Oleh: Tiar Anwar Bachtiar
Penjajah Israel belum lama ini melakukan
tindakan biadab luar biasa terhadap umat Islam. Sebuah tindak kejahatan yang
amat terkutuk dan layak disebut extra ordinary crime. Pintu
Masjidil-Aqsha ditutup; umat Islam dilarang menjalankan shalat di sana. Saat
rakyat Palestina memaksa tetap melaksanakan shalat di luar Mesjid, dengan
pongahnya tentara Israel kemudian memberondong mereka dengan peluru. Imam
masjid syahid di tempat. Jelas ini merupakan pelanggaran amat berat terhadap
kemanusiaan, walaupun tidak terdengar—bahkan sayaup-sayup sekalipun—teriakan
lembaga-lembaga pembela HAM mengutuk dan menghentikan perilaku durjana ini.
Bagi umat Islam ini bukan kejadian pertama
kali; juga bukan kali pertama negara-negara Barat sang pendaku pembela
kemanusiaan hanya diam lalu tertawa melihat kekejaman terhadap umat Islam. Marahkah
umat Islam? Tidak perlu ditanya. Amat sangat marah. Reaksi spontan muncul dari
umat Islam di seluruh belahan dunia. Israel dikutuk di seluruh penjuru bumi.
Doa-doa bagi kehancuran bangsa penjajah ini hingga sumpah serapah memecah
langit semenjak sehari peristiwa kebiadaban Israel ini.
Bila
dihitung sejak settlement pertama Yahudi tahun 1917 yang merupakan awal
mula penjajah menginjakkan kaki di kawasan ini, berarti sudah 100 tahun negeri
para Nabi ini dijajah. Mungkin juga penjajah Israel ini sengaja memilih tahun
2017 ini untuk melakukan aksinya melarang kaum Muslim shalat di sana sebagai
target yang telah mereka canangkan untuk sepenuhnya menguasai kawasan ini. Bagi
kita umat Islam tentu saja hitungan 100 tahun ini justru harus menjadi bahan
evaluasi mengapa begitu lama kawasan kiblat pertama umat Islam dan bangunan
kedua di dunia setelah Masjidil Haram ini dijajah oleh Zionis Israel laknatullah
‘alaihim. Evaluasi ini menjadi penting untuk menata langkah agar lebih
efektif dalam perjuangan kita dalam membebaskan Masjidil Aqsha.
Bila diperhatikan dari tahun 1917 hingga
saat ini, situasi penjajahan di Palestina boleh dikatakan semakin parah dan
membabi buta. Pembangunan pemukiman Yahudi di kawasan perkampungan Palestina
semakin meluas. Pengusiran penduduk yang melawan tidak pernah behenti hingga
kini sampai-sampai amat sulit para pengungsi Palestina ini kembali ke tanah
mereka. Pembantaian dan pembunuhan terhadap rakyat Palestina yang tidak mau
tunduk pada Zionis adalah lagu lama yang terus menerus diulang. Perjanjian demi
perjanjian walaupun ditandatangani di depan para petinggi PBB, bila tidak
dilanggar sepertinya mereka bukan Yahudi Zionis. Blokade dan boikot terhadap
kota yang tidak mau tunduk seperti Gaza hingga penduduknya kelaparan adalah hal
biasa pula. Peta Israel kian hari kian meluas hingga akhirnya mereka
menargetkan tidak ada lagi Palestina; yang ada hanya Israel.
Muncul pertanyaan sangat serius: mengapa hal ini terjadi? apakah kaum
Muslim dan Negara-negara Islam tidak memperhatikan Palestina dan tidak
melakukan apa-apa hingga keadaannya separah itu? Untuk menjawab pertanyaan pertama
setidaknya ada beberapa hal yang bisa kita perhatikan. Pertama, sejak
penaklukan oleh Umar ibn Khattab kawasan ini tercatat dua kali direbut oleh
orang-orang kafir, yaitu oleh Pasukan Salib antara tahun 1099 – 1189 dan
kemudian oleh Zionis Yahudi sejak tahun 1917 hingga sekarang. Dua kali
penaklukkan kawasan ini bukan disebabkan semata-mata oleh lemahnya orang-orang
Palestina, melainkan karena lemahnya umat Islam secara keseluruhan. Pada
kejatuhannya ke tangan Pasukan Salib situasi umat Islam tengah dihadapkan pada
konfil akut antar-umat Islam sendiri. Kekhalifahan Abbasiyah tengah berada pada
titik nadir terendah dalam kekuasaannya. Kawasan sekeliling Palestina seperti
Mesir, Syiria, dan sebagian yang sekarang masuk kawasan Turki dikuasai oleh
Dinasti Fatimiyyah penganut Syiah Ismailiyyah. Dinasti Fatimiyyah inilah yang
berkomplot dengan Tentara Salib menyerahkan kawasan ini ke tangan mereka. Hal
ini dapat terlihat dari usaha Imaduddin Zanki, Nuruddin Zanki, dan Shalahuddin
Al-Ayyubi saat merebutnya kembali. Mereka harus terlebih dahulu menaklukkan
Dinasti Fatimiyyah untuk bisa merebut kembali Baitul Maqdis dari tangan pasukan
Salib. Begitu pula ketika kawasan ini jatuh ke tangan Inggris dan diserahkan
kepada Zionis Yahudi melalui Deklarasi Balfour tahun 1917. Saat itu, umat Islam
sudah berhasil dipecah belah melalui isu “nasionalisme”. Setiap kawasan Islam
dipaksa hanya peduli pada nasib di tempatnya sendiri. Urusan di tempat lain
menjadi urusan mereka sendiri. Skema inilah yang kemudian menciptakan
negara-negara Islam baru dalam bentuk nation state.
Kedua, pada penaklukkan Palestina yang
kedua ini nasionalisme di negara-negara Islam dan terutama negara-negara Arab
di sekeliling Palestina semakin kuat hingga saat ini isu Palestina dan
Baitul-Maqdis berhasil digeser dari isu umat Islam seluruh dunia menjadi isu
lokal rakyat Palestina saja. Para pemimpin negara-negara Arab disibukkan dengan
urusan mereka masing-masing. Tidak ada satupun negara Arab yang memiliki
militansi dan keseriusan untuk membebaskan Palestina dari cengkraman Zionis
Israel. Bahkan, sebagian mereka ada yang dengan terbuka malah mengambil
keuntungan dari kerjasama mereka dengan Israel. Tidak sedikit di antara
negara-negara Arab yang malah mengutuk para pejuang Palestina seperti HAMAS
yang dianggap menjadi penyebab Israel selalu punya alasan untuk menyerang
rakyat Palestina, terutama di Gaza. Arab Saudi adalah salah satu negara yang
terang-terangan menyebut HAMAS sebagai “teroris”.
Ketiga, bila secara politik umat Islam
diserang dengan virus nasionalisme, maka secara pengetahuan awam di kalangan
umat Islam, penyikapan terhadap Palestina ini dilemahkan dengan pemikiran
sekuler. Pemikiran ini menafikan pemahaman Ilahiyyah tentang kawasan Baitul
Makdis. Padahal, baik di dalam Al-Quran maupun hadis, perkara Baitul Makdis
banyak dibicarakan. Semuanya mengandung isyarat Ilahiyyah (nubuwwat)
yang sesungguhnya dapat mengantarkan kita pada pemahaman yang benar dan
mendasar tentang masalah Palestina ini. Sayang sekali, disebabkan serangan
pemikiran sekuler ini banyak umat Islam yang menganggap masalah Palestina ini,
bukan hanya sekedar masalah lokal orang Palestina semata bahkan dianggap hanya
sebagai suatu peristiwa politik perebutan kekuasaan biasa. Inilah yang
menyebabkan umat Islam semakin lemah dan semakin apatis untuk turut serta berjuang
membebaskan Baitul Makdis.
Masalah terakhir di atas juga melanda sebagian
besar rakyat Palestina pada saat awal-awal penjajahan Israel. Pejuang-pejuang
kemerdekaan dari kalangan rakyat Palestina sendiri harus terlebih dahulu
memberikan pemahaman yang benar mengenai masalah Baitul Maqdis kepada rakyat
Palestina sendiri bahwa persoalan ini adalah persoalan agama, persoalan umat
Islam sedunia, dan ujian akhir zaman yang diturunkan Allah Swt. kepada umat
Islam. Pemahaman ini dapat diterima oleh sebagian, namun sebagian yang lain
belum bisa memahaminya dengan baik. Oleh sebab itu, tidak semua para pemimpin
pergerakan di Palestina berjuang dengan pemahaman yang benar. Inilah
sesungguhnya kendala utama dalam perjuangan pembebasan Palestina.
Bila di kalangan rakyat dan aktivis Palestina
saja demikian keadaannya, apalagi kaum Muslim di kawasan yang jauh dari pusat
konflik. Lebih banyak lagi umat Islam di berbagai belahan dunia yang sama
sekali tidak paham dengan masalah Baitul Maqdis dan Palestina ini. Masih sangat
banyak yang memahami masalah ini sebagai masalah politik; atau hanya sekadar
masalah kemanusiaan biasa. Akibat dari nihil-ilmu dan pemahaman keliru mengenai
masalah ini, kesadaran umat Islam dan pemimpin-pemimpin Islam di berbagai
belahan dunia menjadi lemah hingga menyebabkan kepedulian terhadap masalah ini
sangat rendah.
Situasi ini diperburuk dengan kondisi gerakan-gerakan
yang ada pun sangat sedikit yang berusaha untuk menghidupkan jalan ilmu
terlebih dahulu agar dapat memberi pemahaman seluas-luasnya dan
sedalam-dalamnya mengenai masalah ini. Masih sangat sedikit riset, tulisan, dan
analisis dari berbagai disiplin keilmuan mengenai masalah Baitul Maqdis ini.
Oleh sebab itu, sangat wajar bila pengetahuan tentang Baitul Maqdis yang
dimiliki oleh umat Islam secara umum pun amat sangat dangkal. Sementara
musuh-musuh Islam terus menggelontorkan pengetahuan yang justru semakin
menjauhkan umat Islam dari kepedulian terhadap mereka. Jalan ilmu inilah yang
dalam tulisan ini ditawarkan sebagai “jalan baru” menuju Palestina dan Baitul
Makdis. Bagaimana jalan ilmu ini harus dilakukan?
Jalan ilmu sudah mulai dilakukan oleh beberapa aktivis,
baik di Palestina maupun di sekitarnya, setelah dalam perjalanan perjuangan
membebaskan Palestina banyak pengalaman dilalui. Hanya saja, jalan ini memang
belum menjadi manstream gerakan di tengah model gerakan lain yang sudah
biasa dilakukan sejak lama. Padahal, jalan ini merupakan jalan fundamental yang
amat penting sebelum jalan lain sepeerti jalan politik dan militer ditempuh.
Adalah Prof. Abdul Fattah Al-Awaisi dalam satu ceramah yang penulis ikuti di
kantornya Islamic-Jerussalem Research Academi (ISRA) di Istanbul Turki
(21/7/17) memberikan penjelasan mengenai masalah ini yang intisarinya sebagai
berikut dengan tambahan dan penjelasan dari penulis.
Sejak pendudukan Palestina oleh Zionis Israel
atas perlindungan Inggris tahun 1917, usaha-usaha untuk melindungi dan
membebaskan Palestina dari cengkraman penjajah sudah dilakukan cukup banyak dan
intensif. Jalan yang paling umum adalah perlawanan bersenjata dan tekanan masa
melalui demonstrasi umat Islam di seluruh dunia menekan negara-negara yang berdekatan
dan berkepentingan untuk bergerak. Perlawanan bersenjata sudah dimulai sejak
tahun 1933 ketika Ikhwanul Muslimin dari Mesir turun langsung ke Palestina
menolak pendudukan Yahudi di sana. Perlawanan ini terus bertahan sampai sekarang
untuk menahan usaha-usaha Yahudi mencaplok kawasan yang dihuni rakyat Palestina
yang hanya tersisa Jalur Gaza dan Tepi Barat. Perlwanan ini saat ini digerakkan
oleh Harokah Al-Muqowamah Al-Islamiyah (HAMAS) yang dibentuk tahun 1988.
Masyarakat Palestina, terutama di Tepi Barat
dan Jalur Gaza seolah sudah sangat terbiasa menghadapi situasi perang. Bagi
mereka perang sudah menjadi makanan sehari-hari. Mereka yang hidup di dalam
kawasan Gaza memang tidak ada pilihan lain selain harus mengangkat senjata
untuk bisa bertahan hidup dan mempertahankan tanahnya yang terus-menerus
dicaplok dan diduduki oleh para penjajah Israel. Bagaimana heroisme perlawanan
mereka terhadap Zionis sudah sangat sering kita dengar. Akan tetapi, bila kita
tanya hasil apa yang didapatkan? Jawabannya hanya sebatas untuk bisa bertahan,
namun belum bisa bergerak sampai membebaskan Baitul Maqdis dari cengkeraman
Zionis.
Bersamaan dengan gerakan militer ini, umat
Islam di seluruh dunia tidak sedikit yang tergerak untuk ikut membantu. Akan tetapi,
tidak banyak yang bisa dilakukan selain mengadakan demonstrasi dan penggalangan
dana untuk tujuan kemanusiaan. Karena sudah menjadi kebiasaan umat Islam di
seluruh dunia, saat ini menjamur ratusan lembaga yang didirikan untuk
menyalurkan bantuan-bantuan kaum Muslim untuk rakyat Palestina, baik yang
dikelola orang Palestina sendiri atapun bukan. Seolah-olah kondisi keterjajahan
Palestina menjadi lahan ekonomi baru. Sebagian lembaga ada yang benar-benar
hanya memanfaatkan situasi ini untuk mencari keuntungan. Mereka galang dana ke
seluruh dunia, lalu disalurkan sekedarnya untuk membantu para pengungsi atau
orang-orang miskin di Palestina, sisanya sebagian besar mereka gunakan untuk
kehidupan mereka sendiri. Tidak jelas ke mana arah penggunaan dana ini dalam
konteks pembebasan Baitul Maqdis secara paripurna. Tentu tidak semua demikian.
Banyak yang sungguh-sungguh ingin berjuang untuk membebaskan Palestina dengan
dana yang mereka galang.
Baik gerakan militer dan gerakan kemanusiaan,
betapapun manfaatnya dirasakan ada, namun tetap saja menyisakan pertanyaan
sangat mendasar: bagaimana sebetulnya cara membebaskan Palestina dari
cengkeraman Israel? Sampai kapan gerakan militer dan kemanusiaan akan
dilakukan? Pada step manakah gerakan militer dan kemanusiaan ini berada
dalam skema besar jalan menuju pembebasan Baitul-Maqdis? Pertanyaan-pertanyaan
ini sangat sulit untuk dijawab secara meyakinkan. Hampir semua hanya sampai
pada jawaban: inilah yang maksimal bisa kita lakukan untuk Palestina dan
Baitul-Maqdis; inilah maksimal yang bisa kita lakukan untuk menunjukkan ada di
posisi mana kita sekarang berada. Jawaban seperti ini tentu tidak salah, namun
menunjukkan dengan sangat jelas bahwa kita tidak tahu dan tidak punya ilmu
bagaimana caranya Baitul-Maqdis direbut kembali.
Berkait dengan jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan di atas, Allah Swt. pun tidak secara gamblang memberikan
jawaban. Hal ini tentu saja bukan berarti Allah Swt. tidak tahu. Mahasuci Allah
dari sifat lemah ini. Allah Swt. sengaja membiarkan seperti ini untuk menguji
kaum Muslim agar menemukan jawabannya sendiri dalam ayat-ayat qauliyah-Nya dan
ayat-ayat semesta yang dibentangkan-Nya selama kurun sejarah. Untuk menemukan
jawaban ini tantu saja harus menempuh jalan ilmu yang tidak mudah. Harus
dilakukan riset, pendalaman, dan perenungan untuk menemukan satu jawaban; lalu
diuji-coba lalu dievaluasi kembali hingga terus menghasilkan ilmu yang lebih
matang lagi mengenai masalah Baitul-Maqdis ini.
Pertanyaan berikutnya: sudah berapa banyak
ilmuwan perorangan, lembaga riset, pusat studi, atau perguruan tinggi yang
melakukan riset mengenai masalah ini? Harus kita akui bahwa masih amat jarang
bila dibandingkan dengan riset dalam bidang lainnya. Kita ambil contoh di
Indonesia. Di perguruan tinggi Islam mana yang jumlahnya ratusan kita temukan
pusat studi mengenai Palestina dan Baitul-Maqdis? Jawabannya negatif. Tidak ada
satupun. Di beberapa perguruan tinggi besar seperti UI dan UGM memang ada pusat
studi khusus untuk mengkaji masalah-masalah Timur Tengah, namun hampir
dipastikan visinya bukan untuk mencari ilmu bagaimana memenangkan Palestina
dari Israel. Tujuan umumnya pragmatis belaka hanya untuk mengetahui situasi di
Timur Tengah dan mendapatkan keuntungan dari dana bagi Indonesia. Itu saja.
Bolehlah kita menyebut di Indonesia hal
semacam itu wajar terjadi. Akan tetapi bagaimana bila hal yang sama pun terjadi
di negara-negara Timur Tengah yang langsung berhadap-hadapan dengan penjajahan
Israel atas Palestina? Tentu ini keterlaluan. Akan tetapi begitulah
kenyataannya. Belum banyak studi yang mengkhususkan diri menggali pengetahuan
secara mendalam dengan tujuan akhir memperoleh ilmu untuk membuka jalan
selebar-lebarnya menuju Baitul-Maqdis. Inilah yang masih sangat sedikit kita
lakukan untuk membebaskan Baitul-Maqdis.
Jalan ilmu dalam perjuangan sekecil apapun
adalah langkah paling dasar dan fundamental. Kita semua tahu bahwa peradaban
suatu umat maju disebabkan terlebih dahulu ilmu mereka pun maju. Dengan ilmu
banyak hal ditemukan. Penemuan-penemuan baru ini membuka kesempatan kepada
manusia untuk menciptakan hal-hal baru dan menjawab berbagai tantangan hidup
yang dihadapi. Tanpa ilmu, tantangan yang setiap saat berdatangan tidak ada
satupun yang dapat dijawab. Begitu pula dengan pembebasan Baitul-Maqdis. Jalan
menuju Baitul-Maqdis begitu terjal. Musuh sudah menggunakan beribu satu cara
hasil pengetahuan mereka untuk tetap mempertahankan dominasi mereka atas
Baitul-Maqdis. Hasilnya 100 tahun sudah Palestina masih tetap terjajah. Sementara
kita hingga saat ini sangat miskin pengetahuan tentang cara menghadapi mereka.
Cara-cara kita dari puluhan tahun ke belakang masih tidak banyak berubah. Lihat
saja bagaimana para aktivis pembela Palestina di Indonesia, misalnya. Adakah
modus dan kreativitas baru dalam men-support perjuangan
saudara-saudaranya di Palestina dalam kurun 50 atau 60 tahun belakangan ini? Bila
jawabannya negatif, maka ini menjadi penanda yang amat jelas bahwa kita miskin
ilmu dalam masalah ini.
Lalu apa yang harus kita lakukan? Kita harus
memulai cara dan tradisi baru dalam pembelaan kita terhadap Baitul-Maqdis,
yaitu tradisi dan jalan ilmu. Seperti umumnya jalan ilmu, harus ada sekelompok
orang yang secara khusus didorong untuk melakukan kajian serius mengenai
berbagai masalah Palestina dan Baitul-Maqdis. Dana-dana yang dikumpulkan jangan
semuanya digunakan untuk keperluan konsumtif. Harus ada sebagian dalam jumlah
yang cukup untuk mendanai kaderisasi calon-calon ahli mengenai Palestina.
Setelah itu, harus juga disiapkan dana untuk melakukan riset dari berbagai
disiplin ilmu untuk memperkaya pengetahuan dalam menyingkap jalan menuju
Baitul-Maqdis. Riset-riset ini selanjutnya diterbitkan dalam bentuk buku dan
jurnal ilmiah yang akan menjadi bahan untuk disebarluaskan kepada masyarakat. Apabila
telah banyak ilmu, maka dengan sendirinya akan terpikirkan banyak cara menuju
Palestina. Inilah agenda baru umat Islam, terutama di Indonesia, dalam rangka
ikut meretas jalan memerdekakan Baitul-Maqdis dari cengkeraman penjajah Zionis.
Wallâhu A’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar