11 Juni 2017

MENUJU PENYERAGAMAN HARI RAYA


Oleh: Dr. Jeje Zainudin

Pendahuluan
     
Salah satu persoalan yang terasa mengganjal terus berlanjut di tengah umat Islam setiap kali menghadapi bulan Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah adalah perbedaan penentuan awal bulan (hilal). Persoalannya bukan hanya sekedar adanya perbedaan itu sendiri, sebab perbedaan itu sudah menjadi fenomena dalam banyak hal yang biasa di tengah kaum muslimin. Akan tetapi perbedaan dalam penentuan akhir Ramadhan dan sepuluh Dzulhijah berimplikasi atas perbedaan dalam pelaksanaan hari raya yang sejatinya dilaksanakan secara serempak oleh seluruh kaum muslimin. Dari perbedaan pelaksanaan hari raya itupun kemudian berdampak kerancuan di tengah umat. Sebagian kaum muslimin masih berpuasa, sementara sebagian lagi sudah berhari raya.
Kalau hal itu terjadi pada negara atau wilayah yang berbeda mathla’ (tempat terbitnya) hilal, mungkin secara sosiologis dan psikologis perbedaan itu tidak terlalu terasa mengganggu. Selain secara hukum fikih juga masih ditolerir. Yang jadi masalah serius dari aspek keabsahan secara hukum syariat dan berdampak sosiologis-psikologis adalah perbedan itu justru dapat terjadi pada satu negara, satu provinsi, satu kota, atau satu kampung yang sama. Bahkan lebih tragis lagi jika terjadi pada satu keluarga, karena perbedaan penanggalan yang diikuti antara anggota keluarga.
Kenyataan ini telah menjadi perhatian para pemuka Islam sekaligus berupaya mencari solusi yang dapat mempersatukan kaum muslimin kepada kesatuan yang dikehendaki oleh ajaran Islam. Di Indonesia, solusi objektif-ilmiyah melalui pendekatan metodologis telah diupayakan dengan mencari suatu keriteria ilmiyah yang bisa disepakati oleh metode ru’yatul hilal dan metode hisab, bahkan antara teori hisab yang satu dengan teori hisab yang lain. Namun tampaknya berpuluh tahun belum mencapai hasil yang diharapkan. Upaya lain melalui pendekatan kompromistis, yaitu melalui musyawarah dalam forum Sidang Itsbat yang diprakarsai Depag (Kemenag) yang mengakomodir aspirasi berbagai kalangan Islam juga telah ditempuh. Tetapi tetap saja tidak dapat menghilangkan adanya pelaksanaan hari raya yang berbeda.
Oleh sebab itu perlu dipikirkan alternatif pemecahan yang lain yang mungkin bisa menjadi solusi untuk mempersatukan perbedaan hari raya di Indonesia, yaitu pendekatan Siyasah Syar’iyah (Politik Syariah) yang memberikan kewenangan kepada pemimpin atau ulil amri untuk menentapkannya dan menuntut semua pihak untuk menerimanya. Berikut penjelasannya.

Menetapkan Hari Raya, Kewenangan Uli Amri
Syekh Musthafa Ahmad Az Zarqa’ berpendapat bahwa hukum-hukum syariat Islam, jika ditinjau dari aspek kekuasaan, dapat dibagi kepada dua bagian. Pertama, hukum Islam yang bersifat diyâni, yaitu hukum syariat yang murni agama, dimana pelaksanaannya bersifat individual tanpa membutuhkan adanya lembaga kekuasaan. Seperti pelaksanaan shalat dan puasa. Kedua, hukum Islam yang bersifat qadhâi. Yaitu hukum syariat yang pelaksanaannya tidak dapat dilakukan sendiri melainkan harus dengan lembaga kekuasaan pengadilan. Seperti pelaksanaan hukuman qishash, hudud, dan ta’zir.
Apakah penentuan puasa dan lebaran membutuhkan lembaga kekuasaan? Pada asalnya puasa dan shalat lebaran adalah ibadah individual (diyani), karena pelaksanaannya tidak membutuhkan bantuan kekuasaan. Kapan saja seorang telah melihat hilal Ramadhan dan ia sebagai mukallaf, maka wajib puasa. Dan kapan saja ia melihat hilal Syawal, maka ia wajib berhenti puasa, dan segera melaksanakan shalat lebaran. Firman Allah, “Barangsiapa menyaksikan bulan Ramadhan, maka berpuasalah padanya…” (Al Baqarah: 185) dan sabda Rasulullah, “Berpuasalah karena melihatnya, dan berbukalah karena melihatnya…” (Al Bukhari wa Muslim)
Yang menjadi persoalan adalah bahwa mayoritas umat Islam tidak bisa mengetahui atau melihat hilal, maka pengetahuan dan penetapan keberadaan hilal diserahkan kepada orang atau lembaga yang mereka percayai, yaitu para ahli ilmu di bidang ru’yat. Persolan berikutnya bahwa ternyata tidak selamanya para ahli ru’yat hilal mencapai kesepakatan dalam penentuan terlihatnya hilal. Lalu siapakah yang harus diikuti oleh masyarakat ketika terjadi silang pendapat? Maka dalam kondisi seperti ini, penentuan awal dan akhir bulan puasa membutuhkan lembaga yang otoritatif yang wajib ditaati semua pihak, yaitu ulil amri. Sebagai dalil atas masalah ini dapat dikemukakan beberapa keterangan di bawah ini:
Pertama. Pada masa Rasulullah, beliau dan para shahabatnya memperhatikan dan mengintai datangnya awal bulan Ramadhan maupun akhir bulan Ramadhan. Apabila salah seorang sahabat melihatnya, mereka melaporkan kepada Rasulullah kemudian Rasulullah mengumumkan untuk berpuasa esok harinya.

Dari Ibnu Umar, berkata: “Manusia melihat-lihat awal bulan. Kemudian aku memberi tahu Rasulullah bahwa aku telah melihatnya. Maka Rasululah berpuasa pada bulan itu dan memerintahkan orang-orang (umatnya) agar berpuasa”. (Shahih Ibnu Hibban 8/231 dan Mustadrak Imam Hakim, 1/585)
Dari Abi Umair bin Anas dari seorang bibinya dari kalangan shahabat, bahwa sekelompok kafilah datang dan mereka bersaksi bahwa mereka telah melihat hilal kemarin. Maka Nabi memerintahkan agar mereka berbuka dan pagi harinya berangkat ke lapangan untuk shalat (idul fitri). (HSR Imam Ahmad, 5/57 dan 58; Abu Dawud, 115)

Dua hadits di atas menunjukan bahwa yang menetapkan dan mengumumkan berpuasa dan berbuka (lebaran) adalah Rasulullah. Yaitu dengan beliau memerintahkan sebagian shahabatnya untuk mengumumkan kepada manusia. Tidak diketahui apakah mereka yang telah melihat hilal di masa Rasulullah langsung melaksanakan puasa masing-masing ataukah mereka menunggu pengumuman dari Rasulullah. Tetapi dengan mempertimbangkan adab para shahabat yang tidak mungkin mereka berani mendahului Rasulullah dalam urusan agama, kuat dugaan bahwa para shahabat menunggu pemberitahuan dari Rasulullah SAW.
Kedua. Dalam masalah penentuan puasa dan lebaran, dikenal dua nazhariyat (teori) pokok, yaitu nazhariyat tauhidul mathâli’ yang dianut oleh madzhab Jumhurul Ulama yaitu Hanafi, Maliki, dan Hambali; dan nazhariyat ikhtilaful mathali’ yang dianut madzhab Syafi’i. Menurut teori tauhidul mathâli, jika hilal telah terlihat di suatu negeri Islam dan Imam kaum muslimin telah menetapkannya, maka wajib seluruh negeri Islam berpuasa dan berlebaran, bagaimanapun perbedaan geografis negeri-negeri tersebut selama mereka berada dalam satu hari yang sama. Jadi menurut pendapat ini, penetapan awal puasa Ramadhan dan awal Syawal tidak lagi berdasarkan kepada mucul dan terlihatnya hilal pada tiap wilayah negeri Islam, tetapi kepada kesatuan dan kekompakan kaum muslimin sedunia sebagai umat yang satu.
Sedang menurut teori ikhtilaful mathâli bahwa pelaksanaan puasa dan lebaran berdasarkan muncul dan terlihatnya hilal pada tiap-tiap wilayah negeri Islam. Karenanya boleh saja terjadi perbedaan lebaran pada satu wilayah negeri Islam dengan negeri Islam yang lain karena perbedaan mathla’ bulan. Kalau berpegang kepada teori ini, maka bisa terjadi berbarenagn awal Ramadhan dan Syawal pada beberapa negeri muslim yang berbeda dan berjauhan karena kesamaan mathla’. Sebaliknya pada satu negeri muslim bisa terjadi perbedaan hari awal puasa dan hari lebaran karena perbedaan mathla’ .
Di Indonesia, karena memiliki tiga bagian waktu, sering terjadi hilal belum muncul pada wilayah timur Indonesia dan telah muncul pada wilayah bagian baratnya, sehingga memadukan dua nazhariyah di atas, yaitu menganut nazhariyah tauhid wilayatul hukmi atau kesatuan wilayah kekuasaan hukum, dimana perbedaan mathla’ dalam satu wilayah kekuasaan tidak dipertimbangkan. Sehingga kalau di salah satu provinsi Indonesia sudah muncul hilal, provinsi yang lain dihukumkan sudah melihat pula, walau pada faktanya belum terlihat.
Teori di atas menunjukan bahwa wilayah kekuasaan tetap menjadi pertimbangan dalam penetapan awal dan akhir Ramadhan, bukan semata-mata terlihatnya hilal secara hisabi ataupun ru’yati. Artinya bahwa peran ulil amri diperlukan dalam penetapan kesatuan awal dan akhir Ramadhan.
 Ketiga. Dalam tata negara Indonesia dianut sistem pemisahan dan pembagian kekuasaan (The Separation and division of Power) yang dipengaruhi oleh teori Trias Politica Montesque dan teori al Tafriqah al sulthaniyah Imam Mawardi. Sehingga ada tiga lembaga pemerintahan, yaitu Legislatif (DPR), Eksekutif (Presiden), dan Yudikatif (MA).
Indonesia bukan negara Islam, tetapi bukan juga negara sekuler. Karena itu untuk menangani urusan keagamaan dibentuk Departemen khusus, yaitu Departemen Agama (yang sekarang menjadi Kementerian Agama) dan Pengadilan khusus untuk hukum Islam, yaitu Pengadilan Agama. Dalam menjalankan tugasnya sebagai eksekutif, Kemenag senantiasa berkonsultasi dengan para ulama yang terhimpun pada berbagai lembaga dan ormas Islam. Seperti dengan Universitas-universitas Islam, Pondok-pondok pesantren, ormas-ormas Islam seperti MUI, NU, Muhammadiyah, Persis, dan yang lainnya. Dengan demikian, secara de facto dan de jure, Kementerian Agama adalah representasi dari Ulil Amri umat Islam Indonesia dalam hal pegaturan bidang keagaman yang bersifat Qadha’iy.
Dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 jo. UU No. 59 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama, pasal 52A dikatakan, “Pengadilan Agama memberikan itsbat kesaksian rukyat hilal dalam penentuan awal bulan pada tahun Hijriyah”. Pasal pada Undang-Undang di atas memberi kepastian hukum tentang siapa yang berwenang menerima dan menolak kesaksian atas pengakuan melihat hilal. Artinya bahwa keabsahan pengakuan melihat hilal hanya bisa diterima jika sudah ditetapkan (diakui dan diterima) oleh Pengadilan Agama. Dengan demikian tidak bisa setiap orang yang merasa yakin telah melihat hilal serta merta dapat mengumumkan kepada orang lain dan mengajak berpuasa atau berlebaran, ia hanya bisa menyampaikan kesaksiannya kepada Pengadilan Agama untuk kemudian Pengadilan Agama menyampaikan hasil pemeriksaannya kepada Menteri Agama.
Keempat. Dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 jo. UU No. 59 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama, pasal 52A dikatakan, “Pengadilan Agama memberikan itsbat kesaksian rukyat hilal dalam penentuan awal bulan pada tahun Hijriyah”. Pasal pada Undang-Undang di atas memberi kepastian hukum tentang siapa yang berwenang menerima dan menolak kesaksian atas pengakuan melihat hilal. Artinya bahwa keabsahan pengakuan melihat hilal hanya bisa diterima jika sudah ditetapkan (diakui dan diterima) oleh Pengadilan Agama. Dengan demikian tidak bisa setiap orang yang merasa yakin telah melihat hilal serta merta dapat mengumumkan kepada orang lain dan mengajak berpuasa atau berlebaran, ia hanya bisa menyampaikan kesaksiannya kepada Pengadilan Agama untuk kemudian Pengadilan Agama menyampaikan hasil pemeriksaannya kepada Menteri Agama.
Kelima. Fatwa para ulama Islam yang menegaskan bahwa jika terjadi perbedaan hasil ru’yat dan hisab di tengah masyarakat maka harus taat terhadap keputusan ulil amri.
Dalam Majmu al Fatawa, Ibnu Taimiyah mengemukakan pandangan para ulama seputar permasalahan seseorang atau sekelompok orang yang melihat hilal awal Ramadhan atau awal Syawal sebelum orang lain melihat. Apakah ia berpuasa dan berbuka sendirian ataukah ia harus bergabung dengan Imam dan kaum muslimin yang lain? Dalam hal ini ada tiga pendapat para ulama: (1) pendapat yang menyatakan berpuasa dan berbuka sendirian secara sembunyi-sembunyi; (2) berpuasa sendirian secara rahasia dan berbuka (lebaran) dengan semua kaum muslimin; (3) berpuasa dan berlebaran dengan seluruh kaum muslimin. Pendapat ketiga ini yang dinilai paling kuat oleh Ibnu Taimiyah atas dasar hadits Nabi,
 
عن أبي هريرة عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال صومكم يوم تصومون وفطركم يوم تفطرون وأضحاكم يوم تضحون) أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُد وَابْنُ مَاجَه وَالتِّرْمِذِي وَصَحَّحَهُ(

Dari Abu Huraerah, dari Nabi SAW, bersabda: “Puasa kalian adalah pada hari kalian semua berpuasa, dan hari lebaran kalian adalah pada saat semua kalian lebaran, dan hari kurban kalian adalah pada hari semua kalian berkurban”.

Pada bagian yang lain dari Majmu Fatawa-nya, Ibnu Taimiyah juga mengemukakan pandangannya bahwa jika sekelompok orang di suatu kota telah melihat hilal Dzulhijjah tetapi kesaksiannya ditolak oleh Hakim Kota tersebut, maka ia berpuasa Arofah bersama kaum muslimin pada hari yang ditetapkan oleh Hakim (penguasa) setempat, meskipun mungkin saja yang benar itu adalah penglihatan mereka dan apa yang ditetapkan penguasa itu salah. (Majmu Fatawa. 25/202)
Pendapat Ibnu Taimiyah ini tidak akan bisa dipahami dan diterima kecuali jika dengan keyakinan bahwa masalah penentuan dan pengumuman awal puasa, iedul fitri, dan iedul adha adalah bagian dari kewenangan Ulil Amri dalam pengertian penguasa negeri muslim.
Keenam. Fatwa Majelis Ulama Indonesia No. 2 Tahun 2004 tentang Penetapan Awal Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha, yang menyatakan pada point (2) “Seluruh umat Islam di Indonesia wajib menaati ketetapan Pemerintah RI tentang penetapan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah”. Keputusan fatwa itu dikeluarkan setelah melalui pembahasan yang berulang kali dan mengacu kepada Keputusan Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia tentang penetapan awal bulan Ramadhan, Syawwal, dan Dzulhijjah, tanggal 22 Syawwal 1424/16 Desember 2003. Dan Keputusan Rapat Komisi Fatwa MUI, tanggal 05 Dzulhijjah 1424/24 Januari 2004.

Kesimpulan dan Penutup
1.      Tidak ada dasar syariatnya bahwa satu negara atau satu wilayah hukum yang juga satu mathla’ hilalnya, untuk berbeda hari lebaran hanya karena berpegang kepada perbedaan kriteria hisab yang dianut masing-masing.
2.      Perbedaan hari raya pada satu negara, satu desa, apalagi satu keluarga di satu rumah, telah membuka fitnah kepada Agama Islam sebagai agama yang seolah-olah tidak mampu mempersatukan umatnya sendiri, apalagi mempersatukan umat manusia. Selain itu juga telah menghilangan Hikmatu Tasyri’ dari adanya syariat lebaran yaitu mempersatukan umat Islam dalam kebahagian bersama di hari yang sama, sebagaimana Rasulullah SAW, menegaskan, “berlebaran adalah di saat manusia berlebaran”.
3.      Bersikukuh kepada perbedaan hasil ijtihad masing-masing di bidang hukum syariat yang bersifat qadha’iy yang mengakibatkan umat berpecah belah pada hari raya, bertentangan dengan kaidah, “Keputusan Pemimpin itu bersifat mengikat dan menghilangkan perbedaan pendapat”.
4.      Dalil pokok dan utama penetapan Ramadhan dan Hari Lebaran menurut Al-Quran dan Hadits adalah harus berdasarkan Rukyat. Penggunaan Hisab adalah sekunder sebagai sarana bantu saja untuk memprediksi posisi Hilal. Tidak boleh sesuatu yang sekunder dan produk ijtihad diposisikan menjadi dalil utama untuk yang mengalahkan dalil pokok dari Quran dan Sunnah. Apalagi jika memperhatikan pandangan para ulama besar sekaliber Ibnu Taimiyah yang dengan tegas mengharamkan penggunaan Hisab sebagai dasar penentuan awal Ramadhan dan Hari Raya. Maka berhati-hatilah kita tentang urusan agama yang agung ini. (Periksa kitab Ibnu Taimiyah yang berjudul Risâlah fil Hilâl war-Radd ‘alal Falakiyyin/ Risalah Tentang Hilal dan Bantahan kepada para Ahli Falaq) . Wallahu A'lam bis shawab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar