Salah satu yang menyebabkan orang-orang Yahudi
sangat bersemangat mengklaim wilayah Palestina menjadi kawasan Israel adalah
klaim mereka bahwa merekalah penduduk asli di kawasan itu. Hanya saja, karena
berbagai alasan mereka kemudian diusir oleh para penguasa yang menaklukkan
kawasan itu seperti saat kawasan ini dikuasasi oleh Raja Nebukadnezar dari
Babylonia dan dikuasai oleh Romawi. Orang-orang Yahudi kemudian berdiaspora ke
berbagai negara dari mulai Eropa hingga Afrika. Konyolnya lagi narasi ini
kemudian secara provokatif disebarkan lewat media sosial untuk meyakinkan bahwa
Yahudi memang orang asli di sana sehingga mereka berhak ada di Jerussalem,
sementara bangsa-bangsa Arab termasuk Arab-Palestina hanyalah pendatang.
Berikut secara dingkat akan diulas-ringkas pemaparan Dr. Thoriq As-Suwaidan
dalam bukunya Filishthîn Al-Târikh Al-Mushawwar yang dipublikasi melalui
Sitamol.net.
Mengklaim bahwa Yahudi adalah penghuni awal
kawasan Baitul-Maqdis dan Palestina adalah suatu kekeliruan besar dalam
sejarah. Sebab, sebelum kedatangan Yahudi ke Baitul-Maqdis secara khusus dan
Palestina secara umum telah ditemukan jejak-jejaknya sejak abad ke-14 SM jauh
sebelum kedatangan Yahudi. Walaupun tidak terlalu jelas, namun ada jejak-jejak
yang menunjukkan bahwa pada masa itu di Palestina sudah ada suku Nuthfiyun.
Kemudian pada abad ke-8 SM, Ariha yang masuk ke dalam wilayah Palestina sudah
diketahui memiliki peradaban yang cukup maju, walaupun tidak diketahui siapa
yang mendiami kawasan ini. Yang pasti bukan Yahudi, karena suku ini belum lagi
ada.
Informasi yang lebih jelas adalah tentang
keberadaan suku Kan’an dan Amoria yang kedua-duanya datang dari Jazirah Arab
sebelah utara mendiami beberapa wilayah di Syam dan Palestina. Keberadaan kedua
suku ini disepakati oleh para sejawaran, bahwa merekalah yang dianggap suku
paling tua mendiami kawasan ini. Selain kedua suku itu, ada juga suku Arab lain
seperti Abessina dan suku Phunix. Di antara mereka ada juga yang mendiami
kawasan Baitul-Maqdis. Tidak mengherankan apabila kawasan Palestina ini pada
masa lalu disebut juga “negeri Kan’an” oleh sebagian sejarawan. Sementara itu,
Yahudi baru datang berabad-abad sesudahnya. Oleh sebab itu, boleh dikatakan
bahwa penduduk asal di kawasan ini berasal dari Jazirah Arab.
Sementara itu, nama “Pelestina” juga berasal
dari penamaan terhadap suku lain yang datang ke kawasan ini. Suku ini datang
dari kawasan laut tengah, yaitu dari Pulau Kreta yang sekarang masuk ke kawasan
Yunani. Karena berbagai alasan mereka meninggalkan kampung mereka dan berusaha
masuk ke Mesir. Akan tetapi, Ramses III menolak keberadaan mereka di Mesir dan
mengarahkan mereka untuk menetap di suatu daerah di kawasan yang sekarang masuk
Palestina sebelah selatan, yaitu daerah Plast (بلست). Karena tinggal di daerah Plast inilah mereka kemudian disebut
sebut orang “Plast” (بلستنين) sehingga kemudian menjadi masyhur kata Palestina (فلسطين) untuk menyebut kawasan
ini secara lebih luas. Mereka kemudian tinggal berdampingan dengan suku Kan’an, Amoria, dan
Abessina ang telah lebih dahulu ada di kawasan ini. Setelah lama berdampingan,
terjadilah percampuran keturunan, bahasa, dan kebudayaan tersendiri di kawasan
ini.
Yahudi di Palestina
Yahudi adalah nama salah satu anak Nabi
Ya’qub as. Nabi Ya’qub sendiri dikenal dengan nama Israil sehingga anak
keturunannya yang berasal dari 12 anaknya sering disebut sebagai Bani Israil.
Yahudi sendiri adalah nama bagi anak keturunan Yahuda. Bila merujuk ke sini,
maka keberadaan Yahudi di Palestina dapat ditarik permulaan asal-usulnya dari
kedatangan Nabi Ibrahim ke Palestina. Ibrahim sendiri tidak pernah dikenal
dalam sejarah berasal asli dari negeri ini. Kedua anaknya, Ishak dan Ismail,
memang lahir di sana. Ishak memiliki anak Ya’qub dan menetap di sana. Sementara
Ismail bersama ibunya hijrah ke Mekah dan beranak keturunan di sana. Ya’qub pun
lahir di Palestina. Akan tetapi, ia tidak menetap lama di sana. Salah satu
anaknya Yusuf as. mendapatkan anugerah hidup sejahtera di Mesir dan meminta
ayah beserta semua keluarganya pindah ke Mesir. Maka sejak saat itu, Bani
Israil (anak keturunan Ya’qub), termasuk anak keturunan Yahuda, tinggal di
Mesir dalam waktu yang cukup lama.
Kehidupan Bani Israil di Mesir tidak mulus.
Mereka mendapatkan tekanan yang sangat luar biasa pada saat Mesir dipimpin
Fir’aun hingga kemudian Allah Swt. mengutus Nabi Musa untuk meluruskan
kehidupan Bani Israil yang sudah banyak menyimpang sekaligus menyelamatkan
mereka dari penindasan Firaun. Sebagaimana cerita masyhur di dalam Al-Quran,
akhirnya Nabi Musa berhasil membawa Bani Israil menyeberangi Laut Merah menuju
Baitul-Maqdis untuk menyelamatkan kehidupan Bani Israil. Akan tetapi setiba di
Sinai, mereka melihat orang-orang di sana menyembah berhala sehingga di antara
Bani Israil ini ada yang meminta untuk dibuatkan pula berhala sesembahan
seperti mereka. Permintaan bodoh ini bahkan terjadi setelah bersama Nabi Musa
menyaksikan banyak sekali mukjizat dari Allah Swt. Bahkan bukan hanya itu saja
kesesatan dan kebengalan bani Israil yang tidak mau taat pada Nabi-Nya.
Padahal, setiap waktu mereka menyaksikan mukjizat kenabian yang luar biasa
hingga akhirnya mereka dihukum oleh Allah Swt. tidak bisa sampai ke Baitul
Maqdis. Mereka hanya berputar-putar di padang pasir Tih selama empat puluh tahun
yang sebetulnya hanya tingga beberapa langkah saja sampai di Baitul-Maqdis.
Nabi Musa as. pun wafat sebelum mereka dibebaskan dari hukuman. Akhirnya setika
sudah tidak tersisa lagi para pembangkang di kalangan Bani Israil, hanya
orang-orang shaleh yang tinggal, Allah Swt. memperkenankan mereka masuk ke
Baitul Maqdis. Mereka dibimbing sepeninggal Musa as. oleh Yusa’ bin Nuun,
pemuda yang menemani Nabi Musa saat bertemu dengan Nabi Khidir.
Bila diutusnya Nabi Musa diperkirakan tahun
1250 SM, maka Bani Israil, termasuk Yahudi di dalamnya sampai ke Baitul Maqdis
dan tinggal di sana kembali pada sekitar tahun 1200 SM. atau lebih dari itu.
Itupun mereka tidak menetap di kota tempat beradanya Masjidil-Aqsha, melainkan
hanya sampai di Ariha dan membangun kota di sana. Untuk beberapa waktu mereka
hidup nyaman dan damai. Akan tetapi, sebagian besar mereka kembali kepada
sifat-sifatnya yang tidak mau tunduk dan taat pada Rasul Allah Swt.
berganti-ganti diutus Rasul kepada mereka, namun hanya sedikit yang beriman.
Allah Swt. kemudian berkehendak lain kepada Bani Israil dengan mengirimkan
Thalut bersama dengan Nabi Daud yang sanggup mengalahkan raja Jalut yang
menindas Bani Israil. Nabi Daud yang hidup sekitar tahun 1000-an SM akhirnya
berhasil menegakkan warwah Bani Israil dengan membangun kerajaan Bani Israil
yang besar di Baitul Maqdis pada sekitar tahun 950 SM. Nabi Daud kemudian
digantikan oleh anaknya Nabi Sulaiman yang kerajaannya di Baitul Maqdis lebih
kuat dan lebih besar. Nabi Sulaiman kemudin membangun kembali dan memperluas
Masjidil-Aqsha yang disangka oleh orang Yahudi sebagai Haikal Sulaiman (Solomon
Temple).
Sepeninggal Nabi Sulaiman, tidak ada lagi
pemimpin besar sesudahnya. Bani Israil berebut pengaruh dan kekuasaan hingga
akhirnya menjadi lemah. Pada tahun 750SM, Kerajaan Asyuria dari Irak
menaklukkan Baitul Maqdis dan wilayah Palestina lainnya sehingga raja-raja
Yahudi harus membayar jizyah pada kerajaan ini. Namun, bangsa Asyuria tidak
berkuasa lama, karena Kerajaan Babilonia atau bangsa Keldonia yang juga
sama-sama dari Irak berhasil menaklukkan Kerajaan Asyuria. Kawasan
Baitul-Maqdis dan Palestina secara keseluruhan dikuasai oleh Babilonia.
Raja-raja Yahudi harus tunduk kepada Babilonia. Akan tetapi, pada tahun 586 SM
bangsa Yahudi ini berusaha untuk melakukan pemberontakan terhadap Babilonia
yang saat itu dipimpin Nebukadnezar. Pemberontakan ini gagal sehingga
menyebabkan bangsa Yahudi dibantai dan sisanya dipaksa untuk meninggalkan
Baitul Maqdis dan Palestina. Mereka kemudian berdiaspora yang pertama ke
berbagai kawasan sekitar Palestina. Nebukadnezar juga menghancurkan
Masjidil-Aqsha diratakan dengan tanah sehingga tidak ada satu puing pun yang
tersisa. Beruntung Raja Persia pada tahun 515 SM berhasil mengambil kekuasaan
atas Baitul-Maqdis dan Palestina dari tangan Babilonia. Orang-orang Bani Israil
(baca: Yahudi) diperbolehkan kembali ke Baitul-Maqdis dan membangun kembali
Masjidil-Aqsha. Mereka bahkan diberi izin kembali oleh Persia untuk membangun
kekuasaan kembali dan menerapkan hukum sendiri di Baitul-Maqdis, namun di bawah
control Persia. Keadaan seperti ini bertahan hingga sekitar 200 tahun, namun
seperti biasa orang-orang Yahudi ini pun menjalaninya dengan penuh kecurangan
sampai datang penguasa besar dalam sejarah dunia, yaitu Alexander Agung dari
Macedonia.
Mengapa Yahudi Menginginkan
Baitul-Maqdis?
Telah dijelaskan di atas tentang siapa yang menghuni
Palestina dan tanah Baitul Maqdis yang pertama. Jawabannya bukanlah bangsa
Yahudi (Bani Israil), melainkan bangsa-bangsa lain dari berbagai kawasan
seperti dari Arab dan Yunani. Berkali-kali bangsa Yahudi (Bani Israil) keluar
dari tanah Baitul-Maqdis, baik karena keinginan sendiri seperti pada masa Nabi
Yusuf as. maupun karena pengusiran seperti saat Nubukadnezar dari Babilonia
(Keldonia) berkuasa atas Baitul Maqdis setelah sebelumnya mereka bisa masuk
lagi ke kawasan Baitul-Maqdis dibawa oleh Nabi Musa dan Nabi Yusya’ bin Nun.
Oleh sebab itu, sebetulnya sama sekali tidak ada pembenaran dari sejarah bahwa
bangsa Yahudi (Bani Israil)-lah yang berhak atas tanah ini.
Untuk memperjelas peristilahan perlu
ditegaskan sekali lagi tentang penyebutan Yahudi dan Bani Israil di dalam
tulisan ini. Istilah bangsa Yahudi sast ini sebetulnya merujuk kepada anak-anak
keturunan Nabi Ya’qub as., walaupun bisa jadi keliru. Nabi Ya’qub
dikenal dengan nama “Israil” sehingga anak keturunannya yang berasal dari 12
anaknya sering disebut sebagai Bani Israil. Semestinya, Yahudi
adalah nama bagi anak keturunan Yehuda salah satu
anak dari Nabi Ya’qub saja. Akan tetapi kemudian nama Yahudi sebagai nama
sebuah “bangsa” justru merupakan nama bagi seluruh anak keturunan Nabi Ya’qub,
bukan hanya anak keturunan Yehuda. Dalam hal ini nama “Yahudi” berarti sama
dengan nama “Bani Israil”. Sementara bila merujuk pada peristilahan Al-Quran,
dibedakan antara penyebutan kata Bani Israil dengan Yahudi. Bila menyebut suatu
bangsa, maka digunakan nama “Bani Israil”, sementara kata “Yahudi” digunakan
untuk menyebut agama menyimpang yang diciptakan oleh sebagian bangsa Bani
Israil. Istilah dalam tulisan ini akan merujuk kepada istilah Al-Quran ini.
Oleh sebab itu, bila menggunakan nama “Yahudi” sebagai bangsa maka akan disebut
“bangsa Yahudi”.
Pertanyaan yang patut diajukan berikutnya
adalah mengapa keturunan Bani Israil, terutama yang beragama Yahudi ingin
kembali “Baitul-Maqdis”? Pertanyaan ini akan sedikit terjawab apabila kita
ikuti kisah berikutnya setelah Alexander Agung dari Yunani (Macedonia)
menaklukkan kawasan Baitul-Maqdis dari tangan bangsa Persia sekitar tahun 332
SM. Sama seperti penguasa-penguasa lain yang berhasil menaklukkan kawasan ini,
Alexander Agung pun menjadi penguasa sangat kuat dan besar saat itu.
Kekuasaannya membentang dari Timur ke Barat. Selain menguasi Yunani dan
berbagai kawasan di wilayah Eropa, Alexander Agung juga mampu menguasai seluruh
wilayah Asia Barat, seluruh kawasan Syam termasuk Syam dan Baitul Maqdis, Irak,
Persia, Mesir, hingga India. Alexander Agung kurang dari sepuluh tahun berkuasa
atas Baitul-Maqdis karena ia meninggal pada tahun 323 SM, tapi salam waktu yang
singkat itu, berhasil menguasi “dunia”. Oleh sebab itu, bangsa Eropa (Barat)
hari ini amat mengagungkan Yunani sebagai salah satu identitas masa lalu
mereka. Ibu kota Macedonia, yaitu Petra, hingga saat ini tetap dipelihara
situsnya untuk mengingatkan kebesaran bangsa Yunani pada masa lalu itu dan
menjadi penyemangat bangsa Barat untuk kembali menguasai dunia.
Sepeninggal Alexander Agung, selain wilayah
kekuasaannya kembali terpecah belah, di Yunani yang menjadi pusat kekuasaannya
terjadi perusakan dan perubahan keyakinan besar, yaitu munculnya gagasan
tentang penyembahan dewa-dewa yang dikenal dalam mitologi Yunani; dan dewa
tertingginya adalah Zeus yang tinggal di Gunung Olympus. Pencetusnya adalah
bangsa Saluki salah satu keturunan bangsa asli Yunani Hellenes. Saluki adalah
nama salah satu kota di Yunani. Setelah kematian Alexander Agung, bangsa Saluki
menjadi salah satu penguasa terkuat di Yunani dan beberapa kawasan bekas
kekuasaan Alexander Agung. Bahkan dibandingkan dengan penguasa lain pecahan
Alexander Agung, Yunani di bawah bangsa Saluki masih yang terkuat di dunia.
Mungkin salah satu penyebabnya adalah masih dapat dikuasainya Palestina dan
Baitul-Maqdis hingga tahun 200 SM.
Munculnya kekuasaan bangsa Saluki yang paganis
ini berdampak pada dipaksanya bangsa Yahudi (Bani Israil) yang mendiami kawasan
Baitul-Maqdis dan Palestina untuk berkeyakinan seperti mereka. Di antara bangsa
Yahudi ada yang akhirnya ter-Yunani-kan, namun sebagian lain masih ada yang
tetap teguh dengan keyakinan yang diajarkan oleh nabi-nabi mereka. Yang
terpengaruh kepercayaan Yunani disebut Yahudi-Yunani (Hellenistic Judaism),
sedangkan yang menolak di-Yunani-kan dinamakan Makabiyyun (Maccabees atau
Maqabim) diambil dari salah satu nama suku terkuat bangsa Yahudi. Mereka
melakukan pemberontakan terhadap penguasa Yunani (Saluki) dan akhirnya dapat
melepaskan Baitul-Maqdis secara independen dari Yunani dan mendirikan dinasti
Hasmonean yang berkuasa di Baitul-Maqdis secara terbatas antara tahun 167 SM
hingga 67 SM.
Nasib Yunani sendiri tidak lama bisa berjaya
atas kekuasaannya yang luas setelah kehilangan Baitul-Maqdis. Satu persatu
kawasan yang dikuasainya jatuh ke tangan imperium baru yang berasal dari Itali,
yaitu bangsa Romawi. Setelah seluruh kawasan Yunani dan yang dikuasainya jatuh
ke tangan Romawi, tidak berapa lama Baitul-Maqdis pun dikuasainya, yaitu pada
tahun 67 SM. Secara bertahap dinasti Hasmonean (Maccabes) disingkirkan dari
Baitul-Maqdis. Kawasan ini kemudian dikendalikan sepenuhnya oleh bangsa Romawi.
Hanya saja bangsa Romawi dari Barat ini harus bersaing dengan bangsa Persia
dari Timur. Kadua imperium ini silih berganti menguasai kawasan ini. Kadang
berada di bawah Romawi; kadang berada di bawah Persia. Sebagaimana
bangsa-bangsa lain pada umumnya, siapa yang menguasai kawasan Baitul-Maqdis
maka penguasanya akan menjadi penguasa besar di dunia. Pada awal-awal abad
masehi hingga diutusnya Nabi Muhammad saw. (abad ke-6 M) dunia ini dikuasai dua
imperium besar: Romawi di Barat dan Persia di Timur. Dua imperium inilah yang
dihadapi Nabi Muhammad Saw. saat ia diutus di Mekah. Mekah dipilih oleh Allah
Swt. disebabkan posisinya sebagai perlintasan jalur dagang internasional yang
tidak dikuasai oleh Romawi dan Persia sehingga posisi ini sangat strategis
secara geopolitik.
Sejak diutus oleh Allah Swt. sebagai nabi bagi
seluruh umat manusia, Nabi Muhammad Saw. sudah diisyaratkan oleh Allah Swt.
untuk bisa menjadi penguasa dunia. Tentu saja Nabi Muhammad Saw. harus
menaklukkan Persia dan Romawi. Hanya saja, sebelum menaklukkan kedua imperium
besar ini Nabi Muhammad Saw. harus menghadapi penghalang dari dalam, yaitu
orang-orang kafir Quraisy. Semenjak Hijrah ke Madinah, strategi Nabi Saw.
sangat jitu untuk menuju penaklukan Persia dan Romawi. Perang-perang Nabi Saw.
mula-mula diarahkan untuk menaklukkan Mekah yang dikuasai oleh bangsa Quraisy
yang masih musyrik hingga dapat ditaklukkan pada tahun ke-8 H (630 M). Setelah
itu, pasukan-pasukan Rasulullahsaw. Ada yang diarahkan ke Persia dan Romawi.
Saat itu, Persia sendiri sudah mulai melemah akibat kekalahannya yang bertubi-tubi
atas bangsa Romawi. Bahkan Baitul-Maqdis yang beberapa puluh tahun dikuasai
Persia sudah jatuh ke tangan Romawi. Oleh sebab itu, Rasulullah Saw. lebih
berfokus kepada Romawi. Ia memulai ekspedisi menuju Romawi ke Mu’tah di bawah
panglima Khalid ibn Walid pada tahun ke-8 H. Tahun berikutnya dikirimkan
kembali pasukan ke Tabuk di bawah komandi Zaid ibn Haritsah bekas budaknya.
Pada tahun ke-10 Rasulullah Saw. sudah bersiap mengirimkan pasukan di bawah
pimpinan Usamah putra Zaid ibn Haritsah, namun beliau keburu meninggal. Oleh
Abu Bakar pasukan ini tetap diteruskan hingga mendapatkan kemenangan tepat di
pinggir kawasan Baitul-Maqdis.
Sementara itu, penaklukkan ke Persia dimulai
pada masa Abu Bakar. Abu Bakar sangat paham strategi yang dijalankan Rasulullah
Saw. Ia mengirimkan pasukan Mutsanna ibn Al-haritsa setelah pasukan Usamah ibn
Zaid dan Khalid ibn Walid mendapatkan kemenangan di berbagai wilayah Syam yang
saat itu berada di bawah Romawi. Perang ini dipicu oleh ketakutan bangsa Persia
sendiri, namun harus berakhir dengan kekalahan. Sebab setelah itu berturut
turut pada masa Umar ibn Khattab terjadi Perang Jisr (13 H) dan Qadisiyyah (14
H) yang mengakhiri kekuasaan Persia. Setahun kemudian, setelah menaklukkan
seluruh Syam dan Mesir pada tahun 15 H. Umar ibn Khattab berhasil merebut
Baitul-Maqdis dari tangan Romawi. Keberhasilan Umar menguasai Baitul-Maqdis
menjadi tonggak terus meluasnya kekuasaan Islam secara mudah hingga menguasai
2/3 dunia pada masa Bani Umawiyah, hanya beberapa pulu tahun setelah
ditaklukkannya Baitul-Maqdis. Oleh sebab itu, Risalah Islam pun merata dapat
disebarkan ke seluruh penjuru dunia sesuai dengan misi kenabian Muhammad
Saw.
Bila memperhatikan rangkaian kisah di atas,
menjadi amat dimaklumi bila bangsa Yahudi (Bani Israil) ingin kembali menguasai
Baitul-Maqdis setelah mereka diusir untuk kesekian kalinya oleh bangsa Romawi.
Bangsa Yahudi yang kini semakin jauh dari petunjuk Allah Swt. bersama dengan
agama Yahudi yang diciptakanya juga berhasrat ingin menguasai dunia. Mereka
sangat tahu bahwa mereka bisa melakukan itu bila Baitul-Maqdis kembali ke
tangan mereka. Kejayaan Nabi Sulaiman yang mereka klaim sebagai leluhur mereka
menjadi klaim utama mereka. Selain itu, kenyataan sejarah sepanjang mereka
hidup telah mengajarkan mereka untuk sekuat tenaga kembali ke Baitul-Maqdis.
Inilah saat yang mereka tunggu dalam sejarah hidup mereka.
Diulas oleh Tim
Redaksi
Risalah
Jum'ah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar