08 Desember 2016

Pemimpin yang Kafir tetapi Adil, Lebih Baik daripada Pemimpin Muslim yang Zalim?


Oleh: Dr. Amin Fauzi, M.A.
https://encrypted-tbn2.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcQZnMkBxanzeK60UV-GH100yUpyUswCCLsF0f41uv9VMsQw0SbJ
Baru-baru ini masyarakat kita dikejutkan dengan pernyataan seorang pemimpin Ormas Islam yang mengatakan bahwa “Pemimpin yang kafir tetapi adil, itu lebih baik daripada pemimpin Muslim yang zalim”. Apakah maksud dan hakikat dibalik pernyataan yang menimbulkan pertentangan dan kebingungan ini? Tidakkah pernyataan seperti ini adalah simbol dari sikap rendah diri di hadapan bangsa-bangsa dan agama lain? Tidakkah pernyataan tersebut akan meruntuhkan citra kader-kader pemimpin Muslim?

Perbandingan yang tidak Adil
Sesungguhnya pernyataan  tersebut tidaklah  tepat.  Apa lagi hal itu diungkapkan oleh seorang yang dianggap “ulama” dan pimpinan tertinggi ormas Islam.  Aturan logika mengatakan bahwa membuat perbandingan antara satu hal dengan hal lain itu harus seimbang; keadilan dengan keadilan, dan kezaliman dengan kezaliman. Perbandingan antara pemimpin kafir tetapi adil, tidak sepadan dengan pemimpin Muslim yang zalim. Sudah tentulah orang, secara naluriahnya, akan memilih keadilan daripada kezaliman. Apa pun keadaannya dan di mana pun adanya. Sebab keadilan itu akan menciptakan keamanan, kesejahteraan dan keharmonisan. Kalau mau membandingkan, seharusnya adalah antara pemimpin kafir yang adil dengan pemimpin Muslim yang adil; atau pemimpin kafir yang zalim dengan pemimpin Muslim yang zalim. Ini sejalan dengan pengertian keadilan itu sendiri yang berarti “seimbang”, “sejajar”, “setara.”  
Dalam soal ini, ada yang berhujah dengan pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taymiyyah. Menurutnya, Ibnu Taymiyyah saja yang dianggap sebagai tokoh utama kalangan “salafiyyah” yang dianggap cukup keras, membolehkan memilih dan mengangkat pemimpin yang kafir asalkan adil, daripada pemimpin Muslim yang zalim. Sebenarnya tidak demikian maksudnya. Ibnu Taymiyyah tidak pernah membolehkan hal itu. Bahkan ia melarangnya dengan keras. Yang ada ialah, dia mengatakan bahwa “Allah mendukung pemerintahan yang adil, walaupun dipimpin oleh orang kafir. Tetapi sebaliknya, Allah akan menghancurkan pemerintahan yang zalim, walaupun dipimpin oleh seorang Muslim”. Konteks atau siyaqul kalam dari perkataan Ibnu Taymiyyah itu bukan soal memilih dan mengangkat pemimpin, tetapi soal keadilan. Keadilan itu adalah sunnatullah sebagaimana juga kezaliman. Kedua hal tersebut berlaku baik itu kepada pemimpin atau masyarakat Muslim maupun kafir. Keadilan, dimana pun adanya, akan senantiasa dirindukan dan didukung oleh manusia. Sebaliknya, kezaliman itu, di mana dan siapa pun pelakunya, akan senantiasa dibenci dan ditentang manusia. Keadilan itu diperintahkan oleh Allah dan disukai manusia sebab hal itu mendatangkan kebahagiaan dan kesejahteraan. Sedangkan kezaliman itu dilarang oleh Allah dan dibenci manusia sebab hal itu mendatangkan banyak kemudaratan dan kesengsaraan.

Kepentingan Tertentu
Perbandingan yang jelas-jelas tidak seimbang itu bisa menimbulkan kecurigaan dan bisa dimaknai banyak hal. Salah satu di antaranya adalah, adanya kepentingan tertentu dibalik pernyataan tersebut; bisa jadi kepentingan ekonomi, politik dan kekuasaan, atau pun yang lainnya. Tafsiran semacam itu muncul sebab ia berada pada konteks menjelang PILKADA (pemilihan kepala daerah) pada awal 2017, terutama di wilayah DKI Jakarta yang saat ini dipimpin oleh gubernur non-Muslim. Akan ada saja orang yang memanfaatkan keadaan tersebut untuk diri atau kelompoknya sendiri dengan mengatas namakan atau mencari-cari dalil dan justifikasi dari sumber-sumber keagamaan.  
Bukan hanya itu, pernyataan seperti itu juga secara implisit terselip adanya sikap rendah diri dan merendahkan kader-kader pemimpin dari kalangan umat Islam. Sikap rendah diri adalah salah satu penghalang utama kebangkitan umat Islam. Sikap semacam ini bukan hanya meruntuhkan kepercayaan diri umat, tetapi juga memperhambakan mereka di depan orang lain yang tidak akan pernah perduli dengan nasib mereka. Selama sikap semacam ini terus ditanamkan, dipupuk dan dipelihara, maka sulit untuk membayangkan umat Islam akan memiliki kader-kader pemimpin yang memiliki integritas moral dan intelektual yang tinggi.  Akan sangat sulit lahir pemimpin-pemimpin pemersatu umat yang bisa membawa mereka kepada kejayaan. Walaupun secara kuantitas umat Islam adalah mayoritas, tetapi dari segi mentalitas tetap saja menjadi kaum inlander atau kaum marjinal yang tertindas.   
Oleh karena itu, sudah saatnya umat Islam bersatu. Sudah saatnya umat Islam memilih dan mengangkat pemimpin dari kalangan mereka sendiri. Pemimpin-pemimpin yang betul-betul beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, yang adil dan amanah. Pemimpin-pemimpin yang tidak angkuh, bersikap rendah hati, sabar dan penuh kasih sayang. Pemimpin-pemimpin seperti itulah yang pantas menjadi penolong orang-orang yang beriman sebagaimana firman Allah:
Dan barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang (QS, Al-Ma’idah, 5:56).
            Mengangkat pemimpin yang beriman dan adil itu banyak kemaslahatannya. Mereka dengan sendirinya akan melindungi agama Islam dari berbagai gangguan dan rongrongan. Dengan kekuasaan di tangannya, dia bisa menghukum siapa pun yang berusaha menodai dan mencemari kesucian agama Islam. Dia juga akan sangat mengerti berbagai keinginan dan harapan umat, sebab dia lahir dari lingkungan mereka dan merasakan apa yang dirasakan oleh mereka. Dia juga akan berbaur dengan mudah dengan umatnya; sholat berjama’ah bersama mereka, bersama-sama menjalankan puasa dan menunaikan zakat. Rasa bersamaan dan ketaatan yang diikat oleh keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya yang semacam itulah yang akan diberkati dan dirahmati oleh Allah SWT sebagaimana firman-NYa:
Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana (QS, At-Taubah, 9:71)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar