Oleh: Aay Muhammad Furkon, MA
Masa kejayaan Islam (golden age of Islam) baik di Barat
(Cordova) maupun di Timur (Baghdad) di tandai dengan warisan tradisi ilmu
pengetahuan yang sangat luas. Para ilmuwan muslim mulai dari Ibnu Sina, Ibnu
Rusd, dan Ibnu Batutah dll.seakan berlomba dalam menciptakan teori diberbagai
disiplin ilmu. Pada masa kejayaan Islam, kalangan intelektual Barat banyak
menimba ilmu dari Islam, karena intelektual muslim merupakan produsen ilmu
pengetahuan.
Dalam penemuan berbagai teorinya,
di berbagai disiplin ilmu, dalam membangun argumentasi teoritisnya kalangan
intelektual muslim, tidak pernah melepaskan unsur tauhid dalam ilmu
pengetahuan. Tauhid merupakan pijakan pokok dalam mengembangkan berbagai teori
keilmuan. Dengan demikian, tidak ada keterpisahan antara nilai-nilai yang
transcenden dengan alam nyata yang menjadi objek observasi.
Seiring dengan runtuhnya
kekhalifahan Islam dan redupnya temuan ilmu pengatahuan di masyarakat muslim,
maka Barat mengambil alih posisi dalam peradaban dan ilmu pengetahuan. Tradisi
pengetahuan Islam beralih dari agresif – melahirkan banyak teori – menjadi
konservatif hanya menghafal. Seperti kita dapatkan hari ini, banyak perguruan yang
hanya berorientasi pada hafalan, sementara penalaran seakan menemui jalan
buntu.
Dasar
Pemikiran Pendidikan Islam
Beberapa cendikiawan muslim,
seperti Ismail Raj’I al-Farouqi, Syed Naqib al-Attas, dan lainnya berpendapat
bahwa problem utama dalam dunia pendidikan saat ini adalah kuatnya anggapan
bahwa 'agama' dan 'ilmu' adalah dua
ranah yang berbeda yang tak mungkin dipersatukan. Keduanya mempunyai wilayah
sendiri-sendiri terpisah antara satu dengan lainnya.
Perbedaan antara agama dan ilmu
semakin hari semakin jauh, ibarat deret ukur terbalik dan membawa akibat yang
tidak nyaman bagi kehidupan dan kesejahteraan umat manusia. Dikotomi ilmu
pengetahuan ini semakin menemukan pijakannya manakala Barat menjadi pusat dunia
pendidikan. Ironisnya dunia Islam, hanya mengekor pada apa yang telah
dilahirkan oleh Barat, seperti diungkapkan oleh Sophie Bessis, dalam bukunya Western
Supremacy Triumph of an Idea, bahwa dunia selain Barat saat ini hanya
mengikuti pemikiran yang dikembangkan oleh Barat. Sebab hanya baratlah yang
memproduksi berbagai macam teori.
Diagnosa terhadap masalah utama
pendidikan yaitu adanya dikotomi antara agama dan ilmu pengetahuan, maka M.
Naquib Al-attas, Ismail Raj’I al-Faruqi beserta intelektual muslim lainnya
mengkonstruksi ulang bangunan ilmu dalam perspektif Islam. Dari hasil kajian
mereka ditemukanlah teori yang sering disebut “islamisasi ilmu pengetahuan” (islamization of knowledge. Inti pokoknya
adalah mengikat semua ilmu dengan “Tauhid” agar tidak terjadi dikotomi
seperti yang disaksikan saat ini.
Nor Wan Daud Wan Mohd, dalam
bukunya Filsafat
dan Praktek Pendidikan Islam Syed Muhammad Naquib Al-Attas, menjelaskan bahwa ide
Islamisasi ilmu pengetahuan atau lebih tepatnya Islamisasi ilmu pengetahuan
kontemporer lahir berangkat dari anggapan bahwa ilmu pengetahuan kontemporer
tidak bebas nilai dan tidak universal. Selanjutnya Prof. M. Naquib Al-Attas
menjelaskan bahwa bahwa ilmu pengetahuan modern sangat dipengaruhi oleh
pandangan-pandangan keagamaan, kebudayaan, dan filsafat, yang mencerminkan
kesadaran dan pengalaman Barat.
Pemikiran Barat yang paling banyak
mempengaruhi terhadap kelahiran ilmu pengetahuan modern adalah pemikiran
sekularisme dan materialisme. Sekularisasi di sini melibatkan tiga komponen
terpadu; “penolakan unsur ruhiyyah dalam alam semesta, memisahkan agama
dari politik, dan penolakan terhadap adanya nilai-nilai yang mutlak seperti
nilai dari wahyu Allah Swt. (Al-Quran dan Sunnah)”. Pemikiran ini mempengaruhi
konsep, penafsiran, dan makna ilmu itu sendiri.
Karenanya tugas Islamisasi ilmu yang
paling pokok adalah menyingkirkan terlebih dahulu bias-bias pemikiran sekuler
dalam semua disiplin ilmu pengetahuan, termasuk pemikiran sekuler dalam ilmu
agama yang dikenalkan oleh para pemikir yang dikenal dengan sebutan “Islam
Liberal.” Setelah itu, setiap disiplin ilmu landasan pemikirannya didasarkan
pada pandangan dasar Islam (Islamic worldview). Dengan sendirinya
berbagai hal yang berkaitan dengan ilmu itu akan sesuai dengan Islam dan tidak
akan terjadi lagi “dikotomi” dalam hal keilmuan apapun.
Cakupan Islamisasi ilmu di atas
menunjukkan bahwa Islamisasi ilmu utamanya adalah persoalan epistemologi dan
metodologi. Hasilnya nanti adalah ilmu-ilmu yang bisa jadi hampir sama dengan
yang telah ada sebelumnya, namun landasan dasar dan paradigmanya adalah
“Islam”. Oleh sebab landasan dasar yang sama, maka antara yang sering disebut
“ilmu agama” dan “ilmu umum” (ilmu sekuler) akan memiliki bobot nilai yang sama
pada taraf tertentu sehingga tidak perlu dipertentangkan. Keduanya akan
terintegrasikan secara epistemologi.
Sebagai konsekwensi gerakan
Islamisasi Ilmu Pengetahuan ini dalam pengajaran adalah adanya sintesis kreatif
di antara kedua domain ilmu agama dan ilmu non-agama saat diajarkan di berbagai
lembaga-lembaga pendidikan Islam. Oleh karena yang dirujuk dalam Islamisasi
ilmu ini adalah apa yang sudah dilakukan para ulama dahulu pada saat zaman
kejayaan Islam, maka sebetulnya dalam pengajaran pun sudah dipraktikkan sejak
dulu.
Integrasi dalam pengajaran dan
pendidikan Islam sebagaimana dicontohkan para ulama terdahulu adalah
menghidupkan kembali pengajaran “fardhu ‘ain” dan “fardhu kifayah”.
Pengajaran fardhu ‘ain yang harus dipelajari setiap orang dengan
peminatan ilmu apapun adalah pengajaran agama (‘ulum al-syar’iyyah) dengan
ukuran sejauh yang akan dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Sementara
ilmu fardhu kifâyah adalah semua disiplin ilmu yang dibutuhkan oleh
manusia, termasuk ilmu-ilmu agama bagi calon-calon pengajar agama, da’I, dan
ulama. Walaupun di lapangan nantinya pasti setiap orang akan memiliki keahlian
yang berbeda-beda, namun semuanya akan diikat oleh ikatan yang sama, yaitu
“Islam” yang dijadikan pegangan dalam hidupnya.
Pendidikan
Islam di Indonesia
Meski penduduk Indonesia mayoritas
muslim, namun tradisi intelektual pada masa kejayaan Islam tidak sampai ke
Indonesia. Pendidikan Islam di Indonesia mulai berkembang seiring dengan
datangnya penjajah Barat ke Indonesia. Karenanya pendidikan Islam diperhadapkan
dengan penjajah Belanda yang mempunyai misi tersendiri tentang pendidikan.
Pesantren merupakan salah satu dari
model pendidikan Islam di Indonesia. Model pendidikan pesantren mengikuti pola
defensif atau menghafal. Pelajaran agama, baik qur’an maupun hadis serta yang
lainnya mengikuti pola penghafalan. Model pendidikan pesantren, pada zaman
penjajahan, nyaris tak mengenal ilmu
pengetahuan umum. Model pendidikan pesantren hanya mengenal ilmu yang terkait
dengan masalah agama, sementara ilmu pengatahuan umum seakan menjadi milik
penjajah.
Keberadaan penjajahan di Indonesia
yang lebih banyak memperhatikan ilmu pengetahuan umum untuk para anak didik
penjajah dan ilmu agama yang dipelajari dipesantren menjadi hak milik pribumi.
Kondisi ini, secara sengaja berimplikasi bahwa pendidikan di zaman penjajahan
terbelah menjadi dua, pendidikan agama dan pendidikan umum. Implikasi dari
keterpisahan ini seakan kedua ilmu tersebut bertentangan satu dengan yang lainnya.
Dikotomi pendidikan ini juga
berimplikasi pada aspek sosial dan politik. Bagi kalangan pribumi yang ingin
sekolah umum, mendapatkan stigma sebagai ‘antek’ penjajah, sementara bagi
kalangan santri yang belajar di pesantren akan selalu dianggap sebagai pemberontak.
Lebih dari itu, bagi kalangan siswa yang belajar di pesantren selalu mendapat
stigma kalangan kolot.
Pandangan kolot tersebut terbawa
hingga masa kemerdekaan. Bagi kalangan pelajar yang memegang ijazah pesantren,
sepandai apapun tidak akan pernah diizinkan masuk perguruan tinggi negeri. Hal
ini terjadi sejak zaman penjajahan, Orde Lama, dan Orde Baru. Kalangan pelajar
yang memegang ijasah pesantren baru diizinkan masuk ke perguruan tinggi negeri
pada era reformasi. Pada awalnya, pelajar dari pesantren yang masuk perguruan
tinggi negeri juga merupakan percobaan. Namun karena prestasinya baik, bahkan
diatas rata-rata, maka perguruan tinggi negeri semakin membuka pintu untuk
kalangan santri.
Karena itu tak berlebihan kalau
cendikiawan muslim, Nurcholish Madjid mengatakan dalam buku Pergulatan Dunia
Pesantren, seandainya kita tidak pernah dijajah, pesantren-pesantren
tidaklah begitu jauh terperosok ke dalam daerah pedesaan yang terpencil seperti
sekarang, melainkan tentunya akan berada di kota-kota pusat kekuasaan atau
ekonomi, sekurang-kurangnya tidak terlalu jauh dari sana, sehingga perguruan
tinggi tidak akan berupa UI, IPB, ITB, UGM, UNAIR dan lain-lain, tetapi mungkin
‘universitas’ Tremas, Krapyak, Tebuireng, Bangkalan, Lasem dan seterusnya. Hal
itu sebagai kemungkinan ditarik setelah melihat dan membuat kias secara kasar
dengan pertumbuhan sistem pendidikan di Negara-negara Barat sendiri, dimana
hampir semua universitas yang terkenal berasal dari cikal bakal
perguruan-perguruan keagamaan.
Pekerjaan rumah terbesar bagi
pendidikan Islam saat ini adalah bagaimana mengembalikan kejayaan perdaban
Islam. Jalannya hanya satu yaitu menghidupkan lagi tradisi pengkajian ilmu
dalam semua disiplin yang dibutuhkan oleh masyarakat. Akan tetapi, modelnya
bukan mengekor ke Barat, melainkan dihujamkan pada ajaran Islam yang berdasar
wahyu Allah Swt. yang tidak mungkin isinya salah. Mampukan pesantren-pesantren
kita di Indonesia melakukan cita-cita besar tersebut? Sepanjang keyakinan kita
kuat dan usaha kita maksimal, tidak ada yang mustahil bagi Allah Swt. Wallahu
A’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar