Memasuki tahun baru Hijriyah yang ke-1439, umat Islam di seluruh dunia dihadapkan pada berbagai masalah krusial yang kelihatannya belum menemukan titik terang untuk diselesaikan seperti konflik Syria, Irak, dan Yaman; penjajahan Palestina; genosida Rohingya, semakin melemahnya ekonomi negara-negara Islam, dan sebagainya. Pun demikian di negeri kita sendiri Indonesia. Memasuki tahun baru Hijriyah ini banyak sekali PR yang harus diselesaikan umat Islam. Selain dihadapkan pada masalah-masalah internal seperti pendidikan, ekonomi, dan ukhuwwah yang kadang-kadang tercoreng oleh ulah sekelompok orang tertentu, tantangan eksternal dari pihak-pihak yang sengaja ingin melemahkan umat Islam terus terjadi.
Di tengah berbagai situasi yang dihadapi ini,
ada satu fenomena yang penting dicermati belakangan ini mengenai cara-cara umat
Islam menyikapi berbagai hal yang secara berkala diciptakan menjadi isu di
tengah masyarakat. Seringkali umat menyikapinya dengan sikap-sikap yang lebih
tepat disebut “paranoid”. Paranoid ini sercara teknis sering didefinisikan
sebagai suatu rasa takut terhadap sesuatu yang tidak jelas objeknya seperti
ketakutan terhadap “hantu” yang sebetulnya bertemu pun tidak pernah. Sikap
“paranoid” adalah suatu gejala psikologis negatif, sebab tidak melahirkan
tindakan yang positif dan konstruktif, melainkan sebaliknya seringkali
menyebabkan munculnya tindakan-tindakan destruktif.
Untuk sekedar menyebutkan contoh adalah
munculnya isu kebangkitan kembali Partai Komunis Indonesia (PKI) yang secara
resmi telah dilarang di Indonesia melalui Tap MPR tahun 1966. Isu PKI bagi umat
Islam memang memiliki kenangan tersendiri. Konfrontasi umat Islam dengan PKI
sudah bukan lagi pertentangan pemikiran dan ideologi semata, tetapi telah sampai
pada konfrontasi fisik hingga saling bunuh-bunuhan satu sama lain. Belum lagi,
gara-gara PKI ini banyak perkampungan Muslim di Jawa Tengah yang dikristenkan.
Mereka yang Muslim, tapi terlibat PKI, ditawari untuk mendapat perlindungan
dari gereja agar tidak ikut disangkutpautkan dengan PKI yang sudah dinyatakan
sebagai partai terlarang. Diketahui hampir sekitar dua juta orang dalam waktu
yang singkat berpindah dari Islam menjadi Kristen.
Boleh dikatakan bahwa umat Islam ini sudah
sangat traumatik berhubungan dengan PKI ini. Sejak awal berdirinya tahun 1920,
PKI telah membelah umat Islam dalam organisasi yang sangat besar dan
berpengaruh saat itu, yaitu Sarekat Islam (SI). Tahun 1948, pemberontakan
Madiun yang dirancang PKI menelan korban para ulama dan santri di berbagai
pesantren di sekitar Madiun. Tahun 1960-an ketika Sukarno memberikan angin
keberpihakan pada PKI dalam masa Demokrasi Terpimpin, banyak tokoh umat Islam
dipenjarakan hanya gara-gara tidak setuju pada PKI. Pada tahun-tahun itu pula
kekejaman aktivis PKI terhadap umat Islam yang tidak mau menerima PKI terus
meningkat hingga puncaknya G30S/PKI yang juga menelan korban sangat banyak dari
umat Islam.
Trauma atas kekejaman PKI terhadap umat Islam
inilah yang menyebabkan umat Islam menjadi sangat sensitif ketika diisukan
bahwa PKI bangkit kembali. Mereka yang menjadi korban langsung, baik dirinya
maupun keluarganya, tentu tidak bisa menahan diri untuk tidak segera bereaksi. Amat
wajar bila banyak yang menulis buku tentang apa yang telah dilakukan PKI pada
masa lalu untuk mengingatkan kepada generasi muda atas sepak terjang PKI ini
hingga dilarang di Indonesia. Juga wajar ketika ada yang menawarkan untuk
memutar kembali film G30S/PKI yang sejak tahun 1998 tidak lagi diputar di TVRI
segera disambut antusias oleh umat Islam. Demonstrasi pun banyak digelar hanya
untuk menunjukkan bahwa umat Islam sangat tidak menyukai bangkitnya kembali
partai berlambang palu arit ini.
Hanya saja reaksi terhadap isu bangkitnya
kembali PKI ini kelihatannya lebih banyak dihadapi dengan sikap paranoid, suatu
sikap yang secara psikologis tidak sehat dan secara strategis juga malah akan
melemahkan posisi umat Islam sendiri. Apa indikasi sikap paranoid ini? Di era
media sosial yang memudahkan orang membagikan apa saja amat sering disebarkan
berita-berita tentang bangkitnya kembali PKI dengan bukti-bukti yang sebetulnya
masih harus diteliti secara ilmiah. Misalnya gosip-gosip tentang rapat PKI di
Istana, Kongres PKI yang sudah kesekian kalinya, gosip presiden yang orang tua
aslinya adalah PKI, dan sebagainya. Gosip-gosip semacam ini beberapa waktu ke belakang
berseliweran sebelum menelan korban penangkapan beberapa ustadz yang sering
berceramah tentang kebangkitan PKI ini.
Akibat berita dari media sosial yang tidak
jelas sumbernya ditelan mentah-mentah, apalagi yang isinya seringkali begitu
mencekam dan menyeramkan, muncul sikap-sikap irasional dalam menyikapi isu-isu
semacam ini. Misalnya segala hal yang terjadi kepada umat Islam dengan amat
mudah dihubungkan dengan PKI. Para ulama ditangkap, dikatakan PKI yang menjadi
dalangnya. China memberi pinjaman, dikatakan kolaboratornya PKI di pemerintah
hanya gara-gara di China yang berkuasa adalah Partai Komunis China.
Pengusaha-pengusaha China yang jelas-jelas kapitalis, banyak disebut-sebut
mendanai kebangkitan PKI. Ahok yang China diduga-duga sebagai kaki tangan PKI;
dan sebagainya. Dugaan-dugaan itu ketika dimintakan apa argumentasinya, tidak
satupun yang berdasarkan bukti dan fakta kongkrit. Umumnya hanya dihubung-hubungkan
karena ada satu faktor kesamaan antara PKI pada masa lalu dengan yang terjadi
pada masa kini. Sangat mungkin sambutan umat Islam atas anjuran Panglima TNI
untuk nonton film G30S/PKI pun merupakan buah dari sikap paranoid umat Islam
yang tidak tahu harus melakukan apa bila PKI benar-benar akan bangkit di negeri
ini. Sikap paranoid semacam ini sampai pada taraf tertentu akan sangat mudah
dimanfaatkan oleh pihak-pihak tententu. Dalam situasi ketakutan orang akan
melakukan apa saja yang disarankan orang lain tanpa memikirkannya terlebih
dahulu.
Lantas apa yang harus dilakukan bila PKI
benar-benar bangkit? Bukankah beberapa indikasi seperti seminar-seminar untuk
membersihkan nama PKI, terbitnya buku-buku yang menolak PKI sebagai
pemberontak, semakin banyak anak-anak muda yang bangga menggunakan
simbol-simbol PKI, juga sudah ada beberapa pejabat dan anggota dewan yang
mewacanakan pencabutan tap MPR No.XXV/1966 tentang Pelarangan PKI? Keberadaan
PKI sebagai gerakan yang pernah besar di Indonesia memang tidak bisa dikatakan
mati sepenuhnya. Masih ada pengusung-pengusungnya pada masa lalu yang terus
mewariskan semangat gerakan ini pada generasi yang lebih muda. Apalagi yang
diusungnya adalah ideologi yang pernah berpengaruh di dunia, yaitu komunisme.
Sebagai ideologi, komunisme bisa saja hidup lagi, walaupun di tangan orang yang
tidak pernah besentuhan dengan PKI; juga tidak semua yang pernah terlibat
dengan PKI bertaubat dari ideologi sesat ini. Indikasi-indikasi ini cukup
memberikan alasan bahwa setiap waktu PKI dan ideologi yang diusungnya bisa
bangkit lagi.
Sekalipun ada kemungkinan-kemungkinan ke arah
sana, sikap yang paling teoat dilakukan umat Islam adalah meningkatkan
“kewaspadaan” sambil menyingkirkan “paranoid” akan kebangkitan ideologi ini. Kewaspadaan
ditunjukkan dengan kemampuan menggali data-data objektif. Bila yang
dikhawatirkan adalah bangkitnya PKI, maka sebelum melakukan tindakan apapun
yang dilakukan adalah menggali informasi sebanyak-banyaknya tentang
perkembangan gerakan ini. Bila perlu dibentuk satu kelompok gerakan khusus yang
bertugas menggali data-data tentang perkembangan gerakan PKI ini. Data-data ini
kemudian diolah secara ilmiah untuk menghasilkan kesimpulan yang benar dan
akurat. Mengetahui dan memetakan massalah merupakan setengah lebih dari
penyelesaian terhadap masalah tersebut.
Apabila data-data sudah didapatkan, maka
tindakan yang muncul dari kewaspadaan adalah tindakan-tindakan yang rasional
dan terukur; bukan tindakan membabi-buta yang tidak jelas apa sasaran dan
targetnya. Bagi kaum Muslim, menghadapi suatu ideologi dan aliran menyimpang,
tentu yang harus didahulukan adalah “dakwah”. Mendakwahi meraka untuk kembali
ke jalan yang benar adalah tindakan utama sebelum melakukan penghukuman. Bila
kita sudah tahu di mana peta-peta penyebaran ideologi ini, maka dakwah harus
segera diarhkan ke sana dengan berbagai pendekatan. Pada umumnya ideologi
komunisme ini akan tumbuh subur di masyarakat miskin; maka dakwah pun harus
dibarengi dengan pendekatan ekonomi dengan memanfaatkan zakat, infak, shadaqah,
dan wakaf. Bila mereka sudah bergerak di ranah kekuasaan, maka umat Islam pun
hars bergerak ke sana, juga dengan visi dakwah. Ini hanya sekedar contoh.
Secara teknis banyak kreativitas yang bisa dibuat umat Islam. Intinya,
kewaspadaan terhadap munculnya gerakan ini akan ditandai dengan
tindakan-tindakan yang benar dan rasional. Inilah yang harus dilakukan umat
Islam menghadapi kemungkinan bangkitnya kembali PKI. Wallahu A’lam bi
Al-Shawwab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar