06 Januari 2018

ALIRAN KEPERCAYAAN “AGAMA ASLI”?



 Oleh: Tiar Anwar Bachtiar

Keputusan MK yang mengesahkan Aliran Kepercayaan agar disejajarkan dengan agama, selain menimbulkan kegaduhan di tengah masyarakat dan kerumitan kebijakan di kementrian terkait, juga menyisakan blunder ilmiah yang cukup mengganggu. Salah satunya adalah seperti dalam wawancara Ketua MK yang dimuat beberapa media online dan viral di medsos beberapa bulan sebelum putusan dibacakan 10 November lalu. Ia katakan bahwa kenapa kita bisa mengakui agama impor, sementara agama leluhur tidak diakui? Pernyataan ini selain menyinggung para penganut semua agama besar di Indonesia seperti Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha, dan Konghucu yang merupakan agama dominan di Indonesia; juga secara ilmiah memiliki kelemahan sangat mendasar yang patut dipertanyakan.
Dari sudut pandang para pemeluk agama, pernyataan ini seolah-olah ingin menegasikan agama-agama ini sebagai pembentuk jati diri asli bangsa Indonesia. Seolah-olah, agama-agama ini merupakan benda-benda asing yang “dipaksa” masuk ke dalam budaya-budaya lokal yang ada di negeri ini yang—konon—telah memiliki kepercayaan dan keyakinannya sendiri. Dengan logika semacam ini seolah-olah ingin juga dikatakan bahwa yang asli dan sejati Indonesia adalah yang budaya dan kultur mereka tidak tercampur dengan agama-agama asing, melainkan yang agamanya juga produk lokal. Keaslian dan kesejatian inilah yang dianggap menjadi dasar akan keberhakan Aliran Kepercayaan disejajarkan dengan agama di Indonesia ini.
Klaim keaslian ini pulalah yang secara ilmiah bermasalah secara mendasar. Pertama, dari analisis kesejarahan dan kondisi eksisting aliran-aliran kepercayaan ini. Klaim keaslian berarti klaim tentang siapa yang lebih dahulu ada. Aliran Kepercayaan ini mengaku bahwa mereka adalah yang pertama kali ada sebelum agama-agama asing hadir. Ini berarti bahwa ajaran-ajaran mereka adalah hal yang berbeda sama sekali dengan yang datang kemudian. Apakah benar demikian? Tentu ini butuh pembuktian. Pembuktian utama adalah tentang titi mangsa sejak kapan mereka ada di suatu tempat tertentu, apakah mereka benar-benar sudah ada sebelum agama-agama “impor” datang? Misalnya, apakah mereka sudah ada sejak sebelum agama Hindu ada? Kalau seandainya agama Hindu datang pada sekitar abad ke-1 M, apakah mereka bisa membuktikan bahwa ajaran mereka sudah ditemukan sebelum abad tersebut?
Pertanyaan di atas akan sangat sulit dijawab dengan benar dan ilmiah, kalau tidak dikatakan mustahil. Untuk menunjukkan bahwa suatu ajaran benar berasal dari sebelum zaman Hindu perlu ada bukti-bukti, apakah berbentuk tulian di atas batu atau media lainnya, dokumen tertulis, atau informasi bermata-rantai (sanad) yang terpercaya. Bukti-bukti semacam ini pasti tidak akan ditemukan. Apalagi mengingat sifat-sifat aliran kepercayaan yang sifatnya sangat individual sehingga tidak mementingkan memiliki akar pada masa lalu. Ada beberapa aliran kepercayaan yang usianya sudah agak lama seperti Mad Rais di Cigugur Kuningan, Baduy Dalam Kenekes Banten, dan beberapa lainnya. Kalau ditelusuri usianya tidak akan lebih tua adari abad ke-17 atau 18 M. Artinya kemunculannya jauh setelah datangnya Hindu, Islam, bahkan Kristen.
Kedua, kalau memang Aliran Kepercayaan ini adalah agama asli, seharusnya ajarannya sama sekali berbeda dengan agama-agama yang ada. Sebagian memang ada yang berbeda sama sekali dengan agama-agama yang ada di Indonesia, walaupun tidak terlacak sejak kapan adanya untuk memastikan apakah sungguh-sungguh terpengaruh dengan ajaran lain atau tidak. Amat disayangkan pada sebagian yang mungkin lebih besar, Aliran Kepercayaan ternyata banyak yang menunjukkan keterpengaruhannya oleh agama. Contohnya ajaran Sunda Wiwitan versi Baduy Dalam Kanekes Banten. Dalam doktrinnya mereka mempercayai Nabi Adam sebagai nabi mereka. Mereka juga mengakui tuhan sebagai Batara Tunggal (monotheis). Kalau memperhatikan doktrin semacam ini hampir mustahil bahwa ini adalah ajaran asli. Pasti komunitas Sunda Wiwitan Baduy Dalam ini sudah tepengaruh oleh Islam. Sangat sulit untuk menyebut “asli” dalam kasus seperti ini.
Ketiga, klaim “Sunda asli”, “Jawa asli”, “Kalimantan asli”, dan semisalnya seolah-olah menegasikan keberadaan manusia-manusia Sunda, Jawa, dan Kalimantan yang mayoritas beragama Islam dan sebagian lain beragama yang lain sebagai orang-orang “asli”. Padahal, dalam konsep kebudayaan, keaslian sesungguhnya adalah sesuatu yang “absurd”. Budaya adalah respon manusia terhadap zamannya. Setiap orang memiliki persepsi dan rumus sendiri terhadap dunia yang tengah dihadapinya. Oleh sebab setiap zaman tidak pernah ada yang sama, bahkan pada zaman yang sama pada tempat yang berbeda situasinya pasti berbeda, maka adalah suatu yang “mustahil” ada budaya yang bisa hidup sepanjang zaman; ada pada setiap zaman yang berbeda. Setiap zaman pasti akan ada “budaya”-nya sendiri-sendiri yang tentu saja bukan budaya dari zaman sebelumnya. Perubahan budaya dari satu tempat ke tempat lain, dari satu zaman ke zaman lain dapat terjadi karena adanya asimilasi, enkulturasi, akulturasi, dan sebagainya. Ini adalah teori dasar tentang “budaya” yang disepakati setiap ahli budaya. Kalau kemudian ada yang mengatakan ada “agama asli” yang berasal dari budaya tertentu, pertanyaan yang akan segera muncul: benarkah? Tidakkah ada perubahan sama sekali? Kalau itu adalah hasil budaya maka mustahil itu akan terjadi. Bila masih sulit menerima kenyataan ini, silakan buatkan perbandingan ajaran suatu Aliran Kepercayaan yang sama dari zaman ke zaman. Apakah sungguh-sungguh tidak terjadi perubahan?
Oleh sebab kebudayaan yang sifatnya selalu mengalami perubahan, maka tidak ada satupun komunitas budaya yang berhak merasa “paling asli” dan paling pantas untuk disebut dengan suatu nama budaya tertentu. Sunda misalnya. Apakah hanya yang menganut “Sunda Wiwitan” saja yang boleh dan paling layak disebut “Sunda” sementara Sunda yang Islam, Sunda yang Hindu, dan bahkan Sunda yang Kristen tidak layak disebut “Sunda”? Atau yang layak disebut “Jawa asli” hanyalah yang berkeyakinan “kejawen”, bukan Jawa-Islam dan lainnya? Jelas secara faktual dan konseptual ini sangat tidak dapat diterima akal sehat.
Sunda dan Jawa, walaupun namanya bisa dipakai selama berabad-abad, tetapi setiap zaman konsepnya selalu berubah-ubah, tidak pernah tetap dan ajeg. Lihat umpamanya dalam bahasanya yang merupakan salah satu produk budaya. Apakah bahasa Sunda dan Jawa abad ke-15 sama dengan abad ke-17, 19, dan seterusnya? Sama sekali tidak sama persis. Selalu terjadi perubahan-perubahan dan penyesuaian mengikuti tuntutan zamannya. Bahasa yang sifatnya tidak terlalu ideologis saja perubahannya tidak dapat dibendung, apalagi menyangkut keyakinan beragama yang sifatnya sangat asasi dan fundamental dalam kehidupan seseorang. Pencarian akan kebenaran dan pemaknaan akan hidup pasti akan sangat dinamis dalam setiap diri masing-masing orang pelaku budaya. Maka ketika terjadi perubahan keyakinan masyarakat Sunda, misalnya, dari yang tadinya Hindu menjadi Islam, maka ekspresi keberagamaan Ki Sunda ini tidaklah kemudian serta merta menghapuskan “kasundaan”-nya. Bahkan setelah beramai-ramai mayoritas urang Sunda masuk Islam, konsep budaya mengenai “Sunda” pun dengan sendirinya berubah dari yang lama, walaupun sama-sama disebut “Sunda”. Demikian halnya pada kelompok-kelompok budaya lain akan berlaku perkara yang sama. Soal apakah Sunda lebih ideal terpangaruh Hindu, Islam, Kristen, atau apapun semata-mata perkara subjektif dari pelaku budayanya sendiri.
Bila melihat kasus kelompok budaya Sunda dan Jawa, pilihan sebagian besar pelaku budayanya justru jatuh pada Islam untuk menjadi pemerkaya karakter, bentuk, dan ekspresi kedua budaya ini. Islam menjadi anutan mayoritas Sunda dan Jawa. Ini merupakan fakta keras (hard fact) yang tidak terbantahkan bahwa dalam soal keyakinan beragama, mayoritas kelompok masyarakat Sunda dan Jawa merasa lebih cocok dan lebih baik menggunakan Islam. Mereka bahkan bertahan sampai berabad-abad menerima Islam, karena merasa terus cocok dengan setiap zaman yang mereka hadapi. Bukankan ini fakta yang sangat jelas bahwa nenek moyang Sunda dan Jawa sekarang agama anutan asalnya adalah “Islam”, bukan Sunda Wiwitan dan kejawen? Saking kuatnya pengaruh Islam ini sampai-sampai sekelompok minoritas Sunda dan Jawa yang sangat tidak representatif mewakili komunitasnya yang lebih besar, saat mereka menciptakan ajaran agama yang menyimpang banyak menggunakan unsur-unsur Islam di dalamnya yang sudah dirusak dan dimodifikasi. Ini juga bukti lain bahwa aliran-aliran kepercayaan bukan “agama nenek moyang”. Sebab, nenek moyang urang Sunda dan tiang Jawi secara faktual telah memilih Islam untuk menjadi identitas kedua budaya ini selama berabad-abad. Oleh sebab itu, sah bila disebut bahwa agama nenek moyang Sunda dan Jawa adalah Islam, bukan aliran kepercayaan. Wallahu A’lam.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar