” seleb yang baru nampil pun, yang hanya hapal satu dua ayat, langsung saja dilabeli ulama. Hal terakhir ini kemudian menggiring sebutan ulama yang begitu mulia, menjadi santapan lahap infotainmen (tepatnya “dalil-tainment”) disejajarkan dengan selebritis esek-esek.
Dalam spektrum politik, ulama juga saat ini sering dianggap mengganggu stabilitas
keamanan dan pemecah belah umat. Inilah salah satu bentuk “cacian” nyata orang-orang munafik yang suka menyebut kesalehan ulama sebagai kerusakan, dan kerusakan mereka disebut kesalehan.
Bisingnya nasihat mereka sesungguhnya menunjukkan betapa tingginya kepedulian mereka terhadap nasib umat dan bangsa ini. Di sisi lain, beberapa aktivis Muslim, beberapa di antaranya adalah ustadz, selalu disandingkan dengan skandal korupsi dan perempuan.
Secara budaya, ada beberapa sebutan yang memang mencerminkan adanya tingkatan kompetensi keilmuan
agama seseorang. Ada ulama, kyai, ustadz, muballigh, dan ajengan. Ulama itu
guru dan gudangnya ilmu. Kyai itu yang ngajar
dan punya pesantren. Ustadz itu yang ngajar taklim maupun madrasah. Muballigh itu yang ceramah kemana-mana mencerahkan umat. Namundari semua itu, charisma keilmuan semuanya ada
pada seorang ulama.
Di tengah bangsa bebal saat ini, kita darurat membutuhkan, meminjam istilah Gramsci, ulama organik. Ulama yang tidak hanya sekadar radikal dalam kajian dan wacana pikiran, namun juga memiliki akses keumatan untuk turun gunung guna membimbing mereka menuju pencerahan, pembaruan, dan perubahan, juga
mengadvokasi langsung kebingungan umat atas kondisi social saat ini. Ulama yang tidak gampang
“pundungan” untuk terus menggulingkan kejahilan, kepongahan, dan
kemunafikan. Inilah kategori ulama yang bukan saja mengabdi dengan ilmu, juga
menjadikan ikhlas lillah sebagai pondasi dalam gerakan dakwahnya.
Pada saat orang
fasik sibuk membuzzer isu-isu hoax yang berkoalisi dengan orang munafik yang
menabuh genderang perpecahan dan adu domba di antara umat Islam, karakter ulama
yang hampir punah lainnya adalah sosok ulama yang konsen menganjurkan pentingnya
merapatkan barisan dan ukhuwwah. Disinilah kecerdaan
para ulama dituntut, untuk mampu memilah dan membedakan mana prioritas yang
memang prinsip dengan prioritas lanjutan. Tema persatuan dalam bingkai Ahlus Sunnah wal Jamaah, sesungguhnya merupakan tema yang sangat tepat untuk mempersatukan akidah umat dalam suatu gerakan tanpa harus saling mencurigai perbedaan pilihan fikih masing-masing antara satu dengan lainnya. Biarkanlah urusan perbedaan ijtihad dalam persoalan fikih menjadi anutan masing-masing internal jam’iyyah tanpa memaksakannya kepada jam’iyyah lainnya. Inilah kekuatan ukhuwwah, dari pondasi Tauhid menuju gerakan sosial
bersama.
Berkaitan dengan negara dan kekuasaan, ulama seyogianya terus memberikan nasehat kepada rezim yang selalu melakukan penyimpangan konstitusi apalagi cenderung melecehkan nilai-nilai ajaran Islam dalam soal akidah dan ketauhidan. Melawan dan mengingatkan kemunkaran mereka dengan tetap menjaga persatuan dan kesatuan keumatan. Khawatir, seperti terjadi pada Negeri Saba yang mendapat julukan baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur karena bertauhid, berubah hancur lebur karena kesyirikan dan kekufuran mereka bahkan sisa-sisa adzab itu masih sangat terasa hingga hari ini. Inilah kenapa kemudian Syam dan Yaman
selalu ada dalam untaian doa-doa Rasulullah Saw.
Sebelum terlambat, para ulama dan umat harus segera bangkit merapatkan barisan guna melawan berbagai kemunkaran yang terjadi hari ini dengan perlawanan akhlak yang mulia. Bukan akhlak yang pasif sambil menunggu kemenangan tiba, tetapi akhlak progresif yang terukur, terencana, dengan
strategi yang terarah demi kejayaan umat bagi generasi kita di kemudian hari. Karena jihad, bukan dituntut mati namun nista bagi keturunan mendatang.
Sejatinya umat Islam harus menang, agar semai nilai-nilai ajaran ini terus terawatt hingga akhir zaman, dan kita dicatat sejarah sebagai salah seorang yang terlibat merawatnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar