Dalam setiap aturan syari‘at yang ditetapkan di dalam Al-Quran dan
hadis, selain akan kita temukan aturan-aturan yang serba rigid, selalu akan terselip
tujuan-tujuan dari ketentuan itu. Hampir tidak ada satu aturan syari‘at pun
yang tidak menunjukkan mengapa ketentuan itu harus dijalankan. Bahkan sekalipun
tidak tampak gamblang dan langsung dijelaskan dalam ayat atau hadis
bersangkutan, di tempat lain (ditemukan dengan qiyâs) atau
berdasarkan pengalaman dan pandangan para ahli fiqih, tujuan-tujuan itu bisa
ditemukan. Atas dasar itu para ahli Ushûl merumuskan satu kaidah fiqih: اَلْحُكْمُ يَدُوْرُ مَعَ عِلَّتِهِ
وُجُوْدًا أَوْ عَدَمًا (Hukum
akan berlaku bersama ‘illat-nya, baik terlihat ataupun tidak).
‘Illat adalah bentuk lain dari hikmah
dan tujuan syari‘at. ‘Illat digunakan untuk menamai motif hukum yang
membuat suatu aturan harus ada; hikmah digunakan untuk menunjukkan efek
yang akan terwujud dari suatu aturan syari‘at, sedangkan tujuan (maqshad j.
maqâshid) lebih sering digunakan untuk menunjukkan sesuatu yang ingin
dicapai oleh aturan syari‘ah. (lihat Wahbah Zuhaili, Ushûl Al-Fiqh
Al-Islâmî, jil. II Dar El-Fikr Beirut, 1986: 1018). Namun, pada
kenyataannya, objek yang dituju oleh ketiga kata tersebut kurang lebih sama. Sekalipun
kadang ketiganya tidak bisa secara langsung saling mensubstitusi untuk perannya
masing-masing. (Abdullah ibn Abdurrahman Al-Bassam, Al-Ilmâm fî Ushûl Al-Ahkâm
Muqaddimah Taudhîh Al-Ahkâm, Maktabah Al-Musthafa Kairo, tt.:
65, 71 dst.). Pada tulisan ini istilah akan lebih ditekankan pada istilah hikmah
dan maqshad, sedangkan mengenai ‘illat tidak dibicarakan
disini karena berkenaan dengan suatu masalah tertentu yang di dalam ilmu ushul
fiqih dinamakan ta‘lîl al-ahkâm (penetapan ‘illat hukum).
Mengetahui persoalan ini menjadi penting karena
beberapa alasan. Pertama, masih banyak orang, bahkan dari kalangan umat
Islam sendiri, yang menilai bahwa syari‘at Islam sudah tidak diperlukan lagi
untuk saat sekarang mengingat kondisi zaman yang terus berubah sementara aturan
itu dibuat 14 abad yang lalu di negeri Tanah Mekah. Dengan dipahaminya maqâshid
al-syarî‘ah, tidak harus lagi ada alasan bahwa syari‘at ketinggalan zaman, out
of date. Sebab, maqâshid al-syarî‘ah akan menunjukan universalitas
syari‘at dan aktualitasnya di setiap waktu dan tempat (shâlih likulli
zamân wa makân).
Kedua, fiqih adalah disiplin ilmu
untuk memahami Al-Quran dan hadis yang penuh warna. Banyak sekali pendapat dan ikhtilâf
di kalangan para ahli fiqih. Bagi yang tidak mengerti karakter fiqih tentu
kenyataan ini akan menimbulkan kebingungan dan sulit menentukan mana yang harus
dipilih di antara pendapat-pendapat itu. Dengan memahami maqâshid
al-syarî‘ah, kita dan terutama para ahli fiqih akan terbantu untuk
menentukan mana pendapat yang akan dipilih. Sebab, setiap pendapat bisa dipilih
berdasarkan potensi ketepatan meraih tujuan.
Ketiga, masih banyak orang yang
menilai bahwa syari‘at Islam itu rigid, kejam, dan sangat memaksa. Bagi yang
tidak memahami tujuan dari syari‘at dan tidak menjadikan tujuan ini sebagai
dasar pijakan dalam mamahami dan melaksanakan syari‘at kesan rigid dan tidak
fleksibel akan terlihat. Tentu ini bukan salah syari‘at itu sendiri, melainkan
salah memahami syari‘at dan tidak utuh dalam memahami pesan-pesannya.
***
Masing-masing aturan syari‘at pada tingkat satuan
teknis memiliki tujuan yang lebih spesifik. Misalnya syari‘at qishash ditetapkan
untuk mencegah agar tidak banyak terjadi pembunuhan; syari‘at shaum ditetapkan untuk
memelihara ketakwaan yang akan menjamin hidup manusia selalu barada dalam
kebenaran; shalat ditetapkan agar manusia senantiasa mengingat Allah dan agar
perbuatan keji dan munkar tercegah; thahârah (bersuci) dengan wudhu dan
mandi ditetapkan untuk membersihkan jasad manusia dari najis dan kotoran yang
justru sangat merugikan tubuh manusia. Syari‘at-syari‘at lain yang tidak
sempat disebutkan di sini pun masing-masing memiliki tujuan-tujuan spesifik
sendiri-sendiri sesuai dengan bentuk syari‘atnya.
Tujuan-tujuan spesifik tersebut seluruhnya bermuara
pada tujuan utama yang sama yaitu “mewujudkan kemaslahatan hidup manusia dan
menghindarkannya dari bahaya, baik di dunia maupun di akhirat”. Tujuan ini
dijelaskan di dalam Al-Quran di berbagai tempat. Lihat misalnya surat Ibrâhîm
(14):1, Al-Anbiyâ’ (21):107, Al-Mâ’idah (5):6, dan Al-Baqarah (2):179. Secara
lebih rinci tujuan utama ini dikelompokkan menjadi tiga jenis tujuan, yaitu
tujuan yang sifatnya dharûriyyah, hâjiyyah, dan tahsîniyyah.
(Al-Syathibi, Al-Muwâfaqât fî Ushûl Al-Ahkâm, Jil. II, Dar
El-Fikr Beirut, tt.: 2-5).
Tujuan yang sifatnya dharûriyyah (primer) adalah
tujuan yang bila tidak diwujudkan segera, maka kehidupan manusia akan
terganggu, bahkan keberlangsungannya terancam punah. Yang termasuk ke dalam
tujuan ini menurut syari‘at adalah terpeliharanya agama (al-dîn), nyawa
(al-nafs), akal (al-‘aql), harta (al-mâl), dan keturunan (al-nasl);
dan dikenal dengan istilah dharûriyyah al-khams. Bila salah satu dari
kelima hal di atas terganggu, maka keberlangsungan hidup manusia di dunia ini terancam.
Untuk mencapai tujuan itu, syari‘at kemudian menetapkan berbagai aturan.
Misalnya, untuk menjaga agar akal manusia tidak rusak, syari‘at mengharamkan khamr;
untuk menjaga agar semua manusia memiliki harta secara merata, syari‘at
menetapkan kewajiban zakat, infak, dan sedekah; untuk menjaga terpeliharanya keturunan,
syari‘at menetapkan keharusan menikah dan mengharamkan perzinahan; dan
sebagainya.
Tujuan yang sifatnya hâjiyyah adalah tujuan
yang menjadi kebutuhan manusia sehari-hari agar hidup manusia menjadi lebih
mudah dan tidak sulit. Namun, bila tujuan ini tidak terwujud, tidak sampai
mengancam dan merusak hidup manusia seperti dalam dharûriyyah. Misalnya,
agar ibadah menjadi lebih mudah disyari‘atkan adanya rukhshah
(keringanan); agar hidup keseharian menjadi lebih nyaman, diperbolehkan setiap
orang menikmati fasilitas hidup yang baik-baik; dan sebagainya.
Tujuan yang sifatnya tahsîniyyah adalah sesuatu
yang dapat membuat hidup manusia terlihat lebih indah dan lebih sempurna. Tujuan
ini dicapai dengan mengambil adat-adat yang baik. Keberadaannya merupakan
pelengkap bagi tujuan dharûriyyah dan hâjiyyah. Ketiadaannya
tidak merusak kehidupan manusia, juga tidak menyulitkan, melainkan hanya
sekedar mengganggu keindahan hidup. Sekalipun demikian, tujuan ini ditetapkan
oleh Islam untuk dicapai seperti dua tujuan sebelumnya. Ini menandakan bahwa
Islam tidak hanya mementingkan hal-hal yang sifatnya primer, tapi juga
mengindahkan hal-hal yang sifatnya hanya sebagai pelengkap. Contoh tujuan ini terlihat
dalam keharusan mengikuti adab-adab makan agar makan terlihat tidak hanya
sekadar aktivitas untuk menghilangkan lapar dan menjaga agar nyawa manusia bisa
dipertahankan, melainkan juga suatu aktivitas estetis yang dapat memenuhi
selera estetika manusia.
***
Ketiga tujuan di atas jelas memperlihatkan kepada kita
bagaimana Islam menampilkan wajahnya yang sangat ramah, jauh dari kesan
“angker” dan biadab. Inilah sebenarnya yang membuat banyak orang tertarik masuk
Islam ketika pertama kali Islam disebarkan ke berbagai pelosok dunia. Bukan
kebengisan para tentara dan hunusan pedang yang membuat bangsa-bangsa di luar
Jazirah Arab memeluk Islam, melainkan keindahan aturannya yang salah satunya tercermin
dalam maqâshid syarî‘ah di atas. Sayang wajah Islam yang ramah ini,
seperti kata Muhammad Abduh, mahjûb bil-muslimîn (tertutup oleh
perilaku kaum Muslim sendiri). Banyak kaum Muslim yang tidak mengerti tujuan
ini sehingga syari‘at yang ditampilkan sama sekali tidak mencerminkan tujuan di
atas. Hal itu terjadi terutama karena sempitnya pengetahuan kaum Muslim
terhadap Islam. Akhirnya, terjadi tindak berlebihan dalam menjalankan agama (al-ghuluw
fi al-dîn). Inilah salah satu sebab kecantikan Islam ternoda. Wallâhu
a‘lamu bi al-shawwâb.
26 November 2006,
Perpustakaan Pesantren Persis 19 Bentar Garut
Tiar Anwar Bachtiar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar