Oleh: Dr. Amin Fauzi, M.A.
Baru-baru ini masyarakat kita dikejutkan dengan
pernyataan seorang pemimpin Ormas Islam yang mengatakan bahwa “Pemimpin yang
kafir tetapi adil, itu lebih baik daripada pemimpin Muslim yang zalim”. Apakah
maksud dan hakikat dibalik pernyataan yang menimbulkan pertentangan dan
kebingungan ini? Tidakkah pernyataan seperti ini adalah simbol dari sikap
rendah diri di hadapan bangsa-bangsa dan agama lain? Tidakkah pernyataan
tersebut akan meruntuhkan citra kader-kader pemimpin Muslim?
Perbandingan yang tidak Adil
Sesungguhnya pernyataan tersebut tidaklah tepat.
Apa lagi hal itu diungkapkan oleh seorang yang dianggap “ulama” dan
pimpinan tertinggi ormas Islam. Aturan
logika mengatakan bahwa membuat perbandingan antara satu hal dengan hal lain
itu harus seimbang; keadilan dengan keadilan, dan kezaliman dengan kezaliman. Perbandingan
antara pemimpin kafir tetapi adil, tidak sepadan dengan pemimpin Muslim yang
zalim. Sudah tentulah orang, secara naluriahnya, akan memilih keadilan daripada
kezaliman. Apa pun keadaannya dan di mana pun adanya. Sebab keadilan itu akan
menciptakan keamanan, kesejahteraan dan keharmonisan. Kalau mau membandingkan,
seharusnya adalah antara pemimpin kafir yang adil dengan pemimpin Muslim yang
adil; atau pemimpin kafir yang zalim dengan pemimpin Muslim yang zalim. Ini
sejalan dengan pengertian keadilan itu sendiri yang berarti “seimbang”,
“sejajar”, “setara.”
Dalam soal ini, ada yang berhujah dengan pendapat
Syaikhul Islam Ibnu Taymiyyah. Menurutnya, Ibnu Taymiyyah saja yang dianggap
sebagai tokoh utama kalangan “salafiyyah” yang dianggap cukup keras, membolehkan memilih dan
mengangkat pemimpin yang kafir asalkan adil, daripada pemimpin Muslim yang
zalim. Sebenarnya tidak demikian maksudnya. Ibnu Taymiyyah tidak pernah
membolehkan hal itu. Bahkan ia melarangnya dengan keras. Yang ada ialah, dia
mengatakan bahwa “Allah mendukung pemerintahan yang adil, walaupun dipimpin
oleh orang kafir. Tetapi sebaliknya, Allah akan menghancurkan pemerintahan yang
zalim, walaupun dipimpin oleh seorang Muslim”. Konteks atau siyaqul kalam
dari perkataan Ibnu Taymiyyah itu bukan soal memilih dan mengangkat pemimpin,
tetapi soal keadilan. Keadilan itu adalah sunnatullah sebagaimana juga
kezaliman. Kedua hal tersebut berlaku baik itu kepada pemimpin atau masyarakat
Muslim maupun kafir. Keadilan, dimana pun adanya, akan senantiasa dirindukan
dan didukung oleh manusia. Sebaliknya, kezaliman itu, di mana dan siapa pun
pelakunya, akan senantiasa dibenci dan ditentang manusia. Keadilan itu
diperintahkan oleh Allah dan disukai manusia sebab hal itu mendatangkan
kebahagiaan dan kesejahteraan. Sedangkan kezaliman itu dilarang oleh Allah dan
dibenci manusia sebab hal itu mendatangkan banyak kemudaratan dan kesengsaraan.
Kepentingan Tertentu
Perbandingan yang jelas-jelas tidak seimbang itu bisa menimbulkan
kecurigaan dan bisa dimaknai banyak hal. Salah satu di antaranya adalah, adanya
kepentingan tertentu dibalik pernyataan tersebut; bisa jadi kepentingan
ekonomi, politik dan kekuasaan, atau pun yang lainnya. Tafsiran semacam itu
muncul sebab ia berada pada konteks menjelang PILKADA (pemilihan kepala daerah)
pada awal 2017, terutama di wilayah DKI Jakarta yang saat ini dipimpin oleh
gubernur non-Muslim. Akan ada saja orang yang memanfaatkan keadaan tersebut
untuk diri atau kelompoknya sendiri dengan mengatas namakan atau mencari-cari
dalil dan justifikasi dari sumber-sumber keagamaan.
Bukan hanya itu, pernyataan seperti itu juga secara
implisit terselip adanya sikap rendah diri dan merendahkan kader-kader pemimpin
dari kalangan umat Islam. Sikap rendah diri adalah salah satu penghalang utama
kebangkitan umat Islam. Sikap semacam ini bukan hanya meruntuhkan kepercayaan
diri umat, tetapi juga memperhambakan mereka di depan orang lain yang tidak
akan pernah perduli dengan nasib mereka. Selama sikap semacam ini terus
ditanamkan, dipupuk dan dipelihara, maka sulit untuk membayangkan umat Islam
akan memiliki kader-kader pemimpin yang memiliki integritas moral dan
intelektual yang tinggi. Akan sangat
sulit lahir pemimpin-pemimpin pemersatu umat yang bisa membawa mereka kepada
kejayaan. Walaupun secara kuantitas umat Islam adalah mayoritas, tetapi dari
segi mentalitas tetap saja menjadi kaum inlander atau kaum marjinal yang
tertindas.
Oleh karena itu, sudah saatnya umat Islam bersatu.
Sudah saatnya umat Islam memilih dan mengangkat pemimpin dari kalangan mereka
sendiri. Pemimpin-pemimpin yang betul-betul beriman kepada Allah dan Rasul-Nya,
yang adil dan amanah. Pemimpin-pemimpin yang tidak angkuh, bersikap rendah
hati, sabar dan penuh kasih sayang. Pemimpin-pemimpin seperti itulah yang
pantas menjadi penolong orang-orang yang beriman sebagaimana firman Allah:
Dan barangsiapa
mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya,
maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang (QS, Al-Ma’idah,
5:56).
Mengangkat
pemimpin yang beriman dan adil itu banyak kemaslahatannya. Mereka dengan
sendirinya akan melindungi agama Islam dari berbagai gangguan dan rongrongan.
Dengan kekuasaan di tangannya, dia bisa menghukum siapa pun yang berusaha
menodai dan mencemari kesucian agama Islam. Dia juga akan sangat mengerti
berbagai keinginan dan harapan umat, sebab dia lahir dari lingkungan mereka dan
merasakan apa yang dirasakan oleh mereka. Dia juga akan berbaur dengan mudah
dengan umatnya; sholat berjama’ah bersama mereka, bersama-sama menjalankan
puasa dan menunaikan zakat. Rasa bersamaan dan ketaatan yang diikat oleh
keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya yang semacam itulah yang akan diberkati dan
dirahmati oleh Allah SWT sebagaimana firman-NYa:
Dan orang-orang
yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong
bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah
dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada
Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya
Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana (QS, At-Taubah, 9:71)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar