08 Maret 2017

Istinbat Dewan Hisbah Persatuan Islam

Diringkas oleh Ginanjar Nugraha


HUKUM MENGKAFIRKAN SESAMA MUSLIM

Akidah merupakan pokok dalam Islam. Temasuk didalam bahasan Akidah adalah batas-batas yang jelas terkait keimanan dan kekafiran. Akhir-akhir ini terjadi fenomena di masyarakat muslim saling mengkafirkan sesama muslim. Hal tersebut tentunya bukan perkara yang sepele, tapi merupakan problem yang pokok dan serius sehingga diperlukan batas-batas yang jelas terkait dhawâbit (aturan) dan hukum mengkafirkan. Atas dasar ini, salah satu pokok pembahasan yang dijadikan salah satu topik bahasan oleh Dewan Hisbah PP Persis dalam persidangan tahunannya pada tanggal 28 dan 29 Desember 2016 lalu di Bandung. Berikut adalah penjelasan ringkas dari makalah yang disampaikan oleh K.H. Rahmat Najib dan pembahasan dari para peserta sidang.
***
Kafir berasal dari kalimat kafara yakfuru kufran yang artinya menutup, menolak atau mengingkari. Sedangkan kaffara yukaffiru takfiran artinya menutupi, menghapus kesalahan, kifarat. Adapun terkait definisi secara istilah, perlu i’tibar dari dalil-dalil terkait dengan kekafiran, sehingga dapat ditemukan batas-batas yang jelas terkait kekafiran. Ketika batas-batasnya jelas, maka akan menjadi bahan dasar bagi perumusan hukum selanjutnya yaitu hukum mengkafirkan. Selama tidak diketahui batas yang jelas terkait kekafiran, maka akan sulit untuk merumuskan hukum mengkafirkan. Dalil-dalil berkenaan dengan kekafiran misalnya.
إنَّ ٱلَّذِينَ يَكۡفُرُونَ بِٱللَّهِ وَرُسُلِهِۦ وَيُرِيدُونَ أَن يُفَرِّقُواْ بَيۡنَ ٱللَّهِ وَرُسُلِهِۦ وَيَقُولُونَ نُؤۡمِنُ بِبَعۡضٖ وَنَكۡفُرُ بِبَعۡضٖ وَيُرِيدُونَ أَن يَتَّخِذُواْ بَيۡنَ ذَٰلِكَ سَبِيلًا أُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡكَٰفِرُونَ حَقّٗاۚ وَأَعۡتَدۡنَا لِلۡكَٰفِرِينَ عَذَابٗا مُّهِينٗا
Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, dan bermaksud memperbedakan antara (keimanan kepada) Allah dan rasul-rasul-Nya, dengan mengatakan: "Kami beriman kepada yang sebahagian dan kami kafir terhadap sebahagian (yang lain)", serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan (tengah) di antara yang demikian (iman atau kafir). Merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir itu siksaan yang menghinakan (QS an-Nisa’ : 150-151)

إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَغۡفِرُ أَن يُشۡرَكَ بِهِۦ وَيَغۡفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَآءُۚ وَمَن يُشۡرِكۡ بِٱللَّهِ فَقَدِ ٱفۡتَرَىٰٓ إِثۡمًا عَظِيمًا ٤٨
Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar (QS an-Nisa’ : 48)
عَنْ أَنَسٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يَخْرُجُ مِنْ النَّارِ مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَفِي قَلْبِهِ وَزْنُ شَعِيرَةٍ مِنْ خَيْرٍ وَيَخْرُجُ مِنْ النَّارِ مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَفِي قَلْبِهِ وَزْنُ بُرَّةٍ مِنْ خَيْرٍ وَيَخْرُجُ مِنْ النَّارِ مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَفِي قَلْبِهِ وَزْنُ ذَرَّةٍ مِنْ خَيْرٍ. رواه البخاري
Dari Anas dari Nabi saw., beliau bersabda: "Akan dikeluarkan dari neraka siapa yang mengatakan tidak ada Ilah kecuali Allah dan dalam hatinya ada kebaikan sebesar biji sawi. Dan akan dikeluarkan dari neraka siapa yang mengatakan tidak ada ilah kecuali Allah dan dalam hatinya ada kebaikan sebesar biji gandum. Dan akan dikeluarkan dari neraka siapa yang mengatakan tidak ada ilah kecuali Allah dan dalam hatinya ada kebaikan sebesar biji sawi." (HR. Al-Bukhari)
عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « إِذَا كَفَّرَ الرَّجُلُ أَخَاهُ فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا ». رواه مسلم
Dari Ibnu Umar, bahwasanya Nabi saw. Bersabda, "Jika seseorang mengkafirkan saudaranya yang muslim sungguh telah kembali kafir kepada salah seorang diantara mereka berdua." (HR. Muslim).

Dalam pembahasan para anggota Dewan Hisbah, dari dalil-dalil yang berkenaan dengan kekafiran dapat dikategorisasikan menjadi dua macam, pertama kufur akbar dan kufur asghar.
Kufur Akbar yaitu kufur yang mengakibatkan pelakunya keluar dari Islam yaitu orang yang mengingkari atau tidak beriman kepada seluruh atau sebagian rukun iman. Misalnya orang yang percaya bahwa Allah itu beranak dan diperanakan, orang yang tidak percaya akan adanya hari kiamat, orang yang mempercayai adanya nabi baru setelah nabi Muhammad saw atau orang yang menolak atau meragukan kenabian Nabi Muhammad saw, serta perbuatan lainnya yang terkait dengan pengingkaran atau tidak mengimani rukun iman seluruh atau sebagian rukun Iman, maka pelakunya keluar dari Islam.  Kategori kufur Akbar ini terbagi menjadi kufur takdzib (mendustakan) misal mendustakan Rasul Saw. Kufur iba’ (menolak/menentang) dan istikbar (sombong) misalnya kufurnya iblis Kufur i’rad (berpaling) contohnya setelah jelas risalah nubuwwah tapi tidak membenarkan tidak pula membenarkan, namun tidak mengamalkan secara mutlaq. Kufur syakk (meragukan) misalnya meragukan keberadan Allah atau Risalah kenabian nabi Muhammad Saw. Terakhir kufur nifaq (munafik) seperti Abdullah bin Ubay, zahirnya muslim, tapi hatinya kafir (bukan munafiq ‘amali tapi i’tiqadi).
Adapun kufur asghar adalah kufur yang tidak mengakibatkan pelakunya keluar dari Islam, tapi berdosa atau kufur secara amali saja, dan pelakunya masih muslim. Persoalan akidah sama halnya dengan persoalan fiqh, ditempatkan dalam kerangka ijtihad. Namun tetap didalamnya ada syariat ma’lum bi dorurah berdasarkan dalil-dalil yang wajib diimani seorang muslim, misalnya rukun iman yang mencakup juga rukun Islam didalamnya.
Demikian juga dengan orang yang tidak menjalankan hukum Allah dan Rasulnya (tahakkum) apakah karena hawa nafsu, kelemahan dalam merealisasikan, perbedaan metodologi pemahaman, salah tafsir, konteks siyasah, ketidaktahuan, terpaksa atau sebab lainnya. Walaupun tidak menjalankan, selama masih mengimani rukun iman maka tetap dihukumi sebagai seorang muslim. Namun jika dia tidak menjalankan hukum tersebut dengan sebab mendustakan, membangkang, menyombongkan diri kepada Allah dan rasul-Nya maka dia masuk kufur Akbar.
Jika ada dalil-dalil yang terkait dengan perbuatan dosa atau maksiat seorang muslim (selain mengingkari rukun iman) misalnya mengkafirkan orang yang berbuat perbuatan tersebut, ancaman neraka, bahkan kekal didalamnya, maka dalil-dalil tersebut harus difahami secara tepat (ditakwil) sehingga tidak bertentangan dengan surat an-Nisa 48 maupun dikeluarkannya ahl syahadatain dari neraka (Hr. Bukhari), yaitu dengan mengkategorikannya sebagai kufur asghar. Misalnya hadis-hadis meninggalkan salat, mencela nasab dan meratapi mayit dan lainnya.
Dengan demikian Dewan Hisbah Persatuan Islam mengistinbat:
1.      Kufur yang mengakibatkan keluar dari Islam adalah kufur kepada seluruh atau sebagian rukun iman
2.      Mengkafirkan orang Islam hukumnya haram


Hukum Uang Muka jika Jual beli Batal

Perkembangan dinamika sains berpengaruh kepada dinamika masyarakat, termasuk didalamnya pola-pola interaksi masyarakat. Jual beli atau perniagaan merupakan aktivitas manusia dinamis sejak zaman dahulu sekarang. Hal tak bias dihindari sebagai konsekuensi perubahan masyarakat yang begitu cepat adalah munculnya persoalan-persoalan baru tentunya menjadi tantangan tersendiri bagi para ulama Islam untuk merespon problem kontemporer tersebut ditinjau dari ajaran Islam.
Salah satunya fenomena masyarakat adanya transaksi jual beli dengan cara pembeli memberikan uang muka sebagai tanda jadi. Kemudian terjadi pembatalan transaksi oleh pihak pembeli, maka uang muka tersebut menjadi hangus. Persoalan muncul, jika terjadi pembatalan oleh salah satu pihak, terkait dengan status kepemilikan, akad perpindahan serta konteks ganti kerugian (madharat). Disamping itu para ulama berbeda pendapat terkait hukum uang muka tersebut jika terjadi pembatalan, sehingga dibutuhkan kepastan hukum masalah tersebut. Karena itu Dewan Hisbah Persatuan Islam merespon masalah tersebut dengan mengangkat tema sidang “Hukum Uang Muka Jika Batal Jual Beli” dengan menugaskan Prof Maman Abdurrahman, MA. Sebagai pemakalah sekaligus pembahas.
            Dalam penjelasanya Prof Maman memulai dengan penjelsan istilah uang muka yang dalam literatur fiqh disebut dengan urbun. Uang muka atau urbun dalam kitab maushu’ah fiqh, menurut istilah fiqh adalah seorang pembeli membeli sesuatu, dan menyerahkan kepada penjual satu dirham atau lebih, apabila ia mengambil barang dagangan tersebut dari penjual, maka ia (pembeli) akan menyempurnakan pembayarannya, dan apabila pembeli tidak jadi mengambil (barang dagangan) tersebut maka uang yang telah diberikan pembeli kepada penjual akan menjadi milik penjual.
            Dalam pemaparannya, pemakalah menerangkan perbedaan pendapat dikalangan para ulama salaf maupun khalaf, termasuk di dalamnya lembaga-lembaga fatwa internasional, semisal Majma’ Fiqih, maupun nasional seperti Lajnah Daimah dan MUI. Secara umum para ulama salaf cenderung mengharamkan sedangkan para ulama kontemporer cenderung membolehkan. Kemudian pembahasan sidangpun pun beralih kepada pengujian kedua argumentasi baik yang membolehkan maupun yang mengharamkan.
Adapun dali-dalil yang terkait dengan pembahasan adalah sebagai berikut :
1.      Larangan jual beli denga cara batil dan wajibnya saling ridha
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لاَ تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ ...
Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama suka di antara kamu....(QS. An-Nisa : 29)
2.      Larangan mengandung unsur riba
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ * فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللهِ وَرَسُولِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لاَ تَظْلِمُونَ وَلاَ تُظْلَمُونَ.
Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang beriman. * Jika kamu tidak melaksanakannya, maka umumkanlah perang dari Allah dan rasul-Nya. Tetapi jika kamu bertobat, maka kamu berhak atas pokok hartamu. Kamu tidak berbuat zalim (merugikan) dan tidak dizalimi (dirugikan). (QS. Al-Baqarah : 278-279)
3.      Jual beli sebagai sarana kebaikan dan larangan tolong menolong dalam permusuhan dan dosa
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُوا عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah sangat berat siksa-Nya. (QS. Al-Maidah :2)
4.      Kesepakatan antara dua belah pihak
Dari Ibnu Umar dari Rasulullah Saw. bahwa beliau bersabda: "Jika dua orang melakukan transaksi jual beli, maka salah satu dari keduanya berhak untuk khiyar (memilih), selagi keduanya belum berpisah dan keduanya masih berkumpul, atau salah satunya mengajukan khiyar (pilihan) kepada yang lain. Jika salah satunya telah menetapkan khiyar (pilihannya) atas yang lain, maka transaksi harus dilaksanakan sesuai dengan khiyarnya. Dan jika keduanya telah berpisah setelah melakukan transaksi jual beli, sedangkan sedangkan salah satu dari keduanya tidak membatalkan jual beli, maka transaksi telah sah." (Muttafaq Alaih, lafal Muslim, Shahih Muslim, II/10)
5.      Larangan menipu
Rasulullah Saw bersabda Barangsiapa menipu maka dia bukan dari golongan kami." (HR. Muslim, Sahih Muslim, 1/69)
6.        Larangan spekulasi
Rasulullah saw. melarang jual beli dengan cara hashah (yaitu: jual beli dengan melempar kerikil) dan cara lain yang mengandung unsur penipuan. (HR. Muslim, Shahih Muslim, II/4)
Dari dalil-dalil diatas dapat difaham bahwa muamalah khususnya jual beli asalnya boleh selama saling ridha, tidak ada unsur tipuan, bukan barang yang haram, tidak saling menzalimi, tidak spekulasif, tidak ada unsur riba, tidak menghalalkan yang haram atau sebaliknya, jelas perpindahan akadnya.  Adapun terkait dengan pendekatan kaidah yang digunakan dalam masalah uang muka ini, pertama, asal dalam muamalah adalah boleh kecuali ada dalil yang mengharamkan. Kedua, kaidah perdamaian antar muslim itu boleh, selama tidak mengharamkan yang halal dan mengharamkan yang halal. Ketiga, kaidah kaum muslimin itu terikat syarat-syarat mereka, selama tidak menghalalkan yang haram atau menghalalkan yang haram. Keempat, kaidah larangan madharat dan memadharatkan.
Dalam pembahasan persidangan ditemukan dalil-dalil yang melarang maupun membolehkan uang muka, namun keduanya tidak terlepas dari kedhaifan sehingga tidak dapat dijadikan hujjah. Karena itu pembahsan terkait uang muka kembali kepada kaidah umum terkait muamalah yaitu boleh selama tidak ada dalil yang mengharamkan atau unsur yang dilarang dalam jual beli Islam. Adapun terkait dengan hangusnya uang muka, jika masuk dalam kesepakatan dengan keridhaan keduanya, tanpa saling merugikan masing-masing pihak, maka hukumnya boleh. Dengan demikian Dewan Hisbah mengistinbat
  1. Uang muka dalam jual beli hukumnya mubah
  2. Jika terjadi pembatalan transaksi oleh pembeli, lalu uang muka menjadi hak milik penjual atas kesepakatan bersama dengan tidak saling merugikan, hukumnya mubah.


Takwil Sifat-Sifat Allah

Perdebatan terkait dengan ilmu akidah tentang takwil sifat Allah merupakan salah satu yang diskursus yang berlangsung selama berabad-abad sampai bahkan hingga abad medsos ini. Karya yang dihasilkanpun bukan hanya puluhan bahkan ratusan karya ilmiah melibatkan ulama-ulama ratusan ulama didalamnya. Secara umum ada dua sikap terkait dengan sifat-sifat Allah.
Pertama: Ta’wil, memalingkan ma’na dzahir dengan qarinah sehingga sesuai logika teks dan siyaq kalam. Contoh, ketika ada ayat tentang tangan Allah, ketika kesulitan difahami secara logika teks dan siyaq kalam, maka dipalingkan kepada arti yang lain, misalnya tangan dimaknai dengan kekuasaan. Tujuan takwil tersebut adalah untuk tanzih sifat Allah dan menghindari tasybih dengan makhluq.
Takwil terbagi dua, ada takwil yang sahih dan takwil yang fasid. Para ulama merumuskan terkait syarat takwil sahih, diantaranya menurut Dr Wahwah az-zuhaily, syarat takwil sahih itu, pertama, Lafadznya harus yang bisa menerima takwil. Kedua, takwil harus didasarkan pada dalil atau indikasi yang sah dan dalil tersebut harus lebih kuat dari pada makna lahiriah lafadz. Ketiga, takwil tersebut harus merupakan salah satu makna yang dikandung oleh lafadz yang dipalingkan maknanya itu. Keempat, orang yang menakwil adalah yang mempunyai otoritas dan kompetensi untuk itu sehingga dalam melakukan takwil sesuai dengan ketetapan bahasa atau kebiasaan syara` (`urf syar`i) atau pemakaian (isti`maliy). Adapun takwil yang tidak memenuhi syarat takwil, maka termasuk takwil fasid.
Kedua: Tafwidh, yaitu menetapkan lafadz secara zahir dan makna. Contoh, tentang tangan Allah, artinya menetapkan dan mengimani makna tangan secara zahir termasuk maknanya, akan tetapi tanpa memikirkan atau mempertanyakan keadaannya. Walaupun diartikan secara zahir, akan tetapi sifatnya tidak sama dengan makhluk (tanpa tasybih).
Perbedaan pemahaman hukum Takwil sifat Allah menjadi pertanyaan umat baik dari ekstern maupun intern Persatuan Islam, terkait bagaimana posisi Persatuan Islam dalam memehamai terkait sifat-sifat Allah.
Dewan Hisbah Persatuan Islam merasa merepon fenomena dan pertanyaann umat tersebut dengan mengangkatnya menjadi tema sidang Dewan Hisbah dengan menugaskan Ustadz Husen Zainal Muttaqin, Lc. Sebagai pemakalah.
هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ
Dialah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. Di antara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, itulah pokok-pokok isi Al qur´an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta´wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta´wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami". Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal (QS Ali Imran : 7)
لَيۡسَ كَمِثۡلِهِۦ شَيۡءٞۖ
Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia...(QS. As-Syura : 11)
 وَلَمۡ يَكُن لَّهُۥ كُفُوًا أَحَدُۢ
Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia" (QS al-Ikhlas : 4)
عَنْ جَعْفَرِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ دَخَلْنَا عَلَى جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ فَسَأَلَ عَنِ الْقَوْمِ....وَرَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ أَظْهُرِنَا وَعَلَيْهِ يَنْزِلُ الْقُرْآنُ وَهُوَ يَعْرِفُ تَأْوِيلَهُ وَمَا عَمِلَ بِهِ مِنْ شَيْءٍ عَمِلْنَا بِهِ.....-رواه مسلم-
Dari Ja'far bin Muhamad dari bapaknya ia berkata, "Kami menemui Jabir bin Abdullah lalu ia bertanya tentang suatu kaum…(Jabir berkata) : “Rasulullah Saw ada di tengah-tengah kami, kepadanya turun al-Quran, dia mengetahui takwilnya. Apa pun yang ia lakukan, kami pun melakukannya. (HR Muslim)
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رضي الله عنهما قَالَ : دَخَلَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم الْمَخْرَجَ فَإِذَا تَورٌ مُغَطَّى، فَقَالَ رَسُولُ الله صلى الله عليه وسلم : مَنْ صَنَعَ هَذَا ؟ قُلْتُ : أَنَا ، فَقَالَ رَسُولُ الله صلى الله عليه وسلم : اَللّهُمَّ عَلِّمْهُ تَأوِيْلَ القُرْآنِ. –رواه الحاكم-
Dari Ibnu Abbas r.a. ia berkata, "Rasulullah saw. masuk tempat al-Hajat, tiba-tiba bejana sudah tertutup (terisi air). Lalu Rasulullah saw. bersabda, 'Siapa yang melakukan ini? Kataku, 'Saya". Kemudian Rasulullah saw. bersabda, 'Ya Allah, ajarkanlah kepadanya ta'wil al-Quran." (HR. Al-Hakim)
Dalam pemaparan materi, pemakalah sampai pada kesimpulan bahwa takwil pada sifat-sifat Allah termasuk takwil fasid, sehingga berkonsekuensi hukum pada terlarangnya takwil sifat-sifat Allah. Argumentasinya, pertama, ketiadaan praktik takwil dikalangan salaf atau generasi awal Islam. Kedua, bahwa takwil sifat Allah berasal dari aliran Jahmiyyah. Ketiga, takwil dalam pengertian salaf maksudnya adalah tafsir, bukan memalingkan makna dzahir kepada yang lain.
Namun dalam pembahasan para anggota Dewan Hisbah, bahwa semangat atau tujuan dari kedua kelompok sama, yaitu tanzih terhadap sifat Allah berlandaskan surat al Syura 14 dan al-Ikhlas ayat 4, namun dalam praktiknya menggunakan metodologi atau kaidah yang berbeda. Kedua, ditemukan fakta riwayat bahwa generasi salaf melakukan takwil dalam pengertian memalingkan lafadz dari arti zahir dalam memahami sifat Allah. Ketiga berdasarkan ayat dan al-Quran diatas, bahwa sangat mungkin memahami sifat Allah dengan menggunakan metode ta’wil tanpa harus dibatasi hanya sekedar tafsir, tentunya takwil yang sahih yaitu takwil yang memenuhi syarat takwil yang diterima.
Dengan demikian Dewan Hisbah Persatuan Islam mengistinbat
1.      Takwil fasid terhadap sifat Allah hukumnya haram
2.      Takwil sahih terhadap sifat Allah hukumnya boleh

Hukum Menakwil Mimpi

Mimpi merupakan sesuatu yang alamiah dan melekat dalam kehidupan manusia. Mimpi pun bervariatif bentuknya, kadang sesuatu yang irrasional. Karena itu sebagian masyarakatpun tergerak penasaran untuk mengetahui rahasia mimpi dan takwilnya, baik dengan jalan bertanya pada “ahli takwil mimpi” atau merujuk pada adat kebiasaan paririmbon karuhun dan lainnya. Disisi yang lain, adapula para sebagian ‘ahli agama’ yang mengklaim dapat menakwil mimpi. Tujuan menakwil mimpi tersebut tiada lain adalah terkait dengan pengaruh mimpi sebagai teropong masa depan atau ramalan apa yang bakal terjadi di masa depan. Persoalan ini sangat penting untuk dibahas khususnya terkait hukum menakwil mimpi sebagai pedoman bagi masyarakat.
Karena itu Dewan Hisbah Persatuan Islam, menugaskan Drs. Uu Suhendar, M.M.Pd sebagai pemakah untuk menjawab hukum menakwil mimpi berdasarkan al-Quran dan as-Sunnah. Pemakalah memulai pembahasan dengan definisi dan jenis-jenis mimpi. Mimpi adalah sebuah refleksi dari keinginan pikir bawah sadar manusia yang tidak dapat   terwujud di dunia nyata.  Mimpi dibagi tiga :
a.      Mimpi Refleksi.
Mimpi Refleksi adalah akibat keinginan kuat  yang  tidak tersampaikan secara baik waktu bangun.Sifat mimpi  bisa berbentuk busyro sesuatu yang menggembirakan, bisa tahzîn yang menyedihkan atau hanya ungkapan emosi.
b.      Mimpi Simbolik
Mimpi Simbolik ini prosesnya sama dengan mimpi refleksi hanya bentuk mimpinya berbentuk simbol-simbol. Simbol-simbol mimpi banyak ditulis dalam kitab Paririmbon lengkap dengan takwilnya.
c.       Mimpi Spiritual Non Simbolik
Mimpi jenis ini adalah mimpinya para Nabi berupa wahyu atau ilham kepada orang-orang soleh yang dipilih Allah Swt.
Adapun secara syar’i terkait dengan sikap seorang muslim terhadap mimpi Untuk menyikapi ketika seseorang bermimpi maka dijelaskan sebagai berikut :
a.       Apabila mimpi itu menggembirakan maka hendaklah memuji Allah dan boleh menceritakan mimpi tersebut kepada orang yang kita sukai.
b.      Apabila  isi mimpi buruk atau menyeramkan  maka:
·         Meludahlah 3 kali ke sebalah kiri,
·         Isti’adzah,
·         Merubah posisi tidur atau pindah tempat tidur supaya mimpi tidak terulang
·         jangan menceritakan mimpi tersebut kepada orantg lain yang dihawatirkan dita’wil dengan ta’wil yang keliru yang akan mensugesti pemimpinya.
  Adapun pembahasan pokok adalah Dalil-dalil yang terkait dengan menakwil mimpi adalah
 sebagai berikut :                                                                                                                                
رَبِّ قَدْ آتَيْتَنِي مِنَ الْمُلْكِ وَعَلَّمْتَنِي مِنْ تَأْوِيلِ الْأَحَادِيثِ فَاطِرَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ أَنْتَ وَلِيِّي فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ تَوَفَّنِي مُسْلِمًا وَأَلْحِقْنِي بِالصَّالِحِينَ
Tuhanku, sesungguhnya Engkau telah menganugerahkan kepadaku sebagian kekuasaan dan telah mengajarkan kepadaku sebagian takwil mimpi. (Wahai Tuhan) Pencipta langit dan bumi, Engkaulah pelindungku di dunia dan di akhirat, wafatkanlah aku dalam keadaan muslim dan gabungkanlah aku dengan orang yang saleh. (QS. Yusuf: 101).
عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ رَأَيْتُ فِي الْمَنَامِ كَأَنَّ فِي يَدِي سَرَقَةً مِنْ حَرِيرٍ لاَ أَهْوِي بِهَا إِلَى مَكَانٍ فِي الْجَنَّةِ إِلاَّ طَارَتْ بِي إِلَيْهِ فَقَصَصْتُهَا عَلَى حَفْصَةَ فَقَصَّتْهَا حَفْصَةُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنَّ أَخَاكِ رَجُلٌ صَالِحٌ أَوْ قَالَ إِنَّ عَبْدَ اللهِ رَجُلٌ صَالِحٌ. –رواه البخاري-
Dari Ibnu Umar r.a, mengatakan; aku bermimpi dalam tidur, seolah-olah di tanganku ada sehelai kain sutera, tidaklah aku berkeinginan menuju suatu tempat dalam surga dengan membawanya melainkan kain itu menerbangkan aku. Maka kukisahkan mimpiku kepada Hafshah, dan Hafshah mengisahkan kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan beliau bersabda: "Saudaramu adalah laki-laki Shalih, " atau beliau bersabda: "Sesungguhnya Abdullah laki-laki Shalih." (Hr. Bukhari, Shahih Al-Bukhari 9/37)

Kedua dalil diatas menunjukan bahwa Nabi Yusuf AS dan Nabi Muhammad Saw melakukan takwil terhadap mimpi. Persoalannya apakah takwil mimpi itu terbatas pada para Nabi atau tidak. Abu Bakar Ra pernah meminta izin kepada Rasulullah Saw untuk menakwil mimpi, kemudian Rasulullah mengizinkannya. Setelah menakwil Abu Bakar mengkonfirmasi kepada Rasulullah Saw
يَا رَسُولَ اللَّهِ بِأَبِي أَنْتَ أَصَبْتُ أَمْ أَخْطَأْتُ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَصَبْتَ بَعْضًا وَأَخْطَأْتَ بَعْضًا
Wahai Rasulullah demi ayahku apakah aku benar atau salah (takwilnya) Rasul saw. menjawab: "Engkau benar sebagian dan salah sebagian!"
Dengan demikian setingkat Abu Bakarpun ternyata tidak diberi kemampuan untuk menakwil mimpi, apalagi muslim yang lain. Dengan demikian menakwil mimpi adalah khususiyah para Nabi dan termasuk perkara yang ghaib yang hanya diketahui oleh Allah swt.
قُلْ لَا يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ الْغَيْبَ إِلَّا اللَّهُ وَمَا يَشْعُرُونَ أَيَّانَ يُبْعَثُونَ 
Katakanlah: "Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang gaib, kecuali Allah", dan mereka tidak mengetahui bila mereka akan dibangkitkan. (QS . an-Naml : 65)
Begitu pula bagi yang berusaha menakwil mimpi, karena takwilnya termasuk hal yang ghaib, pelakunya jauh kepada syirik dengan cara thiyarah.
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُودٍ عَنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الطِّيَرَةُ شِرْكٌ الطِّيَرَةُ شِرْكٌ الطِّيَرَةُ شِرْكٌ –ثَلاَثًا- وَمَا مِنَّا إِلاَّ وَلَكِنَّ اللهَ يُذْهِبُهُ بِالتَّوَكُّلِ
Dari Abdullah bin Mas'ud dari Rasulullah saw, beliau bersabda: thiyarah (ramalan mujur atau sial) adalah syirik, thiyarah adalah syirik, thiyarah adalah syirik -tiga kali-. Tidaklah di antara kita (mengetahui symbol itu) kecuali beranggapan seperti itu, akan tetapi Allah menghilangkannya dengan tawakal." (Hr. Abu Daud, Sunan Abi Daud 6/54, Ibnu Majah, Sunan Ibni Majah 4/561, Ahmad, Musnad Ahmad 6/213, Ibnu Hibban, Shahih Ibni Hibban 13/491, dan Abu Ya’la, Musnad Abi Ya’la 9/140). Berdasarkan dalil-dalil diatas, maka Dewan Hisbah mengistinbat :
1.      Menakwil mimpi adalah khususiyah para Nabi.
2.   Menakwil mimpi dengan merujuk pada buku paririmbon atau pendapat pribadi termasuk prilaku thiyaroh (ramalan) hukumnya haram.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar