06 Januari 2018

Pro-kontra Legislasi Hukum Islam



 Oleh: KH. Dr. H. Jeje Zaenudin, M.Ag

Sumber utama hukum Islam adalah Al-Quran dan Sunnah. Tidak setiap individu muslim secara otomatis mampu memahami hukum-hukum yang terkandung dalam Al-Quran dan Sunnah dengan sendirinya, maka bangkitlah para ulama yang merumuskan hukum-hukum Islam ke dalam kitab-kitab fikih. Kitab-kitab fikih ini dijadikan pedoman pelaksanaan hukum Islam di negeri-negeri muslim, bukan hanya oleh masyarakat tetapi juga oleh negara yang pemerintahnya menerapkan hukum syariat.
Dalam faktanya, fikih Islam terpecah kepada beberapa madzhab. Setiap negeri muslim menegakan hukum Islam dengan ciri madzhab fikih tertentu. Di negara Islam, para hakim bersifat independen. Mereka mempunyai kebebasan berijtihad dalam memutuskan perkara. Perbedaan madzhab yang dianut para hakim dapat menyebabkan perbedaan hasil ijtihad mereka. Akhirnya menimbulkan perbedaan keputusan hukum.
Memang ironi, di satu negara ada keputusan hukum yang berbeda pada satu kasus hukum yang sama, karena perbedaan madzhab hukum yang dianut masing-masing hakim. Kenyataan ini melahirkan gagasan perlunya penyeragaman hukum. Penyeragaman hukum ini dapat dilakukan melalui taqnîn. Dengan taqnin bisa mencapai kepastian dan unifikasi (keseragaman) hukum Islam, tetapi di sisi lain taqnin juga akan mengorbankan perbedaan madzhab. Maka dari sinilah muncul pro-kontra tentang legislasi hukum Islam.
Penolakan terhadap gerakan taqnin (legislasi atau kompilasi, kodifikasi, dan unifikasi) hukum Islam hingga saat ini masih dianut oleh sebagian kalangan ulama. Di antara mereka adalah Syekh Shalih Fauzan Al Fauzan, anggota Komite Tetap Fatwa dan anggota Kibârul Ulama Kerajaan Saudi Arabia; Syekh Abdullah bin Muhammad al Ghunaiman, mantan Ketua Pasca Sarjana Universitas Islamiyah dan pengajar tetap di Mesjid Nabawi, Madinah; Syekh Abdurahman bin Shalih al Mahmud, Guru Besar Universitas Islam Ibnu Sa’ud; Syekh Abdurahman bin Abdullah al ‘Ajlan, mantan Ketua Pengadilan Tinggi Al Qashim dan pengajar tetap Masjidilharam; Syekh Abdul Aziz bin Abdullah Ar Rajihi, Guru Besar Universitas Islam Ibnu Sa’ud; dan lain-lainnya. 
Di antara argumen mereka yang menolak taqnin hukum Islam adalah:
1. Bertentangan dengan sunnah generasi pertama Islam (salafussh shâlih) dari kalangan shahabat, tâbi’în dan atbâ’ut tâbi’în dan generasi-generasi sesudahnya pada masa-masa kejayaan Islam yang tidak melakukan taqnin hukum fikih;
2. Legislasi hukum  Islam berarti juga unifikasi hukum (fiqih) Islam dalam masalah-masalah ijtihadiyah yang berpotensi merampas kebebasan seseorang untuk menganut madzhab fiqih yang diyakini kebenarannya, hal ini bertentangan dengan pendapat mayoritas ulama terdahulu yang menolak penyeragaman madzhab fiqih dengan cara-cara menggunakan pemaksaan kekuasaan negara;
3. Legislasi berpotensi membawa perubahan terhadap hukum syariat dengan melakukan penambahan dan pengurangan di dalamnya. Sehingga membuka peluang berhukum dengan selain hukum Allah;
4. Produk legislasi sangat rawan untuk direvisi, artinya syariat akan jadi objek perubahan dan revisi  dari generasi ke generasi berikutnya;
5. Legislasi membuka jalan meninggalkan fiqih Islam secara keseluruhan, sebab hukum yang diakui seakan hanya yang telah diundangkan oleh negara. 
Adapun para ulama-cendekiawan muslim yang mendukung gerakan lagislasi (taqnîn) hukum Islam dalam perundang-undangan negara seperti Syekh Yusuf Al Qordhawi, Abdul Qadir Audah, Muhammad Abu Zahrah, Abdul Qadir Audah, Mustafa Az Zuhaili, Abdurahman Abdul Aziz al Qasim, dan lain-lain, mereka menyadari bahwa dalam pelegislasian hukum Islam terdapat beberapa kelemahan dan resiko, tetapi kebutuhan atas taqnin dan kemaslahatannya dinilai lebih besar. Diantara argumentasi mereka adalah:
1.     Memberi kemudahan kepada para hakim dalam mengetahui hukum syariat, terlebih lagi di saat para hakim bukan lagi para mujtahid. Dengan adanya kompilasi hukum Islam para hakim tidak perlu menghabiskan waktu terlalu banyak untuk mentelaah kitab-kitab fiqih di tengah menumpuknya perkara-perkara hukum yang harus diselesaikan;
2.    Untuk menjaga keseragaman dan kepastian hukum dalam satu wilayah kekuasaan negara. Tanpa adanya kodifikasi hukum Islam akan menimbulkan kekacauan hukum dan membuka peluang orang melarikan diri dari suatu sanksi hukuman;
3.    Akan memberi ketentraman hati dan kepastian kepada pihak-pihak yang berperkara serta menghindarkan para qâdi dari kecurigaan-kecurigaan mempermainkan hukum;
4.    Dengan dilkodifikasikan hukum sudah diketahui oleh masyarakat sebelum terjadinya pelanggaran, karena masyarakat akan mengetahui perbuatan apa saja yang melanggar hukum serta sanksi-sanksinya;
5.    Kodifikasi hukum Islam termasuk wilayah politik syariat (siyasah al syar’iyah) yang merupakan kewenangan pemerintah Islam yang wajib dita’ati oleh rakyatnya.

Produk Legislasi Hukum Islam di Indonesia.        
Di atas problem tersebut, usaha dan proses pengundangan hukum Islam dalam perundang-undangan Indonesia terus dilakukan.  Fakta historis menunjukan bahwa telah terjadi perkembangan hukum Islam dalam tata hukum nasional dan secara lebih nyata dalam formalisasi hukum Islam ke dalam hukum nasional melalui legislasi di DPR. Terutama sejak disahkannya UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, sampai kepada UU Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah.
Dalam rentang waktu enampuluh tujuh tahun kemerdekaan Indonesia, perkembangan hukum Islam mengalami pasang surut seiring gelombang politik nasional. Peralihan era kekuasaan politik nampaknya memberi konstribusi besar terhadap pasang surut legislasi hukum Islam di Indonesia. Era Orde lama yang terbentang selama 21 tahun sejak kemerdekaan 1945 sampai 1966, tidak menghasilkan legislasi hukum materil Islam yang penting selain UU Nomor 22  Tahun 1946 Tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Ruju’ di Seluruh Daerah Luar Jawa dan Madura yang kemudian diikuti dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Penetapan Berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia 22 Tahun 1946 tersebut.
Sedang pada masa kekuasaan Orde Baru yang berlangsung sejak tahun 1966 sampai 1998 hanya dua produk hukum Islam dalam bentuk Undang-Undang yang diproses melalui legislasi di Parlemen. Yaitu UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, serta satu produk hukum yang ditetapkan melalui Inpres, yaitu Kompilasi Hukum Islam (KHI). Pada masa kekuasaan Orde Reformasi yang sedang berlangsung sejak tahun 1998 sampai sekarang telah melahirkan sepuluh produk legislasi berupa Undang-Undang. Yaitu: 
1.        Undang-Undang No.17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji
2.        Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat  
3.        Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf
4.        Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama Untuk Ekonomi Syariah.
5.        UU No.13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji, revisi atas UU No.17 Tahun 1999.
6.      Undang-Undang No. 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara
7.      Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syari'ah.
8.      UU No. 10  Tahun 2009 tentang Peradilan Agama. Revisi atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
9.      UU No.2 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Ibadah haji, revisi kedua terhadap UU No. 17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibdah Haji
10.  Undang-Undang Republik Indonesia No.23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat. Sebagai revisi atas UU No.38 Tahun 1999.

Pro-kontra tentang legislasi syariat telah “berhasil” dilewati dalam sejarah pembentukan hukum Islam di Indonesia terbukti dengan terus berlangsungnya legislasi syariat.  Tetapi problem pada tahap berikutnya, yaitu tahap penegakan hukum juga tidak kalah penting.  Dalam beberapa bidang hukum, masih terjadi tumpang tindih pemahaman dan pengamalan hukum Islam di tengah masyarakat antara hukum Islam dalam pengertian Hukum Fiqih yang terdapat pada kitab-kitab dan madzhab-madzhab  fiqih dengan hukum Islam dalam pengertian Hukum Islam dalam bentuk perundang-undangan.  Seperti yang nampak dalam kasus-kasus perkara perkawinan, perceraian, warisan, perwakafan dan sebagainya. Wallahu A’lamu bishowab.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar