Menarik mencermati laporan The Guardian 7
Desember 2016 di bawah titel Where is the Wold’s Most “Godless” City? (Di
Manakah Kota Paling tidak Bertuhan di Dunia). Laporan ini menyampaikan tentang
fenomena atheisme di dunia, terutama di negara-negara Eropa, berdasarkan survey
terhadap pendudukan di kota-kota tersebut. Laporan ini menyebutkan bahwa di
kota Norwich Inggris 42,5 persen
penduduknya mengaku tidak beragama; di Brighton dan Hove sekitar 42,4
persen; dan di Berlin Jerman sekitar 60 persen. Di Amerika 53 persen
penduduknya mengungkapkan bahwa percaya kepada Tuhan bukan merupakan hal
penting untuk dijadikan bagian dari moralitas. Sikap ini menunjukkan bahwa
percaya kepada Tuhan bukan merupakan hal yang penting dalam kehidupan dan tidak
selalu dapat dikatakan sebagai “perbuatan baik”.
Harian ini juga menjelaskan bahwa pada umumnya
mereka yang atheis ini berusia muda dan cerdas. Benjamin Beit-Hallahmi,
professor psikologi di Universitas Haifa, menjelaskan profil psikologis
orang-orang yang menjadi atheis ini. Ia katakan, “Mereka yang tidak memiliki
afiliasi kepada agama manapun diketahui umumnya adalah orang-orang yang masih
muda, kebanyakan laki-laki, berpendidikan dan berpenghasilan tinggi, berpikir
dan hidup secara liberal, namun umumnya hidup dalam keadaan lebih tidak bahagia
dan tersingkirkan dari pergaulan masyarakat.”
Apakah fenomena atheis seperti ini hanya
terjadi di Eropa? Mungkin saja tidak. Bisa jadi hal yang sama terjadi di
berbagai belahan dunia lainnya, termasuk di Indonesia, walaupun persentasenya
lebih kecil. Apalagi dalam dunia yang semakin sekuler mengikuti sekularisme
yang telah berubah menjadi “agama” baru di Eropa menggeser agama Kristen yang
dominan. Apa yang terjadi di Eropa sesungguhnya dapat dijelaskan asal-usulnya
dengan merujuk sekularisme ini. Hanya sayang, para peneliti di Eropa
seolah-olah menutup mata atas musabab utama yang menimbulkan gejala semakin
maraknya atheisme di negara-negara Barat ini. Lihat saja penuturan peneliti
Yahudi di atas. Ia hanya sanggup menjelaskan sebabnya karena “teralienasi dari
lingkungan dan hilang kebahagiaan”. Dia lupa bahwa fenomena ini tidak bisa
dijelaskan sesederhana itu.
Syed M. Naquib Al-Attas dalam Islam and
Secularism (Bandung, 2011: 19) memberikan penjelasan yang subtil mengenai
apa yang terjadi di Eropa itu. Fenomena penyingkiran Tuhan dan agama dalam
kehidupan masyarakat Eropa adalah konsekwensi yang tidak bisa dihindarkan
dari proses sekularisasi yang terjadi di
Eropa sejak tujuh abad belakangan ini. Sebab, sekularisasi sebagaimana yang
terjadi sepanjang sejarah di Eropa sangat jelas merupakan suatu proses
“pembebasan manusia dari kungkungan agama dan metafisika yang mengontrol
pikiran dan bahasa manusia”. Artinya sejak abad ke-14 orang-orang Eropa
mencetuskan gagasan ingin melepaskan diri dari kungkungan gereja secara politik
dan sosial, secara berangsur-angsur gagasan ini berubah menjadi suatu gagasan
pemikiran untuk sepenuhya melepaskan diri dari agama dan metafisika. Sebagai
gantinya, pikiran manusia semata-mata dikontrol oleh kesadaran manusia sendiri
yang dihasilkan oleh pengalaman hidupnya yang dirasakan dan ditemukan
sehari-hari.
Seiring dengan semakin berkembangnya
formulasi-formulasi ilmu pengetahuan yang ditemukan ilmuwan di Barat dibarengi
dengan kesejahteraan ekonomi yang terus meningkat, maka kemudian masyarakat di
Barat menjadi semakin ragu terhadap agama yang mereka anut. Mereka semakin
gamang apakah benar agama yang mereka pegang itu ada gunanya. Apalagi ditambah
dengan kampanye-kampanye yang memperburuk citra agama seperti konflik
antar-pemeluk agama, konflik antar-sekte, dan sebagainya yang semakin membuat mereka
semakin tidak yakin dengan agama yang mereka pegang.
Pada mulanya mungkin sikap kurang percaya pada
agama ini levelnya rendah. Akan tetapi, seiring dengan terus berjalannya waktu
dan semakin banyak ilmuwan-ilmuwan yang berhasil meruntuhkan argumen-argumen
agama dalam berbagai masalah kehidupan, ketidakpercayaan terhadap agama pun
semakin tinggi. Pada abad ke-19 semasa Kalr Marx memulai debut intelektualnya,
ia sudah berani menolak agama dan hidup sebagai atheis. Padahal, zaman itu
peran gereja masih cukup besar di Eropa. Dua abad berikutnya memasuki abad
ke-21 atheisme seperti yang dianut Marx bukan malah berkurang, tapi justru
terus bertambah.
Komunisme yang diciptakan Marx memang sudah
tidak laku di dunia, terutama menyangkut gagasan-gagasan ekonomi dan
politiknya. Akan tetapi, atheisme yang inheren di dalamnya malah semakin subur.
Ketika tembok Berlin yang membatasi Berlin Barat yang liberal dan Berlin Timur
yang komunis runtuh tahun 1991, komunisme di dunia sudah dinyatakan berakhir.
Akan tetapi, atheisme justu tumbuh hingga dianut oleh 60 persen penduduk kota
ini. Hal demikian mudah saja dijelaskan. Atheisme hanyalah salah satu ciri dari
pemikiran komunis, tapi tidak lahir dari komunisme. Atheisme lahir dari rahim
pemikiran sekuler yang telah ada sebelum komunisme muncul. Bahkan komunisme
inipun merupakan turunan sekularisme yang agar sedikit beda variannya dengan
liberalisme dan kapitalisme.
Hingga saat ini, sekularisme masih terus eksis
dan cenderung terus dipertahankan di Barat. Masyarakat Barat yang telanjur
telah menyingkirkan agama hampir tidak punya alternatif untuk menghadapi
berbagai problem kehidupan yang mereka hadapi selain semata-mata mengandalkan
rasionalitas dan sains. Sampai taraf tertentu ketika sains mampu mengantarkan
sebagian manusia pada kesejahteraan fisik, mereka merasa semua masalah hidup
sudah selesai hingga keyakinan tidak diperlukannya lagi agama terus menguat.
Dulu komunisme yang dengan amat berani
mengkampanyekan atheisme dipercaya dapat menyejehterakan masyarakat di tengah
kapitalisme klasik yang memiskinkan. Saat, bertemu kenyataan bahwa komunisme
tidak pernah memberikan kesejahteraan seperti yang dikampanyekan dan
kapitalisme terus membenahi dirinya hingga lebih baik performanya, maka komunisme
pun disingkirkan. Neo-liberalisme dan neo-kapitalisme dianut kembali. Akan
tetapi kali ini neo-kapitalisme dan neo-liberalisme pun sudah dirasuki
keberanian berlipat ganda untuk tetap menyingirkan agama; tentu dengan gaya
yang berbeda dari gaya komunisme yang radikal. Bila saat ini angka atheisme di negara-negara
Barat angkanya kian meningkat, sebetulnya hal demikian amat wajar sebagai
konsekwensi logis dari sekularisme yang merupakan induk pemikiran dari
neo-liberalisme.
Bila atheisme telah merebak, maka tidak perlu
diherankan bila berbagai masalah turunannya dalam wujud perilaku-perilaku
menyimpang terus bermunculan: bunuh diri, pencurian, perzinaan, hancurnya rumah
tangga, LGBT (homoseksual), spiritulisme ekstrim, serta perilaku menyimpang lainnya.
Akibat agama sudah tidak difungsikan dan hanya diletakkan sebagai konsumsi pribadi,
bukan untuk menyelesaikan masalah publik, maka apa yang bisa diselesaikan oleh
agama malah menjadi semakin tidak terkendali seperti angka bunuh diri yang
cenderung terus meningkat.
Bagi Islam, Allah SWT sejak awal memang sudah
mengingatkan bahwa ancaman-ancaman terhadap Islam bukan hanya dari agama-agama selain
Islam seperti Yahudi dan Kristen, tapi juga dari kaum anti-Tuhan dan
anti-agama. Tokohnya di dalam Al-Quran dicontohkan seperti Firaun yang berkata,
“Dan Fir’aun berkata,...aku tidak tahu ada Tuhan selain aku bagi kalian.” (Al-Qashsash:
38). Al-Quran juga mengingatkan akan ada manusia yang mempertuhankan hawa
nafsunya sendiri, “Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa
nafsunya sebagai Tuhannya dan Allah membiarkannya tersesat dengan
sepengetahuan-Nya. Allah mengunci pendengaran dan hatinya, dan Allah pun
jadikan penutup bagi penglihatannya. Maka siapakah yang mampu memberikan
petunjuk setelah Allah (membiarkannya tersesat), mengapa kamu tidak mengambil
pelajaran? (Al-Jastiyah: 23). Orang semacam ini ditegaskan pada ayat
lanjutannya merupakan orang-orang atheis yang hanya meyakini bahwa kehidupan
ini hanyalah di dunia dan bendawi semata-mata. “Dan mereka berkata,
kehidupan ini tidak lain hanya kehidupan di dunia saja. Kita mati dan kita
hidup; dan tidaklah ada yang dapat membinasakan kita, melainkan masa belaka.
Akan tetapi, mereka tidak memiliki pengetahuan tentang itu (secara meyakinkan),
melain mereka hanya menduga-duga belaka. (Al-Jatsiyah: 24). Wallâhu
A’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar