Oleh: Tiar Anwar Bachtiar
Setiap tanggal
2 November seharusnya umat Islam di seluruh dunia harus “memerahi” kalender
mereka dan memberikan perhatian khusus. Mengapa demikian? Tepat pada tanggal
inilah seabad yang lalu, tepatnya pada tahun 1917, diumumkan “Deklarasi
Balfour” oleh Menteri Luar Negeri Inggris yang menjadi titik awal kekalahan
telak umat Islam dari bangsa-bangsa Kristen Eropa. Selain pada tahun itu, Turki
Usmani berhasil dilumat dalam Perang Dunia I oleh kekuatan Inggris dan
sekutunya, Deklarasi Balfour telah mengizinkan kawasan Baitul Maqdis menjadi
tempat tinggal orang-orang Yahudi. Inilah awal mula petaka yang dihadapi umat
Islam seluruh dunia hingga saat ini.
Kekalahan Turki
Usmani dalam Perang Dunia I (1914-1917) dari Inggris dan sekutunya telah
mengubah peta politik di Timur Tengah. Usmani yang semula menjadi penguasa atas
kawasan ini harus kehilangan banyak wilayah di bawah kekuasaannya di Tmur
Tengah, tidak terkecuali kawasan Baitul Maqdis (Islamicjerussalem).
Kawasan ini sudah sejak lama menjadi incaran Inggris dengan alasan ingin
merelokasi orang-orang Yahudi yang bermasalah di Eropa; walaupun mungkin motif
agama dan balas dendam Perang Salib ada di belakang itu. Akan tetapi,
berkali-kali Sultan Abdul Hamid menolak permintaan Inggris dan komunitas Yahudi
untuk membangun pemukiman resmi dan permanen untuk Yahudi di Baitul Maqdis,
walaupun posisi Usmani sudah semakin lemah saat itu. Setelah kalah dalam Perang
Dunia I, Usmani tiada kuasa lagi mencegah ketika Arthur Balfour mengeluarkan
pengumuman bolehnya orang-orang Yahudi membangun pemukiman di kawasan ini,
karena saat itu Baitul Maqdis secara de jure berada di bawah kekuasaan
Inggris. Pemberian Inggris atas wilayah Baitul Maqdis dan beberapa kawasan di
sekitarnya yang kemudian diberi nama Palestina kepada Zionis-Yahudi ini
merupakan bagian dari kesepakatan atas dukungan Zionis internasional terhadap
Inggris pada Perang Dunia I.
Sejak tahun
1917 ini dibuat suatu kesepakatan aneh yang tidak pernah terjadi dalam sejarah
antara Inggris dengan Yahudi. Tepatnya tanggal 2 November 1917, Menteri Luar
Negeri Inggris Arthur Balfour menjanjikan kepada bangsa Yahudi bahwa mereka
akan dibangunkan tanah-air khusus bagi bangsa Yahudi di kawasan yang oleh
Inggris dinamai Palestina. Ini jelas aneh. Bangsa Yahudi tidak pernah menghuni
kawasan ini; tidak pernah juga ikut menaklukkannya, walaupun Yahudi berada di
pihak Inggris pada Perang Dunia I. Tiba-tiba bangsa yang tidak punya hak
apa-apa di tanah ini ingin membangun negaranya di sini. Dari sinilah kezhaliman
dimulakan di Baitul Maqdis. Apalagi pada tanggal 9 Desember 1917 Jendral
Allenby berhasil menaklukkan Baitul Maqdis dan menganggapnya sebagai kemenangan
Perang Salib.
Kejatuhan
Baitul-Maqdis ke tangan Inggris ini kemudian secara bertahap diikuti dengan
runtuhnya Kekhalifahan Usmani di Istanbul. Mula-mula Turki Muda berhasil
melemahkan peran Khalifah yang kalah perang hanya sebagai simbol keagamaan.
Akan tetapi kemudian pada bulan Maret 1924, secara resmi institusi kekhalifahan
dihapuskan dan didirikan Negara Turki sekuler sebagai suatu negara bangsa.
Dalam banyak riset disebutkan bahwa keruntuhan Usmani ini lebih disebabkan
semakin melemahnya kekuasaan Khalifah daripada disebabkan karena kekalahan
dalam perang. Salah satunya karena semakin kokohnya gerakan Turki Muda yang
berkolaborasi dengan Inggris dan Zionis Yahudi yang menggerogoti kekuasaan
Khalifah.
Runtuhnya
kekhalifahan Usmani menyebabkan situasi di Baitul Maqdis semakin memburuk.
Inggris melepaskan kawasan Baitul-Maqdis
secara keseluruhan dari Syria sesuai dengan kesepakatan dengan Prancis
tahun 1916 (Perjanjian Sykes-Picot) dan membentuk kawasan sendiri setelah
kawasan ini ditaklukkan yang dinamakan “Palestina”. Kawasan ini, termasuk Baitul
Maqdis di dalamnya, setelah dikuasai Inggris kemudian diserahkan
kepemimpinannya kepada seorang Yahudi bernama Herbert Samuel antara tahun
1920-1925. Sampai berdirinya Negara Israel pada tahun 1948, penguasa-penguasa
di Palestina yang diangkat Inggris semuanya dalam rangka memuluskan misi
pendirian negara bagi orang-orang Yahudi dan mengusir bangsa Arab-Baitul Maqdis
dari tanah mereka sendiri.
Setelah Israel
berdiri tahun 1948 secara resmi, maka penjajahan atas Baitul-Maqdis semakin
kokoh lagi. Apalagi, untuk kedua kali blok Barat yang kali ini dipimpin oleh
Amerika memenangi lagi perang besar dunia, yaitu Perang Duni II pada tahun
1945. Amerika yang bersekutu dengan Inggris, Prancis, Rusia, dan China menjadi
satu “imperium” dunia baru yang sangat mengendalikan gerak sejarah dunia pada
masa-masa sesudahnya hingga saat ini. Dunia kembali dikuasai metamorfosis
kekuatan “Romawi” untuk kedua kalinya setelah Muhammad Al-Fatih meruntuhkan
Benteng Konstantinopel pada 1453 M sebagai penanda puncak penguasaan Islam atas
dunia. Islam sendiri telah mengurangi banyak pengaruh Romawi sejak Umar ibn
Khattab menaklukkan Illia (Palestina) pada masa kekhalifahannya. Ini menjadi
awal dari kebangkitan kekuatan Islam menguasai dunia, termasuk menguasai
kawasan Eropa.
Sejak masa
kekuasaan Islam hingga kekuasaan Eropa Barat saat ini, ternyata Baitul Maqdis
menjadi titik tolak munculnya kekuatan yang akan menjadi “raja” dunia. Saat
Umar ibn Khattab berhasil menaklukkan Baitul Maqdis, maka generasi berikutnya
dengan sangat optimis akan berhasil menaklukkan dunia; dan cita-cita ini
terwujud. Saat umat Islam mulai melemah karena konflik dan kemewahan pada masa
akhir periode Abbasiyah, bangsa-bangsa Eropa memanfaatkan situasi untuk kembali
ke gelanggang menjadi penguasa dunia. Yang menjadi sasaran utama mereka sebagai
titik tolak untuk kembali menguasai dunia adalah Baitul Maqdis. Mereka berusaha
sekuat tenaga untuk mendapatkannya kembali dan berhasil pada Perang Salib I
tahun 1097. Selama lebih kurang 90, bangsa-bangsa Eropa berhasil menguasai
kawasan ini. Mereka sudah sangat optimis bisa kembali menjadi “raja dunia”.
Namun, angan-angan itu kandas di tangan Shalahuddin Al-Ayyubi yang berhasil
merebut kembali kawasan Baitul Maqdis pada Perang Salib III tahun 1187 M.
Kembalinya
Baitul Maqdis ke tangan umat Islam menandakan bahwa kekuatan dunia masih ada di
tangan umat Islam. Bahkan tidak lama setelah itu, justru Konstantinopel yang selama
belasan abad tidak ada yang berhasil menembusnya dapat diruntuhkan oleh pasukan
Muslim pimpinan Sultan Mehmet II Al-Fatih dari dinasti Usmani di Turki pada
tahun 1453. Kekuatan Islam pun menjadi semakin kuat mengontrol dan memberikan
kesejahteraan pada dunia di berbagai kawasan.
Rupanya,
jatuhnya Konstantinopel ke tangan kaum Muslim telah membakar api dendam kesumat
bagi negara-negara Eropa pecahan Romawi ini. Paus di Roma dengan sangat
bersemangat membuat Perjanjian Tordesillas 1494 yang memerintahkan Spanyol
untuk menyusuri dunia ke sebelah utara dan Portugis ke sebelah selatan. Peristiwa
ini telah membuka jalan bagi kerajaan lain seperti Inggris, Jerman, Prancis,
Itali, Belanda, dan lainnya untuk menemukan berbagai kawasan, terutama di Afika
dan Asia, untuk dijajah dan dikuasai satu per satu. Secara khusus mereka
berusaha menaklukkan kawasan-kawasan yang dikuasai oleh kaum Muslim. Sejak saat
ini, sedikit demi sedikit dunia menyaksikan dimulainya Era Kolonialisme
bangsa-bangsa Eropa atas berbagai kawasan di Asia dan Afrika yang sebagian
besarnya Muslim, termasuk di dalamnya kawasan Indonesia.
Abad ke-19 dan
20 merupakan puncak kolonialisme Eropa. Eropa diantarkan secara bertahap menuju
singgasana kekuasaan dunia mengembalikan kejayaan Romawi dahulu. Pada saat yang
sama, kekuatan kerajaan-kerajaan Islam, terutama Usmani yang saat itu
dipercayai sebagai pemegang tampuk “kekhalifahan” yang menjadi payung untuk
kerajaan-kerajaan Islam di seluruh dunia, semakin melemah. Sebab utamanya
selalu berulang, yaitu kemewahan, perebutan kekuasaan, dan komitmen yang rendah
dalam menjalankan ajaran Islam.
Sebagai titik
balik pertama yang menandai come back-nya Eropa ke panggung kekusaan
dunia adalah kesuksesan Inggris menempatkan Yahudi di Baitul Maqdis dan
mengontol kawasan ini sepenuhnya setelah berdirinya negara Israel tahun 1948. Saat
ini, sudah seabad Baitul Maqdis ada di tangan anak keturunan Romawi. Selama itu
pula kita menyaksikan betapa lemahnya umat Islam di seluruh dunia. Umat Islam
benar-benar ada di bawah jari telunjuknya neo-Romawi dalam segala hal: politik,
militer, ekonomi, sosial, budaya, dan bahkan agama. Sampai kapan ini akan terus
berlangsung? Baitul Maqdis yang akan menjawabnya. Kapankan umat Islam akan
kembali menguasainya? Saat itulah umat Islam akan kembali ke gelanggang dunia
untuk membuktikan Islam sebagai Rahmatan lil Alamin; pembawa kebaikan
bagi dunia. Wallâhu A’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar