11 Agustus 2017

JALAN BARU MENUJU PALESTINA



Oleh: Tiar Anwar Bachtiar

Hasil gambar untuk Baitul-Maqdis
Penjajah Israel belum lama ini melakukan tindakan biadab luar biasa terhadap umat Islam. Sebuah tindak kejahatan yang amat terkutuk dan layak disebut extra ordinary crime. Pintu Masjidil-Aqsha ditutup; umat Islam dilarang menjalankan shalat di sana. Saat rakyat Palestina memaksa tetap melaksanakan shalat di luar Mesjid, dengan pongahnya tentara Israel kemudian memberondong mereka dengan peluru. Imam masjid syahid di tempat. Jelas ini merupakan pelanggaran amat berat terhadap kemanusiaan, walaupun tidak terdengar—bahkan sayaup-sayup sekalipun—teriakan lembaga-lembaga pembela HAM mengutuk dan menghentikan perilaku durjana ini.
Bagi umat Islam ini bukan kejadian pertama kali; juga bukan kali pertama negara-negara Barat sang pendaku pembela kemanusiaan hanya diam lalu tertawa melihat kekejaman terhadap umat Islam. Marahkah umat Islam? Tidak perlu ditanya. Amat sangat marah. Reaksi spontan muncul dari umat Islam di seluruh belahan dunia. Israel dikutuk di seluruh penjuru bumi. Doa-doa bagi kehancuran bangsa penjajah ini hingga sumpah serapah memecah langit semenjak sehari peristiwa kebiadaban Israel ini.
 Bila dihitung sejak settlement pertama Yahudi tahun 1917 yang merupakan awal mula penjajah menginjakkan kaki di kawasan ini, berarti sudah 100 tahun negeri para Nabi ini dijajah. Mungkin juga penjajah Israel ini sengaja memilih tahun 2017 ini untuk melakukan aksinya melarang kaum Muslim shalat di sana sebagai target yang telah mereka canangkan untuk sepenuhnya menguasai kawasan ini. Bagi kita umat Islam tentu saja hitungan 100 tahun ini justru harus menjadi bahan evaluasi mengapa begitu lama kawasan kiblat pertama umat Islam dan bangunan kedua di dunia setelah Masjidil Haram ini dijajah oleh Zionis Israel laknatullah ‘alaihim. Evaluasi ini menjadi penting untuk menata langkah agar lebih efektif dalam perjuangan kita dalam membebaskan Masjidil Aqsha.
Bila diperhatikan dari tahun 1917 hingga saat ini, situasi penjajahan di Palestina boleh dikatakan semakin parah dan membabi buta. Pembangunan pemukiman Yahudi di kawasan perkampungan Palestina semakin meluas. Pengusiran penduduk yang melawan tidak pernah behenti hingga kini sampai-sampai amat sulit para pengungsi Palestina ini kembali ke tanah mereka. Pembantaian dan pembunuhan terhadap rakyat Palestina yang tidak mau tunduk pada Zionis adalah lagu lama yang terus menerus diulang. Perjanjian demi perjanjian walaupun ditandatangani di depan para petinggi PBB, bila tidak dilanggar sepertinya mereka bukan Yahudi Zionis. Blokade dan boikot terhadap kota yang tidak mau tunduk seperti Gaza hingga penduduknya kelaparan adalah hal biasa pula. Peta Israel kian hari kian meluas hingga akhirnya mereka menargetkan tidak ada lagi Palestina; yang ada hanya Israel.
Muncul pertanyaan sangat serius: mengapa hal ini terjadi? apakah kaum Muslim dan Negara-negara Islam tidak memperhatikan Palestina dan tidak melakukan apa-apa hingga keadaannya separah itu? Untuk menjawab pertanyaan pertama setidaknya ada beberapa hal yang bisa kita perhatikan. Pertama, sejak penaklukan oleh Umar ibn Khattab kawasan ini tercatat dua kali direbut oleh orang-orang kafir, yaitu oleh Pasukan Salib antara tahun 1099 – 1189 dan kemudian oleh Zionis Yahudi sejak tahun 1917 hingga sekarang. Dua kali penaklukkan kawasan ini bukan disebabkan semata-mata oleh lemahnya orang-orang Palestina, melainkan karena lemahnya umat Islam secara keseluruhan. Pada kejatuhannya ke tangan Pasukan Salib situasi umat Islam tengah dihadapkan pada konfil akut antar-umat Islam sendiri. Kekhalifahan Abbasiyah tengah berada pada titik nadir terendah dalam kekuasaannya. Kawasan sekeliling Palestina seperti Mesir, Syiria, dan sebagian yang sekarang masuk kawasan Turki dikuasai oleh Dinasti Fatimiyyah penganut Syiah Ismailiyyah. Dinasti Fatimiyyah inilah yang berkomplot dengan Tentara Salib menyerahkan kawasan ini ke tangan mereka. Hal ini dapat terlihat dari usaha Imaduddin Zanki, Nuruddin Zanki, dan Shalahuddin Al-Ayyubi saat merebutnya kembali. Mereka harus terlebih dahulu menaklukkan Dinasti Fatimiyyah untuk bisa merebut kembali Baitul Maqdis dari tangan pasukan Salib. Begitu pula ketika kawasan ini jatuh ke tangan Inggris dan diserahkan kepada Zionis Yahudi melalui Deklarasi Balfour tahun 1917. Saat itu, umat Islam sudah berhasil dipecah belah melalui isu “nasionalisme”. Setiap kawasan Islam dipaksa hanya peduli pada nasib di tempatnya sendiri. Urusan di tempat lain menjadi urusan mereka sendiri. Skema inilah yang kemudian menciptakan negara-negara Islam baru dalam bentuk nation state.
Kedua, pada penaklukkan Palestina yang kedua ini nasionalisme di negara-negara Islam dan terutama negara-negara Arab di sekeliling Palestina semakin kuat hingga saat ini isu Palestina dan Baitul-Maqdis berhasil digeser dari isu umat Islam seluruh dunia menjadi isu lokal rakyat Palestina saja. Para pemimpin negara-negara Arab disibukkan dengan urusan mereka masing-masing. Tidak ada satupun negara Arab yang memiliki militansi dan keseriusan untuk membebaskan Palestina dari cengkraman Zionis Israel. Bahkan, sebagian mereka ada yang dengan terbuka malah mengambil keuntungan dari kerjasama mereka dengan Israel. Tidak sedikit di antara negara-negara Arab yang malah mengutuk para pejuang Palestina seperti HAMAS yang dianggap menjadi penyebab Israel selalu punya alasan untuk menyerang rakyat Palestina, terutama di Gaza. Arab Saudi adalah salah satu negara yang terang-terangan menyebut HAMAS sebagai “teroris”.
Ketiga, bila secara politik umat Islam diserang dengan virus nasionalisme, maka secara pengetahuan awam di kalangan umat Islam, penyikapan terhadap Palestina ini dilemahkan dengan pemikiran sekuler. Pemikiran ini menafikan pemahaman Ilahiyyah tentang kawasan Baitul Makdis. Padahal, baik di dalam Al-Quran maupun hadis, perkara Baitul Makdis banyak dibicarakan. Semuanya mengandung isyarat Ilahiyyah (nubuwwat) yang sesungguhnya dapat mengantarkan kita pada pemahaman yang benar dan mendasar tentang masalah Palestina ini. Sayang sekali, disebabkan serangan pemikiran sekuler ini banyak umat Islam yang menganggap masalah Palestina ini, bukan hanya sekedar masalah lokal orang Palestina semata bahkan dianggap hanya sebagai suatu peristiwa politik perebutan kekuasaan biasa. Inilah yang menyebabkan umat Islam semakin lemah dan semakin apatis untuk turut serta berjuang membebaskan Baitul Makdis.
Masalah terakhir di atas juga melanda sebagian besar rakyat Palestina pada saat awal-awal penjajahan Israel. Pejuang-pejuang kemerdekaan dari kalangan rakyat Palestina sendiri harus terlebih dahulu memberikan pemahaman yang benar mengenai masalah Baitul Maqdis kepada rakyat Palestina sendiri bahwa persoalan ini adalah persoalan agama, persoalan umat Islam sedunia, dan ujian akhir zaman yang diturunkan Allah Swt. kepada umat Islam. Pemahaman ini dapat diterima oleh sebagian, namun sebagian yang lain belum bisa memahaminya dengan baik. Oleh sebab itu, tidak semua para pemimpin pergerakan di Palestina berjuang dengan pemahaman yang benar. Inilah sesungguhnya kendala utama dalam perjuangan pembebasan Palestina.
Bila di kalangan rakyat dan aktivis Palestina saja demikian keadaannya, apalagi kaum Muslim di kawasan yang jauh dari pusat konflik. Lebih banyak lagi umat Islam di berbagai belahan dunia yang sama sekali tidak paham dengan masalah Baitul Maqdis dan Palestina ini. Masih sangat banyak yang memahami masalah ini sebagai masalah politik; atau hanya sekadar masalah kemanusiaan biasa. Akibat dari nihil-ilmu dan pemahaman keliru mengenai masalah ini, kesadaran umat Islam dan pemimpin-pemimpin Islam di berbagai belahan dunia menjadi lemah hingga menyebabkan kepedulian terhadap masalah ini sangat rendah.
Situasi ini diperburuk dengan kondisi gerakan-gerakan yang ada pun sangat sedikit yang berusaha untuk menghidupkan jalan ilmu terlebih dahulu agar dapat memberi pemahaman seluas-luasnya dan sedalam-dalamnya mengenai masalah ini. Masih sangat sedikit riset, tulisan, dan analisis dari berbagai disiplin keilmuan mengenai masalah Baitul Maqdis ini. Oleh sebab itu, sangat wajar bila pengetahuan tentang Baitul Maqdis yang dimiliki oleh umat Islam secara umum pun amat sangat dangkal. Sementara musuh-musuh Islam terus menggelontorkan pengetahuan yang justru semakin menjauhkan umat Islam dari kepedulian terhadap mereka. Jalan ilmu inilah yang dalam tulisan ini ditawarkan sebagai “jalan baru” menuju Palestina dan Baitul Makdis. Bagaimana jalan ilmu ini harus dilakukan?

Jalan ilmu sudah mulai dilakukan oleh beberapa aktivis, baik di Palestina maupun di sekitarnya, setelah dalam perjalanan perjuangan membebaskan Palestina banyak pengalaman dilalui. Hanya saja, jalan ini memang belum menjadi manstream gerakan di tengah model gerakan lain yang sudah biasa dilakukan sejak lama. Padahal, jalan ini merupakan jalan fundamental yang amat penting sebelum jalan lain sepeerti jalan politik dan militer ditempuh. Adalah Prof. Abdul Fattah Al-Awaisi dalam satu ceramah yang penulis ikuti di kantornya Islamic-Jerussalem Research Academi (ISRA) di Istanbul Turki (21/7/17) memberikan penjelasan mengenai masalah ini yang intisarinya sebagai berikut dengan tambahan dan penjelasan dari penulis.
Sejak pendudukan Palestina oleh Zionis Israel atas perlindungan Inggris tahun 1917, usaha-usaha untuk melindungi dan membebaskan Palestina dari cengkraman penjajah sudah dilakukan cukup banyak dan intensif. Jalan yang paling umum adalah perlawanan bersenjata dan tekanan masa melalui demonstrasi umat Islam di seluruh dunia menekan negara-negara yang berdekatan dan berkepentingan untuk bergerak. Perlawanan bersenjata sudah dimulai sejak tahun 1933 ketika Ikhwanul Muslimin dari Mesir turun langsung ke Palestina menolak pendudukan Yahudi di sana. Perlawanan ini terus bertahan sampai sekarang untuk menahan usaha-usaha Yahudi mencaplok kawasan yang dihuni rakyat Palestina yang hanya tersisa Jalur Gaza dan Tepi Barat. Perlwanan ini saat ini digerakkan oleh Harokah Al-Muqowamah Al-Islamiyah (HAMAS) yang dibentuk tahun 1988.
Masyarakat Palestina, terutama di Tepi Barat dan Jalur Gaza seolah sudah sangat terbiasa menghadapi situasi perang. Bagi mereka perang sudah menjadi makanan sehari-hari. Mereka yang hidup di dalam kawasan Gaza memang tidak ada pilihan lain selain harus mengangkat senjata untuk bisa bertahan hidup dan mempertahankan tanahnya yang terus-menerus dicaplok dan diduduki oleh para penjajah Israel. Bagaimana heroisme perlawanan mereka terhadap Zionis sudah sangat sering kita dengar. Akan tetapi, bila kita tanya hasil apa yang didapatkan? Jawabannya hanya sebatas untuk bisa bertahan, namun belum bisa bergerak sampai membebaskan Baitul Maqdis dari cengkeraman Zionis.
Bersamaan dengan gerakan militer ini, umat Islam di seluruh dunia tidak sedikit yang tergerak untuk ikut membantu. Akan tetapi, tidak banyak yang bisa dilakukan selain mengadakan demonstrasi dan penggalangan dana untuk tujuan kemanusiaan. Karena sudah menjadi kebiasaan umat Islam di seluruh dunia, saat ini menjamur ratusan lembaga yang didirikan untuk menyalurkan bantuan-bantuan kaum Muslim untuk rakyat Palestina, baik yang dikelola orang Palestina sendiri atapun bukan. Seolah-olah kondisi keterjajahan Palestina menjadi lahan ekonomi baru. Sebagian lembaga ada yang benar-benar hanya memanfaatkan situasi ini untuk mencari keuntungan. Mereka galang dana ke seluruh dunia, lalu disalurkan sekedarnya untuk membantu para pengungsi atau orang-orang miskin di Palestina, sisanya sebagian besar mereka gunakan untuk kehidupan mereka sendiri. Tidak jelas ke mana arah penggunaan dana ini dalam konteks pembebasan Baitul Maqdis secara paripurna. Tentu tidak semua demikian. Banyak yang sungguh-sungguh ingin berjuang untuk membebaskan Palestina dengan dana yang mereka galang.
Baik gerakan militer dan gerakan kemanusiaan, betapapun manfaatnya dirasakan ada, namun tetap saja menyisakan pertanyaan sangat mendasar: bagaimana sebetulnya cara membebaskan Palestina dari cengkeraman Israel? Sampai kapan gerakan militer dan kemanusiaan akan dilakukan? Pada step manakah gerakan militer dan kemanusiaan ini berada dalam skema besar jalan menuju pembebasan Baitul-Maqdis? Pertanyaan-pertanyaan ini sangat sulit untuk dijawab secara meyakinkan. Hampir semua hanya sampai pada jawaban: inilah yang maksimal bisa kita lakukan untuk Palestina dan Baitul-Maqdis; inilah maksimal yang bisa kita lakukan untuk menunjukkan ada di posisi mana kita sekarang berada. Jawaban seperti ini tentu tidak salah, namun menunjukkan dengan sangat jelas bahwa kita tidak tahu dan tidak punya ilmu bagaimana caranya Baitul-Maqdis direbut kembali.
Berkait dengan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas, Allah Swt. pun tidak secara gamblang memberikan jawaban. Hal ini tentu saja bukan berarti Allah Swt. tidak tahu. Mahasuci Allah dari sifat lemah ini. Allah Swt. sengaja membiarkan seperti ini untuk menguji kaum Muslim agar menemukan jawabannya sendiri dalam ayat-ayat qauliyah-Nya dan ayat-ayat semesta yang dibentangkan-Nya selama kurun sejarah. Untuk menemukan jawaban ini tantu saja harus menempuh jalan ilmu yang tidak mudah. Harus dilakukan riset, pendalaman, dan perenungan untuk menemukan satu jawaban; lalu diuji-coba lalu dievaluasi kembali hingga terus menghasilkan ilmu yang lebih matang lagi mengenai masalah Baitul-Maqdis ini.
Pertanyaan berikutnya: sudah berapa banyak ilmuwan perorangan, lembaga riset, pusat studi, atau perguruan tinggi yang melakukan riset mengenai masalah ini? Harus kita akui bahwa masih amat jarang bila dibandingkan dengan riset dalam bidang lainnya. Kita ambil contoh di Indonesia. Di perguruan tinggi Islam mana yang jumlahnya ratusan kita temukan pusat studi mengenai Palestina dan Baitul-Maqdis? Jawabannya negatif. Tidak ada satupun. Di beberapa perguruan tinggi besar seperti UI dan UGM memang ada pusat studi khusus untuk mengkaji masalah-masalah Timur Tengah, namun hampir dipastikan visinya bukan untuk mencari ilmu bagaimana memenangkan Palestina dari Israel. Tujuan umumnya pragmatis belaka hanya untuk mengetahui situasi di Timur Tengah dan mendapatkan keuntungan dari dana bagi Indonesia. Itu saja.
Bolehlah kita menyebut di Indonesia hal semacam itu wajar terjadi. Akan tetapi bagaimana bila hal yang sama pun terjadi di negara-negara Timur Tengah yang langsung berhadap-hadapan dengan penjajahan Israel atas Palestina? Tentu ini keterlaluan. Akan tetapi begitulah kenyataannya. Belum banyak studi yang mengkhususkan diri menggali pengetahuan secara mendalam dengan tujuan akhir memperoleh ilmu untuk membuka jalan selebar-lebarnya menuju Baitul-Maqdis. Inilah yang masih sangat sedikit kita lakukan untuk membebaskan Baitul-Maqdis.
Jalan ilmu dalam perjuangan sekecil apapun adalah langkah paling dasar dan fundamental. Kita semua tahu bahwa peradaban suatu umat maju disebabkan terlebih dahulu ilmu mereka pun maju. Dengan ilmu banyak hal ditemukan. Penemuan-penemuan baru ini membuka kesempatan kepada manusia untuk menciptakan hal-hal baru dan menjawab berbagai tantangan hidup yang dihadapi. Tanpa ilmu, tantangan yang setiap saat berdatangan tidak ada satupun yang dapat dijawab. Begitu pula dengan pembebasan Baitul-Maqdis. Jalan menuju Baitul-Maqdis begitu terjal. Musuh sudah menggunakan beribu satu cara hasil pengetahuan mereka untuk tetap mempertahankan dominasi mereka atas Baitul-Maqdis. Hasilnya 100 tahun sudah Palestina masih tetap terjajah. Sementara kita hingga saat ini sangat miskin pengetahuan tentang cara menghadapi mereka. Cara-cara kita dari puluhan tahun ke belakang masih tidak banyak berubah. Lihat saja bagaimana para aktivis pembela Palestina di Indonesia, misalnya. Adakah modus dan kreativitas baru dalam men-support perjuangan saudara-saudaranya di Palestina dalam kurun 50 atau 60 tahun belakangan ini? Bila jawabannya negatif, maka ini menjadi penanda yang amat jelas bahwa kita miskin ilmu dalam masalah ini.
Lalu apa yang harus kita lakukan? Kita harus memulai cara dan tradisi baru dalam pembelaan kita terhadap Baitul-Maqdis, yaitu tradisi dan jalan ilmu. Seperti umumnya jalan ilmu, harus ada sekelompok orang yang secara khusus didorong untuk melakukan kajian serius mengenai berbagai masalah Palestina dan Baitul-Maqdis. Dana-dana yang dikumpulkan jangan semuanya digunakan untuk keperluan konsumtif. Harus ada sebagian dalam jumlah yang cukup untuk mendanai kaderisasi calon-calon ahli mengenai Palestina. Setelah itu, harus juga disiapkan dana untuk melakukan riset dari berbagai disiplin ilmu untuk memperkaya pengetahuan dalam menyingkap jalan menuju Baitul-Maqdis. Riset-riset ini selanjutnya diterbitkan dalam bentuk buku dan jurnal ilmiah yang akan menjadi bahan untuk disebarluaskan kepada masyarakat. Apabila telah banyak ilmu, maka dengan sendirinya akan terpikirkan banyak cara menuju Palestina. Inilah agenda baru umat Islam, terutama di Indonesia, dalam rangka ikut meretas jalan memerdekakan Baitul-Maqdis dari cengkeraman penjajah Zionis. Wallâhu A’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar