Oleh:_H.T. Romly Qomaruddien, MA.
Selalu hangat untuk dibincangkan, selalu seksi untuk didiskusikan.
Kehadirannya laksana pahlawan di atas pahlawan, menjadi kata tuntas untuk
segala persoalan. Itulah Hak Asasi Manusia (HAM) yang sejak digelindingkannya
oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tertanggal 10 Desember 1948 dan dikenal
dengan _Declaration Of Human Right_ atau _Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia_ yang disingkat DUHAM telah menjadi juru penolong bagi yang
menginginkan untuk keluar dari kemapanan. Karenanya, perlu dicermati gagasan
yang pernah disampaikan Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra yang menganggap penting
adanya konsep Hak Asasi Manusia secara _religius_. Maka Komite Indonesia untuk
Solidaritas Dunia (KISDI) yang digagas _Allaahu yarham_ Dr. Mohammad Natsir
mulai membicarakan pentingnya Hak Asasi Manusia perspektif Islam yang
diselenggarakan pada tanggal 10 Desember 1996 dalam rangka mengenang
detik-detik sejarah disahkannya HAM di PBB.
Kini deklarasi ini sedang mendapatkan tempatnya, di mana berbagai
polah dunia ketiga bermunculan dan mendapatkan pembenaran serta pembelaan
hampir di setiap lini kehidupan; baik ideologi, politik, sosial, ekonomi, hukum
dan budaya. Demi keamanan politik semesta, Amerika dibolehkan menyerang
Afghanistan, Iraq dan negara-negara lain yang dianggap mengganggu ketertiban
dunia. Dibenarkannya Rusia menggempur Checnya, Israel merampas Palestina, Rezim
Bashar Asad menghabisi warganya yang sunni atas nama pembelaan diri dan
menyelamatkan kemanusiaan dari para pemberontak kontra pemerintah. Demikian
pula dengan pesta "keroyokkan" tentara Syria, angkatan udara Vladimir
Puttin dan milisi pendukung Revolusi Syi'ah dalam meluluh lantahkan kota-kota
peradaban Islam. Semua itu menggambarkan, ada banyaknya berbagai kepentingan
_superior_ kepada _inferior_ dalam geo-sosial politik dan geo-ekonomi yang
tengah dimainkannya.
Dalam perkembangannya, justeru sekarang terjadinya peralihan yang
sangat dahsyat, di mana issue HAM lebih diarahkan kepada berbagai permasalan
pemikiran, ideologi dan kebudayaan. Kebebasan menentukan keyakinan/ ideologi
seperti halnya pindah agama (murtad), nikah beda agama, memproklamirkan LGBT,
menghidupkan aliran-aliran yang menyimpang dan keluar dari arus utama. Tuntutan
perlindungan hukum bagi eksponen yang diduga mengembangkan dan membangkitkan
paham komunisme (Marxisme, Leninisme dan stalinisme dan lain-lain), revolusi
syi'ah yang semakin menemukan bentuknya, pengajuan kaum Bahaiyyah untuk
menjadi agama baru dan upaya peninjauan terhadap undang-undang yang telah
diputuskan pemerintah sebelumnya menjadi bukti kuat bahwa "permainan sudah
dimulai".
Pemberlakuan UU No.1/PNPS/1965 pada dasarnya memiliki dampak yang
siginifikan bagi kehidupan beragama di Indonesia. Ketentuan hukum tersebut
secara eksplisit mengatur tindakan penyimpangan, penodaan agama, juga melarang
penyebaran ajaran atheisme.
Dalam perkembangannya UU No.1/PNPS./1965 dinilai tidak sesuai
dengan UUDN RI 1945 baik dari segi juridis formil maupun materiil. Permohonan
pengujian Undang-Undang pun diajukan untuk memperjelas konstitusionalitas UU
No.1/PNPS/1965 yang justru dinilai menghambat kehidupan beragama. Dan sekali
lagi issue HAM menjadi senjata utama untuk menggugat UU tersebut.
Dalam konteks hari ini, seperti halnya Jemaat Ahmadiyah (JAI)
yang begitu sedang gigih-gigihnya memanpaatkan judicial review di
Mahkamah Konstitusi dalam menggugat UU No.1/PNPS./1965 yang menurut mereka multitafsir
dan kerapkali dijadikan dalil oleh kelompok mainstream dalam menghukumi
ajaran ideologi lain di luar kelompoknya.
Secara normatif, UU No.1/PNPS/1965 terutama pasal 1 justru
memberikan perlindungan bagi masyarakat Indonesia untuk memperoleh ajaran agama
yang benar sesuai dengan ajaran pokok dari Kitab Suci masing-masing agama.
Memang pada dasarnya penerapan ajaran agama diperoleh dari kegiatan penafsiran
terhadap Kitab Suci tetapi untuk dapat dinilai sahih (benar atau tidaknya)
hasil penafsirsan ini tetap harus merujuk pada Kitab Suci itu sendiri. Tidak
dapat diungkiri dalam praktek beragama, banyak dijumpai berbagai macam hasil
penafsiran terhadap Kitab Suci yang berbeda satu dengan lainnya. Akan tetapi
harus dipahami dasarnya, bahwa perbedaan itu harus tetap berada dalam konteks
ajaran yang benar dan tidak boleh menyimpang dari ajaran yang pokok. Bagi
seseorang yang akan memahami suatu suatu teks Kitab Suci pun tidak boleh
sembarangan menggunakan metode penafsiran. Seseorang ini harus benar-benar
memahami dasar penafsiran yang benar sesuai dengan kontekstual Kitab Suci
masing-masing agamanya. Implikasinya, setiap orang dapat melakukan pemahaman
terhadap ajaran agamanya dengan tetap mendasarkan diri pada pokok-pokok ajaran
yang benar seperti tercantum dalam Kitab Suci-nya.
Hak
beragama merupakan hak yang dilindungi Konstitusi sehingga harus dijaga
keberlakuannya seperti diatur dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia, pasal 22. Kebebasan untuk memeluk agama dan kemerdekaan beribadat
menurut agama dan kepercayaan pada dasarnya merupakan salah satu bentuk hak
asasi manusia yang pada pelaksanaannya tidak boleh mengganggu hak asasi manusia
lainnya, tidak boleh mengganggu atau bahkan merusak ajaran agama lainnya.
Apabila kembali pada Islam, adanya perlindungan terhadap Hak Asasi
Manusia, bukanlah barang baru. Bagaimana Islam menjaga dan menghargai jiwa
manusia; larangan melenyapkan nyawa tanpa hak, menjunjung tinggi keadilan dan
persamaan, perlakuan terhadap wanita, etika bermasyarakat sampai etika perang
dan lain-lain telah diatur sedemikian rincinya dalam Al-Qur'an, sunnah
nabi-Nya, pandangan ahli ilmu dan data-data sejarah. Karenanya sangat wajar,
bila seorang A.J. Wensinck dan Montgomery Watt (dua-duanya Orientalist) tidak
dapat menyembunyikan temuannya, kalau Islam itu sangat menghargai Hak Asasi
Manusia. Hal ini dibuktikan dengan wujudnya "Medina Charter", yaitu
Perjanjian Madinah (mitsaq madienah) yang sangat menghargai kebinekaan, heterogenitas
dan nilai-nilai kemanusian yang harus dihargai dalam bentuk kesepakataan bersama
(mu'aahadah).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar