Oleh: H. Deni Solehudin
Suasana menjelang PILKADA serentak tahun
2018 ini nampak dan terasa makin ramai. Sebagai bagian dari sebuah bangsa, kita
tidak bisa melepaskan diri dari keterlibatan, minimal keterpengaruhan dengan
hiruk pikuk kegiatan politik. Apalagi jika kita menyadari bahwa masalah siyasah
dan ketatanegaraan adalah bagian integral (tak terpisahkan) dari
syari'at Islam. Sebagian masyarakat muslim memahami syari'at Islam itu sebatas
Rukun Islam, ada juga yang memahaminya sebatas hukum hudud, seperti
potong tangan bagi pencuri, cambuk bagi pemabuk, dan rajam bagi penzina.
Padahal cakupan Syari'at Islam itu bagitu luas. Menyangkut masalah-masalah :
akidah, ibadah, mu'amalah, munakahah, akhlak, ekonomi, budaya, keamanan dan pertahanan,
pendidikan, sosial kemasyarakatan serta politik dan ketatanegaraan.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh
Imam Ahmad dari sahabat Abu Umamah Al-Bahili, Rasulullah shollallahu alaihi
wasallam bersabda : Ajaran Islam itu akan lenyap dari tangan kaum
muslimin satu persatu, setiap kali satu ajaran hilang, maka akan diikuti dengan
lenyapnya bagian dari ajaran Islam yang lainnya. Ajaran yang akan pertama
lenyap adalah masalah pemerintahan, dan yang terakhir lenyap adalah ajaran
tentang shalat. Pernyataan Nabi saw ini tentu bukan sebuah ramalan,
melainkan sebuah tadzkirah atau peringatan yang harus menjadi perhatian kaum
muslimin semua. Ajaran tentang shalat menjadi bagian yang terakhir lenyap,
karena penanaman keyakinan dan kesadaran akan posisi shalat dalam kehidupan
seorang muslim sudah begitu mantap. Doktrin-doktrin seperti : Shalat itu
salah satu rukun Islam, Shalat itu tiangnya agama, shalat yang lima waktu itu
wajib, Orang yang meninggalkan shalat sama sekali dinyatakan kafir, Nabi saw
tidak mau menyalatkan orang yang mati ketika hidupnya tidak pernah shalat, amal
yang akan pertama kali dihisab adalah shalat, dsb. Doktri-doktrin tersebut
terhujam kuat dalam sanubari, tertanam kokoh dalam fikiran. Wajar menjadi
bagian dari ajaran Islam yang terakhir lenyap. Sementara masalah pemerintahan
menjadi bagian ajaran yang
lenyap, mungkin karena selama ini perhatian kita tentang masalah yang satu ini
relatif kurang, kalaupun terlibat hanya sebatas partisipan. Bahkan
sering dipandang soal pemerintahan itu adalah urusan "orang lain ",
maka tidak heran jika pemerintahan itu sering jatuh ke tangan " orang lain
" ( yakni mereka yang tidak memiliki keberpihakan bahkan kadang memusuhi
Islam dan muslimin). Ketika kebijakan yang mereka buat merugikan Islam dan muslimin,
baru menyesalinya.
Dalam Islam jabatan dan kedudukan
bukanlah semata-mata anugrah, tapi juga amanah, yang harus dipertanggung
jawabkan, bukan hanya di hadapan rakyat,
tapi terutama di hadapan mahkamah Allah Yang Maha Adil kelak. Jika seseorang mendapatkan jabatan dan
kedudukan bukan dengan cara yang haq , tapi dengan cara-cara bathil, dengan menghalalkan segala cara, seperti politik uang dengan segala macam bentuknya,
dengan menyebar fitnah (hoax), dengan menempuh cara-cara mistik dan
syirik, dsb. Kemudian setelah ia menduduki jabatan dan
kedudukan itu ia menipu, ingkar atas janji-janjinya, korup,
dan zalim, maka jabatan dan kedudukan itu hanya akan menjadi kehinaan dan
penyesalan di hari kiamat, dan ia akan
diharamkan masuk surga. Rasulullah shollallahu
alaihi wasallam. bersabda : " Sesungguhnya jabatan itu adalah
amanat, dan pada hari kiamat akan menjadi kehinaan dan penyesalan, kecuali
mereka yang mendapatkan jabatan itu
dengan cara yang haq ( atau ia
orang yang paling berhak ) dan ia menunaikan tugas dan kewajiban yang ada pada
jabatan itu ( termasuk memenuhi janji-janjinya ) "
HR Muslim. Dalam
hadits lain Beliau
bersabda : " Seorang hamba yang oleh Allah dipercaya
untuk memimpin sebuah bangsa, lantas ia mati, dan ketika memimpin ia
menipu ( zalim ) terhadap rakyatnya,
pasti Allah mengharamkan baginya masuk surga . " HR. Al-Bukhari dan Muslim.
Dan yang akan dipinta pertanggung jawaban
oleh Allah swt bukan saja mereka yang dipilih sebagai pemimpin, tapi para pemilihnya juga sama, akan dipinta
tanggung jawab. Nabi shollallahu
alaihi wasallam Mengingatkan : Barangsiapa yang mengangkat seseorang
menjadi pemimpin atas dasar ta'ashub ( fanatisme buta), padahal di tengah
mereka masih ada orang-orang yang diridlai oleh Allah, maka ia telah berkhianat
kepada Allah, Rasul-Nya dan orang-orang beriman ( HR. Al-Hakim). Memilih
pemimpin hanya karena ikatan emosional, tanpa memperhatikan kelayakan dan
kriteria yang dikehendaki Allah dan
Rasul-Nya, apalagi hanya karena iming-iming materi, akan menjadi berat
pertanggungjawabannya kelak. Pertanggungjawaban seorang pemimpin di hadapan
Allah swt kelak akan menjadi ringan, jika ia mendapatkan jabatan itu karena ia
adalah orang yang layak mendapatkannya, ia mendapatkan jabatan itu dengan
cara-cara yang baik dan benar, bukan dengan cara-cara, culas, licik dan kotor.
Hisyam bin Urwah meriwayatkan hadits Nabi shollallahu alaihi wasallam
yang menyatakan bahwa pemimpin itu ada
yang baik, ( taqwa, jujur, adil , cerdas dan berakhlakul karimah ) dengan
segala macam kebaikannya, dan ada pemimpin yang buruk, ( jahat, zalim, dan korup, ) dengan segala
macam keburukannya. Pemimpin bertaqwa akan selalu menghindarkan diri dari
perbuatan maksiat dan zalim. Pemimpin yang
jujur akan menumbuhkan kepercayaan rakyat dan jauh dari tindak korupsi
dan kolusi yang di negri ini sudah menjadi kejahatan luar biasa. Pemimpin yang
adil akan melahirkan ketentraman bagi seluruh rakyat dan mendatangkan berkah
dan rahmat Allah. Pemimpin yang cerdas dan visioner akan bisa membawa sebuah
bangsa ke arah yang lebih baik dan maju.
Pemimpin yang berakhlakul karimah akan menjadi panutan rakyatnya, dan akan
mendahulukan kepentingan rakyat dari pada kepentingan pribadi dan kelompoknya.
Bagaimana bisa seseorang bertindak
jujur, jika ia lebih percaya kepada mistik dan takhayyul dari pada iman kepada
Allah swt ? Bagaimana ia bisa berbuat
adil, mampu menegakkan hukum, memberantas korupsi dan kolusi, dan munkarat
lainnya, jika ia naik menjadi pemimpin dengan uang hasil
korupsi atau dengan dukungan para koruptor, konglomerat hitam, atau Bandar
togel ? atau ia mendapatkan jabatan dan
kedudukan itu dengan cara-cara kotor dan machiavelis ? Bagaimana seorang pemimpin bisa membawa
bangsanya menjadi bangsa yang mandiri, jika ia lebih berpihak kepada
kepentingan dan hegemoni asing dari pada
kepada rakyatnya sendiri ? dst. Pemimpin
yang zalim, jahat dan korup hanya akan membawa sebuah bangsa kepada kehancuran dan laknat Allah.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Hakim, Rasulullah shollallahu
alaihi wasallam Menyatakan bahwa
kondisi pemimpinmu mencerminkan kondisi rakyat yang dipimpinnya.
كما تكونوا يولى عليكم – ر الحاكم
Sebagaimana keadaan kamu, begitulah
diangkat pemimpin untuk kamu. H.R. al-Hakim
Dalam kitab An-Nihayah hadits tersebut
dijelaskan bahwa jika rakyat beriman, beramal sholeh, jujur, dan cerdas ,
maka yang akan tampil sebagai pemimpin mereka adalah orang yang punya
karakteristik seperti itu. Tapi jika rakyatnya
terdiri dari orang-orang yang jahat, senang maksiat, senang merusak,
maka yang akan tampil sebagai pemimpin mereka juga manusia seperti itu. Bagi sekelompok santri tentu tidak akan
memilih koruptor sebagai pemimpin mereka. Sebaliknya bagi segerombolan
pencoleng tidak akan memilih ustadz sebagai pemimpin mereka, mereka pasti akan
memilih " Super pencoleng " . Nabi saw. pernah mengingatkan pula
bahwa barang siapa yang memilih seseorang sebagai pemimpin hanya atas dasar
ta'ashub ( fanatisme buta ) tanpa menjadikan
petunjuk Alah dan rasulNya
sebagai barometer, maka ia telah berkhianat kepada Allah, Rasul-Nya dan
orang-orang beriman ( HR. Muslim ).
Allah
SWT. telah mengingatkan :
Kamu tidak akan mendapati sesuatu
kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan
orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu
bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka.
Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati
mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. (QS. Al Mujadalah: 22)
Siapapun yang tampil memimpin bangsa ini ke depan, akan menjadi cerminan
kondisi dan kwalitas ilmu dan iman mayoritas bangsa ini. Wallohu a'lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar