Oleh: Tiar Anwar Bachtiar
Keputusan MK yang mengesahkan Aliran
Kepercayaan agar disejajarkan dengan agama, selain menimbulkan kegaduhan di
tengah masyarakat dan kerumitan kebijakan di kementrian terkait, juga
menyisakan blunder ilmiah yang cukup mengganggu. Salah satunya adalah seperti dalam
wawancara Ketua MK yang dimuat beberapa media online dan viral di medsos
beberapa bulan sebelum putusan dibacakan 10 November lalu. Ia katakan bahwa
kenapa kita bisa mengakui agama impor, sementara agama leluhur tidak diakui?
Pernyataan ini selain menyinggung para penganut semua agama besar di Indonesia
seperti Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha, dan Konghucu yang merupakan
agama dominan di Indonesia; juga secara ilmiah memiliki kelemahan sangat
mendasar yang patut dipertanyakan.
Dari sudut pandang para pemeluk agama, pernyataan
ini seolah-olah ingin menegasikan agama-agama ini sebagai pembentuk jati diri
asli bangsa Indonesia. Seolah-olah, agama-agama ini merupakan benda-benda asing
yang “dipaksa” masuk ke dalam budaya-budaya lokal yang ada di negeri ini
yang—konon—telah memiliki kepercayaan dan keyakinannya sendiri. Dengan logika
semacam ini seolah-olah ingin juga dikatakan bahwa yang asli dan sejati
Indonesia adalah yang budaya dan kultur mereka tidak tercampur dengan
agama-agama asing, melainkan yang agamanya juga produk lokal. Keaslian dan
kesejatian inilah yang dianggap menjadi dasar akan keberhakan Aliran
Kepercayaan disejajarkan dengan agama di Indonesia ini.
Klaim keaslian ini pulalah yang secara ilmiah
bermasalah secara mendasar. Pertama, dari analisis kesejarahan dan
kondisi eksisting aliran-aliran kepercayaan ini. Klaim keaslian berarti klaim
tentang siapa yang lebih dahulu ada. Aliran Kepercayaan ini mengaku bahwa
mereka adalah yang pertama kali ada sebelum agama-agama asing hadir. Ini
berarti bahwa ajaran-ajaran mereka adalah hal yang berbeda sama sekali dengan
yang datang kemudian. Apakah benar demikian? Tentu ini butuh pembuktian.
Pembuktian utama adalah tentang titi mangsa sejak kapan mereka ada di suatu
tempat tertentu, apakah mereka benar-benar sudah ada sebelum agama-agama
“impor” datang? Misalnya, apakah mereka sudah ada sejak sebelum agama Hindu ada?
Kalau seandainya agama Hindu datang pada sekitar abad ke-1 M, apakah mereka
bisa membuktikan bahwa ajaran mereka sudah ditemukan sebelum abad tersebut?
Pertanyaan di atas akan sangat sulit dijawab
dengan benar dan ilmiah, kalau tidak dikatakan mustahil. Untuk menunjukkan
bahwa suatu ajaran benar berasal dari sebelum zaman Hindu perlu ada
bukti-bukti, apakah berbentuk tulian di atas batu atau media lainnya, dokumen
tertulis, atau informasi bermata-rantai (sanad) yang terpercaya. Bukti-bukti semacam
ini pasti tidak akan ditemukan. Apalagi mengingat sifat-sifat aliran
kepercayaan yang sifatnya sangat individual sehingga tidak mementingkan
memiliki akar pada masa lalu. Ada beberapa aliran kepercayaan yang usianya
sudah agak lama seperti Mad Rais di Cigugur Kuningan, Baduy Dalam Kenekes
Banten, dan beberapa lainnya. Kalau ditelusuri usianya tidak akan lebih tua
adari abad ke-17 atau 18 M. Artinya kemunculannya jauh setelah datangnya Hindu,
Islam, bahkan Kristen.
Kedua, kalau memang Aliran Kepercayaan ini
adalah agama asli, seharusnya ajarannya sama sekali berbeda dengan agama-agama
yang ada. Sebagian memang ada yang berbeda sama sekali dengan agama-agama yang
ada di Indonesia, walaupun tidak terlacak sejak kapan adanya untuk memastikan
apakah sungguh-sungguh terpengaruh dengan ajaran lain atau tidak. Amat
disayangkan pada sebagian yang mungkin lebih besar, Aliran Kepercayaan ternyata
banyak yang menunjukkan keterpengaruhannya oleh agama. Contohnya ajaran Sunda
Wiwitan versi Baduy Dalam Kanekes Banten. Dalam doktrinnya mereka
mempercayai Nabi Adam sebagai nabi mereka. Mereka juga mengakui tuhan sebagai
Batara Tunggal (monotheis). Kalau memperhatikan doktrin semacam ini hampir
mustahil bahwa ini adalah ajaran asli. Pasti komunitas Sunda Wiwitan Baduy
Dalam ini sudah tepengaruh oleh Islam. Sangat sulit untuk menyebut “asli” dalam
kasus seperti ini.
Ketiga, klaim “Sunda asli”, “Jawa asli”,
“Kalimantan asli”, dan semisalnya seolah-olah menegasikan keberadaan
manusia-manusia Sunda, Jawa, dan Kalimantan yang mayoritas beragama Islam dan
sebagian lain beragama yang lain sebagai orang-orang “asli”. Padahal, dalam
konsep kebudayaan, keaslian sesungguhnya adalah sesuatu yang “absurd”. Budaya
adalah respon manusia terhadap zamannya. Setiap orang memiliki persepsi dan
rumus sendiri terhadap dunia yang tengah dihadapinya. Oleh sebab setiap zaman
tidak pernah ada yang sama, bahkan pada zaman yang sama pada tempat yang
berbeda situasinya pasti berbeda, maka adalah suatu yang “mustahil” ada budaya
yang bisa hidup sepanjang zaman; ada pada setiap zaman yang berbeda. Setiap
zaman pasti akan ada “budaya”-nya sendiri-sendiri yang tentu saja bukan budaya
dari zaman sebelumnya. Perubahan budaya dari satu tempat ke tempat lain, dari
satu zaman ke zaman lain dapat terjadi karena adanya asimilasi, enkulturasi,
akulturasi, dan sebagainya. Ini adalah teori dasar tentang “budaya” yang disepakati
setiap ahli budaya. Kalau kemudian ada yang mengatakan ada “agama asli” yang
berasal dari budaya tertentu, pertanyaan yang akan segera muncul: benarkah?
Tidakkah ada perubahan sama sekali? Kalau itu adalah hasil budaya maka mustahil
itu akan terjadi. Bila masih sulit menerima kenyataan ini, silakan buatkan
perbandingan ajaran suatu Aliran Kepercayaan yang sama dari zaman ke zaman.
Apakah sungguh-sungguh tidak terjadi perubahan?
Oleh sebab kebudayaan yang sifatnya selalu
mengalami perubahan, maka tidak ada satupun komunitas budaya yang berhak merasa
“paling asli” dan paling pantas untuk disebut dengan suatu nama budaya
tertentu. Sunda misalnya. Apakah hanya yang menganut “Sunda Wiwitan” saja yang
boleh dan paling layak disebut “Sunda” sementara Sunda yang Islam, Sunda yang
Hindu, dan bahkan Sunda yang Kristen tidak layak disebut “Sunda”? Atau yang
layak disebut “Jawa asli” hanyalah yang berkeyakinan “kejawen”, bukan
Jawa-Islam dan lainnya? Jelas secara faktual dan konseptual ini sangat tidak
dapat diterima akal sehat.
Sunda dan Jawa, walaupun namanya bisa dipakai
selama berabad-abad, tetapi setiap zaman konsepnya selalu berubah-ubah, tidak
pernah tetap dan ajeg. Lihat umpamanya dalam bahasanya yang merupakan salah
satu produk budaya. Apakah bahasa Sunda dan Jawa abad ke-15 sama dengan abad
ke-17, 19, dan seterusnya? Sama sekali tidak sama persis. Selalu terjadi
perubahan-perubahan dan penyesuaian mengikuti tuntutan zamannya. Bahasa yang
sifatnya tidak terlalu ideologis saja perubahannya tidak dapat dibendung,
apalagi menyangkut keyakinan beragama yang sifatnya sangat asasi dan
fundamental dalam kehidupan seseorang. Pencarian akan kebenaran dan pemaknaan
akan hidup pasti akan sangat dinamis dalam setiap diri masing-masing orang
pelaku budaya. Maka ketika terjadi perubahan keyakinan masyarakat Sunda,
misalnya, dari yang tadinya Hindu menjadi Islam, maka ekspresi keberagamaan Ki
Sunda ini tidaklah kemudian serta merta menghapuskan “kasundaan”-nya. Bahkan
setelah beramai-ramai mayoritas urang Sunda masuk Islam, konsep budaya
mengenai “Sunda” pun dengan sendirinya berubah dari yang lama, walaupun
sama-sama disebut “Sunda”. Demikian halnya pada kelompok-kelompok budaya lain
akan berlaku perkara yang sama. Soal apakah Sunda lebih ideal terpangaruh Hindu,
Islam, Kristen, atau apapun semata-mata perkara subjektif dari pelaku budayanya
sendiri.
Bila melihat kasus kelompok budaya Sunda dan
Jawa, pilihan sebagian besar pelaku budayanya justru jatuh pada Islam untuk
menjadi pemerkaya karakter, bentuk, dan ekspresi kedua budaya ini. Islam
menjadi anutan mayoritas Sunda dan Jawa. Ini merupakan fakta keras (hard
fact) yang tidak terbantahkan bahwa dalam soal keyakinan beragama,
mayoritas kelompok masyarakat Sunda dan Jawa merasa lebih cocok dan lebih baik
menggunakan Islam. Mereka bahkan bertahan sampai berabad-abad menerima Islam,
karena merasa terus cocok dengan setiap zaman yang mereka hadapi. Bukankan ini
fakta yang sangat jelas bahwa nenek moyang Sunda dan Jawa sekarang agama anutan
asalnya adalah “Islam”, bukan Sunda Wiwitan dan kejawen? Saking kuatnya
pengaruh Islam ini sampai-sampai sekelompok minoritas Sunda dan Jawa yang
sangat tidak representatif mewakili komunitasnya yang lebih besar, saat mereka
menciptakan ajaran agama yang menyimpang banyak menggunakan unsur-unsur Islam
di dalamnya yang sudah dirusak dan dimodifikasi. Ini juga bukti lain bahwa
aliran-aliran kepercayaan bukan “agama nenek moyang”. Sebab, nenek moyang urang
Sunda dan tiang Jawi secara faktual telah memilih Islam untuk
menjadi identitas kedua budaya ini selama berabad-abad. Oleh sebab itu, sah
bila disebut bahwa agama nenek moyang Sunda dan Jawa adalah Islam, bukan aliran
kepercayaan. Wallahu A’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar