08 Maret 2017

Maqâshid Al-Syarî‘ah: Wajah Islam yang Ramah



Dalam setiap aturan syari‘at yang ditetapkan di dalam Al-Quran dan hadis, selain akan kita temukan aturan-aturan yang serba rigid, selalu akan terselip tujuan-tujuan dari ketentuan itu. Hampir tidak ada satu aturan syari‘at pun yang tidak menunjukkan mengapa ketentuan itu harus dijalankan. Bahkan sekalipun tidak tampak gamblang dan langsung dijelaskan dalam ayat atau hadis bersangkutan, di tempat lain (ditemukan dengan qiyâs) atau berdasarkan pengalaman dan pandangan para ahli fiqih, tujuan-tujuan itu bisa ditemukan. Atas dasar itu para ahli Ushûl merumuskan satu kaidah fiqih: اَلْحُكْمُ يَدُوْرُ مَعَ عِلَّتِهِ وُجُوْدًا أَوْ عَدَمًا (Hukum akan berlaku bersama ‘illat-nya, baik terlihat ataupun tidak).
‘Illat adalah bentuk lain dari hikmah dan tujuan syari‘at. ‘Illat digunakan untuk menamai motif hukum yang membuat suatu aturan harus ada; hikmah digunakan untuk menunjukkan efek yang akan terwujud dari suatu aturan syari‘at, sedangkan tujuan (maqshad j. maqâshid) lebih sering digunakan untuk menunjukkan sesuatu yang ingin dicapai oleh aturan syari‘ah. (lihat Wahbah Zuhaili, Ushûl Al-Fiqh Al-Islâmî, jil. II Dar El-Fikr Beirut, 1986: 1018). Namun, pada kenyataannya, objek yang dituju oleh ketiga kata tersebut kurang lebih sama. Sekalipun kadang ketiganya tidak bisa secara langsung saling mensubstitusi untuk perannya masing-masing. (Abdullah ibn Abdurrahman Al-Bassam, Al-Ilmâm fî Ushûl Al-Ahkâm Muqaddimah Taudhîh Al-Ahkâm, Maktabah Al-Musthafa Kairo, tt.: 65, 71 dst.). Pada tulisan ini istilah akan lebih ditekankan pada istilah hikmah dan maqshad, sedangkan mengenai ‘illat tidak dibicarakan disini karena berkenaan dengan suatu masalah tertentu yang di dalam ilmu ushul fiqih dinamakan ta‘lîl al-ahkâm (penetapan ‘illat hukum).
Mengetahui persoalan ini menjadi penting karena beberapa alasan. Pertama, masih banyak orang, bahkan dari kalangan umat Islam sendiri, yang menilai bahwa syari‘at Islam sudah tidak diperlukan lagi untuk saat sekarang mengingat kondisi zaman yang terus berubah sementara aturan itu dibuat 14 abad yang lalu di negeri Tanah Mekah. Dengan dipahaminya maqâshid al-syarî‘ah, tidak harus lagi ada alasan bahwa syari‘at ketinggalan zaman, out of date. Sebab, maqâshid al-syarî‘ah akan menunjukan universalitas syari‘at dan aktualitasnya di setiap waktu dan tempat (shâlih likulli zamân wa makân).
Kedua, fiqih adalah disiplin ilmu untuk memahami Al-Quran dan hadis yang penuh warna. Banyak sekali pendapat dan ikhtilâf di kalangan para ahli fiqih. Bagi yang tidak mengerti karakter fiqih tentu kenyataan ini akan menimbulkan kebingungan dan sulit menentukan mana yang harus dipilih di antara pendapat-pendapat itu. Dengan memahami maqâshid al-syarî‘ah, kita dan terutama para ahli fiqih akan terbantu untuk menentukan mana pendapat yang akan dipilih. Sebab, setiap pendapat bisa dipilih berdasarkan potensi ketepatan meraih tujuan.
Ketiga, masih banyak orang yang menilai bahwa syari‘at Islam itu rigid, kejam, dan sangat memaksa. Bagi yang tidak memahami tujuan dari syari‘at dan tidak menjadikan tujuan ini sebagai dasar pijakan dalam mamahami dan melaksanakan syari‘at kesan rigid dan tidak fleksibel akan terlihat. Tentu ini bukan salah syari‘at itu sendiri, melainkan salah memahami syari‘at dan tidak utuh dalam memahami pesan-pesannya.
***
Masing-masing aturan syari‘at pada tingkat satuan teknis memiliki tujuan yang lebih spesifik. Misalnya syari‘at qishash ditetapkan untuk mencegah agar tidak banyak terjadi pembunuhan; syari‘at shaum ditetapkan untuk memelihara ketakwaan yang akan menjamin hidup manusia selalu barada dalam kebenaran; shalat ditetapkan agar manusia senantiasa mengingat Allah dan agar perbuatan keji dan munkar tercegah; thahârah (bersuci) dengan wudhu dan mandi ditetapkan untuk membersihkan jasad manusia dari najis dan kotoran yang justru sangat merugikan tubuh manusia. Syari‘at-syari‘at lain yang tidak sempat disebutkan di sini pun masing-masing memiliki tujuan-tujuan spesifik sendiri-sendiri sesuai dengan bentuk syari‘atnya.
Tujuan-tujuan spesifik tersebut seluruhnya bermuara pada tujuan utama yang sama yaitu “mewujudkan kemaslahatan hidup manusia dan menghindarkannya dari bahaya, baik di dunia maupun di akhirat”. Tujuan ini dijelaskan di dalam Al-Quran di berbagai tempat. Lihat misalnya surat Ibrâhîm (14):1, Al-Anbiyâ’ (21):107, Al-Mâ’idah (5):6, dan Al-Baqarah (2):179. Secara lebih rinci tujuan utama ini dikelompokkan menjadi tiga jenis tujuan, yaitu tujuan yang sifatnya dharûriyyah, hâjiyyah, dan tahsîniyyah. (Al-Syathibi, Al-Muwâfaqât fî Ushûl Al-Ahkâm, Jil. II, Dar El-Fikr Beirut, tt.: 2-5).
Tujuan yang sifatnya dharûriyyah (primer) adalah tujuan yang bila tidak diwujudkan segera, maka kehidupan manusia akan terganggu, bahkan keberlangsungannya terancam punah. Yang termasuk ke dalam tujuan ini menurut syari‘at adalah terpeliharanya agama (al-dîn), nyawa (al-nafs), akal (al-‘aql), harta (al-mâl), dan keturunan (al-nasl); dan dikenal dengan istilah dharûriyyah al-khams. Bila salah satu dari kelima hal di atas terganggu, maka keberlangsungan hidup manusia di dunia ini terancam. Untuk mencapai tujuan itu, syari‘at kemudian menetapkan berbagai aturan. Misalnya, untuk menjaga agar akal manusia tidak rusak, syari‘at mengharamkan khamr; untuk menjaga agar semua manusia memiliki harta secara merata, syari‘at menetapkan kewajiban zakat, infak, dan sedekah; untuk menjaga terpeliharanya keturunan, syari‘at menetapkan keharusan menikah dan mengharamkan perzinahan; dan sebagainya.
Tujuan yang sifatnya hâjiyyah adalah tujuan yang menjadi kebutuhan manusia sehari-hari agar hidup manusia menjadi lebih mudah dan tidak sulit. Namun, bila tujuan ini tidak terwujud, tidak sampai mengancam dan merusak hidup manusia seperti dalam dharûriyyah. Misalnya, agar ibadah menjadi lebih mudah disyari‘atkan adanya rukhshah (keringanan); agar hidup keseharian menjadi lebih nyaman, diperbolehkan setiap orang menikmati fasilitas hidup yang baik-baik; dan sebagainya.
Tujuan yang sifatnya tahsîniyyah adalah sesuatu yang dapat membuat hidup manusia terlihat lebih indah dan lebih sempurna. Tujuan ini dicapai dengan mengambil adat-adat yang baik. Keberadaannya merupakan pelengkap bagi tujuan dharûriyyah dan hâjiyyah. Ketiadaannya tidak merusak kehidupan manusia, juga tidak menyulitkan, melainkan hanya sekedar mengganggu keindahan hidup. Sekalipun demikian, tujuan ini ditetapkan oleh Islam untuk dicapai seperti dua tujuan sebelumnya. Ini menandakan bahwa Islam tidak hanya mementingkan hal-hal yang sifatnya primer, tapi juga mengindahkan hal-hal yang sifatnya hanya sebagai pelengkap. Contoh tujuan ini terlihat dalam keharusan mengikuti adab-adab makan agar makan terlihat tidak hanya sekadar aktivitas untuk menghilangkan lapar dan menjaga agar nyawa manusia bisa dipertahankan, melainkan juga suatu aktivitas estetis yang dapat memenuhi selera estetika manusia.
***
Ketiga tujuan di atas jelas memperlihatkan kepada kita bagaimana Islam menampilkan wajahnya yang sangat ramah, jauh dari kesan “angker” dan biadab. Inilah sebenarnya yang membuat banyak orang tertarik masuk Islam ketika pertama kali Islam disebarkan ke berbagai pelosok dunia. Bukan kebengisan para tentara dan hunusan pedang yang membuat bangsa-bangsa di luar Jazirah Arab memeluk Islam, melainkan keindahan aturannya yang salah satunya tercermin dalam maqâshid syarî‘ah di atas. Sayang wajah Islam yang ramah ini, seperti kata Muhammad Abduh, mahjûb bil-muslimîn (tertutup oleh perilaku kaum Muslim sendiri). Banyak kaum Muslim yang tidak mengerti tujuan ini sehingga syari‘at yang ditampilkan sama sekali tidak mencerminkan tujuan di atas. Hal itu terjadi terutama karena sempitnya pengetahuan kaum Muslim terhadap Islam. Akhirnya, terjadi tindak berlebihan dalam menjalankan agama (al-ghuluw fi al-dîn). Inilah salah satu sebab kecantikan Islam ternoda. Wallâhu a‘lamu bi al-shawwâb.

26 November 2006,
Perpustakaan Pesantren Persis 19 Bentar Garut
Tiar Anwar Bachtiar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar