Oleh: Tiar Anwar Bachtiar
Beberapa waktu ke belakang ini tersebar
beberapa tulisan entah darimana sumbernya yang mengatakan bahwa gelar “haji”
pada masa Indonesia masih dijajah oleh Belanda merupakan pemberian dari
pemerintah Kolonial Belanda sendiri. Hal demikian sengaja diberikan untuk
mengawasi siapa-siapa saja yang yang telah menunaikan haji ke Mekah. Mereka
penting untuk dikenali dan diawasi mengingat pemberontakan-pemberontakan
terhadap pemerintah Belanda banyak dilakukan oleh mereka yang telah menunaikan
ibadah haji ke Mekah. Oleh sebab itu, untuk memudahkan Belanda mencegah kaum
Muslim yang pulang haji melakukan pemberontakan, maka disematkanlah gelas
“haji” di depan nama mereka. Benarkah demikian?
Jawaban atas pertanyaan di atas adalah
“tidak”. Bahkan, kesimpulannya tergategori gegabah dan terlampau simplisistik. Kesimpulan
sejarah simplisistik semacam ini sering muncul di tengah masyarakat Indonesia
yang pada umumnya awam sejarah. Buku-buku sejarah dan kajian-kajian sejarah
yang baik dan serius jarang menjadi bacaan masyarakat Indonesia. Oleh sebab
itu, wajar bila cerita-cerita seperti di atas muncul. Tujuannya mungkin untuk
menunjukkan bahwa menggunakan gelar “haji” bukan merupakan hal yang terpuji.
Untuk itu perlu dicari legitimasi sejarah dari mana gelar itu datang. Muncullah
kemudian cerita rumor seperti di atas yang kalau dicari sumbernya amat sulit,
karena seringkali hanya merupakan dugaan-dugaan yang kemudian menyebar menjadi
cerita dari mulut ke mulut.
Sayang sekali, cerita semacam ini pada era
media sosial yang amat cepat memassifkan informasi hanya dari sumber tunggal
segera menjalar ke mana. Bahkan, kekuatan ceritanya semakin diperkuat manakala
website milik ormas besar ikut menyebarkannya. Sebut saja contohnya dalam http://www.nu.or.id/post/read/54744/asal-usul-gelar-ldquohajirdquo-di-indonesia.
Dalam situs ini dikutip pendapat Agus Sunyoto yang menyebut adanya “Ordonansi
Haji” tahun 1916 yang mewajibkan penggunaan gelar haji untuk mengawasi para
haji, karena umumnya sering menjadi pemimpin perlawanan di Indonesia. Pendapat
ini kemudian di-copy paste oleh situs-situs yang lain dan menyebar
secara massif ke mana-mana sehingga dianggap sebagai sebuah kebenaran.
Kelemahan pertama pendapat di atas
adalah mengutip “Ordonansi Haji 1916”. Persoalannya bukan pada pengutipan atau
penyebutan, melainkan pada keberadaan ordonansinya itu sendiri. Sepanjang
periode Hindia Belanda (1800-1942) peraturan (ordonansi) mengenai haji terbit
pada tahun 1825 tentang pembatasan kuota jamaah haji, 1859 tentang aturan
pelaksanaan haji, dan 1922 yang berisi aturan tentang pelayanan haji yang lebih
baik. Tidak ditemukan sama sekali ada ordonansi haji tahun 1916. Kalaupun ada
bukan ordonansi, melainkan pelarangan menunaikan ibadah haji oleh pemerintah
terkait tengah belangsungnya Perang Dunia I yang dikeluarkan sejak tahun 1915,
walaupun dalam praktiknya jamaah haji Indonesia tetap banyak yang berangkat
meski jumlahnya menurun dari tahun-tahun sebelumnya. Pelarangan ini juga tidak
ada kaitan dengan masalah ideologis atau gelar, melainkan terkait masalah
keamanan perjalanan haji. (lihat: Saleh Putuhena, Historiografi Haji
Indonesia, 2007: 170-173; Husnul Aqib Suminto, Politik Islam Hindia
Belanda, 1996: 92-98).
Kedua, tidak benar bahwa gelar haji baru
dipakai sejak tahun 1916. Bahkan, pernyataan ini menunjukkan keteledoran
sejarah yang fatal. Berbagai fakta yang jumlahnya tidak terhitung banyak sekali
yang menunjukkan bahwa gelar “haji” sudah dipakai sejak lama di Indonesia
bahkan sejak sebelum Zaman Klonial. Salah satunya yang dikemukakan oleh Henri
Chambert-Loir dalam Naik Haji di Masa Silam (2013: 33-34). Ia menyebut bahwa pada tahun 1674,
anak Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten naik haji. Ia merupakan anak raja di
Jawa yang pertama kali naik haji. Sepulang dari Mekah tahun 1675, ia kemudian
disebut sebagai “Sultan Haji”. Sebelumnya, beberapa bangsawan Banten sudah
berangkat haji juga pada tahun 1638 dan 1651. Sepulang dari Mekah, mereka
menyematkan gelar “haji” di depan namanya, yaitu Haji Jayasantana dan Haji
Wangsaraja, lalu Haji Fatah. Fakta ini menunjukkan bahwa sejak lama gelar
“haji” sudah populer di Indonesia, dan sama sekali bukan buatan Belanda. Bila
pada abad ke-17 saja gelar “haji” sudah populer, apalagi abad-abad selanjutnya.
Pada saat Sarekat Islam didirikan tahun 1911, pendirinya sudah populer disebut
“haji”, yaitu Hadji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto.
Ketiga, mengenai gelar haji ini justru
sikap Belanda malah ingin menghapuskannya, hanya saja mereka tidak sanggup
melakukan itu. Hal ini terlihat jelas dari Ordonansi Haji tahun 1859. Salah
satu ketentuan dalam ordonansi ini adalah bahwa sepulang dari Mekah mereka
harus menempuh ujian mengenai masalah Mekah dan Islam. Hanya apabila mereka
lulus ujian ini, barulah mereka dianggap berhak untuk mempergunakan gelar haji
di depan nama mereka. Ujian ini maksudnya untuk mengurangi pengaruh orang-orang
haji yang tidak disenangi pemerintah terhadap masyarakat. Sebab, di masyarakat
umum, mereka yang pernah pergi haji dan menggunakan gelar haji mendapatkan
apresiasi yang lebih tinggi dari masyarakat. Agar mereka tidak berpengaruh
lagi; atau minimal dapat mengurangi pengaruh mereka, maka penggunaan gelar
“haji” justu ingin dihilangkan oleh Belanda. (Deliar Noer, Gerakan Modern
Islam di Indonesia, 1993: 32).
Alasan ketiga ini semakin diperkuat dengan
kenyataan bahwa pada masa lalu, terutama pada akhir abad ke-19 dan awal ke-20
posisi mereka yang pernah menunaikan ibadah haji ke Mekkah sangat penting dan
strategis. Mereka yang melaksanakan ibadah haji pada masa itu, disebabkan
faktor geografis, menyebabkan perjalanan haji menjadi perjalanan yang sangat
penting. Perjalanan haji bukan hanya sekedar menjadi perjalanan spiritual
belaka seperti yang kita saksikan akhir-akhir ini setelah transportasi udara
massal mudah diakses. Perjalan haji pada masa itu adalah juga perjalanan
mencari ilmu dan membangun relasi internasional. Mereka pada umumnya bermukim
di Mekah atau Jeddah dalam waktu yang cukup lama sebelum atau sesudah
melaksanakan ibadah haji. Selama mereka berada di sana, sebagian besar
menggunakannya untuk belajar dan membangun relasi internasional.
Selama mereka “ngelmu”dan membangun
jaringan di Tanah Suci, terbangunlah kesadaran tentang kondisi tanah air mereka
yang sedang terjajah sama seperti di belahan dunia Islam yang lain. Oleh sebab
itu, tidak mengherankan apabila pada masa Kolonial Belanda banyak tokoh yang
sepulang haji tampil menjadi tokoh-tokoh pergerakan yang memapu mempengaruhi
masyakarat untuk melawan pemerintah Belanda. Salah satu yang cukup penting
adalah munculnya gerakan pembaharuan Islam di Sumatera Barat yang sekaligus
menjadi motor perlawanan terhadap Belanda, yaitu kaum Padri. Cristian Dobbin
dalam Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam, dan Gerakan Padri Minangkabau
1784-1847 (2008: 198-202) menjelaskan bahwa munculnya para pemimpin Padri
dan pengaruh mereka terhadap masyarakat tidak terlepas dari pengaruh yang
didapatkan dari kawasan Hijaz sepulang haji. Pengaruh ini bahkan semakin kuat hingga
mampu menggerakkan masyarakat untuk angkat senjata melawan Belanda pada Perang
Padri (1833-1838).
Pengaruh gerakan para haji ini semakin menguat
memasuki abad ke-20. Hasil ngelmu di Mekah dari guru-guru mereka dan
kenalan mereka sedunia menginspirasi para haji ini untuk membuat suatu
terobosan gerakan baru selain gerakan militer seperti para pendahulu mereka.
Pendekatan baru yang dimaksud adalah pendekatan politik dengan cara mendirikan
organisasi-organisasi gerakan yang cukup efektif untuk mendapat dukungan rakyat
secara langsung. Mula-mula Haji Samanhudi mendirikan Sarekat Dagang Islam (SDI)
tahun 1905; lalu Hadji Oemar Said Tjokroaminota memperluas cakupan politiknya
dengan mendirikan Sarekat Islam (SI) pada tahun 1911. Setahun berikutnya 1912 Haji
Ahmad Dahlan yang pernah tinggal cukup lama di Mekah mendirikan organisasi
Muhammadiyah yang berfokus pada pendidikan dan kegiatan sosial untuk
membentengi umat dari pemurtadan. Tahun 1923 di Bandung Haji Muhammad Yunus dan
Haji Muhammad Zam-zam mendirikan Persatuan Islam (Persis), Haji Abdul Halim
mendirikan Persyarekatan Ulama di Majalengka, dan contoh-contoh lain yang
jumlahnya cukup banyak. Gara-gara haji ini juga, para pengasuh pesantren
akhirnya menempuh jalan para aktivis Islam dengan mendirikan Nahdhatul Ulama
(NU) pada tahun 1926.
Munculnya gerakan-gerakan Islam tersebut
semakin menekan posisi politik Belanda di tanah jajahannya ini. Oleh sebab itu,
Belanda berusaha untuk menekannya supaya tidak berbahaya. Masuk akal bila tahun
Ordonansi Haji tahun 1859 membatasi dan cenderung melarang penggunaan gelar
“haji”, karena masyarakat memang amat menghormati gelar ini sejak lama. Ini
jelas sekali menunjukkan bahwa gelar “haji” bukan pemberian Belanda, melainkan
budaya yang sudah melekat lama di kalangan kaum Muslim di Indonesia. Wallâhu
A’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar