Oleh: Atip Latifulhayat, Ph.D
Akhirnya, Perppu No. 2/2017 akhirnya sah menjadi UU Ormas baru menggantikan UU Ormas tahun 2013 dengan tarik menarik politik di Komisi II dan akhirnya diambil pemungutan suara pada Sidang Paripurna DPR 24 Oktober 2017. Semula, diharapkan Perppu yang dinilai tidak memenuhi unsur keadilan ini akan ditolak atau diperbaiki di DPR. Namun harapan ini kandas karena tekanan politik lebih kuat. Saat ini, satu-satunya jalur yang masih bisa ditempuh untuk mengingatkan pemerintah bahwa Perppu melanggar adalah melalui Mahkamah Konstitusi. Hingga saat ini, Persatuan Islam (Persis) masih terus menempuh jalur hukum ini untuk memperbaiki Perppu ini.
Perppu ini selain bertentangan dengan konstitusi, juga berpotensi melanggar HAM yang menjadi dasar bagi Perppu ini sendiri. Dalam tulisan singkat ini akan dijelaskan di mana letak pelanggaran HAM dalam Perppu ini. Perppu No. 2/2017 menggunakan prinsip pembatasan HAM sebagaimana yang dianut oleh Bangkok Declaration tahun 1993. Namun, syarat pembatasannya yang tidak sesuai, karena alasan yang digunakan bukan didasarkan kepada hal yang nyata, melainkan asumsi. Dalam konsiderannya antara lain dinyatakan bahwa Perpu ini lahir karena adanya penilaian ada ormas yang dinilai oleh pemerintah sebagai menyimpang atau bertentangan dengan Pancasila. Per-timbangan ini jelas-jelas menempatkan pemerintah sebagai pemilik hegemoni tafsir atas Pancasila yang rentan untuk digunakan secara arbitrer (semena-mena). Seharusnya penilaian itu didasarkan kepada putusan pengadilan, bukan asumsi pemerintah.
Apabila Perppu ini dijalankan, maka hakikatnya pemerintah telah melakukan penyimpangan yang dibenarkan (justified). Clinton Rossiter menyebutnya sebagai constitutional dictatorship (kediktatoran konstitusional), sedangkan Bagir Manan menyebutnya sebagai justified dictatorship. Keadaan bahaya harus didasarkan atas ukuran adanya bahaya yang nyata (clear and present danger) atau bahaya nyata atas ke-tertiban umum (grave and present danger).
Selain adanya pembatasan terhadap kebebasan berserikat dan berkumpul, dengan syarat-syarat tertentu negara dapat melakukan penangguhan (suspension) penghentian (termination) atau pembubaran (dissolution) terhadap suatu asosiasi atau organisasi yang merupakan wadah tempat kebebasan berserikat dan berkumpul tersebut dilaksanakan. Kebebasan berserikat dan berkumpul melekat sepanjang suatu orga-nisasi atau asosiasi tersebut eksis. Oleh karena itu, tindakan negara untuk menangguhkan, menghentikan atau membubarkan secara paksa suatu organisasi merupakan pelang-garan yang sangat serius terhadap kebebasan berserikat dan berkumpul. Tindakan mem-bubarkan suatu organisasi hanya dapat dilakukan apabila negara dapat memenuhi syarat-syarat yang ketat, yaitu adanya ancaman yang nyata dan jelas yang disebabkan adanya pelanggaran terhadap hukum nasional dan hukum HAM internasional. Tindakan pembubaran itu harus dilakukan secara proporsional yang berbasis kepada tujuan yang sah dan sesuai dengan hukum (strictly proportional to the legitimate aim pursued) dan hanya dapat dilakukan apabila tindakan atau upaya yang persuasif dianggap tidak cukup atau tidak memadai.
Merujuk kepada preseden di ILO (International Labour Organization), pembubaran suatu organisasi hanya dapat dilakukan sebagai tindak lanjut dari keputusan pengadilan, karena dengan proses seperti ini dapat memastikan adanya hak untuk membela diri terlebih dahulu. Sehubungan dengan hal ini Komisi HAM PBB menekankan pentingnya negara untuk memfasilitasi dan memberikan perlindungan terhadap kebebasan berserikat dan berkumpul melalui negosiasi dan mediasi. Pemerintah sebaiknya jangan memilih tindakan pemaksaan dalam menertibkan organisasi atau perserikatan. Kalaupun pemerintah pada akhirnya harus mengambil tindakan tegas, tidak boleh dilakukan secara eksesif dan sewenang-wenang.
Untuk memperkuat argumentasi di atas, kasus pembubaran organisasi di Tanzania sebagaimana dilaporkan oleh Komisi HAM PBB dapat dijadikan perbandingan dan bahkan dapat dijadikan rujukan. Tindakan Pemerintah Tanzania yang membubarkan suatu per-himpunan yang bergerak dalam aktivitas kesetaraan gender dinyatakan tidak sah dan dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi setempat. Terhadap kasus ini Komisi HAM PBB memberikan catatan penting bahwa pembubaran suatu organisasi yang hakekatnya adalah konkretisasi dari kebebasan berserikat dan berkumpul hanya dapat dilakukan melalui pengadilan yang bebas dan mandiri (independent and impartial court).
Pembatasan kebebasan berserikat dan berkumpul dan juga pembubaran organisasi-nya mensyaratkan adanya pengadilan yang mandiri dan imparsial. Dengan perkataan lain harus dilakukan dengan proses yang adil atau due process of law. Sebagai negara yang menjunjung tinggi supremasi hukum (negara hukum), eksistensi Perppu harus diletakkan pula dalam bingkai Indonesia sebagai negara hukum. Dalam negara hukum, antara prosedur pembentukan dan substansi hukum, begitu juga penegakan hukum, semuanya harus didasarkan kepada asas dan prinsip-prinsip hukum. Prosedur pembentukan dan subtansi hukum harus tunduk kepada apa yang disebut dengan substantive due process of law. Sedangkan bagaimana hukum itu dijalankan atau ditegakkan harus tunduk kepada apa yang dikenal dengan proceduraldue process of law.
Perppu No.2/2017 tidak memperhatikan dan tidak menghormati due process of law khususnya procedural due process of law. Due process of law bukan konsepsi teknis yang hanya menyangkut teknis dan mekanisme peradilan semata, akan tetapi ia adalah suatu proses dan perlakuan yang adil yang memberi-kan tempat dan kesempatan kepada mereka yang hak dan kebebasannya terancam untuk membela hak-haknya.
Konsep due process of law berasal dari English Common Law yang mendalilkan bahwa seseorang tidak boleh dicabut atau dihilang-kan hak hidupnya, kebebasannya, dan harta miliknya tanpa pemberitahuan dan kesempatan untuk membela hak-hak mereka yang dijamin oleh konstitusi. Magna Charta, kesepakatan yang ditandatangani pada tahun 1215 yang menjelaskan hak-hak rakyat Inggris terhadap Raja, antara lain menjelaskan sebagai berikut: No free man shall be seized, or imprisoned ….except by the lawful judgement of his peers, or by the law of the land”. Frase “the law of the land” kemudian ditransformasi-kan menjadi frase “due process of law”.
Due process of law adalah suatu jaminan konstitusional yang menjamin harus adanya proses hukum yang fair (adil) yang memberi-kan kesempatan kepada seseorang untuk mengetahui proses tersebut dan memiliki kesempatan untuk didengar keterangannya mengapa hak hidup, kebebasan dan harta miliknya dirampas atau dihilangkan. Ia adalah jaminan konstitusional bahwa hukum tidak akan ditegakkan secara tidak rasional, sewenang-wenang (arbitrer), atau tanpa kepastian (capricous). Due processof law adalah prinsip yang mendalilkan bahwa pemerintah harus menghormati hukum, menghormati hak-hak rakyat sebagaimana termaktub di dalam konstitusi, dan melindungi rakyat dari kesewenang-wenangan.
Memperhatikan esensi dan substansi prinsip due process of law, sejatinya ia bukan formalitas terselenggaranya suatu proses peradilan, akan tetapi esensi dari peradilan tersebut yaitu harus dilakukan secara reasonable, just, dan proper. Dengan demikian, adanya pengadilan tidak dengan sendirinya merupakan due process of law, apabila tidak dilakukan dengan reasonable, just, and proper. Misalnya, pengadilan dilaku-kan setelah pemerintah mencabut hak-hak warga untuk berserikat dan berkumpul sebagaimana yang dilakukan oleh Perppu No.2/2017. Proses seperti ini jelas merupakan proses yang undue (yang tidak patut), karena kerugian sudah terjadi (the damage has been done) tanpa ada ruang dan kesempatan membela diri. Bukan suatu pembelaan apabila luka dan kerugian sudah diderita.
Memperhatikan bagaimana esensi dari konsep due process of law, maka substansi Perppu No.2/2017 bukan saja mengingkari, tapi juga melawan prinsip due process of law, karena secara sengaja menghilangkan proses tersebut dalam membubarkan suatu organisasi. Tawaran dari pemerintah kepada pihak yang merasa jadi korban Perppu untuk melakukan pembelaan di pengadilan atas keputusan pemerintah tersebut, alih-alih merupakan due process of law, tidak lain adalah undue process of law.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar