Oleh: KH. Dr. H. Jeje Zaenudin, M.Ag
Sumber
utama hukum Islam adalah Al-Quran dan Sunnah. Tidak setiap individu muslim
secara otomatis mampu memahami hukum-hukum yang terkandung dalam Al-Quran dan
Sunnah dengan sendirinya, maka bangkitlah para ulama yang merumuskan
hukum-hukum Islam ke dalam kitab-kitab fikih. Kitab-kitab fikih ini dijadikan
pedoman pelaksanaan hukum Islam di negeri-negeri muslim, bukan hanya oleh
masyarakat tetapi juga oleh negara yang pemerintahnya menerapkan hukum syariat.
Dalam
faktanya, fikih Islam terpecah kepada beberapa madzhab. Setiap negeri muslim
menegakan hukum Islam dengan ciri madzhab fikih tertentu. Di negara Islam, para
hakim bersifat independen. Mereka mempunyai kebebasan berijtihad dalam
memutuskan perkara. Perbedaan madzhab yang dianut para hakim dapat menyebabkan
perbedaan hasil ijtihad mereka. Akhirnya menimbulkan perbedaan keputusan hukum.
Memang
ironi, di satu negara ada keputusan hukum yang berbeda pada satu kasus hukum
yang sama, karena perbedaan madzhab hukum yang dianut masing-masing hakim.
Kenyataan ini melahirkan gagasan perlunya penyeragaman hukum. Penyeragaman
hukum ini dapat dilakukan melalui taqnîn. Dengan taqnin bisa
mencapai kepastian dan unifikasi (keseragaman) hukum Islam, tetapi di sisi lain
taqnin juga akan mengorbankan perbedaan madzhab. Maka dari sinilah
muncul pro-kontra tentang legislasi hukum Islam.
Penolakan terhadap gerakan taqnin (legislasi
atau kompilasi, kodifikasi, dan unifikasi) hukum Islam hingga saat ini masih
dianut oleh sebagian kalangan ulama. Di antara mereka adalah Syekh Shalih
Fauzan Al Fauzan, anggota Komite Tetap Fatwa dan anggota Kibârul Ulama
Kerajaan Saudi Arabia; Syekh Abdullah bin Muhammad al Ghunaiman, mantan Ketua
Pasca Sarjana Universitas Islamiyah dan pengajar tetap di Mesjid Nabawi,
Madinah; Syekh Abdurahman bin Shalih al Mahmud, Guru Besar Universitas Islam
Ibnu Sa’ud; Syekh Abdurahman bin Abdullah al ‘Ajlan, mantan Ketua Pengadilan
Tinggi Al Qashim dan pengajar tetap Masjidilharam; Syekh Abdul Aziz bin
Abdullah Ar Rajihi, Guru Besar Universitas Islam Ibnu Sa’ud; dan
lain-lainnya.
Di antara argumen mereka yang menolak taqnin
hukum Islam adalah:
1. Bertentangan
dengan sunnah generasi pertama Islam (salafussh shâlih) dari kalangan
shahabat, tâbi’în dan atbâ’ut tâbi’în dan generasi-generasi
sesudahnya pada masa-masa kejayaan Islam yang tidak melakukan taqnin hukum
fikih;
2.
Legislasi hukum Islam berarti juga
unifikasi hukum (fiqih) Islam dalam masalah-masalah ijtihadiyah yang berpotensi
merampas kebebasan seseorang untuk menganut madzhab fiqih yang diyakini
kebenarannya, hal ini bertentangan dengan pendapat mayoritas ulama terdahulu
yang menolak penyeragaman madzhab fiqih dengan cara-cara menggunakan pemaksaan kekuasaan
negara;
3. Legislasi
berpotensi membawa perubahan terhadap hukum syariat dengan melakukan penambahan
dan pengurangan di dalamnya. Sehingga membuka peluang berhukum dengan selain
hukum Allah;
4. Produk
legislasi sangat rawan untuk direvisi, artinya syariat akan jadi objek
perubahan dan revisi dari generasi ke
generasi berikutnya;
5. Legislasi
membuka jalan meninggalkan fiqih Islam secara keseluruhan, sebab hukum yang
diakui seakan hanya yang telah diundangkan oleh negara.
Adapun para ulama-cendekiawan muslim yang
mendukung gerakan lagislasi (taqnîn) hukum Islam dalam perundang-undangan
negara seperti Syekh Yusuf Al Qordhawi, Abdul Qadir Audah, Muhammad Abu Zahrah,
Abdul Qadir Audah, Mustafa Az Zuhaili, Abdurahman Abdul Aziz al Qasim, dan lain-lain,
mereka menyadari bahwa dalam pelegislasian hukum Islam terdapat beberapa
kelemahan dan resiko, tetapi kebutuhan atas taqnin dan kemaslahatannya dinilai
lebih besar. Diantara argumentasi mereka adalah:
1.
Memberi kemudahan kepada para hakim dalam
mengetahui hukum syariat, terlebih lagi di saat para hakim bukan lagi para
mujtahid. Dengan adanya kompilasi hukum Islam para hakim tidak perlu
menghabiskan waktu terlalu banyak untuk mentelaah kitab-kitab fiqih di tengah
menumpuknya perkara-perkara hukum yang harus diselesaikan;
2.
Untuk
menjaga keseragaman dan kepastian hukum dalam satu wilayah kekuasaan negara.
Tanpa adanya kodifikasi hukum Islam akan menimbulkan kekacauan hukum dan
membuka peluang orang melarikan diri dari suatu sanksi hukuman;
3.
Akan
memberi ketentraman hati dan kepastian kepada pihak-pihak yang berperkara serta
menghindarkan para qâdi dari kecurigaan-kecurigaan mempermainkan hukum;
4.
Dengan
dilkodifikasikan hukum sudah diketahui oleh masyarakat sebelum terjadinya
pelanggaran, karena masyarakat akan mengetahui perbuatan apa saja yang
melanggar hukum serta sanksi-sanksinya;
5.
Kodifikasi
hukum Islam termasuk wilayah politik syariat (siyasah al syar’iyah) yang
merupakan kewenangan pemerintah Islam yang wajib dita’ati oleh rakyatnya.
Produk Legislasi
Hukum Islam di Indonesia.
Di
atas problem tersebut, usaha dan proses pengundangan hukum Islam dalam
perundang-undangan Indonesia terus dilakukan.
Fakta
historis menunjukan bahwa telah terjadi perkembangan hukum Islam dalam tata
hukum nasional dan secara lebih nyata dalam formalisasi
hukum Islam ke dalam hukum nasional melalui legislasi di DPR. Terutama
sejak disahkannya UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, sampai kepada UU
Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah.
Dalam
rentang waktu enampuluh tujuh tahun kemerdekaan Indonesia, perkembangan hukum
Islam mengalami pasang surut seiring gelombang politik nasional. Peralihan era
kekuasaan politik nampaknya memberi konstribusi besar terhadap pasang surut
legislasi hukum Islam di Indonesia. Era Orde lama yang terbentang selama 21
tahun sejak kemerdekaan 1945 sampai 1966, tidak menghasilkan legislasi hukum
materil Islam yang penting selain UU Nomor 22
Tahun 1946 Tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Ruju’ di Seluruh Daerah
Luar Jawa dan Madura yang kemudian diikuti dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun
1954 tentang Penetapan Berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia 22 Tahun
1946 tersebut.
Sedang
pada masa kekuasaan Orde Baru yang berlangsung sejak tahun 1966 sampai 1998
hanya dua produk hukum Islam dalam bentuk Undang-Undang yang diproses melalui
legislasi di Parlemen. Yaitu UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan UU No.
7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, serta satu produk hukum yang ditetapkan
melalui Inpres, yaitu Kompilasi Hukum Islam (KHI). Pada masa kekuasaan Orde
Reformasi yang sedang berlangsung sejak tahun 1998 sampai sekarang telah
melahirkan sepuluh produk legislasi berupa Undang-Undang. Yaitu:
1.
Undang-Undang
No.17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji
2.
Undang-Undang
No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat
3.
Undang-Undang
No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf
4.
Undang-Undang
No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama Untuk Ekonomi Syariah.
5.
UU No.13 Tahun
2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji, revisi atas UU No.17 Tahun 1999.
6.
Undang-Undang
No. 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara
7.
Undang-Undang
No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syari'ah.
8.
UU No. 10 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama. Revisi
atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
9.
UU No.2 Tahun
2009 tentang Penyelenggaraan Ibadah haji, revisi kedua terhadap UU No. 17 Tahun
1999 tentang Penyelenggaraan Ibdah Haji
10. Undang-Undang Republik Indonesia No.23 Tahun 2011 tentang
Pengelolaan Zakat. Sebagai revisi atas UU No.38 Tahun 1999.
Pro-kontra
tentang legislasi syariat telah “berhasil” dilewati dalam sejarah pembentukan
hukum Islam di Indonesia terbukti dengan terus berlangsungnya legislasi syariat. Tetapi problem pada tahap berikutnya, yaitu
tahap penegakan hukum juga tidak kalah penting.
Dalam beberapa bidang hukum, masih terjadi tumpang tindih pemahaman dan
pengamalan hukum Islam di tengah masyarakat antara hukum Islam dalam pengertian
Hukum Fiqih yang terdapat pada kitab-kitab dan madzhab-madzhab fiqih dengan hukum Islam dalam pengertian Hukum
Islam dalam bentuk perundang-undangan.
Seperti yang nampak dalam kasus-kasus perkara perkawinan, perceraian,
warisan, perwakafan dan sebagainya. Wallahu A’lamu bishowab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar