Oleh : KH. Shiddiq Amien
Tulisan Ust Shiddiq Amien (Rahimahullohu) ini
sengaja kami muat kembali, untuk mengingatkan ikhwatu iman bagaimana sepak
terjang dan gigihnya orang-orang Ahmadiyah dan para pembelanya sampai sekarang
berjuang untuk diakui sebagai bagian dari ajaran Islam dan tidak menjadi
keyakinan yang menodai ajaran Islam itu sendiri.
Mantan Presiden petama RI-
Ir.Soekarno- dalam bukunya, Di Bawah Bendera Revolusi, jilid 1, Gunung
Agung Jakarta, 1963, hal. 345 menulis : “ Saya tidak percaya bahwa Mirza
Ghulam Ahmad seorang nabi, dan belum percaya pula bahwa ia seorang mujaddid
(pembaharu) “. Jauh sebelum Bung Karno
Ustadz A.Hassan pada tahun l930-an telah menunjukkan kesesatan Ahmadiyah
melalui perdebatan fenomenal dengan tokoh Ahmadiyah, Abubakar Ayub.
Muhamadiyyah juga telah menyatakan bahwa yang mempercayai Mirza Ghulam Ahmad
sebagai nabi dalah kafir.
Di Pakistan yang merupakan tempat lahir
Ahmadiyah, pertentangan dan konflik antara umat Islam dengan Ahmadiyah berlangsung
sejak Mirza masih hidup. Pada tahun 1933 saat Pakistan masih bersatu dengan
India, para ulama dan masyarakat muslim turun ke jalan-jalan di Lahore menuntut
agar Ahmadiyah dinyatakan sebagai non muslim. Pergolakan sosial waktu itu
memaksa penguasa Hindu untuk meminta pendapat para intelektual, antara lain Sir
Muhammad Iqbal. Menjawab pertanyaan Pandit Jawaharlal Nehru, Perdana Mentri
India waktu itu , Iqbal menegaskan bahwa wahyu kenabian sudah final dan
siapapun yang mengaku dirinya sebagai nabi penerima wahyu setelah Muhammad saw
adalah pengkhianat terhadap Islam. Iqbal menangkap banyak kemiripan antara
Ahmadiyah dengan Babiyah di Persia (Iran), yang pendirinya mengklaim mendapat wahyu. Menurut Iqbal kedua
tokoh aliran sesat ini merupakan alat politik “belah bambu” kolonial Inggris di
India, dan imperialis Rusia yang menjajah Asia Tengah dan sebagain Persia.
Akidah mereka adalah kepasrahan kepada penguasa penjajah (political servility).
Jika pemerintah Rusia mengizinkan Babiyah membuka markas mereka di Ishqabad,
Turkmenistan, pemerintah Inggris merestui Ahmadiyah mendirikan pusat kegiatan
mereka di Woking, tenggara England. (
Islam and Ahmadism, Islamabad, 1990:8).
Pada 1953, konflik kembali terjadi. Syed
Abul A’la Maududi bersama masyarakat Pakistan kembali mendesak pemerintah
Pakistan untuk menetapkan Ahmadiyah bukan Islam. Pengadilan militer Pakistan
waktu itu malah memenjarakan Maududi. Dua puluh tahun kemudian, pemerintah
Pakistan tidak melihat lagi cara yang terbaik dalam menyelesaikan masalah Ahmadiyah,
kecuali mengakomodasi tuntutan umat Islam dengan menyatakan Ahmadiyah sebagai
non-Islam. Keputusan itu dituangkan dalam amandemen Konstitusi Pakistan tahun
1973 dan diumumkan oleh Majelis Nasional Pakistan tahun 1974.
Konfrensi Organisasi-Organisasi Islam
Se-Dunia yang diadakan di Makkah Al-Mukarramah pada tanggal 14-18 Rabiul Awwal
1394 H/ 1973M telah menetapkan bahwa
Ahmadiyah itu kafir dan di luar Islam.
Prof.Dr.Wahbah Az-Zuhaili, ulama anggota
Majma’ Fiqh Al-Islami, dalam kitab Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu (8:5082)
mengutip keputusan Fatwa Majma’Fiqh Al-Islami tentang Al-Qadiyaniyah,
disebutkan bahwa Majlis Majma Fiqh Al Islami dari Munadzamah Al Mu’tamar Al
Islami dalam Muktamar ke 2 di Jeddah, 10-16 Rabi’u Tsani 1406 H/ 22-28 Desember
1985, setelah mengkaji secara mendalam telah menyatakan bahwa Ahmadiyah baik
Qadianiyah maupun Lahoriyah adalah murtad, di luar Islam. Majelis Ulama
Indonesia (MUI) dalam Munas ke-2 tgl 26 Mei s/d 1 Juni 1980 juga menetapkan hal
yang sama bahwa Ahmadiyah di luar Islam, sesat dan menyesatkan. Fatwa itu kemudian
dipertegas kembali pada Munas MUI Juli
2005. Terakhir pada tanggal 16 April
2008 Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat (Bakorpakem)
menyatakan bahwa Jemaat Ahmadiyah Indonesia sebagai kelompok sesat dan
merekomendasikan perlunya diberi peringatan keras lewat suatu keputusan bersama
Menteri Agama, Jaksa Agung dan Mentri Dalam Negeri sesuai dengan UU
No.1/PNPS/1965 agar Ahmadiyah menghentikan segala aktifitasnya. Menurut Kepala
Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama, Atho Mudzhar, yang juga ketua Tim
Pemantau, selama tiga bulan Bakorpakem memantau 55 komunitas Ahmadiyah di 33
kabupaten. Sebanyak 35 anggota tim pemantau telah bertemu 277 warga Ahmadiyah,
ternyata ajaran Ahmadiyah tetap menyimpang. Di seluruh cabang, Mirza Ghulam
Ahmad (MGA) tetap diyakini sebagai nabi setelah Nabi Muhammad saw. Mereka juga
meyakini bahwa kitab
Tadzkirah adalah kumpulan wahyu yang diterima MGA.
Ahmadiyah di Indonesia sepertinya begitu
percaya diri, mengingat banyak pihak yang dengan gigih membela kesesatan mereka
(sampai kini- red). Majalah Mingguan Tempo edisi Mei 2008 meminta
agar para ulama segara meminta maaf kepada penganut Ahmadiyah. Adnan Buyung
Nasution salah seorang anggota Dewan Pertimbangan Presiden dengan gaya
meledak-ledak dan provokatif sepertinya siap mati demi membela ajaran nabi
palsu made England ini. Ade Armando dalam tulisannya di Majalah Madina dalam
judul : Preman Berjubah, Pemerintah dan Ahmadiyah, juga tampil sebagai
tameng bagi Agama Ahmadiyah. Yang dia maksud dengan “preman berjubah” (sebuah
istilah yang dimunculkan pertama kali oleh Prof.Dr.Syafi’i Ma’arif dalam kolom
Resonansi Republika ) tentu saja umat Islam yang menolak Ahmadiyah. Padahal
yang menetapkan Ahmadiyah kafir, di luar Islam, adalah Majma’ Fiqh Al-Islami,
Organisasi Ulama Islam Internasional. Tak ketinggalan juga Gus Dur masuk dalam jajaran
ini, di sela-sela acara tasyakur PKB kubunya di hotel Sheraton Bandara Soekarno
Hatta, Ahad 4/5, menyatakan siap melindungi Ahmadiyah dan siap menjadi saksi
ahli mendampingi Ahmadiyah dalam proses hukum. Selain itu ada juga mereka yang
menamakan dirinya Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan
(AKBB) yang di dalamnya ada : LBH Jakarta, JIL, Yayasan Anand Asram, Pastor,
dsb. yang mendukung eksistensi Ahmadiyah dan mengecam fatwa sesat MUI.
Para pendukung ajaran sesat ini selalu berlindung
di balik HAM. Menurut mereka penganut Ahmadiyah dijamin kebebasannya oleh
Konstitusi. Melarang Ahmadiyah berarti melanggar Hak Asasi Manusia. Di sini
nampak sekali mereka telah melakukan
penyalah gunaan kebebasan (abuse of freedom) dan HAM. Pembelaan mereka bukan atas
kebebasan beragama, tapi kebebasan menodai dan merusak agama. Apa yang
diperbuat MGA dengan Ahmadiyahnya ibarat membangun rumah baru di dalam rumah
orang lain. Yang dipersoalkan bukan hak dan kebebasan mendirikan rumah, akan
tetapi lokasinya di dalam rumah orang lain, dan konsekwensinya merusak rumah
yang sudah lebih dulu ada ! Dengan meyakini MGA sebagai nabi pasca Nabi
Muhammad saw dan meyakini Tadzkirah sebagai wahyu, MGA dan Ahmadiyah telah
melakukan penodaan dan penghinaan terhadap Islam. Menurut Saharudin Daming,
anggota Komna HAM, Soal kebebasan beragama, seseorang bebas memilih, namun
tidak bebas menyimpang apalagi merusak suatu agama. Menurut Saharudin orang
atau kelompok yang melarang MUI mengeluarkan fatwa sesat bagi Ahmadiyah malah ia telah melanggar HAM. Langkah MUI
dengan mengeluarkan fatwa justru untuk menegakkan HAM. Konstitusi menjamin kebebasan
beragama, bukan kebebasan merusak agama.
Mereka juga berdalih bahwa kaum muslimin
harus mengedepankan kasih sayang dari pada kekerasan dalam menyikapi Ahmadiyah.
Dr. Syamsuddin Arif dalam tulisannnya Jalan Keluar Bagi Ahmadiyah di
situs swaramuslim menyarankan agar
pemikiran seperti itu lebih tepat diberikan kepada Pemerintah Amerika
dan Zionis Israel agar memakai kasih sayang dan menghentikan kekersan dan
kekejian terhadap kaum muslimin di Irak dan Palestina. Syamsuddin menegaskan
Abu Bakar as-Shiddiq ra adalah orang yang paling penyayang di kalangan umatku (arhamu
ummati), sabda Rasulullah saw. Namun manakala muncul sekelompok orang yang
durhaka kepada Allah dan Rasulullah,
beliau tidak segan-segan mengambil tindakan tegas atas mereka. Perkara
Ahmadiyah bukan persoalan kebebasan beragama. Islam memberikan kebebasan kepada
siapapun untuk memeluk-bukan merusak- agama apapun, sesuai dengan QS.
Al-Baqarah :256 dan Al-Kafirun :6. Tak heran jika Rasulullah saw sebagai kepala
negara bersikap tegas terhadap para nabi palsu semacam Musailamah dan
Thulaihah, bertobat atau diperangi ( lihat: Imam al-Mawardi, Al-Hawi al-Kabir,
Cetakan Beirut, Darul Kutub al-Ilmiyah, jilid 13 : 109 ). Mirza Ghulam Ahmad
dan pengikutnya telah durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya. Andaikata statusnya
muslim, maka sudah semestinya tunduk pada ketetapan hukum Islam yang berlaku.
Namun jika statusnya sudah non muslim, maka terpulang kepada negara, apakah
akan mengakui dan melindungi keberadaannya sebagai agama baru- selain Hindu,
Budha, Islam, Katholik dan Protestan- ataukah sebaliknya. Pakar tata negara
Yusril Ihza Mahendra (era muslim 9/5-08) mengusulkan untuk mengakhiri polemik,
baiknya pemerintah segera bikin keputusan Ahmadiyah sebagai minoritas
non-Islam, dan dilarang menggunakan simbol-simbol Islam.
Fa aina Tadzhabun Ahmadiyah ?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar