Oleh: Dr. Tiar Anwar Bachtiar, M.Hum
Energi Al-Maidah 51 rupanya mesih terus menyemai
kekuatannya hingga saat ini. Penetapan Ahok sebagai tersangka tanpa penahanan,
pemeriksaan, dan proses peradilan yang cepat menyebabkan umat Islam meragukan
kesungguhan pemerintah dan penegak hukum dalam menangani kasus ini. Tidak heran
bila kemudian, para ulama yang menggerakkan Aksi 411, serta merancang aksi “Super Damai” pada
tanggal 2 Desember 2016. Aksi ini dirancang dalam bentuk Shalat Jumat di sepanjang Jalan
Sudirman hingga Thamrin Jakarta.
Untuk menyemangati aksi ini sebagai aksi yang
juga pernah terjadi pada masa lalu, beredar BC (broadcast) entah dari mana
di medsos yang menyebut beberapa peristiwa. Salah satunya disebutkan bahwa
shalat Jumat di jalan yang paling besar dilakukan pada masa Sultan Al-Fatih
menjelang penaklukkan Konstantinopel. Isinya kurang lebih seperti di bawah ini:
“Tahukah anda, sholat Jumat termegah dan
terpanjang pernah terjadi pada tahun 1453 dilakukan oleh Sultan Muhammad Al
Fath. Termegah karena sholat itu dilakukan di jalan menuju konstatinopel dengan
jamaah yang membentang sepanjang 4 km dari Pantai Marmara hingga Selat Golden Horn
di utara. Sholat jumat tersebut terjadi 1,5 KM di depan benteng Konstantinopel,
dalam proses Penaklukan Konstantinopel oleh Sultan yang kemudian mengakhiri
sejarah Kekaisaran Byzantium dan menjadi cikal bakal kekhalifahan Utsmaniyah.”
Pertanyaannya: apakah cerita ini benar? dari
manakah sumber ceritanya? Tulisan ini akan menelusuri kebenaran klaim cerita
ini dengan membandingkan beberapa tulisan mengenai Penaklukkan Konstantinopel
oleh Al-Fatih. Bila cerita ini benar tentu saja ini menjadi preseden yang
menakjubkan. Akan tetapi, bila sumbernya tidak ada atau sangat lemah, maka
sebaiknya cerita semacam ini dihindari untuk meminimalisir umat Islam terkesan
selalu bersemangat tinggi, tapi mengabaikan nalar dan ilmu. Masih banyak cara
lain untuk menyemangati umat untuk turun membela Islam 212 hari ini. Tulisan
ini semata-mata sebagai amanah ilmiah saja, sama sekali tidak ada niat untuk
melemahkan semangat atau menciptakan front untuk diadu-domba.
***
Setelah ditelusuri, sumber dari cerita di atas
yang paling dekat ternyata ditemukan dalam buku Felix Siauw Muhammad
Al-Fatih 1453 (Khilafah Press Jakarta, cet. ke-3 2012) hal. 129. Ada juga
buku lain yang lebih lama yang juga memuat kisah yang hampir mirip cerita dalam
buku Felix yaitu dalam buku Alwi Alasat Muhammad Al-Fatih Sang Penakluk
Konstantinopel (Zikrul Hakim Jakarta, cet. ke-1 th. 2005) hal. 73-74.
Mengingat buku Alwi Alatas ini ditulis lebih dahulu, sangat mungkin Felix Siauw
juga mengacu pada buku. Apalagi, pada bagian daftar pustaka, Felix menyebut
buku Alwi ini sebagai salah satu referensi yang ia gunakan untuk menulis
bukunya yang cukup laris ini.
Baik buku Felix maupun Alwi sama-sama menyebut
bahwa tanggal 6 April (1453) pasukan Muhammad Al-Fatih yang sudah dipersiapkan
sebanyak 250.000 (Alwi menyebutnya 150.000) tentara sampai ke Konstantinopel.
Sekitar 1,5 km sebelah Barat menjelas Benteng Konstantinopel, mereka berhenti.
Al-Fatih kemudian mengimami shalat dan berkhutbah menyemangati tentaranya yang
akan segera bertempur dengan musuh. Felix
menyebut barisan shalatnya sepanjang 4 km membentang dari Pantai Marmara hingga
Selat Golden Horn. Dalam buku Alwi tidak disebutkan jarak bentangannya. Hanya
disebutkan saja melaksanakan shalat Jumat. Oleh sebab itu, soal panjang barisan
shalat Jumat “4 km” hanya ditemukan dalam bukunya Felix sehingga bisa
dipastikan sumber utama BC di atas adalah berasal dari buku Felix.
Masalah dalam cerita ini terletak pada tiga
hal, yaitu: soal tanggal 6 April, soal shalat Jum’at, dan soal barisan
shalat di jalan sepanjang 4 km. Pertama, mengenai sampainya pasukan
Al-Fatih ke Konstantinopel pada tanggal 6 April memang ditemukan hampir dalam
buku-buku sumber lain. Misalnya terdapat dalam buku Muhammad Ali Shallaby Fâtih
Al-Qashtanthiniyyah (Dar Al-Tauzi’ wa Al-Nasyr Al-Islamiyah Kairo, 2006)
hal. 92 dan Abdul Azis Ibrahim Al-Umari Al-Futûh Al-Islâmiyyah ‘Abra
Al-‘Ushûr (Dar Isybilya Riyadh, 1421 H) hal. 364. Akan tetapi dalam buku
Abdussalam Abdul Aziz Fahmi Al-Sulthân Muhammad Al-Fâtih (Dar
El-Qolam Damaskus, 1993) hal. 83 disebutkan tanggal 5 April (bukan tanggal 6
April). Hanya saja, baik yang menyebut tanggal 6 atau tanggal 5 semuanya
mengacu pada tanggal Hijriyah yang sama, yaitu tanggal 26 Rabiul Awal 857 H. Bila
memperhatikan perbedaan penentuan tanggal Masehinya, berarti tanggal yang ada
dalam sumber-sumber aslinya adalah tanggal Hijriyah. Sementara tanggal
masehinya hanya perkiraan.
Kedua, saat datang ke Konstantinopel, BC
di atas menyebutkan ada shalat Jumat. Kalau ada shalat Jumat, berarti tanggal
5/6 April itu jatuh pada hari “Jum’at”. Sementara dalam sumber-sumber yang penulis
baca di atas, tidak ada satupun yang menyebut bahwa tanggal tersebut hari
Jumat. Mereka semua sependapat bahwa tanggal 5/6 April tersebut jatuh pada “hari
Kamis”. Oleh sebab itu, Shallaby, Al-Umari, dan Fahmi pada saat tiba di
Konstantinopel Al-Fatih bersama pasukannya shalat; kemudian Al-Fatih berkhutbah
di hadapan tentaranya untuk memberikan semangat kepada mereka sedemikian rupa. Pasukan
pun kemudian menyambutnya sengan takbîr, tahmîd, tahlîl, dan
berdoa pada Allah Swt. Ini jelas bukan shalat Jumat, karena terjadi pada hari
kamis. Apakah shalat fardhu atau shalat sunat? Tidak ada sumber yang
menyebutkan secara jelas. Baru keesokan harinya (Jumat), pasukan masuk ke
Konstantinopel memulai penyerangan. Dalam berbagai sumber memang diceritakan
bahwa awal penyerangan ke Konstantinopel adalah hari Jumat.
Lalu dari mana hari Jumat didapat? Alwi Alatas
menyebutkan bahwa sumber yang digunakannya adalah tulisan sejarawan Turki
Mehmet Maksudoglu Ottoman History (Manuskrip Tanpa Tahun, hal. 114).
Sumber lain seperti The History of Byzantium tulisan Timothy E. Gregory
juga menyebutkan tanggal 6 April adalah hari Jumat. Kesimpulan ini bisa jadi
diambil setelah menghitung akhir penaklukan Konstantinopel tanggal 29 Mei 1453
bertepatan dengan “hari Selasa”. Kalau dihitung mundur dari tanggal ini, maka 6
April memang jatuh pada hari Jumat. Akan tetapi, kalau mengambil tanggal yang
dipilih Fahmy, yaitu tanggal 5, maka kedatangan awal ke Konstantinopel tetap
terjadi hari Kamis, bukan Jumat.
Ketiga, apakah saat shalat dilaksanakan di
jalan hingga mengular sepanjang 4 km dari Laut Marmara sampai Golden Horn? Penulis
berusaha mencari sumber-sumber pembanding atas cerita ini. Namun, sependek yang
penulis baca, belum ada satupun sumber-sumber berbahasa Arab yang mengatakan
seperti klaim di atas. Alhasil cerita di atas hanya ditemukan dalam buku Felix
Siauw. Sayang sekali, Felix tidak menyebutkan dari mana sumber cerita tersebut
sehingga tidak bisa dilakukan kajian lanjutan atas cerita ini. Kalau Felix
ternyata juga tidak punya rujukan, berarti ia hanya berimajinasi mengenai
masalah ini. Ia bayangkan ada pasukan sebanyak 250.000. Mereka pasti
menggunakan berbagai alat-alat tempur. Barisan mereka mungkin mengular sampai
sejauh itu. Imajinasi liar semacam ini tentu memiliki banyak sekali kelemahan. Kalau
itu adalah shalat Jumat, apa alasannya yang digunakan adalah jalan? Memang
belum ada mesjid, tapi kenapa alternatifnya bukan tanah yang lapang?
Mengumpulkan orang akan lebih mudah di tanah lapang. Felix memang tidak
menyebut jalan, tapi “membariskan” shaf sampai 4 km dari utara ke selatan. Ini
akan lebih rumit lagi. Bila dihitung 1 shaf jaraknya 1 meter, berarti
diperlukan 4000 shaf yang terdiri 62 sd 63 orang per shaf. Memang akan kelihatan
seperti berdiri di jalan. Tapi tentu akan lebih mudah kalau setiap lebih lebar
dari hanya 62 orang. Lagi pula apakah itu memungkinkan? Banyak lagi
pertanyaan-pertanyaan teknis atas imajinasi liar ini. Walau demikian, semua ini
bisa saja diterima apabila ada sumber yang mengatakan hal itu. Namun sayang,
sama sekali belum ditemukan berita mengenai hal tersebut.
Berdasarkan analisis di atas, untuk sementara
penulis berkesimpulan bahwa Muhammad Al-Fatih tidak melakukan shalat Jumat pada
saat awal kedatangan ke Konstantinopel, melainkan shalat biasa dan khutbah
untuk menyemangati pasukannya. Ini dilakukannya pada hari kamis. Sementara
shalat Jum’atnya kemungkinan tidak dilaksanakan mengingat dalam keadaan safar
dan perang. Dalam situasi ini, shalat boleh dilakukan secara jamak-qashar
khusus perang (shalat khauf). Jadi, dalam hal ini berlaku rukhshah untuk
Al-Fatih dan pasukannya. Wallâhu A’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar