Dr. Jeje
Zainudin
Sehari-hari kita sering mendengar istilah
“syari’at Islam”. Istilah ini bahkan tidak sedikit digunakan sebagai alat
kampanye politik, baik kampanye untuk menaikkan elektabilitas maupun kampanye
untuk menyudutkan seseorang. Beberapa hari yang lalu menjelang Pilkada DKI,
terbit Bulleti Al-Islam palsu yang dengan tegas judulnya diberi judul
“Menyongsong Gubernur Muslim Menghentikan Gubernur Kafir Wujudkan Jakarta
Bersyari’ah” dan dibawahnya ada foto Anis Baswedan. Hizbut Tahrir Indonesia
(HTI) yang selama ini memilih tidak banyak angkat suara soal dukungan politik
dalam Pilkada DKI melalui juru bicaranya Ismail Yusanto segera membantah bahwa
bulletin tersebut adalah terbitan resmi HTI.
Entah apa tujuan orang memalsukan Bulletin
HTI dengan foto Anis Baswedan. Apahak untuk menurunkan elektabilitas Anis yang
dianggap didukung HTI, karena sealama ini HTI sering berkampanye tentang
wajibnya menegakkan khilafah Islam dan menentang praktik demokrasi; atau malah
untuk menarik pemilih baru di kalangan HTI yang selama ini sering memilih untuk
“tidak memilih”. Keduanya perlu pembuktian, Akan tetapi dalam bulletin itu
tercantun kata “syari’at” yang pemaknaannya sudah mulai bergeser.
Dalam pemikiran masyarakat awam, syariat
sering hanya dikaitkan dengan masalah-masalah hukum yang sifatnya “amaliah” dan
legal-formal. Hal yang sering dicontohkan adalah hukum potong tangan bagi
pencuri, hukum rajam bagi pezina, larang khomer dan judi, dan semisalnya. Kesan
ini kemudian dikuatkan dengan adanya “Fakultas Syari’ah” di berbagai perguruan
tinggi di dunia yang kajiannya hanya seputar masalah hukum amaliah. Walaupun
hal di atas adalah bagian dari “syari’at”, nanum kalau syariat hanya diartikan
seperti di atas berarti telah terjadi reduksi atas makna syari’at itu sendiri. Tidak
mengherankan bila kemudian ada yang mempertentangkan antara “syari’at” dengan
“akhlak”, misalnya. Pentolan Syiah Jalaludin Rahmat, misalnya, menulis buku
berjudul Dahulukan Akhlak dari Fikih. Fikih dalam buku itu diartikan
sebagai syari’at amaliah yang seolah-olah dapat berdiri sendiri tanpa akhlak;
dan seolah-olah akhlak lebih luhur dari syari’at amaliah.
Mengingat sudah semakin jauhnya pemahaman
masyarakat atas makna “syari’at” ini, tulisan ini hendak mengupas apa sesungguhnya
makna dari syari’at ini pada mulanya, terutama dikaitkan dengan istilah dalam
Al-Quran, hadis-hadis, dan istilah yang dibuat para ulama. Diharapkan dengan
penjelasan ini, masyarakat paling tidak dapat memahami asal-usul istilah ini.
“Syari’ah” secara bahasa diambil dari kata dasar syir'ah yang
arti asalnya adalah masyra'atul mâ-a ya'ni mauridul mâ-a = sumber air
atau mata air. (Muhammad bin Mukrim bin Mandhur Al Afriqy, Lisânul
Arab, [Beirut: Dar al
Shadir, tt.], vol. VII, hal
175 ). Karena
adanya sumber atau mata air itulah orang berdatangan ke tempat tersebut secara
rutin dan bergantian sehingga membentuk jalan. Kemudian istilah syariat bergeser
dari arti "sumber air" menjadi "jalan menuju sumber air"
tersebut.
Penggunaan
kata "jalan" dalam bahasa Arab dapat berarti jalan dalam makna asli
(hakiki) yang bersifat fisik materil yang dapat dicapai indra manusia seperti
jalan yang biasa ditempuh musafir di tanah atau dipadang pasir, dan jalan dalam
pengertian secara metaforis (majazi) yang bersifat abstrak, seperti suatu
ajaran atau tuntunan petunjuk kehidupan. Maka agama disebut "syir'ah"
dan "syari'ah" karena ia ajaran atau tuntunan laksana jalan yang
harus ditempuh manusia menuju kebenaran, menuju Tuhan dan menuju kebahagiaan
hidupnya. Sebagaimana jalan yang ditempuh untuk menuju mata air. Jalan agama
itu tiada lain adalah ajaran dan hukum yang terkandung didalamnya.
Jalan
agama Islam terbentuk dari dua sumber yaitu Kitabullah (Al-Qur'an) dan Sunnah
Rasulullah (Al Hadits yang sahih). Maka apa yang digariskan keduanya melahirkan
syariat. Proses pembentukan jalan disebut tasyri'. Maka istilah tasyri'
dalam konteks ini bermakna "proses dan cara pembentukan syari'at".
Syari'at
Islam mencakup hukum-hukum I'tiqâdiyat, Akhâq, dan A'mal. I'tiqadiyat adalah syariat
Islam yang terkait dengan amalan hati tentang apa yang harus diimani dan
diingkari seorang mukmin. Akhlaq adalah syariat tentang kemuliaan budi pekerti
dan kesucian jiwa. A'mal adalah syariat Islam yang mengatur tentang perbuatan
jasadiyah manusia. A'mal manusia itu terbagi pada dua katagori; ibadah dan
mu'amalah. Ibadah dalam pengertian khusus yaitu upacara ritual menyembah Allah
semisal shalat, shaum, haji, dzikir, dan do'a. muamalah adalah ibadah dalam
pengertian luas mencakup interaksi manusia dengan sesamanya. Hukum syariat
dalam muamalah mencakup beberapa aspek:
1.
Hukum al-Ahwâlusyakhshiyah. Yaitu hukum syariat
yang mengatur muamalah manusia dalam lingkup rumahtangga dan keluarganya
seperti perkawinan, perceraian, hak dan kewajiban suami-istri, dan pengasuhan
anak.
2.
Hukum al-Madaniyah. Yaitu hukum syariat yang
mengatur muamalah manusia dengan sesamanya yang berkaitan dengan perikatan dan
transaksi-transaksi jual beli, pinjam-meminjam, sewa-menyewa, dan
perjanjian-perjanjian kerjasama.
3.
Hukum al-Jinâiyah. Yaitu hukum syariat yang
mengatur sanksi fisik atas pelanggaran dan kejahatan terhadap jiwa, harta, dan
kehormatan manusia. Seperti hukuman pembunuhan, pencurian, peminum khamar,
pezina dan penuduh zina
4.
Hukum al-Murâfaat. Yaitu hukum syariat yang mengatur
tatacara peradilan, pengajuan gugatan, penyelidikan, penetapan dan pelaksanaan
vonis hukuman.
5.
Hukum al-Dusturiyah. Yaitu hukum syariat yang
mengatur tentang kekuasaan, pemimpin, rakyat, dan hak-hak warga negara.
6.
Hukum al-Duwaliyah. Yaitu hukum syariat yang
mengatur tentang interaksi antar bangsa, hukum perang dan damai.
7.
Hukum al-Iqtishadiyah. Yaitu hukum syariat yang
mengatur pengelolaan dan pengembangan harta kekayaan individu, negara dan
masyarakat. (Abdul Wahhab
Khalaf, Ilmu Ushul Al Fiqh, [Kairo:
Maktabah Da'wah Al Islamiyah, 1959],
hal.32-33)
Semua hukum syariat tersebut di atas bersumber dari
al-Qur'an dan al-Hadits sebagai
sumber pokok dari ajaran Islam. Bila merujuk pada pengertian di atas, maka
sesungguhnya istilah “syari’ah” ini merupakan perwujudan kongkrit dan
sistematis dalam bentuk perintah, larangan, dan arahan-arahan dalam kehidupan.
Karena dalam Al-Quran dan hadis arahan-arahan tersebut meliputi unsur-unsur
ruhiyyah dan jasadiyah manusia, syu’ûriyyah dan hissiyyah, sekaligus maka untuk
memudahkan diklasifikasilah syari’ah ini menjadi seperti di atas. Klasifikasi
di atas semata-mata hanya untuk memudahkan pemahaman dan pengembangan keilmuan
pada masing-masing bidangnya sehingga dapat tumbuh menjadi disiplin-disiplin
ilmu yang bisa dipelajari oleh manusia, terutama umat Islam.
Walaupun dapat
diklasifikasi seperti di atas, pada hakikatnya ajaran-ajaran tersebut tidak
dapat berdiri sendiri masing-masing. Akidah tanpa akhlak adalah mustahil.
Begitu juga amaliah-jasadiyah tanpa akidah dan akhlak pun bukan apa-apa. Baik
akidah, akhlak, maupun amaliah harus merupakan satu kesatuan. Suatu amal
perbuatan manusia yang terlihat secara fisik harus merupakan perwujudan dari
akidah yang kokok dan akhlah yang luhur. Bila tidak demikian, maka amaliah tersebut
hanya merupakan amal hampa yang bukan merupakan ajaran Islam yang sesungguhnya.
Wallâhu A’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar