Oleh: Latief Awaludin, M.A, M.E.I
Kini umat Islam di Indonesia sedang menghadapi babak baru
dalam bidang ekonomi yakni perdagangan bebas di kawasan ASEAN yang dikenal
dengan sebutan MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN).Maka umat dipaksa harus siap
berada pada arus perdagangan global yang mau tidak mau harus bisa bersaing
dengan asing. Kesepakatan MEA yang digagas di Bali ini telah menyepakati
beberapa agenda yang merupakan visi dari ASEAN untuk membangun kawasan ekonomi
yang terintegrasi. Ini berarti, dalam beberapa tahun ke depan Indonesia dan negara-negara
ASEAN lainnya akan meleburkan diri menjadi satu kesatuan teritorial dan
pereekonomian. Di mana setiap bangsa didorong dalam kompetisi bebas tanpa ada
lagi proteksi nasional.
Tujuan
dibentuknya Masyarakat Ekonomi ASEAN diharapkan mampu mengatasi masalah-masalah
di bidang ekonomi antar-negara ASEAN. Konsekuensi atas kesepakatan MEA tersebut
berupa aliran bebas barang bagi negara-negara ASEAN, arus bebas jasa, arus
bebas investasi, arus tenaga kerja terampil, dan arus bebas modal. Hal-hal
tersebut tentunya dapat berakibat positif atau negatif bagi perekonomian
Indonesia, terlebih khusus umat Islam.
Dampak MEA Terhadap Umat Islam
Apa
dampaknya terhadap perekonomian umat
ini? Pertama, barang-barang dari
luar akan lebih mudah masuk ke negeri ini. Ini akan mengancam produsen dalam
negeri, termasuk di sektor pertanian dan manufaktur, terutama yang punya daya
saing rendah. Mereka mungkin akan terdorong meningkatkan daya saing. Namun, tak
jarang kebijakan Pemerintah berdampak mempengaruhi rendahnya daya saing produk
mereka. Harga energi yang mahal, infrastruktur yang buruk, modal yang sulit
diakses dan biaya pajak yang tinggi adalah di antara yang menekan daya saing.
Sebaliknya, produsen luar punya daya saing tinggi; salah satunya ditopang oleh
kuatnya dukungan pemerintah mereka..
Kedua, MEA juga mencakup liberalisasi perdagangan
jasa. Prioritasnya, di awal, adalah pada sektor kesehatan, telekomunikasi dan
teknologi informasi, pariwisata dan logistik. Sektor pendidikan dan finansial
menyusul berikutnya. Liberalisasi perdagangan jasa itu mempermudah perusahaan
luar memperluas pasar di negeri ini. Saat yang sama, penyusupan sekaligus
penguasaan informasi, pemikiran dan budaya luar ke negeri ini juga akan makin
mudah.
Ketiga, MEA juga mencakup kebebasan tenaga kerja
profesional untuk bekerja di negara-negara ASEAN. Hingga saat ini melalui Mutual
Recognition Agreement (MRA) delapan profesi akan diliberalisasi: dokter,
dokter gigi, perawat, akuntan, insinyur, arsitek, surveyor dan pelaku usaha
pariwisata. Jika telah terdaftar dan memenuhi syarat, tenaga delapan profesi
itu berhak bekerja secara bebas di negara ASEAN yang dia inginkan.Ke depan,
liberalisasi akan diperluas pada profesi lainnya. Liberalisasi tenaga kerja
(profesional) itu berpotensi menambah jumlah pasokan tenaga kerja luar di dalam
negeri. Padahal di dalam negeri pada Agustus 2015 angka pengangguran terbuka
7,6 juta jiwa dan setengah pengangguran 9,4 juta orang.
Keempat, liberalisasi investasi dan arus modal maka seluruh negara ASEAN harus memperlakukan
investor domestik dan negara ASEAN lainnya setara dan tanpa ada diskriminasi
baik dari sisi perizinan, pendirian, produksi hingga penjualan. Investor asing
juga tidak boleh dipaksa untuk memenuhi capaian tertentu yang ditetapkan
Pemerintah seperti harus mengekspor dalam jumlah tertentu termasuk para manajer senior dari perusahaan juga tidak
boleh dibatasi berdasarkan kewarganegaraan.Hampir semua sektor telah terbuka
untuk investor asing sehingga dana investasi dari negeri ini akan lebih mudah
tersedot keluar. Arus keluar-masuk investasi portofolio akan makin besar. Nilai
tukar mata uang akan lebih mudah bergejolak. Krisis yang terjadi di suatu
negara akan makin mudah merambat ke negara lain.Pengaruh bank luar akan makin
dalam dan luas. Transfer modal ke negara asal dalam bentuk laba akan meningkat.
Keterkaitan yang makin kuat membuat guncangan perbankan di suatu negara akan
dengan cepat menular ke negara lain.
Pandangan Islam dan Solusinya
Dalam Surat al-Quraish Allah melukiskan satu contoh dari kaum Quraish yang
telah mampu menjadi pemain global dengan segala keterbatasan sumberdaya alam di
negeri mereka.Allah berfirman,"Karena kebiasaan orang-orang
Quraish.(Yaitu) kebiasaan melakukan perjalan dagang pada musim dingin dan musim
panas."(Q.S. Quraish, 1-2)
Para ahli tafsir baik klasik, seperti al-Thabari, Ibn Katsir, Zamakhsyari,
maupun kontemporer seperti, al-Maraghi, az-Zuhaily, dan Sayyid Qutb sepakat bahwa perjalanan dagang musim dingin
dilakukan ke utara seperti Syria, Turki, Bulgaria, Yunani, dan sebagian Eropa
Timur, sementara perjalanan musim panas dilakukan ke selatan seputar Yaman,
Oman, atau bekerja sama dengan para pedagang Cina dan India yang singgah di
pelabuhan internasional Aden.
Walaupun pada dasarnya Islam mengakui mekanisme pasar bebas namun seluruh
aturan dan sistem yang dibuat tidak boleh memberi kemudhratan dan kezaliman
terhadap pihak manapun. Nabi saw. juga bersabda: “Tidak boleh menimbulkan
bahaya bagi diri sendiri (dharar) dan bahaya bagi orang lain (dhirar)” (H.R. Ibn Majah). Maka dalam
konteks ini, pemerintah harus mewujudkan perdagangan yang adil dan baik tanpa
ada persaingan tidak sehat.
Perdagangan bebas, dari aspek kebebasan masuknya investasi, produk dan
pekerja asing yang handal atau murah di dalam pasar domestik
jelas menjadi sarana penjajahan yang paling efektif, dan membahayakan
perekonomian negeri ini. Dalam hal ini, jelas haram, karena Allah SWT berfirman: Allah sekali-kali
tidak akan memberikan jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan
orang-orang Mukmin. (Q.s. an-Nisa’ [04]: 141).
Dengan diserahkannya sepenuhnya urusan perdagangan pada mekanisme
pasar, berarti peran negara dan pemerintah lambat laun akan hilang. Padahal menurut Islam,
negaralah yang wajib berperan dan bertanggung jawab terhadap seluruh urusan
rakyatnya, termasuk urusan perdagangan.Rasulullah SAW Bersabda: “Penguasa
(Kepala Negara) adalah pengurus rakyat dan ia bertanggung jawab atas pengurusan
mereka.” (HR. Muslim).
Kalau kita memperhatikan sirah nabi, Rasulullah membangun pasar Madinah untuk kepentingan
umat Islam agar memiliki pasar sendiri dimana saat itu dominasi orang Yahudi di
Madinah tampak dalam setiap perdagangan dan pasar. Selain itu, Rasulullah
membangun mekanisme pasar yang sehat dan adil, tidak ada diskriminasi terhadap
pedagang kecil dan memberikesempatan kepada orang desa untuk memperjualkan
hasil perkebunannya tanpa ada mafia dan rekayasa pasar. Rasulullah pun, menjadi
muhtasib (pengawas pasar) pertama dengan selalu mengontrol aktivitas
pasar agar terhindar dari kecurangan.
Tujuan utama dari kebijakan
liberalisasi perdagangan tidak lain agar negara-negara berkembang di seluruh
dunia dapat membuka pasar mereka terhadap barang dan investasi negara-negara
maju (kafir) yang memiliki keunggulan atas negara-negara berkembang.Akibatnya,
negara-negara berkembang akan terus menjadi konsumen utama dari komoditas dan
investasi negara-negara maju. Di sisi lain, kebijakan tersebut membuat
negara-negara berkembang semakin sulit dalam membangun fondasi ekonomi yang
tangguh, sebab mereka akan terus bergantung kepada negara-negara industri.
Dalam menghadapi perdagangan bebas khususnya MEA yang telah terjadi, bangsa Indonesia
(Umat Islam) harus mempersiapkan diri dengan segala kekuatan dan potensi yang
dimiliki untuk mampu bersaing dengan gempuran pekerja dan produk-produk asing dari Singapura, Malaysia, Thailand dan
juga China yang sudah terasa dominasinya. Mau
tidak mau umat Islam tidak boleh lengah dan terus menumbuhkan semangat
wirausaha dan profesionalisme. Tanpa itu, umat Islam hanya akan menjadi
penonton dalam situasi yang tidak menentu ini. Gejala ke arah sana sudah banyak
terlihat.
Gerakan-gerakan Islam juga tidak
boleh berdiam diri. Ormas, lembaga ZISWAF, dan yayasan-yayasan Islam harus
mulai bergerak memikirkan peningkatan profesionalisme dan pemberdayaan ekonomi
umat Islam dengan prinsip ta’awun ala al-birri wa at-taqwa. Pengajaran-pengajaran
agama harus ditransformasikan juga menjadi ajaran profesionalisme,
kewirausahaan, dan kemandirian dalam menghadapi kehidupan seperti dicontohkan oleh
Rasulullah dan para sahabatnya. Banyak sekali peluang dan lahan jihad baru bagi
gerakan-gerakan Islam dalam menghadapi MEA ini, apabila secara serius hal ini
dipikirkan oleh umat Isla.
Hal yang tidak kalah penting, karena
pemerintah yang telah menyetujui kesepakatan MEA ini, maka pemerintahlah yang harus paling
bertanggungjawab untuk melindungi rakyatnya. Dalam hal ini, pemerintah harus
proaktif meningkatkan kualitas SDM melalui pendidikan yang massif, terjangkau,
dan berkualitas tinggi. Pemerintah tidak cukup hanya mengandalkan yang sudah
ada. Selain itu, pemerintah juga harus memfasilitasi dan melindungi bisnis
Usaha Kecil dan Menengah (UKM) agar dapat bersaing dan mandiri. Selama ini
pemerintah lebih berpihak kepada para kapitalis dan mengabaikan UKM hingga
sektor inilah yang sekarang paling rentan tergerus oleh arus pasar bebas Asia
Tenggara ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar