Pembentukan Suatu Peradaban tidak pernah
berlangsung dalam satu malam melainkan memakan waktu yang sangat lama. Dalam
kurun waktu tersebut dibutuhkan suatu pranata undang-undang dan ketentuan untuk
mengatur pola hubungan, hak dan kewajiban, serta conflict resolution
sesama anggota masyarakat. Aturan inilah yang antara lain akan membawa ke arah
manakah masyarakat atau peradaban tersebut akan dibawa. Demikian pula dalam
membentuk peradaban bangsa Indonesia terdapat berbagai peraturan yang tentunya
juga untuk menertibkan dan menggiring masyarakat Indonesia menjadi masyarakat
madani yang dicita-citakan. Kesemua peraturan di Indonesia berakar dari sebuah
konstitusi yaitu Undang-Undang (UUD) Dasar RI Tahun 1945. UUD RI Tahun 1945
berakar dari dasar ideologi bangsa Indonesia yaitu Pancasila.
Berbicara mahkamah konstitusi (MK), ada hal yang
perlu diluruskan berkaitan dengan pemberitaan media atas putusan MK Nomor
46/PUU-XIV/2016. Media gencar memberitakan bahwa MK melegalisasi perilaku LGBT,
padahal faktanya kewenangan MK adalah negative legislator, yang mana
kewenangannya adalah menghapus membatalkan suatu frasa, menghapus dan
membatalkan norma pasal, atau bahkan menghapus dan membatalkan suatu UU secara
keseluruhan apabila dalam persidangan terbukti jelas bertentangan dengan norma
UUD RI 1945, bukan untuk melegalisasi seuatu aturan baru.
Hal ini berawal dari permohonan uji materil pasal
284 KUHP tentang perzinahan, pasal 285 KUHP tentang perkosaan, dan pasal 292
KUHP tentang Homoseksual. Pemohon uji materi menyatakan bahwa pasal pasal
tersebut harus dimaknai lebih luas diantaranya agar bisa juga menjerat pasangan
zina tanpa harus ada ikatan pernikahan, juga perkosaan dan homoseksual agar
kedepannya bisa juga menjerat perilaku LBGT yang saat ini marak terjadi dan menyebar
di Indonesia. Kemudian setelah menjalani proses persidangan MK memutuskan untuk
tidak menerima permohonan pemohon.
Jika kita melihat fakta tersebut secara letterlijk,
maka hal ini suatu hal yang benar dan wajar karena MK adalah lembaga negative
legislator. tidak berwenang untuk membuat hukum baru, dan dalam hal ini MK
berpendapat bahwa pidana/rekriminalisasi untuk LBGT harus dengan norma hukum
baru, yang merujuk pada kewenangan DPR. Tidak ada yang keliru apabila semua
pihak mengacu pada teks peraturan yang mengatur kewenangan MK.
Di sisi lain sebenarnya di Internal hakim MK, dari
9 hakim terdapat 4 hakim yang berpendapat lain, yaitu dengan argumentasi bahwa
upaya rekriminalisasi melalui putusan pengadilan bukan hal yang tabu dan
diharamkan bagi hakim. Sebab justru hakim khususnya hakim konstitusi
berkewajiban untuk menjaga, meluruskan dan menyelaraskan hukum pidana dengan
dinamika kehidupan masyarakat. Bahkan secara historis, hoge raad (mahkamah
agung belanda zaman kolonial) pernah menyatakan bahwa memang ada kemungkinan
arti suatu kata atau definisi yang dirangkumkan dalam UU akan mengalami
perubahan seiring dengan berjalannya waktu sehingga perbuatan yang dulunya
tidak tercakup sekarang masuk kedalam rumusan tindak pidana tertentu, sehingga
metode interpretasi harus dapat dilakukan oleh hakim guna menyelaraskan
perkaitan antara masa lalu dan masa kini. (die verbindungen von gedtern zu
heute herzustellen, Jan Remmelik: 2003, hlm.56)
Disamping itu pasal 5 ayat (1) Undang-undang
kekuasan kehakiman juga memerintahkan agar hakim dan hakim konstitusi wajib
menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai yang hidup dan berkembang dalam
masyarakat. Sehingga jika terdapat ketidaksesuaian antara norma UU dengan
nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat maka hakim
wajib mengikuti dan berpihakpada nilai nilai hukum dan rasa keadilan. (UU No.48
tahun 2009)
Bahkan kemudian para hakim yang memberikan dissenting
opinion yang menyatakan bahwa maraknya perilaku main hakim sendiri yang
dilakukan masyarakat terhadap pelaku hubungan seksual (baik itu zina,
perkosaan, homoseksual) justru terjadi karena nilai agama dan living law
masyarakat indonesia tidak mendapat tempat yang proporsional dalam sitem hukum
(pidana) Indonesia, sehingga jika telah mendapat modifikasi norma hukum
mengenai hal ini, diharapkan budaya hukum masyarakat Indonesia bisa menjadi
lebih baik.
Dengan ini jelaslah bahwa bahwa seyogianya hakim
sebagai ujung tombak penegakan hukum tidak harus selalu terpaku terhadap teks
peraturan undang undang tetapi harus mengedepankan keadilan. Hakim bukanlah
corong undang-undang dan oleh karenanya posisi hakim sebagai penegak hukum
tidak bisa digantikan oleh AI (artificial Intelegent) pada gadget atau
teknologi apapun karena sebagaimana dikemukakan oleh Mukti Arto bahwa hakim
adalah filusuf dan hakiimun dalam bahasa arab berarti orang yang bijak. Maka
value seorang hakim ada pada kebijaksanaannya dalam konteks struktur hukum
Indonesia kebijaksanaan hakim tercermin dalam putusannya. Hal ini selaras
dengan spirit keberadaan hakim dan lembaga peradilan di Indonesia sehingga
dalam setiap putusan harus selalu dibuka dengan kalimat “Demi Keadilan
Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Berkaca pada substansi permohonan uji materil pasal
pasal asusila (Pasal 284, 285, dan 292 KUHP) perbuatan asusila adalah
permasalahan aktual yang menimpa bangsa Indonesia. Tentunya hal ini menuai pro
dan kontra baik masyarakat pada umumnya dan bahkan di Internal masyarakat
muslim di Indonesia. Pertanyaan yang mengemuka, kenapa harus ada hukuman bagi
pelaku asusila; perkosaan, perzinaan dan LGBT.
Untuk mencegah dan menghindari hal tersebut diatas,
maka dibutuhkan instrumen hukum. Pasal pidana asusila pada Pasal 284, 285, dan
292 KUHP seyogianya adalah untuk melindungi dan mengarahkan agar bangsa
Indonesia tetap menjadi bangsa yang beradab. Kemudian perkembangan terbaru
menunjukan terdapat percepatan perilaku menyimpang dengan maraknya perzinahan
dan perilak LGBT baik berupa kekerasan seksual, ataupun propaganda agar LGBT
dianggap sebagai sesuatu hal yang lumrah. Maka disini hukum pidana dalam pasal
asusila tersebut diatas seketika menjadi usang tertinggal oleh dinamika sosial.
Indonesia layak mendapakan peringatan “darurat pornografi dan pornoaksi”.
Untuk mepertahankan keberadaban bangsa Indonesia
maka diperlukan Instrumen hukum yang cepat tanggap dalam hal ini para pemohon
uji materil, termasuk penulis sendiri memandang upaya ini sebagai upaya yang
bisa dilakukan alih-alih mengajukan aspirasi kepada DPR untuk membuat
Undang-Undang baru, yang perlu kita semua ketahui mekanisme penyusunan UU di
DPR memakan waktu yang relatif lama. Kendatipun MK adalah negatif legislator
namun dalam fungsinya juga sebagai pengawal konstitusi dan pelindung fondasi
negara maka seyogianya hakim MK dapat melakukan terobosan hukum dan rechtvinding
terhadap persoalan ini demi menjaga sendi keberadaban bangsa Indonesia.
Termasuk apabila melakukan penghayatan lebih terhadap kalimat wajib bagi setiap
putusan pengadilan di Republik Indonesia ini: “demi keadilan berdasarkan
ketuhanan yang maha esa”. maka tentu hakim tidak akan letterlijk terpaku
pada teks undang-undang. Kesalahan fatal apabila undang-undang dianggap
menentukan hukum karena hakim lah yang menentukan hukum.
Logika mempertahankan nilai pancasila sengaja dikedepankan
karena belakangan juga diketahui marak kelompok manusia Indonesia yang
senantiasa membanggakan diri dan menamakan diri seolah paling pancasilais dan
dengan itu menjadi paradoks dikarenakan justru membela kaum LGBT dengan dalih
pancasila dan kebhinekaan. Dengan ini semoga menjadi bahan renungan bahwa upaya
pemidanaan terhadap kaum LGBT adalah respon nyata untuk melindungi pancasila,
melindungi NKRI.
Adapun dalam hal ini penulis berpendapat bahwa isu
LGBT adalah isu yang lebih layak untuk presiden menggunakan kewenangannya
untuk menerbitkan Perpu, dikarenakan ancaman dekadensi moral jauh lebih nyata
dari ancaman isu khilafah, tentu tanpa tendensi membela pada isu yang
disebutkan belakangan namun hanya sebagai perbandingan.
Dengan maraknya perilaku asusila termasuk LGBT
telah jelas terjadi banyak kasus di seluruh pelosok Indonesia. Pesta sex gay,
propaganda, predator seksual adalah hasil produk kegalauan pemerintah (jika
tidak mau disebut abai) terhadap dinamika sosial. Predator seksual akan semakin
berani dan terang terangan dan tinggal menunggu waktu dekat kapan keluarga dan
kerabat kita menjadi korbannya. Upaya menyelamatkan moral bangsa bukan hanya
menjadi urusan umat Islam tetapi juga urusan seluruh rakyat Indonesia, jikalau
benar diluar sana adalah masyarakat yang Pancasilais. Bagi umat Islam tentu
sangat faham akan konsekwensi adzab terhadap kaum Nabi Luth. Naudzubillahi
min dzalik.
Wallahu ‘alam bi shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar