Oleh: Yusuf Burhanudin
Dalam beberapa bulan terakhir,
sejumlah laporan menyebutkan, semakin banyak orang Uighur dan minoritas Muslim
lain ditahan di Xinjiang. Penindasan terhadap warga Muslim Uighur, yang
berjumlah sekitar 11 juta dari 24 juta penduduk Xinjiang, meningkat sejak Xi
Jinping menjadi pemimpin partai Komunis tahun 2012 dan presiden pada tahun
2013. Xi mengklaim tindakan itu diperlukan untuk mengalahkan terorisme Islam
dan “virus ideologis” separatisme, meskipun ada bukti anekdotal bahwa tindakan
ini memberi efek sebaliknya. Sebuah gerakan nasionalisme palsu yang mengabaikan
hak-hak kemanusiaan dan kebangsaan sekaligus.
Pihak berwenang di Cina melakukan
sebuah kampanye berskala besar dan sistematis terhadap komunitas Muslim
minoritas di negara itu. Pemerintah Beijing mengirim satu juta warga Uighur ke
kamp-kamp konsentrasi. Warga Muslim yang taat beribadah dan melakukan perintah
agama di wilayah barat laut Xinjiang, seperti: sholat, puasa, tidak makan babi
dan minum alkohol, memelihara jenggot, atau berpakaian secara Islami, ditahan
oleh pihak aparat dan diperlakukan seolah mereka adalah para penderita kelainan
jiwa.
Muslim Uighur dipaksa kerja tanpa upah
(Hashar), anak-anak dipaksa bekerja, posting konten Islam di media sosial
langsung ditangkap, petani Muslim diwajibkan menjual hasil di bawah harga
pasar, lahan pertanian mereka diklaim sepihak oleh pemerintah, dilarang memakai
nama-nama islami, dibatasi untuk mengajarkan Islam, tidak ada perayaan Ramadhan
setiap tahunnya, dilarang menumbuhkan jenggot, tak ada aturan jelas tentang
hak-hak Muslim Uighur, dilarang menggelar acara pernikahan, muslim dipaksa
menjual alkohol, kebijakan satu anak, wanita hamil dipaksa untuk aborsi, dan
Muslim Uighur pun dilarang pergi dari China (Kiblat, 28/12/18).
Warga Uighur diperlakukan sebagai
“musuh negara” karena identitas agama mereka. Tahanan Muslim Uighur ditangkap
dan ditahan tanpa proses pengadilan. Mereka dipaksa mengatakan bahwa Allah
tidak ada dan Islam agama takhayul. Setiap hari pemerintah menerapkan kebijakan
baru yang bertujuan menghapus identitas keislaman, budaya Uighur diganti dengan
Chinaisasi.
Siapakah Muslim Uighur?
Uyghur, Uighur, atau Uygur adalah etnik
Turki yang tinggal di Asia Timur dan Asia Tengah. Hari ini, etnik mereka
terkonsentrasi dan tinggal di daerah otonomi Xinjiang, Republik Rakyat China
(RRC). Mereka termasuk salah satu dari 55 etnis minoritas yang kini hidup di
China. Agama mereka Islam, dan sebagaimana kebanyakan orang Eurasia tengah
(Kaukasus), ras mereka lebih dekat kepada dua ras, baik Eropa maupun Asia
Timur.
Di China sendiri tercata ada 56
etnis, di mana etnis Han adalah mayoritas dengan komposisi 90 persen lebih dari
seluruh rakyat China, sementara 55 etnis lain adalah minoritas. Dari 55 etnis
minoritas, sedikitnya 10 etnis mayoritas beragama Islam Sunni. Mulai yang
paling besar; Uighur (14 juta jiwa), Hui (10 juta jiwa), disusul Bonan
(Mongol), Tatar (Rusia), Salar (Turki), Uzbek, Kyrghiz, Dongxiang/Gengis Khan,
Tajik (Persia), dan Kazakh.
Muslim Uighur tercatat etnis
minoritas Muslim terbesar di China dan minoritas paling terkenal saat ini
dikarenakan pemerintah China sering menuding etnis Uighur sebagai dalang
berbagai aksi teror di Xinjiang. Sementara etnis Hui Muslim, satu suku dari
lima suku terbesar di China, tercatat etnis Muslim terbesar kedua setelah
Uighur. Agama suku ini Islam Sunni dan tersebar di seluruh provinsi di
Tiongkok, namun terkonsentrasi di Ningxia, Hainan, Gansu, Yunnan, dan Qinghai.
Ningxia sendiri adalah daerah otonomi bagi suku Muslim Hui.
Suku Hui
banyak menghasilkan tokoh-tokoh terkenal seperti Laksamana Cheng Ho alias Zheng
He atau Haji Mahmud Syams (1371-1433 M.). Cheng Ho adalah seorang pelaut,
penjelajah, dan diplomat ulung Tiongkok. Cheng Ho pertama kali datang di
Indonesia jauh sebelum Wali Songo. Saat penyebaran Islam di Indonesia masih
sangat kecil dan tertutup, sejak Cheng Ho datang berubah 180 derajat. Ada juga
Bao Chongxi, Jenderal China Muslim yang terkenal pada perang dunia kedua
melawan Jepang, pengaruh dan kecerdasannya setara Jenderal Yamamoto
Jepang.
Uighur adalah minoritas Muslim yang
sebagian besar berada di Xinjiang, China barat. Sekitar 45 persen penduduk
tempat itu adalah Uighur. Sebuah potret sejarah dan identitas Muslim Uighur
menyoroti mengapa China—negara komunis yang mengabadikan atheisme dan hak
istimewa mayoritas penduduk etnis Han—berkomitmen melenyapkan orang-orang ini.
Kaum minoritas Uighur dicap dengan stigma etnis dan agama; Islam dinilai
sebagai bentuk penghinaan terhadap atheisme yang didukung negara, dan identitas
Uighur sebagai penghalang supremasi etnis Han.
Diskriminasi terjadi karena selain
etnis Uighur berbeda ras dari di China juga memiliki bahasa sendiri, altishahr
(bahasa Persia; alti artinya enam, shahr artinya kota/dalam
bahasa Arab, tsalitsah syahr) sebagai bahasa resmi Tarim Basin (sebelah
selatan gunung Tianshan Xinjiang) pada abad 18-19 yang merupakan bahasa Turki.
Filosofi bahasa mereka itu kemudian diangkat menjadi nama kota, Kashgaria.
Semua bukti ini menunjukkan bahwa mereka adalah entitas bangsa namun penuh
dengan rangkaian diskriminasi negara otoritas.
Xianjiang Atau Turkistan Timur?
Xinjiang secara resmi tercatat
sebagai daerah otonomi di China, sama seperti Tibet di selatan. Muslim Uighur
berasal dari Xinjiang—wilayah otonomi di barat laut China yang berbatasan
dengan Mongolia di timur laut—dan segudang negara mayoritas Muslim di sebelah
kirinya. Sejarah mencatat, Xinjiang berdiri pada abad ke-2 sebelum masehi.
Banyak sekali kerajaan yang dulu menguasai daerah ini, termasuk dinasti
Xiongnu, Han, Gokturks, Tang, Turki Uighur, dan kerajaan Mongol.
Muslim Uighur yang tinggal di
Xinjiang, awalnya dibawah kekuasaan berbagai dinasti. Mulai dari dinasti Han
China, Turki, dan Mongolia. Xinjiang sendiri dalam sejarahnya terbentuk oleh
dua wilayah, sejarah, dan ras dengan sebutan wilayah berbeda. Sebelah utara
gunung Tianshan disebut Dzungaria (Dzungar Basin), dan selatan maupun timur
gunung Tianshan dinamakan Tarim Basin. Sebelum Dinasti Qing China (1759 M.)
mencaplok kedua wilayah tersebut menjadi satu entitas politik dan dinamai
propinsi Xinjiang tahun 1884. Qing adalah dinasti tradisional terakhir (dinasti
ke-17, 1644-1912 M.) berkuasa kurang lebih 268 tahun di negeri tirai bambu.
Xinjiang artinya perbatasan baru
dalam bahasa China, dengan ibu kota Urumqi (bahasa Uighur). Urumqi adalah kota
terbesar di bagian barat Tiongkok, dan terdaftar dalam Guinness Book of
Records sebagai kota terjauh dari laut, sekitar 2.648 km dari garis pantai.
Jumlah penduduk Urumqi sekitar 1,6 juta jiwa. Para petani etnis Turki
kebanyakan tinggal di wilayah selatan dan timur, yang kemudian dikenal bangsa
Uighur, Uighuristan, atau mereka lebih suka dipanggil bangsa Turkistan Timur.
Turkistan Timur adalah negara Islam
yang besar wilayah dan populasinya, dibebaskan Bani Umayah oleh komandan
Qutaibah bin Muslim Al-Bahiliy. Sejak saat itu menjadi negeri Islam yang
dipenuhi ilmu pengetahuan dan keimanan hingga dijajah oleh komunis Cina tahun
1949. Secara geografis, Turkistan terletak di jantung Asia dan dikenal dalam
literatur Islam sebagai negara di balik sungai (mâ warâ`an nahri)
dinisbatkan pada sungai Sihun dan Jihun. Setelah Islam masuk wilayah ini,
beberapa tempat dibangun oleh beberapa negara Islam, diantaranya
Al-Qarakhoniyah, As-Sa’idiyah, Al-Ghaznawiyah, dan Al-Khawarizmiyah. Muncul
juga para tokoh besar Ahmad Yuknakiy, ilmuwan matematika dan fisika Al-Biruni,
penemu ilmu geografi dan peta yaitu penulis buku “Diwan Al-lughah At-Turk”
Mahmud Al-Kashghariy, Al-Farabi dan Yusuf Al-Hajib. Dalam Fiqih, Al-Murginani
serta dalam ilmu balaghah, Yusuf As-Sakaki dan lainnya.
Dalam sejarah China kuno, daerah itu
dikenal sebagai “Xiyu” atau “Kawasan Barat”, nama lazim dalam catatan China
selepas Dinasti Han (dinasti kelima, 206-220 SM.) mengambil alih wilayah
tersebut. Dinasti/etnis Han ini juga merupakan etnis terbesar dan mayoritas di
China saat ini. Untuk Uighur, wilayah ini disebut Sharqi Turkistan
(Tanah Timur Turki). Pada abad ke-13, penjelajah Marcopolo menyebut daerah ini
disebut bagian Turkistan. Setelah Dinasti Qing merebut daerah ini, daerah itu
dinamai Xinjiang, untuk merujuk kepada seluruh daerah bekas kerajaan China yang
sebelumnya hilang. Xinjiang, dengan demikian, adalah sebutan daerah pada zaman
dahulu; Kawasan Barat, China
Turkistan, Turkistan Timur,
Uyghuristan, Kashgaria, Uyghuria, Alti Shahr, dan Shahr Yetti.
Alasan perbedaan etnis dan
diskriminasi, bangsa Uighur selalu berusaha memisahkan diri dari kekuasaan
China komunis sejak tahun 1884 M. Dalam catatan sejarah, perlakuan paling baik
bagi penyelesaian multi-etnis di Xinjiang terjadi pada era Dinasti Qing yang
membagi wilayah Xinjiang menjadi dua; pemeluk Budha Mongol tinggal di sebelah
utara gunung Tianshan dan Turki Muslim di sebelah selatan dengan otonomi daerah
masing-masing sesuai agama dan keyakinan mereka di bawah kekuasaan penuh
Xinjiang.
Kini tatanan dunia baru tengah
dimulai. Hanya, jika isunya separatisme maka represifitas militer akan semakin
memperluas gerak jihad dan spirit separatisme kian meluas dan masif terutama
dalam melawan diskriminasi dan ketidakadilan. Bungkamnya para pemimpin dunia
dikarenakan kerjasama ekonomi dan perdagangan yang dijalankan China komunis
dengan berbagai negara perbatasan di wilayah Asia, Eropa, dan Amerika.
Kepedulian barat pun ternyata disinyalir tidak murni kemanusiaan, dikarenakan
wilayah Xinjiang memang dikenal banyak tersimpan sumber daya alam yang
berlimpah di tanah Muslim tersebut.