Oleh : H. Deni Solehudin, S.Ag, MSI
Kerinduan yang mendalam akan munculnya Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang berkemakmuran dan berkeadilan merupakan salah satu mabda awal
bagi pergerarakan-pergerakan dakwah yang ada di NKRI yang kita cintai ini.
Menurut Kuntowijoyo dalam bukunya Muslim Tanpa Masjid, di
Indonesia dalam pergerakan Islam sekarang ini dikenal dua strategi yaitu
strategi struktural dan strategi kultural.
Menurut Kunto, strategi struktural disebut juga strategi
politik, karena kebanyakan strategi struktural mengunakan sarana
politik. Meskipun secara resmi tidak ada lagi Partai Islam dan aspirasi Islam
dianggap dapat ditampung dalam partai-partai yang ada. Selanjutnya Kunto
menjelaskan, strategi struktural mengalami pencanggihan. Dulu pada tahun
1950-an, “DI-TII” hanya mengenal satu jenis strategi politik, yaitu
pemberontakan bersenjata. Sekarang strategi politik itu bermacam-macam ada yang
terang-terangan, seperti pada OPP, ada yang tidak terang-terangan, seperti pada
OTB, dan ada yang “remang-remang”, dengan menjadikan organisasi lain sebagai
kuda tunggangan.
Adapun strategi kultural adalah strategi yang berusaha
mempengaruhi prilaku sosial (cara berpikir masyarakat). kata kunci dalam strategi
kultural ialah agama sebagai moral force dan inspirational (moral,
etika, intelektual). Di lain pihak, ada lagi strategi yang ketiga berupa strategi
mobilitas sosial yaitu strategi yang berusaha secara kolektif dan individual
untuk dapat naik dalam tangga sosial. Metodenya ialah pendidikan SDM, yang
secara sadar untuk mobilitas sosial, jadi tidak sekedar menyesuaikan diri
dengan perkembangan jaman.
Strategi apa yang harus dipilih? dari mana memulainya, Apakah
mendahulukan strategi struktural atau strategi cultural? Secara ideal harusnya
adanya kerjasama di antara pengusung kedua
strategi tersebut. Namun realitas yang ada justru memperlihatkan fenomena
sebaliknya, masing-masing gerakan saling menegasikan gerakan yang
lainnya.
Kerinduan yang mendalam adanya NKRI sebagaimana yang didambakan di
atas akan tetap menjadi cita-cita bahkan utopia (khayalan, mimpi) atau malah wisfull tinking (lamunan
belaka), kalau tidak ada upaya untuk mewujudkannya. Tetapi permasalahannya,
kembali kepada pertanyaan semula: dari mana kita memulainya?
Marilah kita
perhatikan firman Allah Ta’ala dalam Q.S. As Syura ayat 13:
Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya
kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami
wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa Yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah
kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang
kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang
dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali
(kepada-Nya).
Dalam ayat diatas Nabi Muhammad saw diperintahkan untuk “menegakkan
agama (dien)” . Apa yang dimaksud “dien” menurut ayat di atas?
Menurut Iman Al Qurthuby yang dimaksud dien dalam ayat diatas adalah tauhidullah
(mengesakan Allah), mentaati-Nya,
beriman kepada rasul-rasul dan kitab-kitab-Nya, beriman kepada hari pembalasan
dan semua yang membuat dengan menegakkannya seseorang menjadi berserah diri
kepada Allah.
Demikian pula pendapat mufassir lainnya. Imam Muqatil berpendapat
bahwa yang dimaksud dien dalam ayat di atas adalah tauhid. Lebih lanjut,
Imam Mujahid menegaskan, Allah SWT. tidak mengutus seorang nabi kecuali ia
mewasiyatkan kepadanya untuk mendirikan shalat, membayar zakat, mengakui adanya
Allah dengan jalan taat. Adapun imam Qotadah menjelaskan bahwa dien disana
yaitu menghalalkan yang halal dan mengharamkan yang haram”.
Sesungguhnya Tauhid yang murni dan bersih adalah inti ajaran dari
semua risalah samawiyah yang diturunkan Allah Ta’ala. Ia adalah tiang
penopang yang menegakkan bangunan Islam itu sendiri. Inilah pesan utama Allah
kepada Rasul-nya yang diutus kepada ummat manusia: “Sungguh kami telah mengutus
kepada setiap ummat seorang Rasul (untuk menyampaikan): sembahlah (oleh kalian)
akan Allah dan jauhilah thaghut”.
Jelas, tauhid adalah fondasi agama Islam. Maka kalau fondasi ini
roboh, roboh pula bangunan Islam yang lain. Sebaliknya, kalau tauhid ummat ini
kuat berarti fondasi yang menopang seluruh bangunan Islam itu pun kuat juga.
Dengan demikian mengembangkan tauhid merupakan masalah yang sangat strategi
bagi upaya membangkitkan kembali ummat ini. Upaya-upaya untuk membangun kembali
umat Islam, yang tidak memulai langkahnya dari pembinaan tauhid sama artinya
dengan membangun rumah tanpa fondasi, sia-sia belaka. Oleh karena itu,
pembinaan tauhid harus menjadi program yang harus diprioritaskan oleh seluruh
kalangan kaum muslimin ini.
Bohong besar apabila bangunan yang mengaku Islam, ternyata berdiri
diatas fondasi selain aqidah Islam, meskipun telah ditulis di papan nama dengan
nama Islam, maka sesungguhnya itu merupakan pemalsuan di dalam materi dasar
bangunan yang tidak menutup kemungkinan bangunan itu akan berakibat ambruk
seluruhnya dan menimpa orang-orang yang ada didalamnya. Allah SWT berfirman:
“Maka apakah
orang-orang yang mendirikan bangunannya di atas dasar taqwa kepada Allah dan
keridlaan (Nya) itu yang baik, ataukah orang-orang yang mendirikan bangunannya
di tepi jurang yang runtuh, lalu bangunannya itu jatuh bersama dengan dia ke
dalam neraka Jahannam? Dan Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang-orang
yang dzalim”
Dalam hadits
disebutkan :
Artinya : “Ibnu Mas’ud berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam membuat satu garis seraya bersabda “Ini jalan Allah”. Kemudian beliau
membuat beberapa garis dari sebelah kanannya dan dari sebelah kirinya, seraya
bersabda “ini jalan-jalan yang pada masing-masing jalan ada Setan yang menyeru
ke jalan tersebut”, kemudian beliau membaca (ayat 153 surat Al An’am) : dan
bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, Maka ikutilah
Dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan
itu mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya. yang demikian itu diperintahkan
Allah agar kamu bertakwa. (Sunan Sa’id ibn Manshur, 5: 112).
Kalau kita ingin meneladani Rasulullah Shallallahu alaihi wa
Salam maka yang pertama kali ia serukan adalah tauhid, bukan masalah yang lain.
Sejarah membuktikan Sebelum membicarakan hal-hal lain, Rasulullah SAW.
Selama kurang lebih 13 tahun di mekkah
menda’wahkan konsep pengesaan Allah Subhannahu wa Ta’ala ini kepada
sahabat-sahabatnya. Dengan tauhid ia membangun ummat.
Oleh karena itu, sudah waktunya meraih kembali jalan kebenaran
tersebut. Sudah lama kita terperosok dalam lubang kebodohan. Kita terlalu
sering mengulang kesalahan serupa. Solusinya adalah kita pelajari kembali Islam
ini dari masalah tauhid. Dan ingatlah jangan mengukur usia perjuangan dengan
usia kita. ukurlah dengan usia perjuangan. Semoga Allah membimbing kita semua.
amin, Wallahu A’lamu bishowab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar